Senin, 20 Februari 2017

SEKILAS TENTANG MBAH KYAI HADIN MAHDI SANG MURSYID THARIKAH TIJANIYYAH TULUNGSARI, TINGAL, GARUM, BLITAR



Oleh: Arif Muzayin Shofwan

 “Menulislah, siapa tahu bermanfaat bagi yang membutuhkan.”
(Anonim)

Mbah Kyai Hadin Mahdi merupakan ulama mursyid/muqaddam Tharikah Tijaniyyah yang berada di dusun Tulungsari, desa Tingal, kecamatan Garum, kabupaten Blitar. Menurut cucu kesayangannya, Mbah Kyai Hadin Mahdi lahir pada hari Jumat Wage bulan Rojab tahun 1909 masehi. Beliau merupakan putra dari pasangan Mbah Kyai Abdurrahman (+ Nyai Siti Khodijah) Kebonsari, Garum, Blitar. Di antara suadara kandung Mbah Kyai Hadin Mahdi adalah Mbah Kyai Busro, Mbah Kyai Ridwan, Mbah Kyai Malak, dan lain-lainnya. Menurut cucu kesayangannya, Mbah Kyai Hadin Mahdi wafat pada malam Ahad sekitar pukul 9-10 (malam hari). Yakni, bertepatan pada hari Ahad Wage tanggal 31 Desember 1995 masehi. Semoga Tuhan memberikan kebahagiaan kepada beliau. Al-Fatikah...

Adapun silsilah nasab Mbah Kyai Hadin Mahdi dari pihak neneknya, yakni Nyai Siti Syarifah istri dari Kyai Muhammad Arif Sang Mursyid Tharikah Naqsyabandiyah (Talok, Garum, Blitar) bersambung kepada Sunan Giri (Prabu Satmata), Gresik, Jatim. Berikut silsilah tersebut:

1.    Sunan Giri (Pabu Satmata), berputra;
2.    Panembahan Giri Gajah, berputra;
3.    Panembahan Giri, berputra;
4.    Panembahan Lasem (Wirokusumo), berputra;
5.    Panembahan Kadilangu, berputra;
6.    Kyai Ageng Abdul Madjid, berputra;
7.    Kyai Ageng Abdullah As’ad, berputra;
8.    Kyai Nur Ali Tepus, berputra;
9.    Kyai Ahmad Baidhowi (Bedug, Bagelen), berputra;
10. Nyai Ali Ibrahim (Wojo, Bagelen), berputra;
11. Kyai Ali Muhtarom (Selopuro, Blitar), berputra;
12. Nyai Siti Syarifah (suami dari Mbah Kyai Muhammad Arif Sang Mursyid Tharikah Naqsyabandiyah Talok, Garum, Blitar), berputra;
13. Nyai Siti Khodijah (suami dari Mbah Kyai Abdurrahman Kebonsari, Garum, Blitar), berputra;
14. Mbah Kyai Hadin Mahdi Tulungsari, Garum, Blitar.


Catatan: Perlu diketahui bahwa Mbah Kyai Abdurrahman (point ke-13) merupakan salah satu guru dari Mbah Kyai Ahmad Dasuqi Sekardangan, Kanigoro, Blitar. Setelah berguru kepada Mbah Kyai Abdurrohman, lalu Mbah Kyai Ahmad Dasuqi berguru kepada Mbah Kyai Muhammad Sholeh Kuningan, Kanigoro, Blitar.

Sementara itu, silsilah Mbah Kyai Hadin Mahdi dari kakeknya bersambung kepada Ki Ageng Gribig. Adapun Ki Ageng Gribig II sendiri dalam http://ranji.sarkub.com dari Raden Ayu Linawati Djojodiningrat Solo (yakni cucu dari Prof. Dr. Hoessein Djojodiningrat) yang mengacu dari kitab kuno Sunan Tembayat tahun 1443 Saka merupakan putra dari Ki Kebo Kanigoro (Kyai Ageng Purwoto Siddiq) yang makamnya berada di dusun Sarehan, desa Jatingarang, kecamatan Weru, kabupaten Sukoharjo-Solo, Jateng. Ki Kebo Kanigoro sendiri dalam salah satu kisah diakui sebagai pendiri kecamatan Kanigoro-Blitar pada zaman perpolitikan kerajaan Demak, Pajang, dan Mataram. Berikut silsilah tersebut: Ki Kebo Kanigoro (Kyai Purwoto Siddiq Banyubiru) => Ki Ageng Gribig I/ Pangeran Kedhanyang Malang Jatim => Ki Ageng Gribig II Jatinom, Klaten => Ki Ageng Gribig II (pelopor acara ritual “Ya Qowiyyu” tahun 1589 masehi) => Ki Ageng Gribig IV (pembantu Sultan Agung Hanyakrakusuma tahun 1636 masehi) => Kyai Ageng Ahmad Lebak => Kyai Ageng Abdurrahman => Kyai Ageng Cokro Wijoyo (Syarif Nuriman Kutowinangun, Kebumen) => Kyai Muhammad Arif (Talok, Garum, Blitar) => Nyai Siti Khodijah (Kebonsari, Garum, Blitar) => Mbah Kyai Hadin Mahdi Tulungsari, Garum, Blitar. (Lihat foto Kitab Silsilah dari Nyai Raden Ayu Linawati Djojodiningrat dari “ranji sarkub” di bawah).


Catatan: Merujuk catatan kuno Pangeran Kajoran tahun 1677 yang menyebutkan bahwa Kyai Ageng Gribig II Jatinom, Klaten bernama lain Sunan Geseng murid dari Sunan Kalijaga dan Syech Siti Jenar serta menantu dari Sunan Pandanaran II beliau lebih di kenal dengan sebutan Kyai Ageng Kebo Kanigoro dari Pajang. Pada jaman dulu jamak satu orang mengunakan beberapa nama penyamaran untuk menyembunyikan jati diri mereka untuk menghindar dari kejaran tentara Demak Bintaro.



Ada lagi yang menyatakan bahwa Ki Ageng Gribig I (Pangeran Kadhanyang Malang, Jawa Timur) merupakan keturunan Sunan Giri Gresik. Hal ini seperti yang terdapat dalam silsilah Mbah Kyai Muhammad Arif Talok, Garum, Blitar dan silsilah nasab Mbah Kyai Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyyah). Tentu saja, tidak hanya dua versi ini yang ada dalam catatan sejarah. Yah, tentu saja segala ragam catatan sejarah itu ada berbagai versi dengan menyuguhkan berbagai data masing-masing. Mudah-mudahan versi-versi tersebut tidak menjadikan antara satu orang dengan orang yang lain saling “gontok-gontokan” dan merasa versi-nya yang paling benar. Semoga kita menempatkan semua itu dalam tataran kajian ilmu sejarah sebagai sumber peradaban manusia di bumi. Sebab bila hanya menyebabkan “gontok-gontokan” ibaratnya adalah “Rebutan Balung Tanpo Isi”. Mudah-mudahan semua makhluk hidup saling menebar kebahagiaan. Amiiin.

Menurut cucu kesayangannya, Mbah Kyai Hadin Mahdi pernah menimba ilmu agama Islam di dua pesantren, yaitu: (1) Pondok Pesantren Bendo, Pare, Kediri selama satu setengah tahun; dan (2) Pondok Pesantren Tremas Pacitan asuhan Mbah Kyai Dimyathi selama satu setengah tahun. Di antara teman Mbah Kyai Hadin Mahdi selama mondok di Pesantren Tremas Pacitan di antaranya: Mbah Kyai Ismail Selopuro (ayah dari dai kondang Kyai Harun Ismail Selopuro), Mbah Kyai Daim Tingal, Garum, Blitar. Kata cucunya, hanya sekitar tiga tahun Mbah Kyai Hadin Mahdi menuntut ilmu agama di pesantren. Begitulah tegasnya.
Dalam kehidup pribadinya, Mbah Kyai Hadin Mahdi pernah menikah empat kali. Di antaranya istri-istrinya adalah (1) Nyai Siti Fadilah putri dari Kyai Kasan; (2) Nyai Siti Dalilah putri dari Kyai Bendosewu; (3) Nyai Siti Romlah; dan (4) Nyai Siti Badriyah. Keempat istri tersebut selama menikah dengan Mbah Kyai Hadin Mahdi, yang memiliki anak dan keturunan ada dua orang istri, yaitu istri pertama dan terakhir/ ke-empat (yakni; Nyai Siti Fadhilah dan Nyai Siti Badriyah). Dari istri ke-empat ini lalu menurunkan ulama bernama Mbah Kyai Mujab yang saat ini meneruskan sebagai mursyid/muqaddam Tharikah Tijaniyyah.

Selain sebagai mursyid/muqaddam tharikah Tijaniyyah, Mbah Kyai Hadin Mahdi juga merupakan ahli pengobatan berbagai macam penyakit. Ada beberapa pengobatan dari Mbah Kyai Hadin Mahdi yang diijazahkan Kang Muhammad Sakya (cucu Mbah Kyai Hadin Mahdi) kepada saya, di antaranya: (1) Obat Sakit Perut dan Batuk: perasan buah Pace/Bentis dibacakan ayat Kursi 7x lalu diminum; (2) Untuk Sakit Pas Sekarat Mati: bacakan Surat Fatikah secara washol sebanyak 3000x tiga ribu kali di air, lalu dimunumkan pada yang sakit. Kalau Allah berkehendak menyembuhkan, biarlah si sakit sembuh. Apabila Allah berkehendak tidak menyembuhkan/ si sakit wafat, semoga bacaan Fatikah tersebut untuk bekal bagi si sakit di alamnya sana. (Dua amalan di atas, saya ijazahkan lagi kepada siapa saja yang mau mengamalkannya, sebagai bagian dari kegiatan menebarkan sebuah ilmu. Semoga berkah. Amin).

Mungkin hanya ini catatan harian saya kali ini. Ada kurang dan lebihnya saya minta maaf yang sebesar-besarnya. Mudah-mudahan Mbah Kyai Hadin Mahdi, ahli baitnya, keluarganya, sahabat-sahabatnya, tetangganya, murid-murid, dan santri-santrinya selalu mendapat limpahan rahmat dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Semoga tharikah Tijaniyyah yang dikembangkan dan disebarkan oleh Mbah Kyai Hadin Mahdi dapat berkembang pesat dan memberikan berkah, manfaat kepada semua santri dan kaum muslimin-muslimat. Semoga dusun Tulungsari, Tingal, Garum, Blitar (di mana di sana dimakamkan jasad Mbah Kyai Hadin Mahdi Sang Mursyid Tharikah Tijaniyyah) selalu menjadi tempat yang sejuk, damai sepanjang zaman yang tiada tertandingi. Amin.

“If you can dream it you can do it”
(Jika kamu dapat bermimpi, kamu dapat melakukannya)

“Sluman, slumun, slamet. Selameto lek ngemongi jiwo rogo”
(Semoga dalam situasi dan kondisi apapun mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan. Yakni, selamat dalam mengasuh jiwa dan raga masing-masing)

 
Foto kitab di ranji sarkub dari Nyai Raden Ayu Linawati Djojodiningrat yang menyebutkan bahwa Ki Ageng Gribig merupakan anak dari Kyai Kebo Kanigoro (Kyai Purwoto Siddiq Banyubiru Sukoharjo-Solo)
Foto kitab silsilah Ki Ageng Gribig keturunan dari Ki Kebo Kanigoro dari Ranji Sarkub yang diasuh oleh Nyai Raden Ayu Linawati Djajadiningrat Solo
Petilasan Jati Kurung di Kanigoro Blitar, merupakan petilasan Ki Kebo Kanigoro (Kyai Purwato Siddiq Banyubiru), Nyai Gadhung Melati (Nyai Kardinah), Rara Tenggok (Rara Sekar Rinonce) pada masa perpolitikan kerajaan Islam Demak, Pajang, dan Mataram. Rata-rata, petilasan Ki Kebo Kanigoro ditandai dengan Pohon Jati.



Tentang Penulis

Arif Muzayin Shofwan, seorang pria yang berbau kuburan, kijing, maesan, kembang boreh, kembang kanthil, kembang kenongo dan segala macam bau-bauan ini beralamatkan di Jl. Masjid Baitul Makmur Sekardangan RT. 03 RW. 09 Papungan, Kanigoro, Blitar, Jawa Timur. Pria yang yang sering dipanggil oleh Kyai Muhammad AP dengan sebutan “Ki Gadhung Melathi” atau “Mbah Pasarean” (karena seringnya berkunjung ke pesarean-pesarean untuk mengkaji sejarah tokoh yang dimakamkan) tersebut dapat dihubungi di nomor HP. 085649706399.

Jumat, 10 Februari 2017

BERZIARAH KE MAKAM MBAH NYAI TUBINEM DAN MBAH KYAI RADEN SALIMAN DUSUN (+ DESA) PAPUNGAN, KANIGORO, BLITAR



Oleh: Arif Muzayin Shofwan

 “Menulislah, siapa tahu bermanfaat bagi yang membutuhkan.”
(Anonim)

Ziarah Ke Makam Mbah Nyai Tubinem 

          Hari Jumat, 10 Februari 2017, Mbah Jawoko Jatimalang datang ke rumah saya kira-kira pukul 13.30 WIB (siang hari usai shalat Jumat). Dia mengatakan baru saja menjenguk orang sakit di RS. Mardi Waluyo Blitar. Mbah Jawoko berkata kepada saya: “Gus, ayo melu dolan ning Mbah Kyai Hasyim Asyari Gandusari yuk!. Wis suwi ora mrono aku.” Jawab saya: “Waduh, yen dino iki aku ora iso Mbah, sebab iki mengko jam 16.00 WIB wayahe ngisi pendalaman kanggo bocah-bocah kelas 6 sing arep ujian.” Kata Mbah Jawoko: “Oalah, yoo wis, tak kira iso lan ora enek acara. Yo lek ngono metu dolan-dolan ziarah makame sesepuh sing cedhek-cedhek kene  wae.” Kata saya: “Yen makame sesepuh cedhek-cedhek kene, ayo ning makame Mbah Nyai Tubinem, cikal-bakal dusun Papungan, desa Papungan, Kanigoro, Blitar.” Jawab Mbah Jawoko: “Yo wis, ayoooo.”

          Setelah kesepakatan tersebut, akhirnya saya dan Mbah Jawoko berangkat menuju tempat yang akan dituju. Namun, sebelum ziarah ke makam Mbah Nyai Tubinem, saya dan Mbah Jawoko lebih dulu sowan kepada Mbah Suwarno (ketua RT. 03 RW. 06 dusun + desa Papungan). Sebab Mbah Suwarno inilah yang kira-kira paham tentang sejarah dusun Papungan. Sesampai di rumah Mbah Suwarno, beliau bercerita bahwa dusun Papungan itu dulu merupakan “kepungan”, yakni tempat kepungan di mana ada seekor Gajah yang lari ke arah Selatan, dan kemudian dikepung hingga bisa didapat (dicekel: Jw) ketika Gajah tersebut kembali ke Utara. Makanya, utaranya dusun Papungan itu dinamakan dusun Gajah. Dan ada Patung Gajah sebagai simbol dusun tersebut. Sementara, karena daerah Selatan tempat untuk mengepung (kepungan) Gajah, maka dinamakan dusun Papungan (artinya: papan kanggo kepungan/ngepung Gajah yang berlari-lari kesana-kemari). Patung Gajah itu bukan untuk disembah lho kang, tapi untuk simbol dusun seperti patung Ikan Suro dan patung Boyo di Surabaya. Gitu lho. Hehehe.

          Ah, banyak sekali yang kami perbincangkan di rumah Mbah Suwarno. Oya, Mbah Suwarno juga bercerita bahwa Mbah Kyai Raden Saliman merupakan cikal-bakal tempat ibadah pertama (dulu berupa mushalla/langgar) dan tertua di dusun Papungan. Hingga kini, mushalla yang didirikan Mbah Kyai Raden Saliman tersebut sudah tidak ada bekasnya. Dan Mbah Suwarna merupakan generasi keturunan ke-5 dari Mbah Kyai Raden Saliman tersebut. Saat itu juga, Mbah Suwarno menunjukkan “Silsilah Nasab Mbah Kyai Raden Saliman” ke bawah pada pigora ukuran kira-kira 60 CM x 40 CM-an yang terpampang di dalam tembok pojok rumah beliau. Konon, rata-rata warga dusun Papungan juga merupakan keturunan dari Mbah Kyai Raden Saliman tersebut. Yah, selain berbincang-bincang tentang Mbah Kyai Raden Saliman, kami bertiga berbincang-bincang pula tentang Mbah Mudjair (penemu ikan Mujair yang makamnya juga di dusun + desa Papungan yang sangat tersohor hingga mancanegara). Ganyeng lah pokoknya, disertai wedang teh manis. Hehehe. Ah dalam bathin saya, alangkah indahnya bila dusun+desa Papungan diberi atau dibanguni Patung Ikan Mudjair. Hehehehe.

          Perlu diketahui ya, bahwa nama Papungan itu merupakan sebuah dusun sekaligus desa yang berada di kecamatan Kanigoro, kabupaten Blitar, dan memiliki lima (5) dusun. Dan masing-masing dusun tersebut memiliki cikal-bakal (“dhanyang” dalam bahasa Jawa; kalau dalam bahasa Madura adalah “Bujuk”) sendiri-sendiri. Lha, inilah keunikan desa Papungan dibanding desa-desa yang lain. Desa yang lain itu kadang cumak memiliki satu (1) cikal-bakal/dhanyang/bujuk saja. Namun, desa Papungan memang beda. Makanya, setiap dusun di desa Papungan memiliki acara Bersih Dusun yang waktunya berbeda-beda. Kalau istilah di lain desa disebut “Bersih Desa”,  namun di daerah Papungan disebut “Bersih Dusun”. Ya karena memang cikal-bakalnya berbeda-beda dari dusun per dusun. Gitu lho kang. Ya, nggak masalah kan. Oya, bisa saya sebutkan di sini masing-masing cikal-bakal dari dusun di desa Papungan tersebut, yaitu:

1.    Dusun Papungan, cikal-bakal dusunnya bernama Mbah Nyai Tubinem. Makamnya berada di pinggir Sungai Berut paling Barat, dekat sumber mata air. Yah, biasanya orang jaman dulu membuat rumah di dekat sumber mata air. Sumber mata air adalah kunci melestarikan kehidupan dan bertahan hidup bagi orang-orang dulu. Sebab jaman dulu belum ada sumur. Adanya sumur (termasuk kakus/WC) itu kan menurut penelitian ahli itu adanya sejak Belanda menjajah negeri ini. Gituu. Adapun Mbah Kyai Raden Saliman termasuk tokoh yang membuka mushalla/langgar pertama setelah adanya dusun Papungan tersebut. Untuk tokoh-tokoh lainnya, saya belum mempelajari kang. Lahum Al-Fatikah...

2.    Dusun Sekardangan, cikal-bakalnya bernama Ki Kebo Kanigoro (Kyai Purwoto Siddiq Banyubiru), istrinya Nyai Gadhung Melati, dan anaknya Rara Tenggok (Rara Sekar Rinonce). Warga Sekardangan sering menyebut ketiga tokoh tersebut dengan sebutan “Mbah Sekardangan” atau “Eyang Sekardangan” saja. Makam ketiganya berada di dusun Sarehan, desa Jatingarang, kecamatan Weru, kabupaten Sukoharjo-Solo. Konon setelah berada di Kanigoro (yakni di Petilasan Jatikurung, utara Pom Bensin Kanigoro) dan sempat berada dan mendirikan dusun Sekardangan, ketiga tokoh ini pulang kembali ke Sukoharjo-Solo, dan dimakamkan di sana. Adapun petilasan ketiga tokoh tersebut berada di sebelah Barat Masjid Baitul Makmur Sekardangan -+ 150 Meter. Jauh setelah ketiga tokoh di atas, ada beberapa tokoh Sekardangan yang bisa disebutkan di sini, antara lain: Mbah Kyai Raden Atmo Setro, Mbah Kyai Raden Kasan Muhtar, Mbah Kyai Raden Suwiryo Diningrat, Nyai Raden Tirto Sentono, Mbah Kyai Abu Yamin Bin Abdurrohim (makamnya berada di pemakaman desa Gaprang, sebab Sekardangan dulu belum memiliki pemakaman umum tersendiri). Mbah Kyai Raden Tirto Sentono dan Mbah Kyai Raden Setro Kromo makamnya di Sekardangan, dan lain sebagainya. Lahum Al-Fatikah...

3.    Dusun Gajah, cikal-bakalnya bernama Mbah Kyai Raden Setrojati, makamnya berada di areal makam umum dusun Gajah. Konon, Mbah Kyai Raden Setrojati itu masih saudaranya Mbah Kyai Raden Setro Kromo (menantu Mbah Kyai Raden Atmo Setro Sekardangan). Makanya, warga dusun Gajah dan Sekardangan itu konon masih ada hubungan famili. Ini kata para sesepuh lho. Sekarang nama Mbah Kyai Raden Setrojati diabadikan menjadi “Nama Jalan”. Mantafff. Inilah contoh warga dusun yang mau ngeleluri, menghormati dan menghargai jerih payah para leluhurnya. Salut saya. Lahum Al-Fatikah...

4.    Dusun Duwet, wah mohon maaf, kalau cikal-bakal dusun Duwet saya belum mempelajarinya. Walau saya belum tahu nama cikal-bakalnya, saya tetap mau kirim Fatikah kepada beliau-beliau. Lahum Al-Fatikah...

5.    Dusun Salam, lha ini juga, saya juga belum mempelajari cikal-bakal dusun Salam. Walau saya belum tahu nama cikal-bakalnya, saya tetap mau kirim Fatikah kepada beliau-beliau. Lahum Al-Fatikah... 

(Catatan: Oya, saya dulu mendapat ijazah amalan Fatikah dari kakek saya, dan kakek saya mendapat ijazah dari Mbah Kyai Abdul Hamid Pasuruan, Jatim. Saya diajari agar sering kirim Fatikah kepada siapa saja. Ya itu. Makanya, saya selalu hadiah Fatikah kepada para leluhur dan siapa saja. Itu saja. Ini ijazah dari kyai agung lho. Kalau itu ijazah dari kyai agung ahli tirakat, yah kayak kata Gus Dur “Saya ya sendiko dawuh saja. Dan dilakoni wae”. Yah, semoga saja berkah. Amiin.)

Ziarah ke Makam Mbah Kyai Raden Saliman

          Setelah saya berziarah ke makam Mbah Nyai Tubinem, saya dan Mbah Jawoko kemudian menuju makam Mbah Kyai Raden Saliman, yang konon beliau dulu juga berasal dari Mataraman. Pada saat saya berada di kediaman Mbah Suwarno, beliau menunjukkan silsilah nasab Mbah Kyai Raden Saliman ke-bawah. Ah, sayang, tidak saya foto. Tapi saya masih ingat bahwa Mbah Kyai Raden Saliman memiliki tiga (3) anak yang akhirnya mbrenah di dusun Papungan. Maaf, saya mengatakan “dusun”, bukannya sebagai “desa”. Sebab dusun-dusun di desa Papungan memiliki cikal-bakal dan tokoh sendiri-sendiri yang saling menurunkan berbagai macam keturunan. Ada yang jadi kyai, polisi, tentara, ustadz, petani, pedagang, guru, dosen, dan macam-macam profesi lainnya. Yah, itulah manusia, semua punya jatah sendiri-sendiri dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

          Makamnya Mbah Kyai Raden Saliman berada di pemakaman dusun Papungan bagian Selatan (gandeng dengan pemakaman Gaprang). Saya dan Mbah Jawoko menelusuri makam-makam kuno tersebut. Ah, banyak makam-makam kuno yang sudah tidak terawat, morat-marit, dan lain sebagainya. Kalau sudah melihat hal yang demikian, Mbah Jawoko bilang: “Wah, mesakne yoo makame poro leluhure sing nggak ono sing ngrawat. Padahal wong-wong ngene iki ndisik yen berjuang ning deso lan ning agomo yo tenanan.” Kalau Mbah Jawoko sudah ngomong demikian, saya cumak bisa mendengarkan saja. Yah, kalau nggak diam, mau ngomong apa saya ini. Waduhhhh. Biasanya, setelah berkata demikian Mbah Jawoko kemudian kirim Fatikah kepada ahli kubur yang dimakamkan di tempat tersebut secara keseluruhan dan terkhususkan. Yah, dalam tulisan ini saya juga kirim Fatikah, mudah-mudahan para leluhur kita diberi kebahagiaan di sisi-Nya. 

          Ah, mungkin ini saja catatan harian (cahar) saya hari ini. Mohon maaf, kalau dalam cahar ini saya hanya bisa memotret makam Mbah Nyai Tubinem, Sumber Air di areal makam Mbah Nyai Tubinem, makam Mbah Kyai Raden Saliman, itu saja. Teriring doa, mudah-mudahan dusun + desa Papungan selalu diberkahi oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Mudah-mudahan dusun + desa Papungan menjadi tempat yang aman, damai sepanjang zaman. Mudah-mudahan warga di dusun + desa Papungan selalu mendapatkan kebahagiaan, ketentraman, kesantausaan dari Tuhan Yang Maha Penyayang. Semoga para arwah cikah bakal dusun + desa Papungan (yakni; Papungan, Sekardangan, Gajah, Duwet, dan Salam) selalu mendapat rahmat dan tempat yang membahagiakan dari Tuhan Yang Maha Luas lagi Maha Lembut. Amin, amin, amin, amin. Yaa Rabbal Alamin. Wallahu’alam.

“If you can dream it you can do it”
(Jika kamu dapat bermimpi, kamu dapat melakukannya)

“Sluman, slumun, slamet. Selameto lek ngemongi jiwo rogo”
(Semoga dalam situasi dan kondisi apapun mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan. Yakni, selamat dalam mengasuh jiwa dan raga masing-masing)

Makam Mbah Nyai Tubinem di dekat Sungai Berut Papungan
 
Mbah Jawoko sedang nyekar di makam Mbah Nyai Tubinem
 
Sumber mata air di dekat makam Mbah Nyai Tubinem
 
Makam Mbah Kyai Raden Saliman, cikal-bakal mushalla/tempat ibadah Islam pertama di dusun Papungan
 
Mbah Jawoko sedang nyekar di makam Mbah Kyai Raden Saliman Papungan


Tentang Penulis

Arif Muzayin Shofwan, seorang pria yang berbau kuburan, kijing, maesan, kembang boreh, kembang kanthil, kembang kenongo dan segala macam bau-bauan ini beralamatkan di Jl. Masjid Baitul Makmur Sekardangan RT. 03 RW. 09 Papungan, Kanigoro, Blitar, Jawa Timur. Pria yang yang sering dipanggil oleh Kyai Muhammad AP dengan sebutan “Ki Gadhung Melathi” atau “Mbah Pasarean” (karena seringnya berkunjung ke pesarean-pesarean untuk mengkaji sejarah tokoh yang dimakamkan) tersebut dapat dihubungi di nomor HP. 085649706399.

Minggu, 05 Februari 2017

BERZIARAH KE MAKAM MBAH KYAI RADEN KERTOJAMAN DI PUNCAK GUNUNG BETET, SUTOJAYAN, LODOYO



Oleh: Arif Muzayin Shofwan

 “Menulislah, siapa tahu bermanfaat bagi yang membutuhkan.”
(Anonim)

Sabtu pagi, tanggal 4 Februari 2017, saya di SMS oleh Mbah Jawoko, Jatimalang, Blitar begini: “Engko ono acara opo ora?. Lek ora ono acara ayo melu aku ning makame Mbah Kyai Raden Kertojaman.” Lama SMS tersebut tak saya balas, sebab saya masih ada kesibukan yang lebih penting. Karena tak saya balas, akhirnya pada pukul 14.00 WIB Mbah Jawoko nelpon saya. Dia mengatakan, akan mengajak saya ziarah ke makam Mbah Kyai Raden Kertojaman, Syaikh Abu Naim Fathullah (Kyai Raden Setro Menggolo atau Mbah Kyai Putih), Kyai Raden Imam Sampurna (Pangeran Prabu) Lodoyo, dan lain-lainnya. Mbah Jawoko juga mengatakan bahwa dia bersama kawannya yang bernama Mas Rozikin Sawentar. Saya jawab: “Ya, oke. Siap. Iki pas gak ada acara.”

Akhirnya pertemuan tiga orang, saya, Mbah Jawoko, dan Mas Rozikin diadakan di rumah saya. Setelah bincang-bincang sebentar, kami bertiga lalu meluncur ke makam yang akan dituju. Sebelum ke makam, Mas Rozikin membeli dupa Kawi dan bunga boreh untuk nyekar sebanyak 10 (sepuluh) bungkus. Dalam batin saya, waduh banyak sekali kalau beli bunga. Ah, nggak apalah, wong pakai uangnya dia sendiri kok. Bukan pakai uang saya. Hehehe. Apalagi Mas Rozikin memang ingin nyekar ke tempat-tempat yang akan dituju memang sudah lama. Dan baru berhasil kali ini. Katanya, dia (Mas Rozikin) ziarah ke tempat tersebut memang diperintah (atas rekomendasi) dari seorang kyai. Yah, sudahlah. Namun esoknya Mbah Jawoko bercerita bahwa Mas Rozikin pada saat makan di warung Timur makam Mbah Kyai Raden Kertojaman pernah mendapat bisikan gaib bahwa dia diminta nyekar di makam tersebut, lalu menghubungi Mbah Jawoko. Gituuu.

Pertama kali makam yang kami tuju adalah makam Mbah Kyai Raden Kertojaman yang berada di puncak gunung Betet, Sutojayan, Lodoyo. Yah, cukup lumayan menyenangkan dan suasana sejuk ketika kami bertiga naik ke puncak gunung tersebut. Ada jalan clondakan setapak bila kita ingin ke makam Mbah Kyai Raden Kertojaman tersebut. Dikisahkan bahwa Mbah Kyai Raden Kertojaman merupakan seorang ulama yang berdakwah secara kultural di masyarakat. Sewaktu hidupnya konon beliau berwasiat kalau kelak meninggal dunia, minta jasadnya dimakamkan di puncak gunung Betet, Sutojayan, Lodoyo. Yah, sejuk sekali udara di areal makam Mbah Kyai Raden kertojaman, sampai-sampai saya hampir tertidur. Ternyata Mbah Jawoko dan Mas Rozikin juga demikian.

Sesampai di makam tersebut, Mbah Jawoko langsung mengeluarkan dua bungkus bunga boreh untuk nyekar dan tiga batang dupa Kawi untuk dibakar. Sementara itu, saya kirim hadiah fatikah, wirid (istighfar, shalawat, dan tahlil) yang pahalanya saya kirimkan khususnya buat Mbah Kyai Raden Kertojaman. Lha, Mas Rozikin setelah usai ritual lalu memotret saya dan Mbah Jawoko yang masih khusuk berzikir. Dan setelah semua selesai ritual, kami bertiga asyik diskusi, ngobrol ngalor-ngidul mengkisahkan para tokoh ulama yang mbabat desa sana dan sini.

Usai dari makam Mbah Kyai Raden Kertojaman, kami bertiga lalu menuju makam Syaikh Abu Naim Fathullah (Kyai Raden Setro Menggolo atau Mbah Putih). Ditempat tersebut, saya berfoto di depan patung “Singa” atau “Macan” yang merupakan simbol Lodoyo sejak jaman Majapahit. Patung tersebut bukan untuk disembah seperti prasangka mereka yang tak mau belajar sejarah. Akan tetapi, patung Singa atau Macan tersebut merupakan simbol sebuah daerah. Contohnya, di Surabaya ada patung ikan “Suro” dan “Boyo”, itu untuk simbol saja kang. Ngertiyo!!. Ojo gur fanatik saja kamu. Hehehe. Di dusun Gajah, desa Papungan, Kanigoro, Blitar, juga ada patung Gajah yang besar hanya sebagai simbol saja kang. Bukan untuk disembah. Ngono loo. Blajar sejarah lah. Hehehe.

Selanjutnya, setelah ritual nyekar dengan bunga boreh dan tiga batang dupa Kawi, serta bacaan kalimah toyyibah (istighfar, shalawat, dan tahlil) kami bertiga segera menuju ke areal “Makam Sentono” Lodoyo Blitar. Ada beberapa makam yang dituju di tempat itu, di antaranya: Kyai Raden Imam Sampurno (Pangeran Prabu), Mbah Boinem (wali perempuan), Mbah Kasan Besari (Mbah Bontar), Ki Ronggo Lodoyo, Mbah Sroyo, Mbah Kyai Mahfudz Ali (Abdullah Mas’ud atau Abdul Manaf), Mbah Kyai Sutojoyo (pendiri Sutojayan), dan makam-makam lainnya.

Mungkin hanya ini dulu catatan harian saya kali ini. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan berkah kepada kami bertiga. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Esa selalu mengabulkan doa-doa kebaikan yang kami pancarkan. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Pengampun mengampuni segala dosa-dosa para tokoh yang kami ziarahi. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Pemurah menempatkan para tokoh yang kami ziarahi di tempat yang penuh kebahagiaan. Mudah-mudahan Allah Yang Maha Pemberi Kemudahan memudahkan segala urusan kami di kehidupan kini dan mendatang. Amin, amin, amin, Ya Rabbal Alamin.

“If you can dream it you can do it”
(Jika kamu dapat bermimpi, kamu dapat melakukannya)

“Sluman, slumun, slamet. Selameto lek ngemongi jiwo rogo”
(Semoga dalam situasi dan kondisi apapun mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan. Yakni, selamat dalam mengasuh jiwa dan raga masing-masing)
 
Mbah Jawoko dan saya nyekar di makam Kyai Raden Kertojaman, Puncak Gunung Betet Lodoyo
 
Jalan menuju puncak Gunung Betet di makam Kyai Raden Kertojaman (Saya dan Mas Rozikin)
Jalan menuju puncak gunung Betet di makam Kyai Raden Kertojaman (Saya dan Mbah Jawoko)
Jalan menuju puncak Gunung Betet di makam Kyai Raden Kertojaman (Saya dan Mas Rozikin)
 
Jalan menuju puncak gunung Betet makam Kyai Raden Kertojaman (Saya dan Mbah Jawoko)
Jalan menuju puncak Gunung Betet di makam Mbah Kyai Raden Kertojaman (Saya dan Mbah Jawoko yang memamerkan dupa Kawi)
 
Jalan menuju puncak gunung Betet di makam Mbah Kyai Raden Kertojaman (Saya dan Mas Rozikin)
 
Jalan menuju puncak gunung Betet di makam Mbah Kyai Raden Kertojaman
Berzikir dengan aroma kembang Boreh dan dupa Kawi yang dibakar Mbah Jawoko
 
Berzikir dengan aroma kembang Boreh dan dupo Kawi yang dibakar Mbah Jawoko
 
Berfoto bersama patung "Singa" atau "Macan" simbol daerah Lodoyo di depan makam Syaikh Abu Naim Fathullah (Raden Setro Manggolo)
 
Saya dan Mbah Jawoko di depan makam Syaikh Abu Naim Fathullah (Raden Serto Menggolo) Lodoyo
 
Nyekar di makam Syaikh Abu Naim Fathullah (Raden Setro Menggolo atau Mbah Putih) Lodoyo
 
Nyekar di makam Syaikh Abu Naim Fathullah (Raden Setro Manggolo) Lodoyo




Tentang Penulis

Arif Muzayin Shofwan, seorang pria yang berbau kuburan, kijing, maesan, kembang boreh, kembang kanthil, kembang kenongo dan segala macam bau-bauan ini beralamatkan di Jl. Masjid Baitul Makmur Sekardangan RT. 03 RW. 09 Papungan, Kanigoro, Blitar, Jawa Timur. Pria yang yang sering dipanggil oleh Kyai Muhammad AP dengan sebutan “Ki Gadhung Melathi” atau “Mbah Pasarean” (karena seringnya berkunjung ke pesarean-pesarean untuk mengkaji sejarah tokoh yang dimakamkan) tersebut dapat dihubungi di nomor HP. 085649706399.