Arif Muzayin Shofwan
Abstrak
Hingga saat ini pendidikan
agama Islam khususnya, baik di madrasah dan sekolah cenderung diajarkan sekedar
untuk memperkuat keimanan dalam beragama tanpa dibarengi dengan kesadaran
berdialog dengan komunitas, madzhab atau agama-agama lain. Hal ini menyebabkan
pendidikan agama hanya menciptakan sikap eksklusif dan tidak toleran. Padahal
seharusnya pendidikan agama perlu membangun nilai-nilai yang menciptakan
peserta didik menjadi lebih bersikap inklusif, multicultural dan aktif dalam
social kemasyarakatan yang penuh keberagaman. Pendidikan agama yang semacam ini
perlu diintegrasikan dengan sebuah pendidikan yang dinamakan pendidikan multicultural.
Walau pendidikan agama Islam di madrasah dan sekolah sudah mencantumkan
nilai-nilai tersebut diatas dalam kurikulumnya. Namun pencantuman ini terasa
belum cukup untuk menjadikan peserta didik bersikap inklusif dan toleran. Hal
ini terbukti dengan masih banyaknya lulusan baik dari sekolah maupun madrasah
yang masih mengedepankan sikap tidak toleran, dan eksklusif dalam beragama.
Kasus pertikaian di Sampang, Madura antara Sunni dan Syiah merupakan bukti
tersebut. Sebab jika diamati merekapun juga pernah merasakan pendidikan di
sekolah maupun madrasah yang mengajarkan nilai-nilai toleransi dalam hidup
social bermasyarakat. Sehingga timbul sebuah pertanyaan, apa yang salah dengan
pendidikan agama Islam. Jawaban sementara adalah dengan pengintegrasian
sebagaimana tersebut diatas, pendidikan agama Islam akan mampu membangun
peradaban yang lebih substantive, kontekstual, positif dan lebih aktif social
di masyarakat yang multikultural dalam segi apapun.
Kata Kunci:
Pendidikan Agama Islam,
Pendidikan Multikultural, Inklusif, Toleran
Latar Belakang Masalah
Pendidikan agama
Islam yang diajarkan di madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah dirasa belum
berhasil seratus persen dalam mendidik anak didiknya bersikap secara toleran
terhadap komunitas lain diluar dirinya. Hal ini terbukti masih banyak
lulusan-lulusan madrasah maupun sekolah yang tentu sudah pernah diajarkan
pendidikan agama Islam, namun tetap terlibat dalam konflik-konflik dalam
beragama. Persoalan agama Islam beberapa tahun terakhir ini seperti kasus di
Sampang, Madura (antara Sunni dan Syiah), pengrusakan-pengrusakan warung-warung
kecil yang dilakukan ormas Islam tertentu saat bulan Ramadhan merupakan sesuatu
yang harus dipecahkan bersama dalam dunia pendidikan Islam.
Pertanyaannya
adalah apakah mereka yang melakukan hal
tersebut di madrasah atau sekolah tidak pernah diajarkan tentang nilai-nilai
hidup damai, saling menghargai, saling menghormati keragaman. Tentu jawabannya pasti
sudah pernah diajarkan hal-hal tersebut diatas. Sebab nilai-nilai tersebut
sudah banyak tercecer cukup banyak didalam kurikulum pendidikan agama Islam
yang ada di Indonesia. Lalu pertanyaannya lagi, lalu bagaimana untuk mengatasi
hal tersebut. Tentu jawabannya sangat beragam menurut disiplin ilmu
masing-masing. Jawaban ahli ekonomi tentu berbeda dengan ahli social. Jawaban
ahli manajemen tentu berbeda dengan ahli agraria. Begitu juga, jawaban ahli
pendidikan agama Islam berbeda pula dengan jawaban yang lainnya.
Namun dari
keberagaman jawaban tersebut, setidaknya penulis mempunyai jawaban sementara (hipotesis)
dalam hal tersebut. Jawaban sementara itu adalah perlunya integrasi
antara pendidikan agama Islam dan pendidikan multicultural.
Walau jawaban ini belum tentu benar dan belum tentu juga salah, tetapi jawaban
sementara ini penulis rasa sesuai dengan kondisi Indonesia yang penuh keragaman
suku, budaya, agama dan lainnya. Menurut penulis pula, integrasi ini harus
segera dirumuskan, sebab dunia pendidikan agama Islam di Indonesia masih
mengalami kesenjangan antara harapan dan realita.
Sebagaimana diungkapkan Muzayyin Arifin[1] yang
menyatakan bahwa kebutuhan pendidikan biasanya diukur dari adanya kesenjangan das
sein dan das sollen dari
hasil yang dicapai dengan hasil yang seharusnya dicapai.
Tujuan
dan Kegunaan Penelitian
Dari berbagai paparan tersebut diatas, dapat dirumuskan bahwa tujuan
penelitian ini untuk mengetahui “integrasi antara pendidikan agama Islam dan
pendidikan multicultural”. Sedangkan kegunaan penelitian ini bagi guru pendidikan
agama Islam adalah untuk melihat kesenjangan pendidikan agama Islam yang selama
ini diajarkan di madrasah atau sekolah. Kesenjangan itu dalam tataran das
sollen-nya (harapan) pada kurikulum pendidikan agama Islam di
Indonesia telah diajarkan berbagai nilai-nilai toleransi dalam keragaman dengan
harapan peserta didik bisa bersikap toleran pada komunitas lain. Tetapi dalam
tataran das sein-nya (realita) masih banyak peserta didik yang
lulus dari madrasah atau sekolah ternyata masih melakukan tindakan tidak
toleran. Sehingga dengan melihat kesenjangan tersebut, guru pendidikan agama
Islam bisa berkemas diri untuk menerima integrasi pendidikan agama Islam dan
pendidikan multicultural yang sampai saat ini masih menjadi hal penting yang perlu
segera dirumuskan.
Penelitian
Terdahulu
Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan penelitian terdahulu mengenai
pendidikan agama Islam berkaitan dengan pendidikan multicultural yang dilakukan
oleh Erlan Muliadi seorang guru di Madrasah Aliyah Nurul Yaqin Praya Lombok
Tengah. Penelitian itu berjudul “Urgensi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Multikultural di Sekolah” [2]yang
diterbitkan dalam Jurnal Pendidikan Islam (JPI) Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijogo. Penelitian tersebut menghasilkan
sebuah kesimpulan bahwa pendidikan multicultural kian mendesak untuk
dilaksanakan di sekolah. Dengan pendidikan multicultural, sekolah menjadi lahan
untuk menghapus prasangka dan sekaligus untuk melatih serta membangun karakter
siswa agar mampu bersikap demokratis, humanis dan pluralis. Menurut simpulan
Muliadi, ada dua hal yang perlu dilakukan dalam pembangunan multicultural di
sekolah, yaitu; Pertama, melakukan dialog dengan menempatkan setiap
peradaban dan kebudayaan yang ada pada posisi sejajar. Kedua,
mengembangkan toleransi untuk memberikan kesempatan masing-masing kebudayaan
saling memahami. Toleransi tersebut tidak hanya pada tataran konseptual,
melainkan juga pada teknik operasionalnya.
Metodologi
Penelitian
Adapun metodologi penelitian ini menggunakan beberapa metode yaitu; Metode Deduksi, metode deduksi adalah cara berfikir yang
berangkat dari hal-hal yang umum menuju kesimpulan khusus. Dengan deduksi ini
kita berangkat dari pengetahuan yang sifatnya umum, dengan bertitik pada
pengetahuan yang umum itu hendak memulai suatu keadaan yang khusus.[3] Metode
Induksi, berfikir
Induksi adalah berfikir yang berangkat dari fakta-fakta atau
peristiwa-peristiwa yang khusus menuju kesimpulan umum. [4] Metode Komparasi, metode komparasi adalah suatu metode yang dapat digunakan
untuk menemukan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan terhadap suatu yang
dijadikan obyek penelitian/pembahasan.[5]
Pembahasan
Makna
Pendidikan Islam dan Pendidikan Multikultural
Seorang
guru besar IAIN Sunan Gunung Jati, Ahmad Tafsir menyatakan bahwa pendidikan
Islam adalah bimbingan terhadap seseorang agar berkembang secara maksimal
sesuai dengan ajaran Islam.[6] Abdurrahman al-
Nahlawy menyimpulkan bahwa pendidikan Islam terdiri dari empat unsur, yaitu; Pertama,
menjaga dan memelihara dan memelihara fitrah anak menjelang baligh; Kedua,
mengembangkan seluruh potensi; Ketiga, mengarahkan seluruh fitrah dan
potensi menuju kesempurnaan; Keempat, dilaksanakan secara bertahap.[7]
Pengertian pendidikan Islam
menurut Zarkowi Soejoeti yang dikutip Ngainun Naim dan Achmad Sauqi terperinci
sebagai berikut; Pertama, jenis pendidikan yang pendirian dan
penyelenggaraannya didorong oleh hasrat dan semangat cita-cita untuk
mengejawantahkan nilai-nilai Islam, baik yang tercermin dalam lembaganya maupun
dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakannya. Kedua, jenis pendidikan
yang memberikan perhatian dan sekaligus menjadikan ajaran Islam sebagai
pengetahuan untuk program studi yang diselenggarakannya. Di sini, kata Islam
ditempatkan sebagai bidang studi, sebagai ilmu dan diperlakukan seperti ilmu
yang lain. Ketiga, jenis pendidikan yang mencakup kedua pengertian di
atas. Dalam hal ini, kata Islam ditempatkan dalam sumber nilai dan sebagai
bidang studi yang ditawarkan melalui program studi yang diselenggarakannya.[8]
Sedangkan pendidikan
multicultural dapat dibahas bahwa, kata
“multicultural” menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia berasal dari dua
akar kata yaitu “multi” berarti lebih dari satu, banyak, berlipat ganda [9], dan “kultur” berarti
kebudayaan, cara pembudidayaan, cara pemeliharaan [10]. Dalam M. Ainul Yaqin,[11] ada banyak ilmuwan dunia yang
memberikan definisi kultur. Mereka antara lain: Elizabet B. Taylor (1832-1917)
dan L.H. Morgan yang mengartikan kultur sebagai sebuah budaya yang universal
bagi manusia dalam berbagai macam tingkatan yang dianut oleh seluruh anggota
masyarakat. Emile Durkheim (1858-1917) dan Marcel Maus (1872-1950) menjelaskan
bahwa kultur adalah sekelompok masyarakat yang menganut sekumpulan simbol-simbol
yang mengikat di dalam sebuah masyarakat yang diterapkan. Franz Boas
(1858-1942) dan A.L. Kroeber (1876-1960) mendifinisikan bahwa kultur adalah
hasil hasil dari sebuah sejarah-sejarah khusus untuk umat manusia yang
melewatinya secara bersama-sama di dalam kelompoknya. A.R. Radcliffe Brown
(1881-1955) dan Bronislaw Malinowski (1884-1942) menggambarkan kultur sebagai
sebuah praktik social yang memberi support terhadap struktur social untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan individunya dan lain-lainnya.
Dari pengertian
multikultural di atas, maka para ahli pun beragam pula dalam mendefinisikan
tentang “Pendidikan Multikultural”. Keberagaman difinisi itu
diantaranya, Choirul Mahfud, mengutip pendapat para pakar, yaitu: Anderson dan Chusher (1994) yang menyatakan bahwa pendidikan
multicultural dapat diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan.
James Bank (1993) mendifinisikan pendidikan multicultural sebagai pendidikan
untuk people for color. Artinya, pendidikan multicultural ingin
mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah tuhan/sunatullah).
Kemudian bagaimana kita mampu mensikapi perbedaan tersebut dengan penuh toleran
dan semangat egaliter. Sejalan dengan pemikiran di atas, Muhaemin el- Ma’hady
berpendapat bahwa secara sederhana pendidikan multicultural dapat didefinisikan
sebagai pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan
demografis dan cultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara
keseluruhan (global). Hilda Hernandez mengartikan pendidikan
multicultural sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, social, dan
ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuanmanusia yang
kompleks dan beragam secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras,
seksualitas, dan gender, etnisitas, agama, status social, ekonomi, dan
pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan.[12]
Akar Sejarah dan Fokus Pendidikan Multikultural
Akar pendidikan
multikultural, berasal dari perhatian seorang pakar pendidikan Amerika Serikat
Prudence Crandall (18-3-1890) yang secara intensif menyebarkan pandangan
tentang arti penting latar belakang peserta didik, baik ditinjau dari aspek
budaya, etnis, dan agamanya. Pendidikan yang memperhatikan secara
sungguh-sungguh latar belakang peserta didik merupakan cikal bakal bagi
munculnya pendidikan multikultural.[13]
Sedangkan di Indonesia,
menurut Choirul Mahfud sejak jatuhnya Presiden Soeharto dari kekuasaannya yang
kemudian diikuti dengan masa yang disebut sebagai “era reformasi”, kebudayaan
Indonesia cenderung mengalami disintegrasi.[14]
Masih menurut Mahfud, dalam sebagian pendapat, terdapat ruang wacana tentang
multikulturalisme dan pendidikan multicultural sebagai sarana membangun
toleransi atas keragaman. Wacana ini mulai ramai dibicarakan dikalangan
akademisi, praktisi budaya dan aktifis di awal tahun 2000 di Indonesia.[15]
Dengan demikian, wacana pendidikan multicultural di Indonesia merupakan hal
baru yang harus terus-menerus digali substansinya.
Mengenai fokus pendidikan
multikultural, Tilaar mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan
multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial,
agama dan kultural domain atau mainstream. Fokus seperti ini pernah menjadi
tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan
toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap
budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang dari
kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan
multikultural sebenarnya merupakan sikap “peduli” dan mau mengerti (difference),
atau “politics of recognition” politik pengakuan terhadap orang-orang
dari kelompok minoritas.[16]
Adapun
focus pendidikan multicultural
merupakan pendidikan yang bertujuan menghargai segala keragaman, menciptakan
perdamaian, melindungi hak-hak asasi manusia dan mengembangkan demokrasi. Untuk
itu ada beberapa pembelajaran yang harus di fokuskan guru agama pada peserta
didik sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Ihat Hatimah, dkk[17] berikut:
Pembelajaran
Perdamaian[18]. Javier
Perez (Tilaar: 2000) mengungkapkan bahwa perdamaian harus dimulai dari diri
kita masing-masing. Melalui pemikiran yang tenang dan sungguh-sungguh tentang
maknanya, maka cara-cara baru dan kreatif dapat ditemukan untuk mengembangkan
pengertian, persahabatan dan kerja sama antara semua manusia. Suatu kebudayaan
perdamaian di perlukan untuk kehidupan bersama yang bermakna. Di dalam
kehidupan yang beragam dalam tata cara pribadi, social dan budaya tentang
keberadaan dan kehidupan, maka pemikiran nilai-nilai manusia yang penting dapat
mengatasi perbedaan-perbedaan untuk menjamin perdamaian dan solidaritas.
Strategi
yang dapat digunakan dalam pembelajaran perdamaian di dalam kelas adalah “strategi
introspeksi” dan “interaksi yang positif”. Strategi introspektif
yaitu cara untuk menumbuhkan kesadaran bagi peserta didik untuk berani
mengoreksi dirinya sendiri tentang kegiatan/perbuatan yang sudah dilakukan.
Melalui introspeksi, peserta didik diharapkan berani untuk menilai dirinya
sendiri sehingga dapat memilih kegiatan-kegiatan apa saja yang dapat
menumbuhkan perdamaian diantara peserta didik dan kegiatan apa saja yang
menimbulkan konflik di antara peserta didik. Interaksi social yang
positif yaitu cara untuk menumbuhkan hubungan yang harmonis di antara
peserta didik, dan antara peserta didik dengan lingkungan lainnya. Dengan
terciptanya interaksi social yang harmonis, diharapkan dapat menumbuhkan saling
menghargai, saling toleran di antara peserta didik, sekalipun di antara mereka
mempunyai keanekaragaman budaya.
Pembelajaran
Hak Asasi Manusia[19]. Semua
hak manusia adalah universal, tak terbagi, interdependen dan saling terkait.
Pendidikan adalah alat yang paling efektif untuk pengembangan nilai-nilai yang
berhubungan dengan hak-hak asasi manusia. Pendidikan hak-hak asasi manusia
haruslah mengembangkan kemampuan untuk menilai kebebasan pemikiran,
kata hati dan keyakinan, kemampuan untuk menilai kesamaan, keadilan dan cinta,
dan suatu kemauan untuk mengasuh dan melindungi hak-hak anak, kaum wanita, kaum
pekerja, minoritas etnik, kelompok-kelompok yang tidak beruntung.
Di
dalam mengembangkan pengertian dan mewujudkan nilai-nilai terkait hak-hak asasi
manusia adalah membelajarkan peserta didik tentang apa hak-hak dan kebebasan
yang dimiliki bersama sehingga hak-hak itu dihormati dan kemauan untuk
melindungi hak-hak orang lain dipromosikan. Kegiatan dalam pembelajaran harus
difokuskan pada nilai-nilai untuk melestarikan kehidupan dan memelihara
martabat manusia. Setiap peserta didik harus diberi kesempatan yang memadai untuk
menilai perwujudan dari nilai-nilai inti yang terkait dengan hak-hak asasi
manusia di dalam kehidupannya.
Pembelajaran
Demokrasi[20]. Pembelajaran
untuk demokrasi pada hakekatnya adalah untuk mengembangkan eksistensi manusia
dengan jalan mengilhaminya dalam pengertian martabat dan persamaan, saling
mempercayai, toleransi, penghargaan pada kepercayaan dan kebudayaan orang lain,
penghormatan pada individu, peran serta aktif dalam semua aspek kehidupan
social, kebebasan berekspresi, kepercayaan dan beribadat. Apabila hal-hal
tersebut sudah ada, maka dapat digunakan untuk mengembangkan pengambilan
keputusan yang efektif, demokratis pada semua tingkatan yang akan mengarah pada
kewajaran, keadilan dan perdamaian.
Untuk
menciptakan demokrasi, dapat digunakan berbagai strategi, yaitu: [1]. Etos
demokrasi harus berlaku di tempat pembelajaran, baik di sekolah maupun di luar
sekolah. [2]. Pembelajaran untuk demokrasi berlangsung secara berlanjut, secara
tepat harus diperkenalkan di semua jenjang dan bentuk pendidikan melalui
pendekatan terpadu. [3]. Penafsiran demokrasi harus sesuai dengan berbagai
konteks sosio budaya, ekonomis, dan evolusinya.
Nilai-Nilai Pendidikan Multikultural dalam
Islam
Istilah “Nilai” dalam Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia dapat diartikan: “sifat-sifat yang penting bagi kemanusiaan”. [21] Sehingga, yang dimaksud nilai
disini adalah sifat-sifat yang penting bagi kemanusiaan dalam Islam yang perlu dikembangkan
pada peserta didik guna mencapai derajat manusia berbudaya dan masyarakat
beradab sesuai tujuan pendidikan multikultural yang dimaksud. Nilai-nilai
pendidikan multicultural dalam Islam diantaranya:
Pertama,
Islam mengajarkan nilai kebersamaan, saling
mengenal (ta’aruf) dalam perbedaan suku, bangsa, bahasa, warna kulit dan
jenis kelamin pada peserta didiknya, serta mengakui persamaan derajat,
persamaan hak dan kewajiban antar sesama manusia. Hal ini tercermin dalam
firman Allah swt : “Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antar kamu dis sisi Allah ialah orang
yang paling bertaqwa diantara kamu”[22] Ayat lain menyatakan: “Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan
berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang yang mengetahui”[23]
Kedua, Islam mengajarkan untuk bersikap
lemah lembut kepada orang lain yang berlainan agama, berlainan bangsa,
berlainan suku dan lain-lainnya. Serta memaafkan mereka ketika bersalah,
memohonkan ampunan bagi mereka, dan bermusyawarah dengan mereka demi tegaknya
kehidupan demokrasi. Ayat itu berbunyi: “Maka
disebabkan rahmat Allah, kamu berlaku lemah lembut kepada mereka. Sekiranya
kamu bersikap keras, tentu mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan
mereka dalam urusan itu”.[24]
Ketiga, Islam mengajarkan bahwa semua
manusia adalah makhluk yang mempunyai “kesatuan social”, yang dalam ayat al-Qur’an
disebutkan : “Sesungguhnya umat ini
adalah umatmu, umat yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku”[25] . Dalam ayat lain: “Sesungguhnya seluruh manusia adalah umat
yang satu”[26] . Sebagai makhluk yang
mempunyai kesatuan social, maka diharapkan selalu bekerjasama social, melakukan
kegiatan-kegiatan kemanusiaan, saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa,
serta tidak saling tolong menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran.
Dijelaskan dalam firman Allah swt: “Dan
tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan jangan
tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran, dan bertaqwalah kamu
sekalian kepada Allah”[27]
Keempat, Islam mengajarkan sikap
toleransi dan kebebasan berfikir, tidak ada pemaksaan terhadap memilih salah
satu agama. Firman Allah swt: “Tidak ada
paksaan untuk memasuki agama. Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar
daripada jalan yang salah”.[28] Begitu juga dalam firman Allah
swt disebutkan: “Bagimu agamamu, dan
bagiku agamaku”[29]. Dalam ayat lain: “Apakah kamu hendak memaksa manusia supaya
mereka menjadi orang-orang yang beriman semua?”[30]
Kelima, Islam mengajarkan agar umat
manusia saling menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dan penganut
kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa, sehingga terbina kerukunan dan
perdamaian yang hakiki. Islam tidak
membenarkan adanya perselisihan apalagi pertengkaran antara pemeluk agama yang
berbeda. Penegasan ini terdapat dalam firman Allah swt: “Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami, amal-amal kami dan
bagi kamu, amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran kami dan kamu. Allah
mengumpulkan antara kita dan kepada-Nya lah (kita) kembali”[31]
Keenam, Islam mengajarkan untuk bergerak maju (progresif), serta
memberantas kebekuan/kejumudan (statis)
dan selalu mengembangkan sikap kelenturan
(dinamis). Mengenai hal ini, Allah swt telah berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum sehingga mereka
mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”[32]. Tentang pemberantasan sikap
kebekuan (statis) tercermin dalam firman Allah swt yang berbunyi: “Apakah dikatakan kepada mereka, marilah
mengikuti kepada apa yang diturunkan Allah kepada Rasul. Mereka menjawab,
cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengajarkannya.
Apakah mereka mengikuti nenek moyang mereka, walau nenek moyang mereka itu
tidak mengetahui apa-apa dan tidak pula mendapat petunjuk”[33]
Ketujuh,
Islam mengajarkan persaudaraan anggota masyarakat yang beriman dengan segala
keragaman. Baik persaudaraan internal umat beragama, maupun eksternal umat
beragama. Tentang persaudaraan ini tercermin dalam firman Allah swt: “Sesungguhnya orang-orang beriman itu
bersaudara” [34]. Ayat lain menyatakan: “… Sebagian kamu adalah keturunan dari
sebagian yang lain…”[35]. Begitu juga dalam sabda Nabi
Muhammad saw: “…Orang Islam adalah
saudara orang Islam yang lain”[36] dan hadist yang berbunyi: “…Jadilah kamu hamba Allah yang bersaudara”
[37]
Kedelapan, Islam mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan, tidak memperbolehkan
berbuat aniaya, semena-mena, menindas
dan bersikap diskriminatif terhadap manusia, agama, suku, bangsa atau kaum
lainnya. Hal ini ditegaskan dala firman Allah swt: “…Kamu (tidak) boleh menganiaya, dan tidak pula dianiaya” [38]. Tidak pula membolehkan
menghina dan memandang rendah suatu kaum yang tidak berkeyakinan seperti kita,
yang dijelaskan dalam firman-Nya: “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah satu kaum menghina kaum yang lain (karena)
boleh jadi, mereka (yang dihina) lebih baik daripada mereka (yang menghina) dan
janganlah pula wanita-wanita (menghina) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi
wanita-wanita (yang dihina) lebih baik daripada wanita-wanita (yang menghina)”
[39]
Kesembilan,
Islam mengajarkan sikap mengedepankan musyawarah dalam mengambil sebuah
keputusan untuk kepentingan bersama, berbangsa, bernegara atau urusan duniawi
lainnya. Sehingga dengan demikian, akan timbul sikap inklusif (terbuka) yang menjadi bagian dari cita-cita pendidikan
multicultural di masyarakat yang plural. Hal ini dipertegas dalam firman Allah
swt: “…. Dan urusan mereka (diputuskan)
dengan musyawarah antara mereka (sebelum melaksanakan kehendak)” [40]. Dalam ayat lain disebutkan: “… dan bermusyawarahlah dalam urusan itu
(duniawi)”.[41]. Dengan mengedepankan
musyawarah, peserta didik akan belajar bersikap terbuka (inklusif) dalam
segala bentuk keragaman yang ada.
Kesepuluh,
Islam mengajarkan apabila ada persoalan agama dengan agama lain, atau
semacamnya, agar berdebat dengan cara
yang baik (mujadalah bil ahsan). Islam tidak memperkenankan perdebatan
dengan cara yang ekstrim, curang atau yang semacamnya, sehingga dapat
mengakibatkan renggangnya keberagaman antar sesama. Hal ini tercermin dalam
firman Allah swt: “Dan janganlah berdebat
dengan ahli kitab melainkan dengan cara yang paling baik” [42]. Dalam ayat lain disebutkan: “…. Dan debatlah mereka dengan cara yang
paling baik… ”[43].
Kesebelas,
Islam mengajarkan untuk berlomba-lomba
dalam kebaikan (fastabiqul khairat) baik internal umat beragama, atau
eksternal umat beragama. Islam tidak mengajarkan sikap ekstrim, jika suatu
misal pada perlombaan di era global tersebut kalah dalam hal teknologi dengan
umat lain. Kesadaran rendah hati dan selalu belajar dari internal, maupun
eksternal umat beragama harus ditanamkan, agar dalam perlombaan di era global
ini meraih kemenangan secara wajar. Dasar perlombaan ini disebutkan dalam
firman Allah swt: “Bagi tiap-tiap umat
ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah
kalian (dalam membuat) kebaikan. Dimana saja kamu berada pasti Allah akan
mengumpulkan kalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu”[44]
Kedua belas, Islam mengajarkan agar selalu
selalu menciptakan perbaikan-perbaikan pada negerinya (nilai-nilai luhur
sebuah bangsa). Perbaikan itu bisa dilakukan dengan jalan menggalang
perdamaian lintas agama, suku, etnis dan budaya. Sebab binasanya sebuah negeri
merupakan tanggung jawab penduduk negeri itu sendiri dalam berbuat kebaikan
dalam negeri tersebut. Firman Allah swt: “Dan
Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang
penduduk-penduduknya berbuat kebaikan”[45]
Ketiga belas, Islam mengajarkan manusia untuk menjadi
penegak keadilan. Menegakkan keadilan (kebenaran) terhadap dirinya sendiri maupun orang lain, mulai dari sanak
kerabat hingga orang lain yang berbeda suku, bangsa, agama, budaya, dan lainnya
tanpa pandang bulu. Firman Allah swt: ”Wahai
orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan (kebenaran)...”[46]
Sebenarnya nilai-nilai selain
diatas masih sangat banyak sekali dan tidak terbatas. Namun ketiga belas
nilai-nilai dari al-Qur’an diatas kiranya sudah mewakili bahwa Islam
mengajarkan sikap toleran, bersikap inklusif terhadap komunitas sesama Islam
sendiri maupun selain Islam. Artinya, sikap-sikap dalam multicultural adalah
sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari oleh semua manusia yang ada di
bumi ini, tak terkecuali bagi umat Islam sendiri. Keberagaman adalah sebuah
keniscayaan Sunnah Allah yang seharusnya bisa disikapi dengan arif
bijaksana.
Integrasi
Pendidikan Islam & Multikultural
Pendidikan Islam tidak mengenal adanya pemisahan pendidikan Islam dengan
pendidikan-pendidikan lain. Dalam konsep Islam, Allah adalah pencipta langit
bumi dan segala isinya untuk dikelola dan dipelihara hamba-Nya dengan
sebaik-baiknya dan penuh tanggung jawab. Ramayulis menyatakan bahwa hukum-hukum
mengenai alam fisik dinamakan sunnah Allah. Sedangkan pedoman hidup dan
hukum-hukum untuk manusia telah ditentukan pula dalam ajaran agama yang
dinamakan din Allah, yang mencakup akidah dan syariah.[47] Dengan
demikian, integrasi pendidikan Islam yang merupakan din Allah dengan
pendidikan multicultural yang merupakan sunnah Allah merupakan hal yang
patut diperhatikan.
Adapun
integrasi antara pendidikan Islam dan pendidikan multicultural di sekolah dan
madrasah bisa dicapai dengan jalan harus memperhatikan dasar kurikulum pendidikan
agama Islam sebagaimana yang dikemukakan Ramayulis[48] dengan mengutip Herman H. Horne ada 3 macam
yaitu:
1. Dasar
Psikologis, yang
digunakan untuk memenuhi dan mengetahui kemampuan yang diperoleh dari pelajar
dan kebutuhan anak didik (the ability and need of children)
2. Dasar
Sosiologis, yang
digunakan untuk mengetahui tuntutan yang sah dari masyarakat (the legitimate
demand of society).
3. Dasar
Filosofis, yang
digunakan untuk mengetahui keadaan alam semesta tempat kita hidup (the kind
of universe in which we live).
Begitu
pula dalam mengembangkan kurikulum integral antara pendidikan agama Islam dan
pendidikan multikultural di sekolah maupun madrasah, harus memperhatikan
prinsip-prinsip yang menjadi acuan kurikulum pendidikan Islam yang menurut al- Syaibany[49] adalah:
1. Berorientasi pada Islam,
termasuk ajaran-ajaran dan nilai-nilainya.[50] Maka setiap yang berkaitan dengan kurikulum,
termasuk falsafah, tujuan-tujuan, kandungan-kandungan, metode mengajar,
cara-cara perlakuan dan hubungan-hubungan yang berlaku dalam lembaga-lembaga
pendidikan yang berdasarkan pada agama dan akhlak Islam.
2. Prinsip menyeluruh (universal)
pada tujuan-tujuan dan kandungan-kandungan kurikulum.
3. Prinsip keseimbangan yang relative
antara tujuan-tujuan dan kandungan-kandungan kurikulum.
4. Prinsip interaksi antara
kebutuhan siswa dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
5. Prinsip pemeliharaan
perbedaan-perbedaan individual diantara peserta didik, baik perbedaan dari segi
bakat, minat, kemampuan, kebutuhan dan sebagainya.
6. Prinsip perkembangan dan
perubahan sesuai dengan tuntutan yang ada dengan tidak mengabaikan nilai-nilai
absolute.
7. Prinsip pertautan (integritas)
antara mata pelajaran, pengalaman-pengalaman dan aktifiti yang terkandung
didalam kurikulum, begitu pula dengan pertautan antara kandungan kurikulum
dengan kebutuhan murid juga kebutuhan masyarakat.
1. Prinsip
Relevansi: dalam
arti kesesuaian pendidikan dalam lingkungan hidup murid, relevansi dengan
kehidupan masa sekarang dan akan datang, relevansi dengan tuntutan pekerjaan.
2. Prinsip
Efektifitas: baik
efektifitas mengajar guru, ataupun efektifitas belajar murid.
3. Prinsip
Efisiensi: baik
dalam segi waktu, tenaga dan biaya.
4. Prinsip
Fleksibilitas:
artinya ada semacam ruang gerak yang memberikan sedikit kebebasan dalam
bertindak, baik yang berorientasi pada fleksibilitas pemilihan program
pendidikan maupun dalam mengembangkan program pengajaran.
Sedangkan
Muhammad Zuhaili menyatakan bahwa kurikulum yang digunakan harus serius dan
membangun, benar serta bertujuan untuk menyuntikkan kedalam akal para pemuda
(baca; anak didik) hal-hal yang bermanfaat dalam agama dan dunia mereka.
Karena kurikulum pendidikan haruslah berasal dari al-Qur’an dan Sunnah
Rasul, tradisi orang-orang terdahulu yang shalih, serta cendekiawan muslim
yang membawa cahaya terang selama berabad-abad.[52] Sehingga dari prinsip-prinsip di atas, menjadi
sesuatu yang harus segera di rumuskan mengenai integralitas pendidikan agama
Islam dan pendidikan multicultural.
Pengembangan Kurikulum
Pendidikan Islam & Multikultural
Dari dasar-dasar dan prinsip-prinsip tersebut, maka dalam
rangka membangun keberagaman yang inklusif, toleran di madrasah atau sekolah
ada beberapa materi pendiikan Islam yang hendak di integasikan dengan
pendidikan multicultural, yang menurut Erlan Muliadi antara lain:
Pertama, materi al-Qur’an, dalam
menentukan ayat-ayat pilihan, selain ayat-ayat tentang keimanan juga perlu
ditambah dengan ayat-ayat yang dapat memberikan pemahaman dan penanaman sikap
ketika berinteraksi dengan orang yang berlainan agama, sehingga sedini mungkin
sudah tertanam sikap toleran, inklusif pada peserta didik, yaitu: [1] Materi
yang berhubungan dengan pengakuan al-Qur’an akan adanya pluralitas dan berlomba
dalam kebaikan (Q.S. al-Baqarah [2]: 148). [2] Materi yang berhubungan dengan
pengakuan koeksistensi damai dalam hubungan antar umat beragama (Q.S. al-Mumtahanah
[60]: 8-9). [ 3] Materi yang berhubungan dengan keadilan dan persamaan (Q.S. an-Nisa
[4]: 135).
Kedua, materi fikih, bisa diperluas dengan kajian fikih siyasah (pemerintahan). Dari fikih
siyasah inilah terkandung konsep-konsep kebangsaan yang telah dicontohkan pada
zaman nabi, sahabat ataupun khalifah-khalifah sesudahnya. Pada zaman nabi
misalnya, bagaimana Nabi Muhammad mengelola dan memimpin masyarakat Madinah
yang multi-etnis, multi-kultur, dan multi-agama. Keadaan
masyarakat Madinah pada masa itu tidak jauh beda dengan masyarakat Indonesia, yang
juga multi-etnis, multi-kultur,
dan multi-agama.
Ketiga, materi akhlak yang memfokuskan kajiannya pada prilaku baik-buruk
terhadap Allah, Rasul, sesama manusia, diri sendiri, serta lingkungan, penting
artinya bagi peletakan dasar-dasar kebangsaan. Sebab, kelanggengan suatu bangsa
tergantung pada akhlak, bila suatu bangsa meremehkan akhlak, maka punahlah
bangsa itu. Dalam al-Qur’an telah diceritakan tentang kehancuran kaum Nabi Luth,
disebabkan runtuhnya sendi-sendi moral. Agar pendidikan agama bernuansa
multikultural ini bisa efektif, peran guru agama Islam memang sangat
menentukan. Selain selalu mengembangkan metode mengajar yang variatif, tidak
monoton. Dan yang lebih penting, guru agama Islam juga perlu memberi
keteladanan.
Keempat, materi Sejarah Kebudayaan
Islam, materi yang bersumber pada fakta dan realitas historis dapat dicontohkan
praktik praktik interaksi social yang diterapkan Nabi Muhammad ketika membangun
masyarakat Madinah. Dari sisi historis proses pembangunan Madinah yang
dilakukan Nabi Muhammad ditemukan fakta tentang pengakuan dan penghargaan atas
nilai pluralisme dan toleranasi.[53]
Selanjutnya, agar pemahaman
pluralisme dan toleransi dapat tertanam dengan baik pada peserta didik, maka
perlu ditambahkan uraian tentang proses pembangunan masyarakat Madinah dalam
materi “Keadaan Masyarakat Madinah Sesudah Hijrah”, dalam hal ini dapat
ditelusuri dari Piagam Madinah. Sebagai salah satu produk sejarah umat Islam,
Piagam Madinah merupakan bukti bahwa Nabi Muhammad berhasil memberlakukan
nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan, penegakan hukum, jaminan
kesejahteraan bagi semua warga serta perlindungan terhadap kelompok minoritas.[54]
Dari pengembangan materi
tersebut dapat terus dikembangkan menjadi sebuah kurikulum yang penulis beri
nama “MALANG” (Multikultural, Agamis, Leluasa, Aktif, Nasionalis, Gembira).
Pengembangan kurikulum MALANG tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Multikultural: agar peserta didik dapat menghargai bentuk keragaman dan tidak
tercerabut dari akar budayanya.
2.
Agamis: agar peserta didik tetap dalam ketentuan dan ajaran-ajaran agama
yang telah diyakini kebenarannya.
3.
Leluasa: agar peserta didik dapat leluasa mengeluarkan segala pendapatnya
dalam keberagaman yang ada.
4.
Aktif: agar peserta didik selalu aktif terlibat dalam social kemasyarakatan
dan bentuk-bentuk dialog, toleransi dalam masyarakat yang multi kultur dari
segi apapun.
5.
Nasionalis: agar peserta didik selalu mempunyai jiwa cinta tanah air dan
bangsa berdasarkan ungkapan; “cinta tanah air sebagian daripada iman” (hubbul
wathan minal iman)
6.
Gembira: agar dengan perpaduan keempat hal diatas, peserta didik selalu
gembira, menyenangkan tanpa diskriminasi dari pihak yang lain. Kegembiraan yang
setara dalam eksistensinya masing-masing keberagaman yang ada.
Dengan demikian, menuju
pendidikan yang “MALANG” (Multikultural, Agamis, Leluasa, Aktif,
Nasionalis, Gembira) akan menjadi tataran ideal bagi setiap manusia Indonesia yang mendambakan
persatuan dan kesatuan dalam “Bhinekka Tunggal Eka” yang adi luhung.
Kebhinekaan ini hendaknya dipegang erat oleh manusia Indonesia dengan
berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Berbhinekka yang berdasar
nilai-nilai keragaman dan kebersamaan yang sepenuhnya, utuh dan tidak parsial.
Kesimpulan & Saran
Kesimpulan:
Dari pembahasan diatas
dapat disimpulkan bahwa: [1]. jika dalam penelitian Erlan Muliadi berkesimpulan
bahwa pendidikan multicultural kian mendesak untuk dilaksanakan di sekolah,
maka kesimpulan penulis juga sependapat dengan Erlan Muliadi. Akan tetapi,
dalam penelitian penulis ini ada temuan baru bahwa “integrasi pendidikan agama
Islam dan pendidikan multicultural” perlu segera dirumuskan juga. Hal ini
mengingat akhir-akhir ini banyak sekali masyarakat yang memandang bahwa agama
Islam tidak toleran, statis, bersifat eksklusif dan tidak bisa bersanding
dengan selain Islam [2]. Dengan memperhatikan tiga belas nilai-nilai
multicultural dalam Islam seyogyanya kita harus yakin bahwa Islam adalah agama
yang “rahmatan lil alamin” (menjadi rahmat bagi semesta alam), dan bukan
menjadi agama yang selalu mendiskriminasi dan menindas yang lain. [3]. Dialog
dan toleransi antar komunitas agama hendaknya selalu terus dikembangkan guna
mencapai hidup yang damai, saling memahami, sejajar sehingga dapat bersama
membangun peradaban dunia dalam proses selanjutnya. [4]. Agar pendidikan
multicultural bisa berjalan secara maksimal, maka peran guru agama sangat
penting. Sebab agama dan guru agama selalu berkaitan dan tak dapat dipisahkan.
[5]. Dalam integrasi pendidikan agama Islam dan pendidikan multicultural, bisa
dikembangkan lewat pengembangan kurikulum yang disebut “MALANG” (Multikultural,
Agamis, Leluasa, Aktif, Nasionalis, Gembira). Menuju pendidikan yang “MALANG”
adalah dambaan setiap manusia yang mendambakan persatuan dan kesatuan serta
keutuhan bangsa, negara dan agama.
Saran:
Adapun saran-saran penulis adalah:
[1]. Integrasi pendidikan agama Islam dan pendidikan multicultural hendaknya
terus menerus difikirkan, digali secara cermat, khususnya bagi filosof-filosof
pendidikan agama Islam yang peduli dengan eksistensi Islam yang rahmatan
lil alamin (merahmati eksistensi yang lainnya tanpa pandang bulu)
[2]. Sebaiknya teori pengembangan kurikulum yang penulis beri nama “MALANG”
bisa diterapkan. Sebab kurikulum MALANG yang penulis kembangkan akan
bisa menyatukan keberagaman yang ada.
Daftar
Pustaka
Al-Syaibany, 1979. Falsafah
Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, (Jakarta: Cet.I, Bulan Bintang)
Al- Nahlawy,
Abdurrahman, 1989. Ushul at- Tarbiyah Islamiyah wa Ushuliha, (Beirut:
Darul Fikr)
Arifin,
Muzayyin, 2008. Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara)
Arwani, Sujud. 1993.
“Beberapa Pemikiran Tentang Penelitian Komparasi”, dalam Suharsimi Arikunto, Prosedur
Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta)
Daradjat, Zakiah, 1992. Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi
Angkasa)
Hadi,
Sutrisno. 1989. Metodologi Research Jilid 1, (Yogyakarta: Andi Offset)
Hatimah, Ihat, dkk,
2007. Pendidikan Berwawasan Kemasyarakatan, (Jakarta: Universitas
Terbuka)
Mahfud, Choirul, 2012. Pendidikan Multikultural,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
Muliadi, Erlan,
2012. Urgensi Pembelajaran
Pendidikan Agama Islam Multikultural di Sekolah, dalam Jurnal Pendidikan Islam Volume 1, Nomor
1, Jun 2012/1433 (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijogo)
Naim, Ngainun dan
Achmad Sauqi, 2008. Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi,
(Jogjakarta: Ar- Ruzz Media Group)
Nata, Abudin, 2009.
Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada)
Ramayulis,
2002. Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia)
Riwayadi, Susilo
dan Suci Nur Anisyah, 2009. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya:
Sinar Terang)
Tafsir, Ahmad,
1991. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja
Rosdakarda)
Tilaar, H.A.R,
2002. Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif
untuk Indonesia, (Jakarta: Grasindo)
Tim
Penterjemah Al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia, 1995. Al-Qur’an
dan Terjemahan, (Jakarta: Depag RI)
Yaqin, M. Ainul,
2005. Pendidikan Multikultural, Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi
dan Keadilan, (Yogyakarta: Pilar Media)
Zuhaili, Muhammad, 1999. Pentingnya Pendidikan Islam Sejak Dini,
terj. Arum Titisari, (Jakarta: A.H. Ba’adillah Press)
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA PERSONAL
Nama
Lengkap : ARIF MUZAYIN SHOFWAN
Tempat,
tangaal lahir : Blitar, 09 Juni 1978
Jenis
Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat
Rumah : Sekardangan RT.03
RW.09 Papungan, Kanigoro, Blitar, Jawa Timur
Telepon/HP
: 085649706399
RIWAYAT PENDIDIKAN
Formal:
1.
Pendidikan Pra Sekolah :
Taman Kanak Kanak Al- Hidayah Papungan 01, lulus tahun 1984
2.
Pendidikan Dasar : Madrasah Ibtidaiyah Miftahul Huda Papungan
01, lulus tahun 1990
3.
Pendidikan Menengah :
Madrasah Tsanawiyah Negeri Kunir, Wonodadi, Blitar, lulus tahun 1993
4.
Pendidikan Atas : Madrasah
Aliyah Negeri Tlogo, Kanigoro, Blitar, lulus tahun 1996
5.
Pendidikan Sarjana (S1) :
Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Al- Muslihuun Blitar, jurusan Pendidikan Agama
Islam (PAI), lulus tahun 2004
6.
Pendidikan Sarjana (S1) :
Universitas Terbuka dibawah binaan Universitas Negeri Malang, jurusan Pendidikan
Guru Sekolah Dasar (PGSD), lulus tahun 2009
7.
Pendidikan Pascasarjana
(S2) : Universitas Kanjuruhan Malang (UNIKAMA), jurusan Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial (PIPS), lulus tahun 2009
8.
Pendidikan Pascasarjana
Program Doktor PAI (S3): Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), masuk tahun
2013 s.d sekarang.
Nonformal:
1.
Pondok Pesantren Terpadu
Al-Kamal, Kunir, Wonodadi, Blitar, asuhan KH. Zen Masrur
2.
Pondok Pesantren Manba’ul
Hidayah, Tlogo, Kanigoro, Blitar, asuhan KH. M. Hafidz Syafi’i
3.
Pondok Pesantren Al-Fattah,
Mangunsari, Tulungagung, asuhan KH. Abdul Khabir Siroj al-Hafidz
4.
Pondok Pesantren Al-Falah,
Trenceng, Sumbergempol, Tulungagung, asuhan KH. M. Arsyad Bushoiri
RIWAYAT PENGABDIAN
- Guru SDN Gaprang 03, Kanigoro, Blitar, mulai tahun 2005 s.d 2009
- Ketua Dewan Kepesantrenan Hidayatullah Blitar, mulai tahun 2006 s.d 2010
- Ketua Divisi Multikultural The Post Institute Blitar, mulai tahun 2011 s.d sekarang
- Pengurus Lembaga Pendidikan Dakwah Masjid Agung (LPDMA) Blitar, mulai tahun 2011 s.d sekarang
- Associate Tim Inti Pusat Studi Agama dan Multikultural (PUSAM) Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang, mulai 10 Desember 2012 s.d sekarang
- Guru MI Miftahul Huda Papungan 01, Kanigoro, Blitar, mulai tahun 2001 s.d sekarang.
[2] Erlan
Muliadi, Urgensi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Multikultural di Sekolah, dalam Jurnal Pendidikan Islam Volume 1, Nomor 1, Jun
2012/1433 (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijogo, 2012), hal. 55
[5] Sujud Arwani, “Beberapa Pemikiran Tentang Penelitian
Komparasi”, dalam
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hal. 128
[6] Ahmad
Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarda,
1991), hal. 32
[7] Abdurrahman
al- Nahlawy, Ushul at- Tarbiyah Islamiyah wa Ushuliha, (Beirut: Darul
Fikr, 1989), hal. 32
[8] Ngainun
Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi,
(Jogjakarta: Ar- Ruzz Media Group, 2008), hal. 32-33
[9] Susilo
Riwayadi dan Suci Nur Anisyah, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia,
(Surabaya: Sinar Terang, 2009), hal. 487.
[11] M.
Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, Cross-Cultural Understanding untuk
Demokrasi dan Keadilan, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hal. 27-28. Lihat
pula dalam Ngainun Naim &
Achmad Sauqi, Pendidikan
Multikultural Konsep dan Aplikasi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hal.
121-122.
[13] Abudin
Nata, Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2009), hal. 21
[16] H.A.R,
Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif
untuk Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2002), hal. 59
[17] Lebih
jelas lihat, Ihat Hatimah, dkk, Pendidikan Berwawasan Kemasyarakatan,
(Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), hal. 7.19-7.22
[20] Lihat QS. asy-Syura: 38, QS. Ali Imran: 159. Lihat
pula dalam QS. al-Hujurat: 13 dan QS. ar-Rum: 22 diatas.
[21] Susilo
Riwayadi dan Suci Nur Anisyah, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya:
Sinar Terang, 2009), hal. 497
[24] QS. Ali Imran: 159
[30] QS. Yunus: 99
[35] QS. Ali Imran: 195
[36] HR. Bukhari Muslim
[40] QS. Asy-Syura: 38
[41] QS. Ali Imran: 159
[42] QS. Al-Ankabut: 46
[43] QS. An-Nahl: 125
[45] QS. Hud: 117
[49] Al-Syaibany,
Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, (Jakarta: Cet.I,
Bulan Bintang, 1979), hal. 485. Lihat pula dalam Ramayulis, Ilmu Pendidikan….,
hal. 132-133.
[50] Termasuk
nilai-nilai dalam Islam adalah menghargai keragaman (multikultur). Lihat QS. al-Hujurat: 13, QS. Ar-Rum: 22.
[52] Muhammad
Zuhaili, Pentingnya Pendidikan Islam Sejak Dini, terj. Arum Titisari,
(Jakarta: A.H. Ba’adillah Press, 1999), hal. 104.
[54] Darwis
Sadir, Piagam Madinah (Al-Qanun: Jurnal Pemikiran dan Pembaharuan Hukum
Islam, Volume 5, Nomor 1, Juni 2003), hal. 250-257. Lihat pula dalam Erlan
Muliadi, Urgensi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Multikultural ….., hal. 65