Oleh:
Arif Muzayin Shofwan
Ki
Kebo Kanigoro (Kiai Purwoto Siddiq Banyubiru) merupakan saudara dari Ki Kebo
Kenongo (Kiai Syihabuddin), Ki Kebo Amiluhur, Ki Kebo Sulastri dan merupakan putra
dari Ki Ageng Pengging Sepuh/ Prabu Sri Makurung Handayaningrat (+ Raden Ayu
Pambayun binti Prabu Brawijaya V). Ki Kebo Kanigoro (Kiai Purwoto Siddiq
Banyubiru) juga merupakan tokoh legendaris yang terkait dalam rentetan perpolitikan
empat kerajaan, yakni: Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram. Ada banyak
lika-liku hidup yang harus dilalui tokoh Ki Kebo Kanigoro (Kiai Purwoto Siddiq
Banyubiru) mulai dari pengejaran dari pihak-pihak yang tidak senang terhadap
pribadinya, hingga perjalanan hidupnya yang sering berpindah-pindah tempat
karena mencari keselamatan jiwa dan raga karena rentetan perpolitikan empat
kerajaan di atas. Dalam perjalanan hidupnya yang berpindah-pindah tersebut, Ki
Kebo Kanigoro sering berganti nama samaran agar tidak diketahui identitas
dirinya. Begitu pula, para keturunan dan keluarganya juga selalu berganti nama
samaran untuk keselamatan mereka.
Dalam
tulisan ini, saya ingin mengkaji berbagai petilasan Ki Kebo Kanigoro (Kiai
Purwoto Siddiq Banyubiru) yang biasanya atau rata-rata ditandai dengan “Pohon
Jati” beserta sebagian keturunan lainnya. Telah disebutkan bahwa, pada zaman
dahulu kala, sebuah pohon sering dijadikan “tanda” atau “tetenger”
atau “sandi” (sesuatu tanda sebagai
pesan rahasia) untuk mereka yang memiliki latar belakang tertentu. Misalnya,
tanda “Pohon Sawo” selalu digunakan oleh para keturunan Panembahan Sawo Ing
Kajoran (yakni; semua para trah Kajoran hampir selalu menggunakan sandi/tanda
Pohon Sawo bagi semua keturunannya). Dalam kirata basa orang Jawa, Pohon Sawo
di-kiratabasa-kan dengan bahasa
al-Qur’an sebagai “Sawwu Shufufakum...” (rapatkanlah barisan kalian/ rapatkanlah
barisan saudara-saudara kalian/ rapatkanlah trah keturunan kalian...). Ini yang
masyhur dan saya dapatkan dari kisah para sesepuh.
Tanda
Pohon Jati Ki Kebo Kanigoro
Sebagaimana
telah disebutkan bahwa sebuah pohon merupakan salah satu “tanda” atau “tetenger”
atau “sandi” (sesuatu tanda sebagai
pesan rahasia) yang banyak digunakan oleh sesepuh atau tokoh masa lalu. Pohon
Boddhi misalnya, selalu dipakai simbol atau tanda bagi umat agama Buddha
dimanapun berada. Sebab pohon Boddhi tersebut memiliki nilai sejarah bagi umat
Buddha. Konon Sang Buddha Gautama mendapat pencerahan sempurna saat melakukan
semedi (meditasi) di bawah Pohon Boddhi. Oleh karena hal tersebut, maka para
siswa dan pengikut Sang Buddha sampai saat ini mengistimewakan Pohon Boddhi
tersebut. Makna “Pohon Boddhi”
adalah pohon pencerahan. Dari sini, mungkin pula bahwa makna “Pohon Jati” dari tanda Ki Kebo Kanigoro
adalah pohon ilmu sejati yang selalu beliau dalami dan ajarkan pada santrinya.
Dan pada akhirnya, oleh orang Jawa, tempat singgah bertanda “Pohon Jati”
tersebut dipakai sebagai tempat mengirim doa kepada tokoh yang bersangkutan.
Mengenai
banyak petilasan Ki Kebo Kanigoro (Kiai Purwoto Siddiq Banyubiru) yang ditandai
dengan Pohon Jati, saya kurang begitu banyak dapat info dari para sesepuh apa
kirata basa “Pohon Jati” yang selalu
digunakan “tanda” atau “tetenger” atau “sandi” dari Ki Kebo Kanigoro (Kiai Purwoto Siddiq Banyubiru, dan
keluarganya) yang terkenal sebagai murid Syaikh Siti Jenar dan berdekatan erat
dengan Sunan Kalijaga, Sang Wali Tanah Jawa. Ada kemungkinan, makna atau kirata
basa “Pohon Jati” yang rata-rata
hampir ada dan melekat dengan Ki Kebo Kanigoro (Kiai Purwoto Siddiq Banyubiru
dan keluarganya) dimaksudkan adalah beliau merupakan penganut “Ilmu Sejati” (Ilmu Kasunyatan) yang diajarkan Syaikh Siti Jenar. Dengan demikian,
rata-rata petilasan Ki Kebo Kanigoro (Kiai Purwoto Siddiq Banyubiru) ditandai
dengan Pohon Jati (artinya, pohon keilmuan Sejati).
Pertama,
Petilasan Ki Kebo Kanigoro (Kiai Purwoto Siddiq Banyubiru), Nyai Gadhung Melati
(Raden Ayu Kardinah), Rara Tenggok (Rara Sekar Rinonce/ Rara Sari Once/ Endang
Widuri) yang berada di sebelah Timur bagian Utara Pom Bensin, di daerah kecamatan
Kanigoro, kabupaten Blitar yang sejak zaman dahulu ditandai dengan Pohon Jati
yang besar. Petilasan tersebut dinamakan “Petilasan
Jati Kurung”, sebab pohon Jati tersebut dulu dikurung pagar melingkar
disekelilingnya. Hingga saat ini, Pohon Jati yang disebut “Petilasan
Jatikurung” sebagai petilasan ketiga tokoh tersebut beserta para pengikutnya masih
berdiri kokoh. Konon, di tempat inilah Ki Kebo Kanigoro beserta keluarga dan para pengikutnya sempat
membuat “Rumah Joglo” dan menjadi
semacam pusat pemerintahan setingkat kadipaten atau kecamatan atau pemerintahan
lebih kecil lainnya. Hingga akhirnya, beliaulah yang merupakan cikal bakal
kecamatan Kanigoro-Blitar.
Petilasan Ki Kebo Kanigoro, Nyai Gadhung Melati dan Rara Sekar Rinonce di Petilasan Jatikurung kecamatan Kanigoro, kabupaten Blitar, Jawa Timur. |
Kedua,
Petilasan Rara Sari Once (Rara Sekar Rinonce/ Endang Widuri/ Rara Tenggok) yang
merupakan anggota keluarga Ki Kebo Kanigoro (Kiai Purwoto Siddiq Banyubiru; salah
satu tokoh yang cikal bakal kecamatan Kanigoro-Blitar) dan sekaligus sebagai
cikal bakal dusun Dogong, desa Gogodeso, kecamatan Kanigoro, kabupaten Blitar
dulu juga berupa tanda Pohon Jati yang besar. Namun Pohon Jati tersebut telah
mati dan tinggal tonggaknya saja. Kemudian para warga dusun Dogong membuatkan
monumen sederhana kepada tokoh cikal bakal tersebut. Ustadz Ahmad Kulli Syaiin
menyatakan: “... ndisik pase cikal bakal
dusun Dogong iku ono Wit Jatine mas...terus koyoke mati lan ditandani bangunan sai
iki kae...” (dulu tepat di cikal bakal tersebut ada Pohon Jati-nya mas...
Lalu mati dan ditandai bangunan/monumen tersebut). Hal tersebut juga dibenarkan
oleh Ustadz Kholik Mawardi bahwa dulu ada Pohon jati-nya. Petilasan ini berada
dalam areal “Makam Umum” desa
Gogodeso dan berdekatan dengan sumber/mbelik, yang berada di sebelah Timur-nya.
Ketiga, Petilasan
Nyai Gadhung Melati (Raden Ayu Kardinah), Ki Kebo Kanigoro (Kiai Purwoto Siddiq
Banyubiru), dan Rara Sekar Rinonce (Rara Sari Once/ Endang Widuri/ Rara Tenggok)
yang berada di desa Maliran, kecamatan Ponggok, kabupaten Blitar. Petilasan
tersebut dinamakan “Petilasan Jati Gerot”,
sebab dulu kala ada Pohon Jati yang bergerot-gerot ditiup angin. Bahkan,
sebelum menjadi desa Maliran, konon desa tersebut dinamakan desa Jati Gerot. Petilasan
tersebut dibangun seperti sebuah makam, padahal hal itu bukanlah makam, tetapi
hanyalah sebuah petilasan. Pada tahun 2005, saya dengan Mbah Jawoko Jatimalang
pernah meneliti tempat tersebut dan bertanya kepada salah seorang warga dari
salah satu rumah yang dekat petilasan tersebut. Orang itu menyatakan bahwa
tempat itu sebenarnya bukan makam, tapi paman orang tersebut yang membuat/ membangun
petilasan menyerupai makam.
Keempat,
Petilasan Nyai Gadhung Melati (Raden Ayu Kardinah), Rara Sekar Rinonce (Rara Tenggok/
Endang Widuri/ Rara Sari Once) yang merupakan anggota keluarga Ki Kebo Kanigoro
(Kiai Purwoto Siddiq Banyubiru) yang berada di desa Dayu, kecamatan Ponggok,
kabupaten Blitar. Petilasan tersebut berada dekat sumber mata air. Konon,
menurut Mbah Jawoko Jatimalang, petilasan yang ada di desa Dayu, kecamatan
Ponggok, kabupaten Blitar tersebut dulu kala ada tanda beberapa pohon yang
berada di dekat sumber air, serta bangunan berupa patung Singa dan Naga
sebagaimana yang dibangun etnis Tionghoa. Namun tanda-tanda patung Singa dan Naga
tersebut sudah tidak ada lagi hingga penelitian ini dilakukan.
Kelima, Petilasan Nyai
Gadhung Melati (Raden Ayu Kardinah), Rara Sekar Rinonce (Rara Tenggok/ Endang
Widuri/ Rara Sari Once) yang merupakan anggota keluarga Ki Kebo Kanigoro (Kiai
Purwoto Siddiq Banyubiru) yang berada di Utara Sumber Kucur desa Selokajang,
kecamatan Kanigoro, kabupaten Blitar. Petilasan tersebut juga ditandai dengan
“Pohon Jati” yang berusia cukup lama. Namun Pohon Jati tersebut telah tiada dan
ditebang oleh pemilik pekarangan di tempat tersebut. Saat saya bersama Mbah
Gatot ke tempat tersebut, hanya terdapat tonggak Pohon Jati dan bekas dibakari
dupa wangi, terdapat pula cok bakal dari sebagian warga yang nyekar di tempat
tersebut. Selain Nyai Gadhung Melati, ada pula yang cikal bakal di desa
Selokajang lain, di antaranya: Mbah Kiai Abu Hanifah, Mbah Kasan Ali, Mbah
Sampir, yang makamnya berada di “Puncak
Gunung Tumpuk” di desa tersebut.
Keenam,
Petilasan Ki Kebo Kanigoro (Kiai Purwoto Siddiq Banyubiru) di dukuh Kaligayam,
desa Rejosari, kecamatan Semin. Petilasan ini juga ditandai dengan Pohon Jati
pula. Pohon Jati yang berusia ratusan tahun tersebut telah roboh dimakan usia. Konon
pohon jati tersebut dinamakan “Pohon Jati
Bedug” di dukuh Kaligayam sebagai petilasan Ki Kebo Kanigoro (Kiai Purwoto
Siddiq Banyubiru) ketika singgah dan melakukan kegiatan spiritual di tempat
tersebut.
Pohon Jati Petilasan Kyai Purwoto Siddik Banyubiru/ Ki Kebo Kanigoro di Kaligayam Lor, Rejosari, Semin |
Ketujuh, keturunan
dari Ki Kebo Kanigoro (Kiai Purwoto Siddiq Banyubiru) yang bernama Ki Ageng
Gribig juga menggunakan tanda pohon Jati untuk menyebut dusun yang ditempatinya,
yakni Ki Ageng Gribig di Jatinom, Klaten, Jawa Tengah. Konon di Jatinom
tersebut dahulu juga ditandai “Pohon
Jati Enom” (pohon Jati yang masih muda). Tak dapat diketahui secara pasti
di mana Pohon Jatinom (Pohon Jati Muda) tersebut berada. Namun, arti daerah
bernama “Jatinom” tidak lepas dari
keturunan Ki Kebo Kanigoro bernama Ki Ageng Gribig yang menandai daerah
tersebut dengan Pohon Jati. Diceritakan salah satu sesepuh bahwa Ki Ageng
Gribig inilah yang dilegendakan warga Rawapening-Ambarawa dengan Raden Baru
Klinting yang mencari ayahnya dipuncak gunung.
Tentu
saja tidak semua petilasan Ki Kebo Kanigoro (Kiai Purwoto Siddiq Banyubiru)
semua ditandai atau ditanami dengan Pohon Jati. Sebab uasah pengejaran Ki Kebo
Kanigoro dari rentetan perpolitikan panjang tiga masa kerajaan (yakni
Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram) bisa jadi tidak menyempatkan beliau dan
para cantriknya untuk memberi semua yang ditempatinya saat beliau singgah
dengan Pohon Jati. Artinya, hanya tempat-tempat tertentu yang nyaman
ditempatinya saja yang diberi “tanda”
atau “tetenger” atau “sandi” berupa Pohon Jati. Misalnya, di
Kademangan-Blitar berada di Selatan Sungai Berantas bergandengan dengan langgar
(mushalla) juga ada Petilasan Nyai Gadhung Melati (Raden Ayu Kardinah) yang
merupakan istri dari Ki Kebo Kanigoro. Begitu pula, petilasan Ki Kebo Kanigoro
yang berada di lereng Gunung Merapi, dan lain sebagainya. Tak jauh dari itu,
dusun Sekardangan, desa Papungan, kecamatan Kanigoro konon merupakan tempat
terakhir ketika Nyai Gadhung Melati (Raden Ayu Kardinah) dan putrinya bernama
Rara Sekar Rinonce (Rara Tenggok/ Endang Widuri) untuk memutuskan kembali
menyusul Ki Kebo Kanigoro (Kiai Purwoto Siddiq Banyubiru) di dusun Sarehan,
desa Jatingarang, kecamatan Weru, kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Mbah Kiai
Zainuddin Sekardangan mengatakan: “.... Embuh,
ndisik critane Mbahe Wedok karo anake mbalik maneh ning Jawa Tengah...”
(Nggak tahu, tapi ceritanya dulu Eyang Putri dan anak perempuannya kembali lagi
ke Jawa Tengah). Namun sebelum kembali ke Jawa Tengah konon Nyai Gadhung Melati sempat berkunjung dulu ke rumah anaknya Ki Ageng Gribig I yang berada di Malang. Kata Mbah Kiai Zainuddin: "Sakdurunge mbalik ning Sukoharjo, Mbahe Wedok ndisik menyang Malang dhisik." Hal tersebut juga dibenarkan oleh Mbah Bayan Mayar yang
mendapat cerita dari Mbah Markalam (kakeknya).
Dari
perjalanan dan persinggahan Ki Kebo Kanigoro (Kiai Purwoto Siddiq Banyubiru)
dan keluarganya yang cukup melelahkan karena rentetan perpolitikan kerajaan
Majapahit, Demak, Pajang, hingga Mataram tersebut, kemudian mereka menetap
terakhir di dusun Sarehan, desa Jatingarang, kecamatan Weru, kabupaten
Sukoharjo, Jawa Tengah. Ki Kebo Kanigoro (Kiai Purwoto Siddiq Banyubiru)
dimakamkan di tempat tersebut. Begitu pula, Nyai Gadhung Melati (Raden Ayu
Kardinah), Rara Sekar Rinonce (Rara Tenggok/ Rara Sari Once/ Endang Widuri)
dimakamkan dalam areal “Makam Banyubiru”
tersebut. Namun, SH. Mintardja berpendapat bahwa Rara Sekar Rinonce (Rara
Tenggok/ Rara Sari Oce/ Endang Widuri) dimakamkan di pinggir pagar keliling
Makam Ki Ageng Pengging Sepuh di dukuh Pengging, desa Banyudono, kabupaten
Boyolali, Jawa Tengah.
Keturunan
Ki Kebo Kanigoro (Kiai Purwoto Siddiq Banyubiru)
Berdasarkan
penelitian SH. Mintardja dijelaskan bahwa Ki Kebo Kanigoro (Kiai Purwoto Siddiq
Banyubiru) memiliki anak perempuan tunggal bernama Endang Widuri. Menurutnya,
Endang Widuri ini kemudian menikah dengan Arya Salaka (Ki Gede Banyubiru). Menurutnya,
makam Endang Widuri putri dari Ke Kebo Kanigoro (Kiai Purwoto Siddiq Banyubiru)
berada di pinggir pagar keliling Makam Ki Ageng Pengging Sepuh di dukuh
Pengging, desa Banyudono, kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Maka berdasarkan
ciri-ciri Endang Widuri yang disebutkan SH. Mintardja tersebut bahwa dia adalah
wanita yang nakal. Nakal di sini bukan berarti tak tahu aturan, akan tetapi
tegas (kenes; Bhs Jawa). Beberapa sesepuh dusun Sekardangan, seperti Mbah Bayan
Mayar, Mbah Markalam mengatakan bahwa Rara Sekar Rinonce (Endang Widuri/ Rara
Tenggok/ Rara Sari Once) itu wanita yang “kenes”
(tegas dalam segala hal) bukan wanita
nakal yang berupa kenegatifan lainnya.
Selanjutnya,
berdasarkan “Ranji Sarkub” yang
ditulis Raden Ayu Linawati Djojodiningrat bahwa Ki Kebo Kanigoro (Kiai Purwoto
Siddiq Banyubiru) juga memiliki anak bernama Ki Ageng Gribig Jatinom, Klaten,
Jawa Tengah. Konon, tokoh bernama Ki Ageng Gribig ini merupakan legenda Raden
Baru Klinting yang mencari ayahnya di puncak gunung dalam peristiwa Rawa Pening
di Ambarawa. Tokoh ini masa kecilnya dirahasiakan hingga menjadi sebuah “legenda” agar supaya keberadaannya selamat
dari rentetan perpolitikan tiga kerajaan, yaitu: Majapahit, Demak, Pajang, dan
Mataram. Dan silsilah kuno atau manuskrip-manuskrip data kuno yang menjelaskan
bahwa Ki Ageng Gribig merupakan putra Ki Kebo Kanigoro (Kiai Purwoto Siddiq
Banyubiru) masih tersimpan oleh Raden Ayu Linawati (Sang Srikandi Ranji-Ranji
Kuno) tersebut.
Terakhir,
menurut pendapat Panji Jayawardhana dalam mengomentari blog tentang “Petilasan Ki Kebo Kanigoro di Lereng Gunung
Merapi” yang berada di dusun Pojok, desa Samiran, kecamatan Selo, kabupaten
Boyolali, Jawa Tengah menyebutkan: “..Ki
Kebo Kanigoro tidak moksa, tapi hijrah ke Bali, lalu menetap di Lombok dan
mendirikan kerajaan bernama ‘Kerajaan Pujut’ dan keturunannya sampai sekarang
ada di mana-mana...” Dalam hal tersebut, saya sebagai peneliti belum
mempelajari apakah Ki Kebo Kanigoro (Kiai Purwoto Siddiq Banyubiru) pernah
hijrah ke Bali dan Lombok hingga sebagaimana yang dikisahkan di atas. Mungkin
pula, era perpolitikan Majapahit dan Demak hal tersebut bisa terjadi dan bisa
tidak. Sekali lagi, dalam hal ini saya sebagai peneliti belum begitu
mendalaminya. Semoga demikian adanya. Semoga semua berjalan secara wajar.
Kesimpulan
Sementara
Berdasarkan uraian di atas,
dapat disimpulkan sebagai kesimpulan sementara sebagaimana berikut: Pertama,
Pohon Jati merupakan “tanda” atau “tetenger” atau “sandi” yang dipakai oleh Ki
Kebo Kanigoro (Kiai Purwoto Siddiq Banyubiru), istrinya, dan anaknya dalam
berbagai persinggahan mereka. Akan tetapi, tidak semua tempatpun juga sempat
ditandai dengan Pohon Jati karena situasi perpolitikan yang tidak menungkinkan;
Kedua,
disimpulkan pula bahwa Ki Kebo Kanigoro (Kiai Purwoto Siddiq Banyubiru) menikah
dengan Nyai Gadhung Melati (Raden Ayu Kardinah) memiliki beberapa putra-putri,
yaitu: (1) Endang Widuri/ Rara Sekar Rinonce/ Rara Tenggok/ Rara Sari Once; dan
(2) Ki Ageng Gribig I di Malang-Jawa Timur. Dan sementara Ki Ageng Gribig II, III, dan IV masih keturunan dari Ki Ageng Gribig I tersebut; Ketiga, selain itu, berdasarkan
pernyataan Panji Jayawardana Ki Kebo Kanigoro juga memiliki keturunan di daerah
Lombok. Namun dalam kesimpulan yang ketiga ini penulis belum tahu-menahu
bagaimana kisahnya. Wallahu’alam.
Makam Ki Kebo Kanigoro/ Kyai Purwoto Siddik Banyubiru, Nyai Gadhung Melati, dan Rara Tenggok di dusun Sarehan desa Jatingarang, kecamatan Weru, Sukoharjo-Solo, Jawa Tengah. |
Tentang
Penulis
Arif
Muzayin Shofwan adalah pria kelahiran Blitar, Jawa Timur.
Pria tersebut merupakan peneliti sejarah, kisah-kisah, legenda lokal, petilasan
dan makam kuno. Sejak kecil, pria tersebut sangat menyukai dongeng-dongeng,
cerita-cerita, dan kisah-kisah dari para sesepuh dusun, desa, kecamatan,
kabupaten, hingga lainnya. Dalam hidupnya, tak banyak yang diminta pria
tersebut kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Walau mungkin orang lain menganggap
banyak, tetapi tak sepadan dengan kekayaan Tuhan Yang Maha Kaya. Dia hanya
minta cukup kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Cukup segalanya. Pria tersebut beralamatkan
sebagai berikut: Jl. Masjid Baitul Makmur Sekardangan RT. 03 RW. 09 Papungan,
Kanigoro, Blitar, Jawa Timur. Kode Pos. 66171. HP. 085649706399.
saya atas nama BPK. SAMSUL dari MADURA ingin mengucapkan banyak terimah kasih kepada MBAH KARYO,kalau bukan karna bantuannya munkin sekaran saya sudah terlantar dan tidak pernaah terpikirkan oleh saya kalau saya sdh bisa sesukses ini dan saya tdk menyanka klau MBAH KARYO bisa sehebat ini menembuskan semua no,,jika anda ingin seperti saya silahkan hubungi MBAH KARYO no ini 082301536999 saya yakin anda tdk akan pernah menyesal klau sudah berhubungan dgn MBAH KARYO dan jgn percaya klau ada yg menggunakan pesan ini klau bukan nama BPK. SAMSUL dan bukan nama MBAH KARYO krna itu cuma palsu.m
BalasHapusSiapa mbah karyo spesial apa itu
BalasHapusNgarang lo....
BalasHapus:ngakak
eyang kakung kebo kanigoro alias Bathara kathong makamnya di ponorogo. kakaknya kebo kenongo ada di boyolali,saya cucu cicitnya mohon diperiksa kembali infonya melalu interaksi kebatinan spy tidak salah.terimakasih
BalasHapusEyang kenongo itu adiknya eyang kanigoro
HapusYa beda jauh kemana2 mas, betara katong ma eyang kanigoro. Udh beda orang. Eyang kebo kanigoro moksa di lereng merapi... eyang jebo kenongo makam di sragen.
Hapus