Kamis, 14 Juli 2016

KIAI AGENG RADEN MOHAMMAD QOSIM (EYANG KASIMAN) SRENGAT BLITAR: KETURUNAN SUNAN TEMBAYAT KLATEN JAWA TENGAH



Oleh: Arif Muzayin Shofwan Blitar

Kiai Raden Muhammad Qosim atau yang lebih dikenal dengan “Mbah Kasiman” atau “Eyang Kasiman” merupakan salah satu keturunan dari Sunan Tembayat yang makamnya berada di Gunung Jabalkat, Klaten, Jawa Tengah. Makam Kiai Raden Muhammad Qosim (Eyang Kasiman) berada di Puncak Gunung Pegat, Srengat, Blitar. Beliau hidup pada semasa dan berteman dengan Ndoro Tedjo Srengat. Kiai Raden Muhammad Qosim merupakan putra ke-2 dari empat bersaudara dari Kiai Ageng Raden Taklim yang merupakan adik kandung Kiai Ageng Mangun Witono (Syaikh Hasan Ghozali), yang makam keduanya berada di sebelah Barat “Masjid Tiban Istimrar” Kalangbret, Kauman, Tulungagung.
Adapun empat bersaudara putra dari Kiai Ageng Raden Taklim secara berurutan dapat disebutkan berikut: (1) Kiai Raden Rembang Blitar; (2) Kiai Raden Muhammad Qosim/Mbah Kasiman Srengat; (3) Nyai Choiruddin Srengat; dan (4) Kiai Ageng Muhammad Yahya, Tegalsari, Ponorogo. Sementara itu, dalam kehidupan pribadinya, Kiai Raden Muhammad Qosim (Mbah Kasiman/Eyang Kasiman) memiliki empat orang istri yang cantik-cantik dan menurunkan beberapa putra putri. Berikut adalah istri-istri Kiai Raden Muhammad Qasim (Mbah Kasiman) beserta putra-putrinya.
1.      Nyai Wahidah Qosim (istri pertama), memiliki lima orang anak, yaitu:
1.      Kiai Zahid Sarko, berputra 6 orang, diantaranya: (1) Mbah Daris; (2) Mbah Donokaryo; (3) Nyai Ngalawi; (4) Nyai Aliyah; (5) Nyai Qomariyah; dan (6) Kiai Murid.
2.      Kiai Muhammad Syakban Tumbu/Kiai Syakban Gembrang Serang, Kalangbret, Tulungagung, berputra 9 orang, yaitu: (1) Kiai Muhammad Asrori Pendiri Masjid Al-Asror, Kedungcangkring, Srengat, Blitar; (2) Kiai Imam Afdari; (3) Nyai Hj. Moh. Imron, Jarakan, yang menurunkan Kiai Jauhari Mahmud Notorejo, Tulungagung; (4) Nyai Salamah; (5) Nyai Nur Besari/Nyai Dodok Kerjen, Srengat, Blitar; (6) Nyai Kasan Mujahid/Nyai Marfuatun, Pendiri Masjid Baitul Hasanah, Bedali, Purwokerto, Srengat, Blitar; (7) Nyai Mutammimah; (8) Kiai Mursoho Prambutan, menantu Kiai Imron Masjid Al-Falah, Prambutan, Ponggok, Blitar; (9) Nyai Djaiyah.
3.      Nyai Salamah Mangun Fuqoha’ (Masjid Al-Munawwar Tulungagung), berputra 2 orang, yaitu: (1) Nyai Mukminah Bancaan, Tulungagung; dan (2) Nyai Mukridah.
4.      Kiai Wari, berputra satu orang, yaitu: Kiai Kasan Redjo Pakel.
5.      Kiai Garban (Nyai Arifin) Tulungagung, berputra 3 orang, yaitu: (1) Nyai Yunus; (2) Nyai Nariyah; dan (3) Nyai Ramijah.
2.      Nyai Tsaniyah Qosim (istri kedua), memiliki empat orang anak, yaitu:
1.      Nyai Lumijah, berputra 2 orang, yaitu: (1) Kiai Djiyokromo Blitar; (2) Kiai Modin Nglangon.
2.      Nyai Satimah, berputra 2 orang, yaitu: (1) Kiai Kasdanun; dan (2) Kiai Kasdani.
3.      Kiai Ahmad Ishaq, berputra 7 orang, yaitu: (1) Nyai Minah/Nyai Kasdanun; (2) Nyai Morinah Mafkud; (3) Nyai Djangsi/Nyai Khotib Imam; (4) Kiai Marwi Djumput; (5) Nyai Mukirah; (6) Nyai Satimah; (7) Kiai Kasimun.
4.      Nyai Menur Kalangbret, berputra 4 orang, yautu: (1) Kiai Rodjikan; (2) Kiai Dardji; (3) Kiai Dardjo; (4) Kiai Marjan.
3.      Nyai Tsalisah Qosim (istri ketiga), memiliki dua orang anak, yaitu:
1.      Kiai Imam Mustari, berputra 8 orang, yaitu: (1) Kiai Mangun Hardjo Naib Kota; (2) Kiai Abdurrahman Dawuhan; (3) Kiai Abu Yamin Kauman; (4) Kiai Somoredjo Kauman; (5) Nyai Chotimah/Bu Lurah Dandong; (6) Nyai Lamrah Wlingi; (7) Nyai Woeryan Bu Naib Kesamben; (8) Kiai Satral Kusni Kauman.
2.      Kiai Kasan Syuhadak, berputra 8 orang, yaitu: (1) Nyai Murdinah/Bu Naib Wlingi; (2) Nyai Mursidah/Bu Abdurrahman Mritjan; (3) Imam Burhan Penghulu Blitar; (4) Kiai Mukmin Naib Talun; (5) Nyai Nyai Sudjinah/Bu naib Kademangan; (6) Nyai Rubingah/Bu Naib Gandusari; (7) Nyai Kongidatun/Bu Imam Hidayat; dan (8) Kiai Muallif Adjun Penghulu.
4.      Nyai Robi’ah Qosim (Nyai Manjiyah, Ngaglik, Srengat) tidak memiliki anak.

Adapun Yayasan Raden Muhammad Kasiman (Raden Muhammad Qosim) berada di sebelah Utara Masjid Agung Kota Blitar Jawa Timur. Demikian catatan harian (cahar) saya, mudah-mudahan bermanfaat bagi yang membutuhkan maupun yang ingin mengumpulkan balung pisah yang sudah lama. Penulis: Arif Muzayin Shofwan. Alamat: Jl. Masjid Baitul Makmur Sekardangan RT. 03 RW. 09 Papungan Kanigoro Blitar Jawa Timur. Kode Pos 66171. HP. 085649706399. (Tulisan ini diadopsi dari “Silsilah Panembahan Ageng Sunan Tembayat”, yang saya dapatkan dari Kiai Raden Tranggono Blitar, selaku Pengurus Yayasan Raden Muhammad Kasiman Blitar). Salam Silaturrahmi. Semoga kasih sayang Tuhan menebar ke seluruh penjuru dunia.

SEKELUMIT KISAH BUMI SEKARDANGAN DARI MASA KE MASA



Arif Muzayin Shofwan
PENDAHULUAN
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa yang telah memberikan nikmat-Nya kepada semua manusia sejagad raya. Shalawat dan salam mudah-mudahan tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad saw, ahli bait, dan sahabatnya. Kata pepatah Jawa: “urip ing ndonya mung mampir ngombe”, artinya hidup di dunia merupakan persinggahan sebentar yang nantinya diakhiri dengan sebuah kematian. Setinggi derajat, seampuh, sekaya, dan sesakti apapun seseorang  tentu saja tidak akan bisa lepas dari sebuah kematian. Baik dalam jangka waktu dekat maupun jauh.
Oleh karena hidup di dunia hanya merupakan persinggahan sebentar, maka saya berniat mengisi sebagian kehidupan tersebut dengan menulis sebuah buku kecil yang mudah-mudahan bermanfaat bagi generasi penerus. Buku kecil yang berjudul “Sekelumit Kisah Bumi Sekardangan dari Masa ke Masa” ini menceritakan berbagai kisah mulai dari berdirinya dusun Sekardangan pada masa kerajaan Islam Pajang-Mataram, hingga kisah-kisah unik dan legendaris lainnya. Tentu saja, dalam rangkaian persinggahan tersebut ada beberapa kolega yang banyak berkontribusi demi terselesainya buku ini.
Untuk itu, saya perlu mengucapkan terima kasih kepada beberapa kolega tersebut. Ucapan terima kasih pertama saya ucapkan sedalam-dalamnya kepada Gus Ahmad Mansyuri, selaku Ketua Paguyuban Seni Budaya dan Olah Raga “Kyai Buyut Banyubiru” Sekardangan, yang telah banyak membantu penulis dalam berbagai hal, baik dari segi material maupun non-material. Tak lupa ucapan terima kasih mendalam saya sampaikan buat kawan-kawan di “Padepokan Kiai Abu Bakar” Sekardangan bagian Utara yang telah banyak menginspirasi dalam segi apapun hingga tak bisa dijelaskan dengan kata-kata manusia biasa.
Ucapan terima kasih kedua, saya ucapkan kepada beberapa kolega yang telah banyak berkontribusi dalam berbagai kegiatan yang selama ini saya lakukan, di antaranya: Mas Cahyo, Mas Agus, Mas Muna, Mas Huda Lash, Mas Narto, Mas Burhan, Mas Wildan, Mas Dardiri, Gus Toni Sholeh, Mas Bokir, Mas Gundala, Mas Candra Jik Oun, Mas Amin Loundry, Mas Nurkholis, Mas Fakih, Mas Jauhar dan lain sebagainya. Tak lupa buat Muhammad Naufal Az-Zamzami, cintailah kehidupan masa lalu, kini, dan mendatang, maka kehidupan tersebut akan mencintaimu. Tentu saja, saya tidak bisa menyebutkan para kolega satu-persatu dalam buku yang relatif kecil ini.
Terakhir kali, saya perlu mengucapkan terima kasih tak terhingga kepada semua warga dusun Sekardangan, baik mereka yang peduli maupun tidak peduli kepada kisah para leluhur cikal bakalnya. Teriring doa kebaikan, mudah-mudahan dusun Sekardangan menjadi sebuah tempat yang nyaman, tentram, berkah dan damai sepanjang zaman yang tiada tertandingi. Akhirnya kritik dan saran demi kesempurnaan buku kecil ini selalu saya harapkan.

BAB SATU
SEJARAH SEKARDANGAN PADA MASA KERAJAAN ISLAM PAJANG

A.  Hubungan Kadipaten Kanigoro dan Sekardangan
Sejarah dusun Sekardangan diawali dari seorang adipati bernama Ki Kebo Kanigoro yang petilasannya berada di Timur POM Bensin, tepat sebelah Utara jalan di kecamatan Kanigoro. Petilasan tersebut sering dikenal dengan nama “Petilasan Jati Kurung”, sebab dahulu ada pohon Jati besar yang dikurung pagar dan berfungsi sebagai monumen sederhana dari generasi berikutnya. Di tempat itulah dahulu Ki Kebo Kanigoro mendirikan rumah bersama istrinya yang bernama Nyai Gadhung Melati (Raden Ajeng Kardinah) dan putrinya Rara Tenggok (Rara Sekar Rinonce).[1] Dan perlu diketahui bahwa Ki Kebo Kanigoro (Kiai Buyut Banyubiru) inilah seorang tokoh yang mendirikan Kadipaten Kanigoro (sekarang menjadi sebuah kecamatan di kabupaten Blitar) pada masa kerajaan Islam Pajang (1568-1586).
Ki Kebo Kanigoro atau yang pada akhirnya juga disebut Kiai Buyut Banyubiru hidup pada pertengahan abad ke-15 hingga 16 masa kerajaan Islam Pajang-Mataram.[2] Ada banyak nama lain dari Ki Kebo Kanigoro, diantaranya: Kiai Siddiq Urip, Kiai Purwoto Siddiq, Kiai Siddiq Perwitosari, Kiai Buyut Siddiq, Ki Ageng Arimurko, Ki Ageng Kartawijaya, Kiai Ageng Siddiq Imam Purwata Sari, dan lain sebagainya. Beliau merupakan paman dan guru spiritual Jaka Tingkir (Raden Mas Karebet/Sayyid Abdurrahman/Sultan Hadiwijaya) yang merupakan putra dari Ki Kebo Kenongo (Sayyid Syihabuddin) sekaligus pendiri kerajaan Islam Pajang. Selain itu, Ki Kebo Kanigoro (Kiai Buyut Banyubiru) juga merupakan salah satu murid dari Syaikh Siti Jenar yang terkenal dengan ajaran tauhid “manunggaling kawulo-Gusti”, artinya bersatunya hamba dengan Tuhan-nya.
Saat awal berdirinya kerajaan Islam Pajang, Jaka Tingkir ingin memperluas kerajaannya hingga pelosok wilayah Jawa Timur. Dalam agenda besar tersebut, Jaka Tingkir bekerjasama dengan Ki Kebo Kanigoro yang merupakan paman sekaligus guru spiritualnya untuk memperluas kerajaannya sampai daerah yang pada akhirnya disebut Kadipaten Kanigoro (sekarang menjadi sebuah kecamatan di kabupaten Blitar).[3] Hingga pada akhirnya pada saat terjadi pergolakan politik antara kerajaan Islam Pajang dan Mataram (rentetan dari perpolitikan kerajaan Islam Demak Bintoro), Ki Kebo Kanigoro dalam agendanya memperluas kerajaan tersebut sering berganti nama samaran agar supaya tidak tercium pihak dari penguasa kerajaan yang dimaksud.
Tak jauh dari hal di atas, untuk menghindari terciumnya agenda perluasan kerajaan Islam Pajang hingga pelosok Jawa Timur, istri dari Ki Kebo Kanigoro juga sering berganti nama. Ada beberapa nama samaran yang disematkan kepada beliau, di antaranya: Nyai Gadhung Melati, Dewi Sekardani, Dewi Sekartaji, dan lain sebagainya. Tentu saja pada masa itu, nama asli istri dari Ki Kebo Kanigoro pun juga menjadi sesuatu yang harus dirahasiakan. Hal tersebut dimaksudkan pula agar supaya tidak tercium oleh pihak penguasa kerajaan pada masa itu yang tentu saja tidak rela akan adanya sebuah kerajaan yang menandinginya.
Konon pada saat pergolakan politik kerajaan Islam antara Pajang dan Mataram (rentetan dari perpolitikan kerajaan Islam Demak Bintoro) semakin memuncak, dusun Sekardangan (sekarang termasuk dalam wilayah desa Papungan) yang letaknya sekitar tiga kilometer dari Kadipaten Kanigoro merupakan tempat yang strategis untuk menyembunyikan istri dan putri Ki Kebo Kanigoro tersebut. Di tempat itulah, istri Ki Kebo Kanigoro menggunakan nama samaran Nyai Gadhung Melati dan hidup bersama putrinya yang bernama Rara Tenggok. Diceritakan pula bahwa pada masa tersebut ada banyak tokoh perempuan yang menggunakan sebutan Nyai Gadhung Melati, salah satunya adalah istri dari Ki Ageng Kuning (pendiri desa Kuningan).[4] Namun sebagian warga setempat sering pula menyebut istri Ki Ageng Kuning dengan sebutan Mbok Rondo Kuning.

B.  Kisah Ki Kebo Kanigoro disebut Kiai Ageng Banyubiru
Setelah Ki Kebo Kanigoro menyembunyikan istri dan putrinya di dusun Sekardangan, beliau kemudian berniat kembali ke kerajaan Islam Pajang (Jawa Tengah) untuk melihat lebih dekat perkembangan politik yang ada di sana. Tentu saja, untuk menyembunyikan identitas dirinya, Ki Kebo Kanigoro tetap menggunakan nama samaran dalam perjalanan dan berpindah-pindah tempat tersebut. Konon dalam sebuah perjalanan panjang tersebut, Ki Kebo Kanigoro pernah bermukim selama tujuh tahun di daerah Purwokerto. Setelah itu, beliau kemudian hijrah ke Rejosari, Semin, Gunungkidul. Di tempat tersebut beliau hidup di tengah hutan Kali Goyang. Setelah Ki Kebo Kanigoro hidup di tengah hutan Kali Goyang cukup lama, beliau kemudian meneruskan perjalanan sampai di hutan Wonogung, Jatingarang, Weru, Sukoharjo.
Dikisahkan bahwa di tempat baru Jatingarang-Sukoharjo tersebut,  Ki Kebo Kanigoro melakukan tapa kungkum di sendang setempat. Konon karena pancaran dari energi spiritual Ki Kebo Kanigoro saat tapa kungkum, maka air Sendang Wonogung mendadak berubah berwarna biru. Hingga akhirnya Sendang Wonogung itu pun seiring berjalannya waktu kemudian dinamakan “Sendang Banyubiru”. Berdasarkan peristiwa itulah, Ki Kebo Kanigoro diberi julukan “Kiai Ageng Banyubiru” atau “Ki Buyut Banyubiru”. Kemudian pada era selanjutnya, konon julukan “Kiai Ageng Banyubiru” juga sering digunakan pula oleh murid-murid dan orang-orang sesudah beliau yang memang cinta pada sosok ketokohan beliau.
Perlu diketahui pula bahwa hingga saat ini dusun Banyubiru sering disebut sebagai tempat Jaka Tingkir berguru kepada Ki Kebo Kanigoro (Kiai Buyut Banyubiru). Konon selain Sendang Wonogung (Banyubiru), ada delapan sendang lain yang diyakini sebagai petilasan Ki Kebo Kanigoro (Kiai Buyut Banyubiru) dalam perjalanan panjang tersebut, di antaranya: Sendang Margomulyo, Sendang Krapyak, Sendang Margojati, Sendang Bendo, Sendang Gupak Warak, Sendang Danumulyo, Sendang Siluwih dan Sendang Sepanjang. Sendang Gupak Warak berada di Wonogiri, dan sendang lainnya tersebar di Weru, Sukoharjo. Semua sendang itu kini airnya telah menyusut. Bahkan Sendang Wonogung (Banyubiru) sudah tidak lagi mengeluarkan air, dan dibiarkan menjadi kolam kering penampung air hujan, dan di atasnya dibangun sebuah masjid.

C.  Nyai Gadhung Melati Kembali ke Sukoharjo
Kembali ke kisah Nyai Gadhung Melati dan putrinya yang disembunyikan di dusun Sekardangan sebagaimana yang disebutkan di atas. Yakni, setelah dalam masa yang cukup lama pergolakan politik kerajaan Islam Pajang dan Mataram (rentetan dari perpolitikan kerajaan Islam Demak Bintoro) sudah mulai mereda, maka Nyai Gadhung Melati dan Rara Tenggok (Rara Sekar Rinonce) memutuskan menyusul Ki Kebo Kanigoro (Kiai Buyut Banyubiru) yang telah kembali ke Sukoharjo-Jawa Tengah tersebut.[5] Diceritakan bahwa sebenarnya keputusan kembalinya Nyai Gadhung Melati bersama Rara Tenggok ke Sukoharjo-Jawa Tengah tersebut dirasakan berat hati oleh para warga masyarakat yang ada di dusun Sekardangan.
Dikisahkan pula bahwa sebelum Nyai Gadhung Melati memutuskan kembali menyusul suaminya yang terlebih dulu ke Sukoharjo-Jawa Tengah, beliau menyempatkan diri pergi ke daerah Batu-Malang bersilaturrahmi kepada salah satu sanak saudaranya.[6] Saat itu, Nyai Gadhung Melati dihantarkan oleh beberapa cantriknya dengan berjalan kaki. Sementara, Rara Tenggok (Rara Sekar Rinonce) putrinya tetap berada di dusun Sekardangan. Konon setelah beberapa bulan di Batu-Malang, Nyai Gadhung Melati mendengar kabar bahwa putrinya yang berada di dusun Sekardangan sakit keras. Beliau lalu memutuskan kembali pulang ke dusun Sekardangan. Namun setelah sesampai Nyai Gadhung Melati (Raden Ajeng Kardinah) di dusun Sekardangan, ternyata Rara Tenggok (Rara Sekar Rinonce) putrinya sudah sembuh atau dangan dari sakit yang dideritanya.
Perlu diketahui bahwa istilah “dangan” rangkaian dari kata “Sekardangan”, dalam bahasa Jawa berarti sembuh dari sakit yang diderita. Oleh karena kesembuhan putrinya tersebut, maka dusun tersebut dinamakan “Dusun Sekardangan”. Artinya, ketika Nyai Gadhung Melati (Raden Ajeng Kardinah) telah tiba dari Batu-Malang ke dusun tersebut, ternyata Rara Sekar Rinonce (Rara Tenggok) sudah “dangan” atau sembuh dari sakit yang diderita. Konon kesembuhan Rara Tenggok tersebut diobati dengan terapi bunga Melati yang memang memiliki banyak khasiat. Maka tak heran bila pada masa lampau, tanaman bunga Melati banyak tersebar di pekarangan-pekarangan warga dusun Sekardangan. Bahkan ada sebagian warga dusun Sekardangan yang menjadikan bunga Melati sebagai simbol magis dan organisasi kemasyarakatan maupun simbol perusahaan yang mereka dirikan.
Untuk mengenang jasa Nyai Gadhung Melati, Rara Tenggok, dan Ki Kebo Kanigoro (Kiai Buyut Banyubiru), maka dibangunlah sebuah monumen di areal petilasan rumah yang dahulu ditempati ketiga tokoh tersebut di dusun Sekardangan, desa Papungan, kecamatan Kanigoro, kabupaten Blitar. Dan setiap hari Selasa Kliwon bulan Muharram (Asyura), di monumen petilasan yang jaraknya kurang lebih dua ratus meter dari Masjid Baitul Makmur tersebut selalu digunakan acara kirim doa leluhur, tahlil, mengenang jasa cikal bakal, dan rangkaian ritual lainnya. Acara tersebut diikuti oleh beberapa warga dusun Sekardangan dan simpatisan sebagai bagian dari rangkaian acara ritual “Bersih Dusun Sekardangan” yang diadakan rutin setiap tahun.
Adapun silsilah nasab Ki Kebo Kanigoro (Kiai Buyut Banyubiru atau Kiai Siddiq Urip Banyubiru) dari pihak ayah dalam berbagai literatur masih bersambung dengan Rasulullah saw. Berikut silsilah nasab Ki Kebo Kanigoro dari pihak ayah: Nabi Muhammad SAW Sayyidah Fathimah Az-Zahra Al-Imam Sayyidina Hussain → Al-Imam Ali Zainal ‘Abidin → Al-Imam Muhammad Al Baqir → Al-Imam Ja’far As-Sodiq → Al-Imam Al-Imam Ali Uradhi .→ Al-Imam Muhammad An-Naqib .→ Al-Imam Isa Naqib Ar-Rumi → Al-Imam Ahmad al-Muhajir → Al-Imam Ubaidillah → Al-Imam Alawi Awwal → Al-Imam Muhammad Sohibus Saumi’ah → Al-Imam Alawi Ats-Tsani → Al-Imam Sayyid Ali Kholi’ Qosim → Al-Imam Muhammad Sohib Mirbath → Al-Imam Alawi Ammil Faqih → Al-Imam Abdul Malik Azmatkhan → Sayyid Abdullah Azmatkhan → As-Sayyid Ahmad Shah Jalal → As-Sayyid Asy-Syaikh Jumadil Kubro al-Husaini/ Syekh Jamaluddin Akbar al-Husaini .→ Syarif Muhammad Kebungsuan (Adipati Handayaningrat/  Ki Ageng Wuking I/ Ki Ageng Tingkir I) → Ki Kebo Kanigoro (Kiai Siddiq/ Kiai Buyut Banyubiru).
Sementara nasab Ki Kebo Kanigoro (Kiai Buyut Banyubiru) dari pihak ibu masih bersambung dengan Raja Majapahit Brawijaya V. Berikut silsilah Ki Kebo Kanigoro dari pihak ibu: Prabu Brawijaya V (Raja Kerajaan Majapahit terakhir) → Raden Ayu Retno Pambayun (suami Adipati Handayaningrat) → Ki Kebo Kanigoro (Kiai Buyut Banyubiru/ Kiai Ageng Purwoto Sidik). Selanjutnya, Ki Kebo Kanigoro menikah dengan Nyai Gadhung Melati (Raden Ajeng Kardinah) dan memiliki putri bernama Rara Tenggok (Rara Sekar Rinonce). Berdasarkan kedua uraian silsilah di atas, maka nasab Ki Kebo Kanigoro (Kiai Buyut Banyubiru) merupakan percampuran darah Jawa dan Arab.
Ketiga tokoh legendaris sebagai cikal bakal dusun Sekardangan (yang termasuk kawasan desa Papungan, kecamatan Kanigoro, kabupaten Blitar) tersebut, yakni: Ki Kebo Kanigoro (Kiai Purwoto Sidik atau Kiai Buyut Banyubiru), Nyai Gadhung Melati (Raden Ajeng Kardinah atau Nyai Ageng Sekardangan), dan Rara Tenggok (Rara Sekar Rinonce) setelah wafat dimakamkan di utara Sendang Wonogung Banyubiru di dusun Sarehan, desa Jatingarang, kecamatan Weru, kabupaten Sukoharjo (Selatan kota Solo, Jawa Tengah).[7] Sementara, sebagaimana yang telah diuraikan di atas bahwa tempat petilasan rumah yang dahulu kala pernah ditempati ketiga tokoh tersebut di dusun Sekardangan hanyalah merupakan sebuah monumen bersejarah untuk mengenang jasa-jasanya.

BAB DUA
SEJARAH SEKARDANGAN PADA MASA KERAJAAN ISLAM MATARAM

A.  Kisah Berakhirnya Kerajaan Islam Pajang
Pada akhir abad ke-15 masehi sekitar tahun 1587 setelah kekuasaan kerajaan Islam Pajang berakhir, maka kekuasaan berpindah di Kerajaan Islam Mataram yang dipimpin oleh Sultan Sutawijaya. Dalam pemerintahan Kerajaan Islam Mataram tersebut, Sultan Sutawijaya bergelar Panembahan Senopati Ing Ngalogo. Tentu saja, dia juga merupakan penerus dari dinasti kerajaan Islam Demak Bintoro yang didirikan Raden Fatah (Pangeran Djin Bun). Dan dikisahkan pula bahwa pada tahun tersebut, kerajaan Islam Pajang telah beralih status menjadi sebuah kadipaten yang kekuasaannya dibawah Kerajaan Islam Mataram dan dipimpin oleh Pangeran Gagak Bening, yakni adik dari Panembahan Senopati Ing Ngalogo (Sultan Sutawijaya).
Pada awal berdirinya kerajaan Islam Pajang telah disebutkan dalam beberapa literatur bahwa pada tahun 1568 Sultan Hadiwijaya dan para adipati Jawa Timur dipertemukan di Giri Kedaton oleh Sunan Prapen. Dalam kesempatan tersebut, para adipati sepakat mengakui kedaulatan Pajang di atas negeri-negeri Jawa Timur. Sebagai tanda ikatan politik, Panji Wiryakrama dari Surabaya (pemimpin persekutuan adipati Jawa Timur) dinikahkan dengan puteri Hadiwijaya. Dengan demikian, apabila para adipati se-Jawa Timur pada masa awal berdirinya kerajaan Islam Pajang tersebut dikumpulkan, tentu saja termasuk Adipati Ki Kebo Kanigoro (Kiai Buyut banyubiru) yang berada di Kadipaten Kanigoro (sekarang menjadi sebuah kecamatan di kabupaten Blitar) juga ikut dalam persekutuan pada adipati se-Jawa Timur tersebut.
Kisah bagaimana Ki Kebo Kanigoro (Kiai Buyut Banyubiru) sekeluarga yang petilasannya berada di Timur POM Bensin sebelah Utara jalan dan di dusun Sekardangan telah digambarkan pada bab sebelumnya. Akan tetapi, pasca keruntuhan kerajaan Islam Pajang hingga berkuasanya kerajaan Islam Mataram dan ketika Ki Kebo Kanigoro (Kiai Buyut Banyubiru) sudah kembali ke dusun Sarehan, desa Jatingarang, kecamatan Weru, kabupaten Sukoharjo, tidak terdapat kisah secara khusus, baik dari tutur tinular dari para sesepuh tentang bagaimana keberadaan Kadipaten Kanigoro kala itu. Apalagi tak dapat ditemukan pula sebuah kisah tutur tinular dari para sesepuh bagaimana keberadaan dan keadaan dusun Sekardangan setelah ditinggal Nyai Gadhung Melati (Raden Ajeng Kardinah) dan Rara Tenggok (Rara Sekar Rinonce) menyusul Ki Kebo Kanigoro ke Sukoharjo-Jawa Tengah.
Seakan-akan sudah tidak ada yang bisa bercerita tentang dusun Sekardangan pada masa awal pasca keruntuhan kerajaan Islam Pajang. Hingga akhirnya, sekitar abad ke-17 datanglah para tokoh dari Mataram yang juga dianggap mbabat dusun Sekardangan. Namun keadaan ketika para tokoh masa kerajaan Islam Mataram generasi abad ke-17  datang di dusun Sekardangan, sebenarnya di dusun tersebut sudah ada bukti pemakaman muslim yang tidak terawat dan berdekatan dengan “Petilasan Mbah Sekardangan” yang berjarak sekitar dua ratus meter (yakni tepat berada di seputar Barat dan Selatan Masjid Baitul Makmur Sekardangan). Diperkirakan bahwa makam-makam muslim yang tidak terawat tersebut merupakan makam para sesepuh pasca kembalinya Ki Kebo Kanigoro, Nyai Gadhung Melati (Raden Ajeng Kardinah), dan Rara Tenggok ke dusun Sarehan, desa Jatingarang, kecamatan Weru, kabupaten Sukoharjo-Jawa Tengah. Wal-khasil, mudah-mudahan para sesepuh dusun Sekardangan masa lalu yang makamnya sudah tak terawat dan nyaris sudah tak bernisan tersebut mendapatkan tempat yang bahagia di sisi-Nya.

B.  Tokoh Sekardangan pada Masa Kerajaan Islam Mataram
Sekitar abad ke-17 masehi, pada masa pertengahan Kerajaan Islam Mataram, dusun Sekardangan yang konon masih jarang penduduknya dan masih banyak pohon rindang kemudian dibabat oleh para tokoh yang berasal dari beberapa daerah. Terkecuali pemukiman Sekardangan bagian Selatan yang lebih dulu telah dibabat oleh Ki Kebo Kanigoro, Nyai Gadhung Melati (Raden Ajeng Kardinah), Rara Tenggok, dan beberapa cantriknya sebagai tempat persembunyian sebagaimana yang pernah dikisahkan. Diceritakan pula bahwa pada abad ke-17 tersebut ada lebih dari lima tokoh yang mbabat dusun Sekardangan,[8] di antaranya: Kiai Kasan Muhtar, Kiai Abu Yamin, Kiai Raden Tirto Sentono, Kiai Barnawi, Kiai Bontani, dan Kiai Wongsopuro (Kiai Sopuro).[9] Tentu saja, beberapa tokoh yang disebutkan itu hanya sebagian informasi yang bisa penulis dapatkan.
Para tokoh itulah yang diceritakan beberapa sesepuh sebagai orang yang mbabat dusun Sekardangan masa Kerajaan Islam Mataram. Adapun sekelumit kisah tentang para tokoh di atas dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.      Kiai Kasan Muhtar
Kiai Kasan Muhtar merupakan pendiri langgar pertama di Sekardangan bagian Utara. Keberadaan langgar yang beliau dirikan tersebut hingga kini sudah tidak ada bekasnya. Akan tetapi, beliau memiliki menantu bernama Kiai Abu Bakar yang meneruskan tongkat estafet pengajaran pendidikan Islam. Kiai Abu Bakar juga mendirikan sebuah langgar yang konon pada zaman Sekardangan belum memiliki sebuah bangunan masjid, langgar itulah yang dipakai untuk shalat Jum’at warga masyarakat. Setelah Kiai Kasan Muhtar dan istrinya wafat, jasad keduanya dimakamkan di Pemakaman Gaprang bagian Selatan, sebab pada masa itu dusun Sekardangan belum memiliki tempat pemakaman tersendiri. Sementara itu, setelah Kiai Abu Bakar wafat, jasad beliau dimakamkan di pemakaman keluarga sebelah Barat langgar yang beliau dirikan berjarak kurang lebih seratus meter. Diceritakan pula bahwa Kiai Abu Bakar merupakan santri pertama Syaikh Nawawi pendiri Pondok Pesantren Ringinagung, Pare, Kediri.[10] Di pemakaman keluarga tersebut juga terdapat makam putranya yang bernama Kiai Ghozali.
2.      Kiai Abu Yamin
Kiai Abu Yamin merupakan tokoh yang mbabat dusun Sekardangan bagian Tengah. Beliau memiliki tiga anak yang semuanya juga membangun sebuah langgar sebagai tempat beribadah kepada Tuhan. Tiga anak tersebut adalah Kiai Abdurrahman, Kiai Zainuddin, dan Nyai Maryam (istri Kiai Barnawi). Setelah Kiai Abu Yamin dan istrinya wafat, keduanya dimakamkan di Pemakaman Gaprang bagian Selatan, sebab pada waktu itu dusun Sekardangan belum memiliki tempat pemakaman sendiri.
3.      Kiai Raden Tirto Sentono
Diceritakan bahwa Kiai Raden Tirto Sentono juga merupakan tokoh yang mbabat dusun Sekardangan bagian Tengah bersama Kiai Abu Yamin. Apabila Kiai Abu Yamin mbabat sebelah Barat, maka Kiai Raden Tirto Sentono mbabat sebelah Timur. Konon Kiai Raden Tirto Sentono juga memiliki saudara yang dimakamkan di Puncak Gunung Pegat (utara kecamatan Srengat).[11] Berdasarkan hasil kajian dari keturunannya, dapat disimpulkan bahwa Kiai Raden Tirto Sentono hidup sezaman dengan Kiai Raden Muhammad Kasiman, Kiai Raden Sleman, dan Ndoro Tedjo yang makamnya berada di Puncak Gunung Pegat. Selanjutnya, setelah Kiai Raden Tirto Sentono wafat, jasadnya dimakamkan di Pemakaman Umum dusun Sekardangan. Sementara istri beliau dimakamkan di Pemakaman Gaprang bagian Selatan.
4.      Kiai Barnawi
Dikisahkan bahwa Kiai Barnawi merupakan menantu dari Kiai Abu Yamin yang konon merupakan tokoh yang mbabat dusun Sekardangan bagian Selatan, sebelah Utara jalan. Beliau inilah salah satu kiai yang mendirikan tempat ibadah berupa langgar pertama yang berada di dusun Sekardangan bagian Selatan. Hingga buku ini ditulis, langgar yang didirikan Kiai Barnawi tersebut sudah tidak ada bekasnya sama sekali. Konon puing-puing pondasi mushalla (langgar) yang dibangun Kiai Barnawi tersebut dulunya dipugar dan digunakan sebagai tambahan membuat pondasi Masjid Baitul Makmur. Tidak diketahui secara jelas di mana makam Kiai Barnawi berada. Namun diperkirakan Kiai Barnawi dimakamkan di sebelah Barat Masjid Baitul Makmur yang memang sejak dulu banyak bekas-bekas makam muslim yang sudah tidak dirawat oleh sanak keluarga dari generasi berikutnya.
5.      Kiai Bontani
Tak diketahui secara pasti bagaimana kisah Kiai Bontani yang makamnya berada di bawah “Pohon Jenar” sebelah Barat Masjid Baitul Makmur Sekardangan. Namun dari keterangan beberapa sesepuh, Kiai Bontani juga merupakan salah satu tokoh yang mbabat dusun Sekardangan bagian Selatan, sebelah Selatan jalan. Diceritakan pula bahwa Kiai Bontani memiliki saudara yang berada di daerah Talun. Hingga saat buku kecil ini ditulis, keberadaan makam Kiai Bontani dan istrinya masih dirawat dengan baik oleh generasi keturunan berikutnya.
6.      Kiai Wongsopuro
Kiai Wongsopuro yang sering disebut “Mbah Sopuro” ini konon berasal dari Lodoyo yang hidup sezaman dengan Raden Ragil Siddiq dan Raden Sutro Menggolo (Syaikh Abu Naim Fathullah) Lodoyo. Ada kisah menarik bahwa wirid yang diamalkan Kiai Sopuro berbunyi “Huk-Huk-Huk” dari kata “Huwa-Huwa-Huwa’, yang artinya Dia-Dia-Dia.[12] Setelah Kiai Sopuro wafat, jasadnya dimakamkan di sebelah Barat Masjid Baitul Makmur. Konon ketika Kiai Sopuro wafat, Masjid Baitul Makmur juga belum didirikan. Dan lokasi Barat Masjid Baitul Makmur tersebut diperkirakan sebagai areal pemakaman yang sudah ada sejak zaman Ki Kebo Kanigoro, Nyai Gadhung Melati, dan Rara Tenggok/Rara Sekar Rinonce (yakni, tiga tokoh cikal bakal dusun Sekardangan Era Kerajaan Islam Pajang). Ada banyak bukti dan informasi bahwa sebelum Masjid Baitul Makmur didirikan, terdapat banyak makam muslim di Barat masjid tersebut yang sudah tidak dirawat oleh generasi berikutnya.[13]

Selanjutnya, setelah generasi ke-3 atau ke-4 dari keturunan para tokoh yang mbabat dusun Sekardangan di atas, kemudian seputar abad ke-18 (Era Diponegoro-an akhir) muncul beberapa generasi berikutnya yang kebanyakan berasal dari daerah Bagelenan, Jawa Tengah. Tokoh yang berasal dari Bagelenan, Jawa Tengah misalnya: Kiai Imam Fakih (tokoh pendiri Pondok Pesantren Miftahul Huda), Kiai Kasan Thohiran (tokoh yang berjasa membantu perjuangan Kiai Imam Fakih mendirikan pesantren), dan lain sebagainya. Sementara itu, pada masa ini pula muncul Kiai Ahmad Dasuqi (menantu Kiai Zainuddin) yang berasal dari Manukan, Garum. Tentu saja, tidak hanya tokoh tersebut saja yang hadir di dusun Sekardangan pada masa itu.
Beberapa tokoh yang hidup semasa maupun kurun waktu setelah generasi para kiai di atas, antara lain: Kiai Abdurrahman, Kiai Zainuddin, Kiai Ghozali, dan beberapa kiai lainnya. Selanjutnya, setelah Kiai Imam Fakih dan istrinya wafat, jasad keduanya dimakamkan di sebelah Barat Masjid Baitul Makmur Sekardangan. Sementara itu, jasad Kiai Kasan Thohiran dan istrinya beserta jasad Kiai Ahmad Dasuqi dan ketiga istrinya dimakamkan dalam Pemakaman Umum dusun Sekardangan. Sekali lagi, tentu saja masih banyak para tokoh yang hidup semasa dengan kiai-kiai di atas yang lepas dari pantauan dan penelitian penulis.

C.  Kisah Berdirinya Pesantren dan Masjid Pertama di Sekardangan
Pada saat dusun Sekardangan belum memiliki sebuah lembaga pesantren dan masjid, maka pengajaran pendidikan agama Islam disampaikan oleh para kiai di rumah-rumah maupun langgar pribadi. Kebanyakan keberadaan langgar (mushalla) pada zaman tersebut merupakan aset pribadi yang tidak diwakafkan menjadi milik publik. Walau sejarah berdirinya pesantren dan masjid pertama di dusun Sekardangan tersebut sudah tidak berada di zaman Kerajaan Islam Mataram, namun penulis ingin memasukkan kisah tersebut dalam bab ini. Alasannya adalah kajian akan hal ini tidak bisa dimasukkan pada bab berikutnya, sebab penulis membatasi era modernisasi pada bab berikutnya sejak organisasi besar modern, yakni Nahdlatul Ulama (1926) dan Muhammadiyah (1912) berdiri di tahun tersebut. Padahal pesantren dan masjid pertama di dusun Sekardangan lebih dahulu berdiri sebelum kedua ormas keagamaan besar tersebut didirikan.
Bermula dari keberadaan institusi pendidikan Islam rumah-rumah dan langgar pribadi para kiai sebagaimana di atas, maka muncul sebuah ide cemerlang dari Kiai Imam Fakih, seorang ulama yang berasal dari Bagelenan-Jawa Tengah untuk menyatukannya dalam satu tempat. Ide dari Kiai Imam Fakih itu disambut dengan antusias oleh para kiai, tokoh masyarakat dan warga  dusun Sekardangan di zaman tersebut.  Akhirnya pada tahun 1900 masehi Kiai Imam Fakih beserta para kiai dan warga dusun Sekardangan bergotong- royong dan berhasil  mendirikan sebuah pesantren sebagai pengajaran pendidikan Islam yang lebih maju daripada institusi-institusi sebelumnya. Konon, seorang ulama yang sering disebut-sebut banyak berjasa membantu perjuangan pendirian pesantren pada waktu itu adalah Kiai Kasan Thohiran.[14] Diceritakan pula bahwa Kiai Kasan Thohiran ini masih merupakan keponakan Kiai Imam Fakih, yang konon juga berasal dari Bagelenan-Jawa Tengah.
Setelah Kiai Imam Fakih bersama-sama para warga masyarakat kala itu berhasil membangun sebuah pesantren, beliau kemudian berniat membangun sebuah masjid yang bisa digunakan untuk shalat Jumat warga. Kala itu, Kiai Imam Fakih menjual tanah miliknya kepada Handels Vereniging Amsterdam (HVA) untuk dijadikan sebagai jalan trem (jalan kereta api)  pengangkut tebu milik Belanda. Dari hasil penjualan tanah tersebut kemudian Kiai Imam Fakih menggunakannya untuk membuat sebuah masjid. Beliau juga mewakafkan sebagian tanah miliknya untuk dibanguni sebuah masjid tersebut. Maka, pada tahun 1903, berdirilah sebuah masjid pertama di dusun Sekardangan yang diberi nama “Masjid Miftahul Huda”, yang berarti tempat sujud yang menjadi pembuka petunjuk bagi manusia. Namun seiring berjalannya waktu, setelah masjid itu direhab pada tahun 1984, maka nama masjid tersebut diganti dengan sebutan “Masjid Baitul Makmur”, artinya tempat sujud sebagai rumah Tuhan yang selalu ramai untuk beribadah.
Dalam tulisan kecil ini, perlu disebutkan pula beberapa tokoh sentral kepemimpinan atau Ketua Ta’mir Masjid Baitul Makmur dari generasi ke generasi. Berikut kepemimpinan ta’mir masjid tersebut dari generasi ke generasi:
1.    Kiai Imam Fakih (1900 M – 1923 M)
2.    Kiai Imam Syadzali (1923 M – 1925 M)
3.    Kiai Ahmad Shobiri (1925 M – 1951 M)
4.    Kiai Abbas Fakih (1951 M – 1960 M)
5.    Kiai Imam Mahdi (1960 M – 1997 M)
6.    Kiai Muhammad Hamzah (1997 M – 2002 M)
7.    Kiai Mashudi (2002 M – sekarang), dan dibantu oleh Kiai Muhammad Munib (Ketua Ta’mir II) dan Kiai Saik Saiful Hadi (Ketua Ta’mir III).
Sebenarnya, masih banyak lagi tokoh-tokoh yang berkecimpung dalam struktur kepengurusan Ta’mir Masjid Baitul Makmur Sekardangan dari generasi ke generasi. Namun buku kecil ini tidak akan membahas secara lengkap struktur kepengurusan dari generasi ke generasi yang dimaksud. Sebab sudah ada dokumen khusus yang telah mencatat hal tersebut secara lengkap dari kepengurusan Ta’mir Masjid Baitul Makmur Sekardangan. Selain itu, buku kecil ini memang ditulis untuk maksud yang sangat global dan serba terbatas.

BAB TIGA
SEJARAH SEKARDANGAN PADA MASA MODERNISASI

A.  Berdirinya Institusi Pendidikan Formal Pertama
Dalam tulisan ini, yang dimaksud masa modernisasi pendidikan Islam dimulai sejak berdirinya organisasi besar Nahdlatul Ulama yang didirikan oleh Kiai Hasyim Asy’ari pada tahun 1926 dan Muhammadiyah oleh Kiai Ahmad Dahlan tahun 1912. Sebab mulai era tersebut telah terjadi modernisasi Islam dalam bidang apapun, mulai bidang pendidikan, sosial, budaya, politik, dan lain sebagainya. Bahkan era modernisasi dalam segi apapun bisa dimulai sejak berdirinya organisasi Budi Utomo tahun 1908. Namun karena tulisan ini berkaitan erat dengan konteks sosial budaya dan keagamaan Islam, maka era modernisasi dibatasi mulai dari berdirinya kedua ormas keagamaan yang hingga kini menjadi arus utama (mainstream) bangsa Indonesia.
Ciri khas modernisasi dalam dunia pendidikan Islam khususnya ditandai dengan adanya institusi formal dengan sistem klasikal dalam dunia pesantren. Apabila pada masa tradisional, sistem pendidikan Islam di pondok pesantren menggunakan kurikulum berdasarkan khatam kitab-kitab klasik, maka dalam masa modernisasi kurikulum tersebut sedikit demi sedikit sudah mulai berganti dengan kurikulum yang dicanangkan oleh pemerintah. Misalnya, seorang pelajar di era kurikulum tradisional biasanya harus khatam berdasarkan Kitab Jurumiyah, Kitab Nadzam Imrithy, Kitab Mutammimah, Kitab Alfiyah Ibnu Malik hingga kitab-kitab klasik lainnya. Di era kurikulum modern, sebuah kelulusan pendidikan yang didasarkan pada khatamnya kitab-kitab klasik sudah mulai tergerus atau berganti dengan kurikulum yang dicanangkan pemerintah.
Ciri khas kurikulum modern lainnya adalah dimasukkannya mata pelajaran umum dalam lembaga pendidikan Islam, misalnya: Matematika, Ilmu Bumi, Ilmu Pendidikan Sosial, Pendidikan Moral Pancasila, dan mata pelajaran umum lainnya. Tentu saja, semua mata pelajaran yang tersebut tidak atau belum diajarkan dalam masa pendidikan tradisional sebelumnya. Selain itu, ciri khas modernitas dalam dunia pendidikan Islam dimulai dengan adanya pakaian seragam layaknya di lembaga pendidikan umum. Biasanya dalam pendidikan berdasarkan kurikulum tradisional, para pelajar masih menggunakan sarung dan kopiah ketika menuntut ilmu di sebuah lembaga pendidikan Islam. Akan tetapi para pelajar pada masa modern sudah mulai menggunakan celana, sepatu, seragam, dan semacamnya.
Era modernisasi pendidikan Islam di dusun Sekardangan, dimulai sejak berdirinya institusi pendidikan formal pertama berupa Madrasah Ibtidaiyah Miftahul Huda Papungan 01 dan Taman Kanak-Kanak Al-Hidayah Papungan 01 yang berdiri pada tahun 1961. Dikisahkan bahwa Pendidikan TK Al-Hidayah Papungan 01 di dusun Sekardangan pertama kali diprakarsai oleh Kiai Asmuni (Mbah Muni). Konon seputar tahun tersebut keberadaan TK Al-Hidayah Papungan 01 bertempat di kediaman Kiai Asmuni (Mbah Muni) Sekardangan bagian Selatan.[15] Selanjutnya karena berbagai pertimbangan, setelah Kiai Asmuni (Mbah Muni) tidak lagi berkecimpung dalam hal tersebut, maka keberadaan TK Al-Hidayah Papungan 01 dipindah ke Sekardangan bagian paling Utara dan diasuh oleh Ibu Siti Rubikah.[16] Pada era selanjutnya yakni masa Kiai Muhammad Hamzah, TK Al-Hidayah Papungan 01 tersebut dipindah jadi satu dalam lingkungan Masjid Baitul Makmur Sekardangan bagian Selatan.
Sementara itu, kisah berdirinya MI Miftahul Huda Papungan 01 yang saat ini berada di lingkungan Masjid Baitul Makmur Sekardangan bagian Selatan, juga tidak lepas dari usaha para aktivis muda masa itu yang ingin menjadikan pendidikan Islam di mushalla atau langgar di seputar dusun Sekardangan menjadi satu tempat. Maka tersebutlah aktivis muda bernama Kiai Muhtar Fauzi dan kawan-kawannya mempunyai ide kreatif mendirikan lembaga pendidikan Islam formal pertama di dusun Sekardangan. Berawal dari para aktivis muda yang diprakarsai Kiai Muhtar Fauzi inilah, maka berdirilah sebuah lembaga pendidikan Islam formal tertua di dusun Sekardangan. Selanjutnya, pada tahun berikutnya dalam jangka yang cukup agak lama, kemudian muncullah Pondok Pesantren Mambaul Hisan yang didirikan oleh Kiai Muhammad Irfa’i dan disusul adanya SD Plus Sunan Pandanaran yang didirikan oleh Kiai Mahrus Yunus bersama tokoh-tokoh lainnya.

B.  Keberadaan Kegiatan Sosial Keagamaan
Pada masa Kiai Imam Mahdi, seorang tokoh kharismatik salah satu cucu dari Kiai Imam Fakih, keberadaan kegiatan sosial keagamaan dipandang cukup menjadi perhatian di kalangan masyarakat Blitar, Tulungagung, Kediri, dan daerah-daerah lainnya. Kiai Imam Mahdi inilah yang menjadi tokoh sentral perkembangan Jam’iyah Wirid Dala’ilul Khairat (Jawirot) di dusun Sekardangan yang memiliki pengikut terutama di tiga kabupaten tersebut. Dalam berbagai literatur, Wirid Dala’ilul Khairat yang disusun oleh Syaikh Abu Muhammad bin Sulaiman Al-Jazuli merupakan sebuah wirid shalawat yang silsilah keimuannya bersambung kepada Rasulullah saw. Maka dari itu, sebagian ulama ahli tasawuf menyebutnya sebagai sebuah Tharikah Mu’tabarah Jazuliyyah.
Adapun Silsilah Ijazah Wirid Shalawat Dalailul Khairat (Thariqah Jazuliyyah) di dusun Sekardangan yang dikembangkan oleh Kiai Imam Mahdi memiliki dua  jalur yang pada akhirnya bertemu pada Syaikh Abdus Salam Bin Massyish, yakni guru Syaikh Abul Hasan Ali As- Syadzili. Dari pertemuan ini, bisa dikatakan bahwa Syaikh al- Jazuli merupakan penganut Thariqah Syadziliyyah yang nantinya berkembang menjadi sebuah Thariqah Jazuliyyah. Kaitan Dalam hal tersebut Syafiq A. Mughni pernah mengatakan: “Abul Hasan as- Syadzili (wafat 1258 M) juga melahirkan thariqah yang berpengaruh di Sudan Timur. Thariqah ini pada abad ke- 15 direformasi dalam bentuk Thariqah Jazuliyyah di Maroko”. Berikut merupakan silsilah yang penulis dapat dari pada saat Haul Akbar Tharikah Jazuliyyah di dusun Sekardangan, di mana silsilah keilmuan Syaikh al- Jazuli ke atas akan bertemu dengan dua wali agung seperti Syaikh Abdul Qadir al- Jailani  (pendiri Thariqah Qadiriyyah) dan Syaikh Abul Hasan as- Syadzili (pendiri Thariqah  Syadziliyyah).
1.    Allah Rabbul Izzati Swt.. (1). Allah Rabbul Izzati Swt.
2.    Sayyidina Jibril. (2). Sayyidina Jibril.
3.    Nabi Muhammad Saw. (3). Nabi Muhammad Saw.
4.    Sayyidina Ali bin Abu Thalib. (4). Sayyidina Ali Bin Abu Thalib.
5.    Syaikh Hasan Al-Basri.  (5). Syaikh Hasan bin Ali.
6.    Syaikh Habib Al-Ajami. (6). Syaikh Abu Muhammad Jabir.
7.    Syaikh Daud At-Th’ai. (7). Syaikh Muhammad Said Al- Ghozwaniy.
8.    Syaikh Ma’ruf Al-Kharkhi. (8). Syaikh Fathus Su’ud.
9.    Syaikh Sari As-Saqati. (9). Syaikh Sa’ad.
10.     Syaikh Junaidi Al- Baghdadi. (10). Syaikh Abu Muhammad Said.
11.     Syaikh Abu Bakar Asy-Shibli. (11). Syaikh Abil Qosim Ahmad al Marwani.
12.     Syaikh Abdul Wahid At- Tamimi. (12). Syaikh Abi Ishaq Ibrahim al Bashri.
13.     Syaikh Abul Faroj At-Turtusi. (13). Syaikh Zainuddin Al- Qozwiniy.
14.     Syaikh Abul Hasan Ali  Al-Hukkari. (14). Syaikh Muhammad Syamsuddin.
15.     Syaikh Abu Said Mubarak Al- Mahzumi. (15). Syaikh Muhammad Tajuddin.
16.     Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani. (16). Syaikh Nuruddin Abil Hasan Ali.
17.     Syaikh Abu Madyan Syu’aib. (17). Syaikh Fakhruddin.
18.     Syaikh Muhammad Shalih. (18). Syaikh Taqiyyuddin Al- Fuqoyr.
19.     Syaikh Muhammad bin Harazim. (19). Syaikh Abdurrahman Al- Aththor Az- Zayyat.
20.     Syaikh Abdus Salam Bin Masyish. (20). Syaikh Abdus Salam Bin Masyish. (Disinilah pertemuan kedua silsilah keilmuan diatas bertemu).
21.     Syaikh Abul Hasan Ali Bin Abdul Jabbar As- Syadzili.
22.     Syaikh Abu Abdillah Al- Maghrobi.
23.     Syaikh Anusi Uwais Zamanihi Al- Badawi.
24.     Syaikh Abul Fadl Al- Hindi.
25.     Syaik Abu Zaid Abdurrahman Az- Zajroji.
26.     Syaikh Abu Ustman Sa’id Al- Hartani.
27.     Syaikh Abu Abdillah Muhammad Al- Amghori.
28.     Syaikh Abu Abdillah Muhammad Bin Sulaiman Al- Jazuli. (Muallif Shalawat Dala’ilul Khairat)
Silsilah jalur pertama:
29.     Syaikh Ahmad Al- Maknasi.
30.     Syaikh Muhammad.
31.     Syaikh Ahmad.
32.     Syaikh Abdurrahman Bin Ahmad Bin Muhammad Bin Ahmad Al- Husaini Al- Maghrobi Al- Maknasi.
33.      Syaikh Muhammad Bin Abdullah.
34.     Syaikh Muhammad Bin Sannah Al- Umari.
35.     Syaikh Abdurrahman Bin Sulaiman Al- Akhdal.
36.     Syaikh Husain Bin Muhammad Al- Habsy.
37.     Syaikh Muhammad Bin Husain Al- Habsy.
38.     Syaikh Abdullah Bin Jamid As- Shafi.
39.     Syaikh Al- Allamah Kamil Abdullah Sholah.
40.     Syaikh Salim Bin Abdullah Bin Umar As- Syathiri.
41.     Kiai Muhammad Azizi Hasbullah Selopuro.
Silsilah jalur kedua:
29.     Syaikh Ahmad Al- Maknasi.
30.     Syaikh Muhammad.
31.     Syaikh Ahmad.
32.     Syaikh Abdurrahman Bin Ahmad Bin Muhammad Bin Ahmad Al- Husaini Al- Maghrobi Al- Maknasi.
33.     Syaikh Al- Allamah Ahmad Bin Muhammad An- Nakhli Al- Makky.
34.     Syaikh Muhammad Tajuddin Abdul Muhsin Bin Salim Al- Qala’i dan Syaikh Abdul Qadir Bin Abu Bakar As- Shiddiqi.
35.     Syaikh Abdul Malik Bin Abdul Mun’im Al- Qala’i Al- Makky.
36.     Syaikh Yahya Bin Abbas Bin Muhammad Bin Shiddiq Al- Makky.
37.     Syaikh Abbas Bin Ja’far Bin Abbas Bin Muhammad Bin Shiddiq Al- Makky.
38.     Syaikh Ahmad Bin Abdullah As- Syammi (Tsumma Al- Makky)
39.     Syaikh Muhammad Yasin Bin Isa Al- Fadani Al- Makky.
40.     Kiai Abdul Aziz Bin Mansyur Pacul Gowang Jombang.
Silsilah jalur ketiga:
29.     Syaikh Abdurrahman Bin Ahmad.
30.     Syaikh Muhammad Bin Muhammad bin Abdullah Al- Maghrobi. (Al- Ashlu Al- Madani)
31.     Syaikh Rofi’uddin Bin Syamsuddin Al- Amiri Al- Qandahari.
32.     Syaikh Muhammad Shalih Bin Khairullah Ar- Radhawi Al- Bukhari.
33.     Syaikh Muhammad Bin Ibrahim Abi Khadir Ad- Dimyathi. (Tsumma Al- Madani)
34.     Syaikh Muhammad Amin Bin Ahmad bin Ridwan. (Syaikh Dala’il di Masjid Nabawi)
35.     Syaikh Abdul Muhsin Bin Muhammad Amin Ridwan. (Syaikh Dala’il di Masjidil Haram)
36.     Syaikh Muhammad Yasin Bin Isa Al- Fadani Al- Makky.
37.     Kiai Abdul Aziz Bin Mansyur Pacul Gowang Jombang.
Silsilah jalur keempat:
29.     Syaikh Abdul Aziz At- Tiba’i.
30.     Syaikh Ahmad Musa As- Simlali.
31.     Syaikh Ahmad Bin Abbas As- Shum’i.
32.     Syaikh Ahmad Al- Muqri.
33.     Syaikh Abdul Qadir Al- Fasiy.
34.     Syaikh Ahmad bin Al- Hajj.
35.     Syaikh Muhammad Bin Ahmad Bin Ahmad Al- Mutsanna.
36.     Syaikh Ali Bin Yusuf Al- Hariri Al- Madani.
37.     Syaikh Muhammad Amin Bin Ahmad Ar- Ridwan Al- Madani.
38.     Syaikh Abdul Muhsin Bin Muhammad Amin Ridwan.
39.     Kiai Mansyur Kalipucung.
40.     Kiai Sibawaih Baghowi Tlogo.
41.     Kiai Imam Mahdi, Kiai Nasruddin, Kiai Muhtar Fauzi Sekardangan.

Selain kegiatan sosial keagamaan yang berbasis spiritual seperti di atas, di dusun Sekardangan juga terdapat kegiatan Wirid Shalawat Nariyah yang dikembangkan oleh Kiai Mahrus Yunus, pendiri Pondok Pesantren Sunan Pandanaran Sekardangan bagian Selatan. Tak jauh dari itu, hingga kini di dusun Sekardangan masih ada kegiatan sosial keagamaan Islam lain, di antaranya: Jamaah Shalawat Barzanji, Shalawat Diba’ Al-Huda, Manaqib Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, Majelis Shalawat Gondo Suwargo, Majelis Shalawat Riyadhul Jannah, Yasinan Rutin setiap malam Jum’at,  Pengajian Selapanan Habib Idrus dari Bangil, Pengajian Muslimat Nahdlatul Ulama, Santunan Yatim Piatu oleh ibu-ibu Muslimat Nahdlatul Ulama, Pengajian Rutin di mushalla-mushalla maupun masjid dan lain sebagainya.
Hingga buku ini ditulis, banyak para kiai yang berkontribusi demi kegiatan sosial keagamaan di dusun Sekardangan. Adapun istilah “kiai” dalam bahasa Jawa dipakai untuk menyebut tiga jenis gelar yang saling berbeda, yaitu: (1) sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat; umpamanya, “Kiai Garuda Kencana” dipakai untuk sebutan Kereta Emas yang ada di Keraton Yogyakarta; (2) gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya; (3) gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajarkan kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya. Tentu saja, arti “kiai” dalam tulisan ini bukan menggunakan pengertian kategori yang pertama.
Adapun beberapa kiai yang telah berkontribusi dalam kegiatan sosial keagamaan di dusun Sekardangan saat ini, di antaranya: Kiai Mashudi, Kiai Syamsuri, Kiai Abdul Fatah, Kiai Muhammad Shokeh, Kiai Muhammad Munib, Kiai Kafrawi, Kiai Muhammad Tasrifin, Kiai Saiq Saiful Hadi, Kiai Saiful Anam, Kiai Abdul Hadi, Kiai Muhammad Irfai, Kiai Masykur, Kiai Nawadji Romli, Kiai Muhannan, Kiai Jamil Fakih, Kiai Kulli Syaiin, Kiai Muhammad Natsir, Kiai Bahruddin, Kiai Zainuddin, Kiai Tamzi, Kiai Mahmuddin, Kiai Masruhin, Kiai Suwandi, Kiai Fauzi, Kiai Yasin Fakih, dan beberapa kiai lainnya. Semua para kiai tersebut memiliki kontribusi menurut bidang masing-masing yang mereka geluti. Kiai Yasin Fakih misalnya, telah banyak berkontribusi dalam mengembangkan “Jam’iyah Terong” sekitar tahun 2004-2010. Berawal dari “Jam’iyah Terong” inilah akhirnya ada inisiatif dari kaum muda untuk membentuk sebuah Karang Taruna “Sekar Muda” dengan simbol bunga Melati yang hingga kini masih diakui keberadaannya.

C.  Keberadaan Institusi dan Kegiatan Sosial Kemasyarakatan
Ada banyak kegiatan sosial kemasyarakatan yang ada di dusun Sekardangan. Paguyuban Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) merupakan salah satu kegiatan sosial kemasyarakatan utama dalam struktur kepengurusan pemerintahan sebuah dusun hingga tingkat desa. Tiga tugas utama Rukun Tetangga (RT), di antaranya: (1) membantu menjalankan tugas pelayanan kepada masyarakat yang menjadi tanggungjawab pemerintah daerah; (2) memelihara kerukunan hidup warga; dan (3) menyusun rencana dan melaksanakan pembangunan dengan mengembangkan aspirasi dan swadana murni masyarakat. Tentu saja, ketiga hal tersebut bukan satu-satunya tugas utama Rukun Tetangga (RT) secara lengkap. Sebab masih ada beberapa Paguyuban Rukun Tetangga (RT) lain yang mengembangkan ketiga tugas utama tersebut menjadi beberapa sub/bagian.
Selain institusi RT dan RW, organisasi lain yang juga merupakan kegiatan bidang sosial kemasyarakatan dari tingkat desa Papungan hingga dusun Sekardangan adalah Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) “Maju Makmur” yang merupakan kepanjangan dari P2KP atau PNPM Mandiri. Adapun prinsip BKM Maju Makmur dalam Bab III Pasal 3 yang harus dijunjung tinggi, ditumbuhkembangkan dan dilestarikan, di antaranya; (1) demokrasi; (2) partisipasi; (3) transparasi dan akuntabilitas; (4) desentralisasi; serta (5) kolaborasi dan komprehensif. Sementara nilai BKM Maju Makmur yang harus dilestarikan dalam Bab III Pasal 4, di antaranya: (1) dapat dipercaya atau amanah; (2) ikhlas dan kerelawanan; (3) kejujuran; (4) keadilan; (5) kesetaraan; dan (6) kebersamaan dalam keragaman.
Sementara itu, kegiatan pemuda yang ada di dusun Sekardangan salah satunya dinaungi dalam wadah Karang Taruna “Sekar Muda” yang telah beberapa kali melakukan regenerasi (pergantian generasi). Dilihat dari segi bahasa, arti “karang” adalah tempat dan “taruna” berarti pemuda. Oleh karena itu, anggota Karang Taruna “Sekar Muda” Sekardangan adalah para pemuda terutama mereka yang sudah tidak bersekolah. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pemuda adalah penduduk yang berusia antara 15 – 35 tahun. Dengan demikian, ada banyak pemuda dusun Sekardangan yang usianya sebagaimana kisaran tersebut masih tetap aktif menjadi anggota karang taruna. Terdapat banyak kegiatan di dusun Sekardangan yang sering mendapat bantuan pemikiran dan tenaga dari para pemuda anggota karang taruna.
Tak jauh dari semua hal di atas, ada banyak kegiatan sosial kemasyarakatan yang terdapat di dusun Sekardangan baik secara struktur kelembagaan maupun terencana. Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia dengan mengadakan acara pemutaran film-film kemerdekaan Republik Indonesia merupakan salah satu kegiatan sosial kemasyarakatan terencana yang dilakukan oleh sebagian Paguyuban Rukun Tetangga (RT) di dusun Sekardangan. Sementara itu, kegiatan “Bersih Dusun” yang dilakukan setiap hari Selasa Kliwon bulan Muharram merupakan kegiatan sosial kemasyarakatan sekaligus berisi ritual keagamaan dan kebudayaan yang biasanya dilakukan bersama-sama mulai dari kamituwo (kepala dusun), ketua RT dan RW, hingga keterlibatan seluruh warga dusun Sekardangan.
Ada beberapa ritual tahunan berkaitan dengan bersih dusun Sekardangan tersebut, di antaranya: kirim doa leluhur baik di petilasan cikal bakal dusun Sekardangan maupun tahlil di kediaman kamituwo (kepala dusun). Selain itu, terkadang diadakan pementasan wayang kulit semalam suntup dengan menghadirkan dalang dari berbagai daerah secara bergantian setiap tahun. Terkadang pula, rangkaian bersih dusun tersebut juga diisi dengan pertunjukan seni jaranan, orkes, shalawatan dan semacamnya. Tentu saja, ritual bersih dusun tersebut diiringi dengan doa pengharapan agar semua warga dusun Sekardangan benar-benar bersih lahir dan batin, dimudahkan segala urusan, dan menjadi dusun yang tenang, tentram, damai sepanjang zaman.

BAHAN BACAAN

Al-Abrashi, (1969). Al-Tarbiyah Al-Islamiyah Wa Falasifatuha. Qahirah: Isa Al-Baby al-Halaby.
Anonim (2016). Petilasan Kiai Kebo Kanigoro. Artikel diakses pada tanggal 12 Juli 2016 dari http://promojateng-pemprovjateng.com.
---------- (2016). Petilasan Ki Ageng Kebo Kanigoro Boyolali. Artikel diakses pada tanggal 12 Juli 2016 dari http://www.jalansolo.com.
---------- (2016). Kisah Jaka Tingkir, Pernah Menjadi Raja di Kerajaan Pajang. Artikel diakses pada tanggal 12 Juli 2016 dari http://www.joko-tingkir.com.
---------- (2016). Ki Ageng Pengging. Artikel diakses pada pada tanggal 12 Juli 2016 dari https://mataram351.wordpress.com.
Basthomi, M, (2016). Anggaran Dasar Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) “Maju Makmur” desa Papungan, kec. Kanigoro, kab. Blitar. Makalah yang disampaikan dalam acara Musyawarah untuk Memilih Perwakilan BKM Maju Makmur Periode 2016-2019, tanggal 31 Mei 2016.
Dewantoro, Setyo Hajar (2016). Tempat-Tempat Menjalankan Laku Prihatin di Tanah Jawa. Artikel diakses pada tanggal 10 Juli 2016 dari http://setyochannel.blogspot.co.id.
Dhofier, Zamakhsyari, (1994). Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES.
Hatimah, Ihat, dkk., (2007). Pembelajaran Berwawasan Kemasyarakatan. Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka.
Kaira (2016). Menelisik Petilasan Kebo Kanigoro. Artikel diakses pada tanggal 12 Juli 2016 dari http://rumahkaira.blogspot.co.id.
Langgulung, Hasan, (2003). Pendidikan Islam dalam Abad ke 21. Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru.
Midaryo, Hasan (2016). Makam Ki Ageng Buyut Purwoto Sidik Ing Banyu Biru. Diakses pada tanggal 16 Juli 2016 dari  http://trahpanembahanwongsopati.blogspot.co.id.
Seto, Wiyonggo (2016). Kyai Kebo Kanigoro dan Mahesa Jenar. Artikel diakses pada tanggal 12 Juli 2016 dari http://wiyonggoputih.blogspot.co.id.
Shalabi, (1954). History of  Muslim Education. Beirut: Dar Al-Kasyaf.
Shofwan, Arif Muzayin, (2015). Silsilah Kyai Ageng Purwoto Sidik Banyubiru (Ki Kebo Kanigoro) Sukoharjo Jawa Tengah. Artikel diakses pada tanggal 15 Juni 2015 dari http://arifmuzayinshofwan.blogspot.co.id.
Soepono (1973). Kisah Joko Tingkir Sultan Hadiwijaya. Sragen: T.P.
Sub Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, (2001). Legenda Ki Ageng Banyubiru dan Joko Tingkir Ds. Jatingarang Kec. Weru Kabupaten Sukoharjo. Sukoharjo: Penerbit Dinas Perhubungan Pariwisata  dan Kebudayaan Kabupaten Sukoharjo.
Ta’mir Masjid (1990). Masjid Baitul Makmur Sekardangan Kanigoro Kabupaten Blitar, (Sekardangan: Ta’mir Masjid Baitul Makmur).
W. Erna, (2016). Asal-usul Cerita Rakyat Sendang Senjaya dan Karebet. Artikel diakses pada tanggal 12 Juli 2016 dari http://cempluks-kuliah.blogspot.co.id.
Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedi Bebas (2016). Joko Tingkir. Diakses pada tanggal 12 Juli 2016 dari https://id.wikipedia.org/wiki/Joko_Tingkir
---------- (2016). Ki Ageng Pengging. Diakses pada tanggal 12 Juli 2016 dari https://id.wikipedia.org/wiki/Ki_Ageng_Pengging.
---------- (2016). Kesultanan Pajang. Diakses pada tanggal 12 Juli 2016 dari https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Pajang.

TENTANG PENULIS
Arif Muzayin Shofwan adalah lelaki kelahiran Blitar, Jawa Timur. Dia pernah menuntut ilmu secara formal di TK Al-Hidayah Papungan 01 (1984); MI Miftahul Huda Papungan 01 (1991); MTsN Kunir, Wonodadi, Blitar, (1993); kemudian meneruskan di MAN Tlogo, Kanigoro, Blitar (1996). Setelah singgah di beberapa pesantren, dia kemudian menempuh kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Al-Muslihuun Blitar jurusan Sarjana Pendidikan Agama Islam (2004). Pernah kuliah Program Diploma dua pada jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar di Universitas Terbuka Negeri UPBJJ Malang (2007), dan jurusan S1 pada jurusan yang sama di universitas tersebut (2009). Kuliah pada Program Magister Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS) ditempuh di Universitas Kanjuruhan Malang (2009). Selanjutnya, dia menempuh Program Studi Doktor Pendidikan Agama Islam di Universitas Muhammadiyah Malang (2016).
Selain itu, pria yang memiliki hobi membaca dan menulis tersebut pernah tercatat sebagai Anggota Tim Inti Pusat Studi Agama dan Multikulturalisme (PUSAM) Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang (2013-2016). Dia juga pernah menjadi Ketua Divisi Pesantren, Hak Asasi Manusia, dan Multikulturalisme di The Post Institute Blitar (2012-2017). Organisasi lain yang pernah dilalui pria tersebut, di antaranya: Aktivis Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU); Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII); Anggota Lembaga Pecinta dan Pelestari Budaya Nusantara (LP2BN); Ketua Dewan Kepesantrenan Hidayatullah Blitar (2005-2010); Ketua Bagian Kesiswaan Lembaga Pendidikan Dakwah Masjid Agung (LPDMA) Kota Blitar (2013); Anggota Purwa Ayu Mardi Utama (PAMU); Ketua Remaja Masjid Baitul Makmur Sekardangan (REMAS), tahun 1998; dan beberapa lembaga dan organisasi lainnya.
Tulisan dan penelitian ilmiah yang pernah dipublikasikan, antara lain: Studi Manajemen Lembaga Pendidikan Dakwah di Masjid Agung Kota Blitar (Penerbit: STID Al-Hadid Surabaya, 2014); Dakwah Walisongo dan Konstruksi Sosial Masyarakat Jawa (Penerbit: STID Al-Hadid Surabaya, 2015); Character Building melalui Pendidikan Agama Islam: Studi Kasus di MI Miftahul Huda Papungan 01 Blitar (Penerbit: Program Pascasarjana IAIN Tulungagung, 2015); Signifikansi Nilai Pendidikan Multikultural dalam Ajaran Agama Buddha (Penerbit: Yayasan Dhammacakka Jakarta, 2016); Merajut Kebebasan Beragama dan Hak Asasi Manusia (Penerbit: Pusat Studi Agama dan Multikulturalisme Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang, 2015); dan lain sebagainya. Penggemar musik Kitaro dan segala musik bernuansa alam semesta tersebut bisa dihubungi melalui surat elektronik: arifms78@yahoo.co.id.


[1] Diceritakan bahwa Nyai Gadhung Melati merupakan nama samaran dilekatkan padanya. Nama samaran lainnya adalah Dewi Sekardani dan Dewi Sekartaji.
[2] Kerajaan Islam Pajang berkuasa mulai tahun 1568 - 1586. Kemudian tahun 1587 kekuasaan  kerajaan Islam Pajang berpindah di Kerajaan Islam Mataram.
[3] Saat buku ini ditulis, ibukota kabupaten Blitar telah berpindah di kecamatan Kanigoro.
[4] Makam Ki Ageng Kuning (pendiri desa Kuningan) dan Nyai Gadhung Melati istrinya berada di Pesarean Umum desa Kuningan, Kanigoro, Blitar.
[5] Diceritakan oleh para sesepuh Sekardangan di antaranya: Kiai Zainuddin Dasuqi, Kiai Tsabit, dan lain sebagainya.
[6] Diceritakan oleh Kiai Zaunuddin Dasuqi.
[7] Di zaman dahulu menjadi hal yang biasa apabila tokoh yang cikal bakal suatu dusun/desa hijrah ke dusun/desa lain dan dimakamkan di desa/dusun terakhir di mana dia singgah. Contohnya adalah Kiai Dermojoyo, tokoh yang cikal bakal desa Dermojayan, Srengat, Blitar makamnya berada di desa Gaprang, Kanigoro, Blitar.
[8] Diceritakan oleh Kiai Syuhadak yang diperolehnya dari cerita Kiai Tsabit. Sebagian sesepuh ada yang mengatakan bahwa yang mbabat dusun pada abad ke-17 lebih dari lima orang.
[9] Saat buku ini ditulis, generasi para tokoh tersebut rata-rata menempati urutan generasi keturunan ke-6 sampai ke-8, bahkan ke-9.
[10] Dikisahkan oleh Kiai Muhammad Sholeh (Mbah Sholeh).
[11] Dikisahkan oleh Bapak Gunawan.
[12] Dikisahkan oleh Kiai Zainuddin Dasuqi.
[13] Dikisahkan bahwa pada saat membuat pondasi Masjid Baitul Makmur bagian Selatan, para warga mendongkrak beberapa gerombol pohon Bambu. Dan dibawah akar pohon Bambu itu konon ditemukan beberapa tengkorak kepala manusia yang diperkirakan sudah ratusan tahun.
[14] Diceritakan oleh Kiai Mashudi.
[15] Saat buku ini ditulis, kediaman Kiai Asmuni (Mbah Muni) telah ditempati oleh Bapak Suyono (Pak Yono), generasi penerus Mbah Muni.
[16] Ibu Siti Rubikah merupakan salah satu generasi keturunan ke-4 dari Mbah Kiai Abu Yamin.