Oleh:
Arif Muzayin Shofwan
Kyai Ageng
Tunggul Wulung
Kota Pacitan terletak 524 km
sebelah timur dari ibukota Jakarta dan 209 arah barat daya dari kota Surabaya,
Jawa Timur, Indonesia. Kabupaten yang terkenal dengan Gunung Limo ini mempunyai
tradisi yang unik. Karena menganut penanggalan Jawa, yaitu tepat pada 1 Syuro.
Seperti daerah Jawa lainnya, untuk memperingati bulan baru Hijriyah diadakan
beberapa kegiatan. Beberapa diantaranya adalah pengajian, melekan, tirakatan,
perajahan, larung sesaji dan napak tilas sejarah. Sedangkan di Gunung Limo
bemerapa orang melakukan teteki atau bertapa di bulan itu, selanjutnya para
pertapa tersebut disambut oleh masyarakat dalam bentuk perayaan “TETAKEN” yang
diadakan setiap tanggal 15 bulan Syuro.
Tetaken berasal dari kata
“tetekian”, “teteki” mendapat imbuhan “an” (tetekian) yang berarti pertapa-an,
bermakna tempat pertapaan. Karena karakter bahasa setempat untuk mempermudah
penyebutan maka kata “tetekian” berubah pengucapannya menjadi “tetaken” tanpa
mengurangi makna sesungguhnya. Tradisi tersebut diadakan untuk mengingat
kembali proses datangnya Kyai Ageng Tunggul Wulung dan Mbah Brayut (Sunan
Bayat) ke Gunung Limo dan menetap di lereng Gunung Limo.
Digambarkan dalam ritual ini,
sang juru kunci Gunung Lima turun gunung. Bersama para cantriknya yang
sekaligus murid-muridnya. Mereka baru selesai menjalani tapa di puncak gunung
dan akan kembali ke tengah masyarakat. Bersamaan turunnya para pertapa dari
puncak gunung, iring-iringan besar warga muncul menyambut para pertapa memasuki
areal upacara. Masyarakat mengenakan pakaian adat Jawa. Barisan paling depan
adalah pembawa panji dan pusaka Tunggul Wulung (Panji Tunggul Wulung, Keris
Hanacaraka, Tombak Kyai Slamet, dan Kotang Ontokusumo/Jubah Hitam pertapa).
Kyai Ageng Tunggul Wulung
adalah orang pertama yang melakukan babat alas (hutan) di lereng Gunung Limo
kemudian menjadi Desa Mantren. Beliau juga diyakini sebagai orang yang
melakukan penyebaran agama Islam di Tanah Jawa yang sebelumnya lebih banyak
menganut agama Hindu dan Budha. Kedatangannya di lereng Gunung Limo diiringi
seorang asisten yang bernama Mbah Brayut (Sunan Bayat) yang akhirnya menjadi
cikal bakal dan menetap di Sidomulyo.
Sejarah Kyai Ageng Tunggul
Wulung bermula dari kedatangan prajurit “Soreng” seiring Kasultanan Demak
Bintoro yang berdiri di abad 15 M. Seorang prajurit “Soreng Pati” sebutan
prajurit kerajaan Demak Bintoro (berasal dari kata “sura ing pati” yang
berarti rela berkorban/mengabdi sampai mati) berpangkat “Mantri Tamtama”, yang
kemudian lazim disebut Kyai Ageng Tunggul Wulung generasi pertama, bagi
masyarakat Pacitan mungkin bukan sekedar figur sejarah semata. Hal ini terutama
terjadi di kalangan masyarakat lereng Gunung Limo yang meyakini bahwa Kyai
Ageng Tunggul Wulung penguasa pertama Gunung Limo, sekaligus pelopor penyebaran
agama Islam di Desa Mantren dan sekitarnya. Sedangkan nama Desa Matren berasal
dari kata “mantri” yang berati penguasa yang memiliki kebijakan. Berdasar
urutan pangkat dari atas: (1) Raja/Sultan; (2) Adipati/Bupati; (3)
Demang/Camat; (4) Mantri/Lurah; (5) Punggawa/Pegawai kerajaan atau pangkat
dalam kerajaan; (6) Tamtama/prajurit; (7) Soreng Pati prajurit khusus berani
mati. Hal ini menunjukkan bahwa Kyai Ageng Tunggul Tunggul Wulung adalah
penguasa daerah tersebut.
Kyai Ageng Tunggul Wulung,
tidak lain adalah salah seorang prajurit yang mendapat perintah Raden Patah
(Raja Kasultanan Demak Bintoro) menjaga pusaka bendera panji hitam yang disebut
panji “Kyai Tunggul Wulung” untuk dikibarkan di puncak-puncak gunung di tanah
Jawa sebagai tanda syiar Islam secara turun-temurun. Karena mendapat tugas
untuk menjaga panji Tunggul Wulung, soreng pati yang berpangkat mantri tamtama
tersebut diberi gelar Kyai Ageng Tunggul Wulung sesuai dengan nama pusaka yang
dijaganya. Hal serupa juga terjadi pada pengangkatan Kyai Jayaniman pada masa
Diponegoro sebagai Bupati Pacitan yang bergelar “Kanjeng Jimat” setelah
mengabdikan diri sebagai juru pusaka di gedong Jimatan (1812-1826).
Ketenaran nama Kyai Ageng Tunggul
Wulung sebagai simbol syiar Islam tidak hanya di Gunung Limo. Di Kadipaten Wengker
(sekarang bernama Ponorogo) pada era Demak, Raden Katong (Betara Katong) yang
bernama asli Lembu Kanigoro putra raja Majapahit Brawijaya V dari ibu yang
berasal dari Bagelen, selaku adipati beliau memiliki pusaka tombak pengibar
panji kejayaan yang bernama “Tunggul Wulung”. Tombak Tunggul Wulung milik
Betara Katong tersebut sebagai pusaka simbol peradaban Islam di Ponorogo.
Sampai saat ini tombak Tunggul Wulung bersama dengan pusaka Payung Tunggul Naga
dan ikat pinggang Cinde Puspito masih rutin setiap tahun diarak dalam tradisi
kirab “Napak Tilas” pada 1 Syuro dari komplek makam Betara Katong menuju pusat
kota.
Sejarah Kyai Ageng Tunggul
Wulung ini berawal dari senjakala Majapahit yang ditandai mulai redupnya
pengaruh kekuasaan Raja Brawijaya V, saat kakak tertuanya Raden Jaka Purba yang
berganti nama sebagai Raden Fatah, mendirikan Kasultanan Demak Bintoro. Lembu
Kanigoro mengikuti jejaknya, untuk berguru di bawah bimbingan Wali Songo di
Demak. Dengan tujuan memperluas kekuasaan dan syiar Islam, Raja Demak
mengirimkan santri-santri sekaligus mantri tamtama pilihan menuju Wengker.
Salah satu yang terbaik adalah Raden Katong lalu kemudian memilih tempat yang
memenuhi syarat untuk pemukiman, yaitu di Dusun Plampitan, Kelurahan Setono,
Kecamatan Jenangan (Purwowijoyo. Babad Ponorogo Jilid I. Ponorogo : CV.
Nirbita, 1978: 22).
Pada tahun 1486 M, hutan
dibabat atas perintah Batara Katong, tentu bukannya tanpa rintangan. Banyak
gangguan dari berbagai pihak-pihak yang tidak berkenan dengan kedatangan Batara
Kathong di Bumi Wengker, termasuk makhluk halus yang datang. Namun, karena
bantuan warok dan para prajurit Wengker, akhirnya pekerjaan membabat hutan itu
lancar. Para punggawa dan anak cucu Batara Katong inilah yang kemudian
mendirikan pesantren-pesantren sebagai pusat pengembangan agama Islam. Beliau
kemudian dikenal sebagai Adipati Sri Batara Katong (gelar yang diberikan oleh
Sunan Kalijaga) yang membawa kejayaan bagi Ponorogo pada saat itu. Hal ini
ditandai dengan adanya prasasti berupa sepasang batu gilang yang terdapat di
depan gapura kelima di kompleks makam Batara Katong di mana pada batu gilang
tersebut tertulis candrasengkala memet berupa gambar manusia, pohon, burung (
Garuda ) dan gajah yang melambangkan angka 1418 saka atau tahun 1496 M
(Purwowijoyo. Babad Ponorogo Jilid I, 49-50).
Batu gilang itu berfungsi
sebagai prasasti "Penobatan" yang dianggap suci. Atas dasar bukti
peninggalan benda-benda purbakala tersebut dapat ditemukan hari wisuda Batara
Katong sebagai Adipati Kadipaten Ponorogo, yakni pada hari Ahad Pon Tanggal 1
Bulan Besar, Tahun 1418 saka bertepatan dengan Tanggal 11 Agustus 1496 M atau 1
Dzulhijjah 901 H (Prasasti Batu di Komplek Makam Batara Katong).
Pada masa Demak daerah Wengker Kidul sudah banyak
dijelajahi oleh para mubaligh. Beberapa diantaranya:
1.
Ki Ageng Jaiman (sekitar Arjosari). Seorang murid Sunan
Kalijaga jang pandai membuat terbang/rebana dan bedug. Memiliki peninggalan
pusaka “tatah panjang” yang masih tersimpan di Desa Gembuk (rumah Bapak Imam).
2.
Ki Ageng Klomoh di Desa Gembuk. Adalah utusan Raden
Patah untuk bahan tali ijuk di sekitar Gunung Limo untuk pembangunan masjid
Demak di tahun 1477 M.
3.
Syeih Maulana Maghribi seorang ulama dari tanah Maghrib
(Maroko) untuk mengajar agama Islam, menetap di Dusun Duduhan (Desa Mentoro)
bersamaan babat alas Wengker tahun 1486 M.
4.
Sunan Siti Geseng/R. Jaka Deleg/Ki Ageng Petung
bersamaan babat alas Wengker tahun 1486 M.
5.
Ki Ageng Posong/Ki Ageng Ampok Boyo setelah penobatan
Adipati Betara Katong tahun 1496 M.
6.
Ki Ageng Menak Sopal/R. Juwono/Mantri Tamtama/Seorang
Soreng Pati/Eyang Tunggul Wulung di Lereng Gunung Limo.
7.
Kyai Brayut/Sunan Bayat/Pangeran Mangkubumi, Susuhunan
Tembayat, Sunan Pandanaran (II), atau Wahyu Widayat, Syaikh Ihsan Nawawi cucu
Sunan Ampel Surabaya.
Syeih Maulana Maghribi
memiliki peran terhadap sejarah babad di Pacitan sebagai mubaligh Islam pertama
kali yang dikirim oleh Raden Patah (Kadipaten Demak Bintoro) ke tanah Wengker
Kidul untuk menidik ilmu tauhid. Kedatangan beliau dikawal oleh Ki Ageng Petung
(Raden Jaka Deleg /Kyai Geseng). Dalam versi lain Kyai Geseng memiliki sebutan
Sunan Siti Geseng murid Sunan Kalijaga (Raden Mas Sahid). Hal ini diperkuat
dengan adanya jubah Sunan Siti Geseng yang masih disimpan di Masjid Nurul Huda
Desa Tanjungpuro, Kecamatan Ngadirojo, Pacitan lengkap dengan seperangkat alat
pertukangan yang digunakan membangun masjid. Benda sejarah yang tersimpan di
dalam kotak masih ada sampai sekarang dan diletakkan di atas cungkup masjid.
Kedatangan Sunan Siti Geseng di Wengker Kidul ditandai dengan penanaman bambu
petung, yang kemudian bergelar Ki Ageng Petung (sisa-sisa peninggalan berupa
pusaka dan alat-alat pertukangan masih tersimpan di Desa Kembang dan Sirnoboyo
Kecamatan Pacitan).
Dari arah utara Ki Ageng
Petung memiliki tugas mengawal Syeih Maulana Maghribi di daerah duduh (daerah
dakwah). Karena masa itu Syeih Maghribi dikenal dengan sebutan yang dakwah atau
duduh dari Demak Bintoro, maka lidah Jawa menyebutnya “Duduhan Bintoro”
sehingga sekarang bernama Dusun Duduhan di Desa Mentoro. Pada masa pemerintahan
Kadipaten Ponorogo demi ekspansi kekuasaan Adipati Batara Katong mengutus Ki
Ageng Posong (Ki Ageng Ampokboyo) ke Wengker Kidul. Ki Ageng Posong mendapat
perintah berkoalisi dengan Ki Ageng Petung menakhlukkan Buwana Keling penguasa
Wengker Kidul, sehingga terjadilah perselisihan di Wengker Kidul akibat niat
mempersatukan wilayah Wengker Lor dan Wengker Kidul dibawah pemerintahan Batara
Katong (+ 1496 M).
Negeri Buwana Keling terletak
di (Jati Kec. Kebonagung) ± 7 km dari ibukota Pacitan. Buwana Keling seorang
penguasa Wengker Kidul, masih beragama Budha Siwa berasal dari Pajajaran,
menikahi putri Brawijaya V yang bernama Ni Toh Gati yang tidak lain adalah
saudari tua Raden Patah maupun Raden Katong sendiri. Ajakan Betara Katong
mempersatukan seluruh wilayah Wengker melalui utusannya tidak ditanggapi oleh
Buwana Keling yang tak lain adalah iparnya sendiri karena strata penguasa
Wengker Kidul lebih tua dari Betara Katong, hal ini menjadi pemicu peperangan
sengit yang cukup panjang antara kedua belah pihak.
Dalam sebuah legenda Ki Ageng
Posong bersama Ki Ageng Petung dibantu Ki Ageng Menak Sopal (kelak menjadi
cikal bakal Kabupaten Trenggalek), mereka bertiga kewalahan menghadapi
pertahanan Buwana Keling, sehingga ketiganya meminta saran kepada Syeh Maulana
Maghribi agar dapat memenangkan peperangan. Setelah mengetahui rahasia
kelemahan Buwono Keling atas saran Syeh Maulana Maghribi, ketiganya berhasil
memenggal tubuh Buwono Keling menjadi tiga bagian dan memakamkannya di tiga
tempat.
Sementara dari arah barat
datang rombongan Sunan Bayat melakukan syiar Islam di daerah Kalak (Kecamatan
Donorojo). Beliau dikenal dalam ragam sejarah lisan masyarakat setempat sebagai
ulama yang telah menakhlukkan hati Raden Kalak memeluk agama Islam. Raden Kalak
adalah anak Brawijaya V yang mengawini adiknya sendiri (anak Brawijaya V putri
dari ibu yang berbeda). Huru hara Majapahit, menyebabkan ia bersama istrinya
melarikan diri di sekitar hutan Donorojo (yang kemudian dikenal sebagai Desa
Kalak). Atas nasehat Sunan Bayat serta merta Raden Kalak bersedia menceraikan
istrinya dan menikahi salah seorang putri Sunan. Raden Kalak bergelar Kyai
Cengkris, sedangkan janda yang tak lain adiknya sendiri dinikahkan dengan Kyai
Sujendro pengikut setianya.
Sampai sekarang terdapat mitos
dari pekuburan kedua tokoh tersebut tumbuh pohon pucang (jambe/pinang) yang
memiliki keajaiban apabila potongan kayunya dibawa dapat kebal terhadap semua
jenis senjata. Dari mitos tersebut terdapat kisah pada tahun 1965 saat
pergolakan G30S/PKI, beberapa anggota tentara Siliwangi yang melakukan
pemberantasan tokoh-tokoh PKI menyita beberapa potongan kayu tersebut kepada
masyarakat. Cerita ini dibenarkan oleh masyarakat setempat. Kemahsyuran Raden
Kalak ditandai dengan masih banyak pengunjung yang datang ziarah di Gua Kalak.
Bahkan Presiden Suharto di tahun 1972 pernah ziarah di sana diikuti petinggi
negara (Mbah Morejo:1980 melalui Juru Kunci Gua Kalak)
Usai menyampaikan syiar kepada
Raden Kalak dan pengikutnya, Sunan Bayat melanjutkan perjalanan ke Timur sampai
di Dusun Bleber (Kecamatan Kebonagung). Disana beliau dikenal dengan sebutan
Mbah Brayat/Brayut sebagai tokoh yang babad alas di daerah Gayam dan Sidomulyo.
Sebutan Brayat diambil dari bahasa Jawa “sak brayat” yaitu boyong dalam jumlah
banyak pengikutnya, sedangkan Brayut dari kata “brayut” yang berarti membawa
beban perbekalan yang banyak. Menurut legenda setempat Sunan Kalijaga menemui
Sunan Geseng dan Mbah Brayut (Sunan Bayat) dalam rangka membuka lokasi nelayan,
sempat melakukan sholat berjamaah di tepi pantai Kaliwuluh. Peninggalan mereka yang
kemudian dikenal sebagai “Batu Pesalatan Kalijaga” masih ada sampai saat ini.
Pada masa peralihan Wengker
Kidul dari Buwana Keling yang berkiblat pada Majapahit jatuh ke tangan utusan
Demak dibawah koordinasi betara Katong tahun +1500 M, beberapa tokoh ulama dan
tokoh masyarakat berkumpul di puncak Gunung Limo. Tokoh-tokoh tersebut adalah
Kyai Jaiman (Arjosari), Ki Ageng Komoh (Gembuk), Syeh Maulana Maghribi (duduhan
Bintaro), Ki Ageng Petung, Ki Ageng Posong, Ki Ageng Menak Sopal, Mbah Brayut,
Mantri Tamtama beserta para soreng pati (pasukan Demak). Sebagai tanda masuknya
Islam di bumi Wengker Kidul mereka memberi tanda berupa penancapan panji hitam
di puncak Gunung Limo yang diberi nama Pusaka Kyai Tunggul Wulung.
Usai pertemuan tokoh-tokoh tersebut sebagian
melanjutkan dakwah ke daerah lain dan sebagian tinggal di Wengker Kidul.
Beberapa tokoh yang meninggalkan daerah Wengker Kidul antara lain:
1. Ki
Ageng Menak Sopal pergi ke daerah Trenggalek
2. Sunan
Geseng (Cakrajaya) ke daerah Jolosutro, Piyungan, Bantul Yogyakarta.
3. Sunan
Bayat/Mbah Brayut ke daerah Klaten (Jawa Tengah).
4. Syeih
Maulana Maghribi ke Kasultanan dikawal sebagian prajurit Soreng Demak Bintoro
Pusaka panji hitam Tunggul
Wulung atas perintah Raden Patah dijaga oleh seorang prajurit soreng pati
berpangkat Mantri Tamtama yang kemudian disebut Eyang Mantren tokoh cikal bakal
Desa Mantren. Tunggul Wulung adalah simbol kegemilangan Islam di Wengker Kidul,
dijaga turun temurun oleh keturunan para soreng sekaligus ulama, sehingga dari
generasi ke generasi silih berganti para penjaga Gunung Limo tersebut dipercaya
sebagai keturunan Kyai Ageng Tunggul Wulung. Beberapa peninggalan Kyai Ageng
Tunggul Wulung di Dusun Juwono Desa Mantren yang masih ada antara lain masjid,
keris bethok, kotang ontokusumo, pusaka cakra munasatru dan petilasan pertapaan
Gunung Limo, termasuk tradisi masyarakat yang disebut upaca adat TETAKEN.
Sementara itu Mbah Brayut (Sunan
Bayat) memiliki peninggalan berupa cungkup yang mirip makam, namun bukan jasad
yang dikuburkan melainkan perabot dan alat-alat pertukangan miliknya yang telah
usang. Maksud dikuburkan benda-benda tersebut untuk menghindari syirik dan
pengkultusan, Mbah Brayut kembali ke daerah barat setelah menyelesaikan
tugasnya babad alas dan mendidik warganya (wawancara Kyai Fathkhurrozi.
Pimpinan Ponpes Bleber). Di era Mataram di abad XVII yang dipimpin oleh Sultan
Agung panji hitam Tunggul Wulung digunakan sebagai simbol kekuasaan Kasultanan
Islam Mataram. Kyai (Pusaka) Tunggul Wulung diikatkan pada sebatang Tombak Slamet
dengan ukuran 4 X 2 meter. Sampai saai ini masih tersimpan dalam gedong pusaka
keraton Yogyakarta.
Sultan Agung Hanyokrokusumo
raja Mataram termasyur alias Raden Mas Rangsang alias Raden Jatmika (memerintah
1613-1646). Beliau raja terbesar dari Mataram, menggantikan ayahandanya,
Panembahan Seda (ing) Krapyak, setelah ayahandanya ini wafat pada tahun 1613.
Versi lain mengatakan naik tahta pada tahun 1613 dalam usia 20 tahun
menggantikan kakaknya Adipati Martapura, yang hanya menjadi Sultan Mataram selama
satu hari. Sebenarnya secara teknis Raden Mas Rangsang adalah Sultan ke-empat
Kasultanan Mataram, namun secara umum dianggap sebagai Sultan ke-tiga karena
kakaknya yang menderita tuna grahita diangkat hanya sebagai pemenuhan janji
ayahnya, Panembahan Hanyokrowati kepada istrinya, Ratu Tulung Ayu.
Sultan Agung memiliki banyak
peninggalan pusaka yang disimpan di gedong pusaka, salah satu pusaka yang
terkenal keampuhannya adalah Kyai Tunggul Wulung. Berwujud bendera hitam dengan
ukuran 2 meter x 4 meter. Merupakan Hadiah dari seorang mufti Masjidil Haram
Makkah Almukaromah, berasal dari kiswah (kain penutup Kakbah). Di tengah-tengah
bendera terdapat tulisan Al-Qur’an Surat Al Kautsar, Asma’ul Husna, dan
Syahadat. Menurut perkiraan umur Panji Hitam Tunggul Wulung lebih tua dari
keraton Yogyakarta yang didirikan pada tahun tahun 1755M. Hadirnya Kyai Tunggul
Wulung ini atas jasa Sultan Agung sebelum Hamengku Buwono I, artinya sudah ada
sebelum keraton Yogyakarta berdiri. Dan Mataram masih berada di Kotagede.
Dalam sejarah, Sultan Agung
mempunyai wilayah kekuasaan yang sangat luas, antara lain meliputi seluruh
wilayah pantai utara yang membentang dari Karawang, di sebelah barat sampai
Pasuruhan di sebelah timur. Ditambah dengan Mancanegara meliputi Priangan
Timur, Banyumas, Pacitan, Madiun, Jipan (sebalah barat daya Surabaya), Jipang
(sebelah tenggara Rembang), dan Grobogan. Pada masa pemerintahan Sultan Agung,
Pacitan dikenal sebagai wilayah pandean dan pendadaran prajurit Tunggul Wulung.
Disinilah pasokan senjata borongan prajurit seperti tumbak, keris, pedang,
perisai baja diproduksi. Saat penyerangan Batavia, Tuban, Surabaya, Madura,
Wirasaba, Malang sampai Banyuwangi, Begenen Pacitan memproduksi lebih dari 500
juta suku cadang senjata (majalah Soeratan edisi VI Maret 2013 hal 16).
Selain senjata, di Pacitan
terdapat lokasi pendadaran (pelatihan kanuragan dan kebatinan) yang berpusat di
Gunung Limo. Pendadaran prajurit kemudian lazim disebut sebagai “wisudan
Tunggul Wulung” (wisuda yang dilakukan oleh Kyai Ageng Tunggul Wulung).
Prajurit Mataram melakukan pendadaran olah kanuragan dan kebatinan kepada
pemuda-pemuda di desa-desa dengan tujuan memperkuat pertahanan kerajaan apabila
sewaktu-waktu ada peperangan. Pembekalan yang dilakukan oleh prajurit Mataram
dibawah Panji Tunggul Wulung tidak hanya olah fisik saja kepada generasi muda,
melainkan mengajarkan ilmu kasepuhan kepada masyarakat. Memantabkan ajaran
Islam secara esketik dikombinasi dengan penanaman prinsip-prinsip pengabdian
kepada negara. Mendekatkan hubungan kerajaan dengan masyarakat sekaligus
mempereratnya. Kegiatan penanaman mental bela negara, olah kaprajuritan,
kepatuhan kepada raja dan kerajaan, nilai nilai moral, spiritual lahir dan
bathin oleh prajurit Mataram Tunggul Wulung ini di kemudian hari menjadi sebuah
tradisi dari generasi ke generasi yang disebut dengan “TETAKEN”.
Pada tahun 1825-1830, ketika
Perang Sabil berkobar sampai di tlatah Pacitan, Diponegoro memakai jubah putih
dan berpakaian wulung, turut serta dalam pasukannya mengibarkan “Panji Hitam
Tunggul Wulung” dipimpin Kyai Yahudo Lorok (Ngadirojo Pacitan). Keturunan Kyai
Yahudo bernama Kyai Hasan Besari di Tegalsari Ponorogo (Guru Muhammad Burham/R.Ngabehi
Ronggowarsito/Abdul Manan Kyai Tremas).(wawancara KH. Fuad Dimyathi). Ucapan
Pangeran Diponegoro kepada Jendral De Kock pada saat penangkapannya. “Namaningsun Kangjeng Sultan Ngabdulkamid.
Wong Islam kang padha mukir arsa ingsun tata. Jumeneng ingsun Ratu Islam Tanah
Jawi” (Nama saya adalah Kanjeng Sultan Ngabdulkhamid, yang bertugas untuk
menata orang Islam yang tidak setia, sebab saya adalah Ratu Islam Tanah Jawa).
(P. Swantoro, Dari Buku ke Buku, Sambung Menyambung Menjadi Satu, 2002).
Dalam konteks inilah, sejarah
syiar Islam sebagai sebuah ajaran, kemudian bersilang simpang siur dengan
kekuasaan politik dan nasionalisme. Penyebaran agama Islam, membawa dampak
secara langsung terhadap perluasan pengaruh, berarti juga kekuasaan dan
perjuangan. Di masa peralihan Islam Raden Patah telah menjadi figur yang
diidealkan, penguasa sekaligus ulama. Bagi kalangan tokoh-tokoh muslim
tradisional di daerah Wengker, Raden Patah melalui saudaranya Batara Katong
sebagai peletak dasar kekuasaan politik di Wengker (Ponorogo), dan lebih dari
itu dalam ekspansi kekuasaan pengaruh politiknya sampai di Wengker Kidul
(Pacitan).
Senjakala Majapahit menguatkan
tekad Raden Patah menyatukan saudara-saudaranya yang merupakan keturunan
langsung dari ayahanda Brawijaya V di Wengker Kidul dibawah panji kebesaran
Kasultanan Demak yang bercorak Islam, ragam peristiwa terekam dalam ragam
sejarah lisan, cerita dan legenda masyarakat Pacitan. Kegemilangan peradaban
Islam di Wengker Kidul ditandai dengan berkibarnya Panji Hitam Tunggul Wulung
di puncak Gunung Limo. Berlanjut pada peristiwa pendadaran Prajurit Mataram di
bawah Panji Tunggul Wulung sebagai wujud nasionalisme, pertahanan dan
perlawanan masyarakat pada masa Sultan Agung, Gunung Limo telah menjadi simbol
kebesaran masyarakat Pacitan. Fenomena Panji Hitam Tunggul Wulung di tangan
Kyai Yahudo berkibar mengiringi Pangeran Diponegoro dalam perang Sabil melawan
penjajah Belanda, memberikan isyarat bahwa Tunggul Wulung adalah SEJARAH.
Posisi itulah yang menjadi
menarik untuk dilacak lebih jauh, terutama dalam kaitan membaca wilayah alam
bawah sadar yang menggerakkan kultur Islami masyarakat, khususnya elit-elitnya
(tokoh besar nasional, ulama, kyai dan para sesepuh) yang terlahir di Pacitan.
Hal inilah yang kemudian membuat penulis tertarik untuk membahasnya dalam
bentuk karya tulis dengan judul “Tunggul Wulung Sebagai Simbol Masuk dan
Berkembangnya Islam di Gunung Limo Pacitan Abad 15 - 19 (Tinjauan Historis)”.[1]
Kyai Ageng
Ponco Suwiryo
Tersebutlah seorang kyai yang
waskita dan ahli kebatinan yang dimakamkan di komplek “Makam Auliya’
Mbrebesmili Santren” Bedali Purwokerto- Srengat- Blitar- Jawa Timur. Ia bernama
Kyai Ageng Ponco Suwiryo atau yang juga disebut Kyai Ageng Suwiryo Hadi Kesumo
atau disebut pula Sayyid Bukhori Mukmin. Berikut silsilah beliau hingga
bertautan dengan Kyai Ageng Tunggul Wulung:
1.
Kyai Jamas Mashuri (Kyai Tunggul Wulung/ Ki Ageng Kebo
Dhungkul) beristrikan Roro Ayu Surti Kanti, mempunyai dua putra, yaitu: 1. Kyai
Nurhidayatullah 2. Nyai Ageng Genter Nur Aini.
2.
Kyai Nurhidayatullah, mempunyai putra yang bernama Kyai
Sumo Nurhidayatullah.
3.
Kyai Sumo Nurhidayatullah, mempunyai tiga putra yaitu:
1. Kyai Sambi Nurhidayatullah 2. Kyai Mujang Nurhidayatullah 3. Kyai Puspo
Nurhidayatullah.
4.
Kyai Puspo Nurhidayatullah, mempunyai putra Kyai Ageng
Jimat (Kyai Ageng Ronggo).
5.
Kyai Ageng Ronggo (Kyai Jimat) mempunyai putra yaitu:
1. Kyai Ageng Atmo Wulung 2. Kyai Ageng Guno Suwiryo.
6.
Kyai Ageng Atmo Wulung mempunyai putra: 1. Kyai Mojo 2.
Kyai Majasto.
7.
Kyai Mojo mempunyai putra: 1. Kyai Tojo Diningrat 2.
Kyai Kunto Diningrat.
8.
Kyai Tojo Diningrat mempunyai putra: 1. Kyai Jayeng
Katon (Kyai Kendhil Wesi) 2. Kyai Hadi Kesumo (Kyai Cokro Wesi).
9.
Kyai Jayeng Katon (Kyai Kendil Wesi) mempunyai putra:
1. Kyai Niti Rejo 2. Nyai Ageng Sumiyati.
10. Kyai
Nitirejo mempunyai putra: 1. Kyai Ageng Ponco Suwiryo (Kyai Suwiryo Hadi
Kesumo) atau Sayyid Bukhori Mukmin yang dimakamkan di komplek “Makam Auliya
Mbrebesmili Santren” Bedali-Purwokerto-Srengat-Blitar-Jawa Timur. 2. Kyai Ageng
Suryo Hadi Kesumo (Kyai Senari Wadad) atau Sayyid Marzuki.
11. Kyai
Ageng Ponco Suwiryo (Sayyid Bukhori Mukmin) mempunyai sembilan putra-putri.
Salah satu putra angkat beliau bernama RM. Djojopoernomo yang dimakamkan di
Tojo-Temuguruh-Genteng-Banyuwangi.
RM. Djojopoernomo adalah pendiri
Pirukunan Purwa Ayu Mardi Utama (PAMU). Beliau sering pula disebut dengan “Mbah
Wali Papak” atau “Mbah Imam Sopingi”. Disebut “Wali Papak” sebab jari-jarinya
sama rata. Disebut “Imam Sopingi” sebab ia sangat suka dengan madzhab Syafi’i. Dalam
silsilahnya, RM. Djojopoernomo (Mbah Wali Papak atau Mbah Imam Sopingi) masih
bertautan dengan Sunan Kalijogo dan Sunan Gunung Jati, seorang wali yang sangat
santun dan bijaksana. Ia adalah cucu Nyi Ageng Serang, seorang pahlawan
nasional Indonesia. Disebutkan Sunan Gunung Jati mempunyai putri yang dinikahi
Sunan Kalijogo. Silsilahnya sebagai berikut:
1.
Sunan Kalijogo, berputra;
2.
Sunan Hadi Kusumo, berputra:
3.
Kanjeng Panembahan Semarang, berputra:
4.
Kanjeng Panembahan Pinatih, berputra:
5.
Kanjeng Panembahan Rangga Seda Sepuh, berputra:
6.
Kanjeng Panembahan Natapraja, berputra:
7.
Kanjeng Panembahan Wijil, berputra:
8.
Kanjeng Panembahan Rangga Natapraja, berputra:
9.
Raden Ajeng Kustinah Wulaningsih Retno Edi (Nyi Ageng
Serang [Pahlawan Nasional]) bersuamikan Kanjeng Pangeran Kusumo Wijoyo,
berputra:
10. Raden
Ajeng Kustinah, bersuamikan Kanjeng Mangkudiningrat (putra Sultan Hamengku
Buwono II), berputra:
11. Pangeran
Papak Natapraja (RM. Djojopoernomo atau Mbah Wali Papak atau Mbah Imam
Sopingi).
(Diambil dari buku “Nyi Ageng Serang” karya
Moshoed Haka yang diterbitkan PT. Kinta dan masih tersimpan di Kraton
Ngayogyakarta Hadiningrat)
SIAPAN SEBENARNYA KYAI AGENG TUNGGUL WULUNG ? BILA PUNYA SILSILAH BELIAU SEBUTKAN SILSILAH BELIAU KE ATAS DAN KETURUNAN BELIAU KE BAWAH SAMPAI 7 KETURUNAN, TERIMAKASIH
BalasHapusSiapa yang sebenarnya Ki Ageng Tunggul Wulung itu ? ada petilasan dan makam sebagai bukti perjuangannya di Sendangagung Minggir Sleman DIY ? ada beberapa daerah ywng di situ ada keturunan Beliau
BalasHapusSiapa yang sebenarnya Ki Ageng Tunggul Wulung itu ? ada petilasan dan makam sebagai bukti perjuangannya di Sendangagung Minggir Sleman DIY ? ada beberapa daerah ywng di situ ada keturunan Beliau
BalasHapusSiapa yang sebenarnya Ki Ageng Tunggul Wulung itu ? ada petilasan dan makam sebagai bukti perjuangannya di Sendangagung Minggir Sleman DIY ? ada beberapa daerah ywng di situ ada keturunan Beliau
BalasHapusADA.... YA YANG SAYA TULIS ITU DARI SILSILAH YANG SAYA DAPATKAN. CUMAK KIAI TUNGGUL YANG MANA....
BalasHapusPertapan tunggul wulung yg ada di puncak lawu di argo dalem
BalasHapusKI AGENG TUNGGUL WULUNG ADALAH KETURUNAN ADAM AS AS DAN HAWA RADHIYALLAAHU 'ANHUM, ALLAAHU YARHAMHUM, MENURUT KISAH : KI AGENG TUNGGUL WULUNG WAKTU ITU BERTEMPAT TINGGAL DI WILAYAH KERAJAAN YOGYAKARTA YANG SEKARANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. TENTANG PERJALANAN HIDUP BELIAU YANG SEBENARNYA, YANG SEBENARNYA PALING TAHU ADALAH ALLAAH SUBHAANAHU WATA'AALAA (SWT), ALLAAHU A'LAM ASHSHAWAAB. MINTA MAAF ATAS ADANYA PERBEDAAN ATAU KESALAHAN.
BalasHapusSilsilah Penjaga Pusaka Kyai Tunggul Wulung di Gunung Limo:
Hapus1. Soreng Pati (Generasi Pertama)
Periode: Sultan Agung (Prabu Hanyakrakusuma) (1613 - 1642)
Seorang adipati dan pasukannya yang ditugasi oleh Mataram untuk mengibarkan Panji Tunggul Wulung serta menjaga kelestarian gunung-gunung di tanah Jawa yang berada di bawah kekuasaaan Sultan Agung
2. Soreng Tunggul Wulung I
Periode: Amangkurat I (1645 - 1677)
Merupakan Generasi penerus tongkat estafet tugas pengibaran Panji Mataram periode kedua. Pada masa ini terjadi konflik internal Mataram. Amangkurat I dikenal sebagai anti Ulama. Pada masa ini Setelah Sultan Agung Surut, maka raja yang menggantikan adalah Susuhunan Amangkurat I atau Amangkurat Agung. Masa pemerintahan Amangkurat ini diliputi suasana yang mencekam, penuh kekerasan dan pembunuhan. Begitu banyak peristiwa sejarah pertikaian senjata dan pembunuhan . Pertama kali adalah peristiwa Pangeran Alit, Pangeran Alit sebenarnya adalah adik Sunan sendiri, yang dicurigai akan memberontak karena banyak merekrut dan dicintai para lurah yang menjadi bawahannya. Lurah dan pengikut Pangeran Alit dibunuh satu persatu dengan jalan pembunuhan politis yang rahasia. Karena marah, Pangeran Alit memprotes dengan datang di Alun-alun Plered membawa para lurah yang hanya sedikit jumlahnya. Terjadi perkelahian di alun- alun, para lurah bayak yang terbunuh. Pangeran Alit kemudian mengamuk di alun-alun dengan kerisnya.
Peristiwa kedua adalah pembunuhan kaum ulama. Amangkurat Agung selalu curiga dan khawatir terhadap para ulama, yang masa itu jumlah dan pengaruhnya semakin besar di kerajaan Mataram. Maka Amangkurat Agung menugaskan empat orang terkemuka membentuk kesatuan prajurit rahasia khusus, yang menyelidiki kaum ulama terkemuka di wilayah Mataram. Setiap hari Jum’at para prajurit rahasia ini mengutit para ulama ang sedang sholat Jum’at. Setelah shalat Jum’at, dibunyikan meriam Sapu Jagad sebagai tanda rahasia. Maka pada saat per tanda itu ratusan bahkan ribuan santri dan ulama dihabisi dengan keris. Meriam besar sebagai tanda itu awalnya bernama Kyai Pancawara dibuat masa Sultan Agung, yang kemudian diganti nama dengan Kyai Sapu Jagad. Meriam besar itu masih dapat dilihat sampai sekarang terdapat dimuka Pagelaran Alun -alun utara Kraton Surakarta, Peristiwa ini tidak tertulis pada ceritera tutur dan babad Jawa, tetapi terdapat pada sejarah Banten, Cirebon dan Belanda, Peristiwa ini terjadi kira - kira seputar tahun 1648 . ( De Graaf , 1987 , 35-37. )
Peristiwa ketiga adalah pembunuhan Kyai Dalem. Kyai Wayah di Pajang adalah seorang dhalang Wayang Gedhog yang mempunyai anak yang amat cantik tapi sudah bersuami, suami anak Kyai Wayah benama Kyai Dalem. Sunan Amangkurat menginginkan wanita tersebut menjadi isterinya. Sekonyong-konyong Kyai Dalem meninggal terbunuh oleh keris, dan tidak ketahuan pembunuhnya . Wanita istri ki Dalem kemudian diboyong ke kraton dan dinikahi Sunan Amangkurat walaupun telah hamil dua bulan. Wanita cantik ini kemudian terkenal sebagai Ratu Mas Malang yang kemudian meninggal dicurigai telah diracun. Sunan setelah kematian Ratu Malang menjadi tertekan jiwanya seperti orang tidak waras. Bersama kematian Ratu Malang telah dihukum mati 43 orang wanita dayang, pelayan, emban dari keputren, sebagai hukuman karena keteledoran mereka melayani Ratu Malang.
Pada masa ini Soreng Pati yang masih taat dengan amanah Sultan Agung, kembali ke Mataram yang kemudian tidak ada kabar atau cerita yang jelas sebagai kelanjutannya. Namun menurut Mbah Mangil (sesepuh Desa Mantren) Amangkurat I telah menggantinya dengan didatangkannya Prajurit Mataram ke Gunung Limo.
Hapus3. Soreng Tunggul Wulung II
Periode: Amangkurat II
Pemberontakan Trunajaya yang bersekutu dengan mertuanya Pangeran Kajoran, sehingga kerajaan Mataram menjadi runtuh dan Amangkurat I melarikan diri, wafat di Tegalwangi. Padamasa ini daerah Gunung Limo praktis tidak tersentuh pengaruh konflik sama sekali. Pergantian prajurit penjaga Panji Tunggul Wulung dilaksanakan oleh Amangkurat II atau Amangkurat Amral (Admiral) diperkirakan setelah memindahkan ibukota mataram ke Wanakarta yang kemudian bernama Kartasura. Amangkurat Amral berhasil mengalahkan Pemberontak Trunajaya dengan bantuan Kompeni dan para adipati.
3. Soreng Tunggul Wulung III
Periode: Amangkurat III
Tidak ada kisah yang jelas pada masa ini mengenai pergantian tugas penjaga pertapan Gunung Limo.
4. Eyang Tunggul Wulung IV
Periode: Amangkurat IV
Pada masa ini disebut juga masa-masa suram Mataram. Namun Gunung Limo konon mulai ramai dikunjungi para cantrik untuk berguru Pada Eyang Tunggul Wulung. Menurut cerita masyarakat setempat,mengingat kerajaan Mataram sudah dikuasai Belanda maka mulai saat itu prajurit Soreng Pati ke 3 ini memutuskan untuk tinggal di lereng Gunung Limo selamanya hingga anak turunnya kelak melestarikan adat Tetaken dan menjaga martabat Tunggul Wulung sebagai lambang kejayaan Mataram
5. Ki Braja Kenanga Tunggul Wulung
Periode: Pakubuwana II
6. Ki Braja Gati Tunggul Wulung
Periode:
Pakubuwana III (1749 - 1788)
Hamengkubuwana I (Sultan Mangkubumi) (1755 - 1792)
Mangkunagara I (Raden Mas Said) (1757 - 1796)
7. Ki Dosingo Tunggul Wulung (1805)
Periode:
Pakubuwana IV (1788 - 1820)
Hamengkubuwana II (1793 - 1828)
8. Ki Dogati (1840),
Periode:
Perang Diponegoro (1825-1830.)
Pakubuwana VII (1830 - 1858)
Hamengkubuwana V (1822 - 1855)
Mangkunagara II (1796 - 1835)
Ucapan Pangeran Diponegoro kepada Jendral De Kock pada saat penangkapannya. “Namaningsun Kangjeng Sultan Ngabdulkamid. Wong Islam kang padha mukir arsa ingsun tata. Jumeneng ingsun Ratu Islam Tanah Jawi” (Nama saya adalah Kanjeng Sultan Ngabdulkhamid, yang bertugas untuk menata orang Islam yang tidak setia, sebab saya adalah Ratu Islam Tanah Jawa). (Lihat, P. Swantoro, Dari Buku ke Buku, jSambung Menyambung Menjadi Satu, (2002)).
HapusKareel A Steenbrink menyebutkan, pemikiran dan kiprah Pangeran Diponegoro menarik para ulama, santri dan para penghulu merapat pada barisan perjuangannya. Peter Carey dalam ceramahnya berjudul Kaum Santri dan Perang Jawa pada rombongan dosen IAIN pada tanggal 10 April 1979 di Universitas Oxford Inggris menyatakan keheranannya karena cukup banyak kyai dan santri yang menolong Diponegoro. Dalam naskah Jawa dan Belanda, Carey menemukan 108 kyai, 31 haji, 15 Syeikh, 12 penghulu Yogyakarta, dan 4 kyai guru yang turut berperang bersama Diponegoro.
Bagi sebagian kalangan, ini cukup mengherankan. Sebab, pasca pembunuhan massal ulama dan santri oleh Sunan Amangkurat I tahun 1647, disinyalir kisah Babad Tanah Jawi buatan Kolonial memiliki misi khusus memecah pemikiran sejarahwan di kemudian hari. Perdebatan tentang isi Babad Tanah Jawi ketika dipakai sebagai sumber sejarah. H.J. De Graff, sejarawan Belanda, misalnya, melihat seluruh kisah dalam Babad Tanah Jawi sejak 1600 sampai zaman Kartasura dan Pajang abad ke-18. Hubungan santri dengan kraton digambarkan sangat tidak harmonis. Namun Pangeran Diponegoro yang merupakan keturunan bangsawan dan ulama sekaligus, berhasil menyatukan kembali dua kubu tersebut.
Suasana kraton yang penuh intrik dan kemerosotan moral akibat pengaruh Belanda, tidak kondusif untuk pendidikan dan akhlak Diponegoro kecil yang bernama Pangeran Ontowiryo. Karena itu, sang Ibu mengirimnya ke Tegalrejo untuk diasuh neneknya, Ratu Ageng di lingkungan pesantren. Sejak kecil, Ontowiryo terbiasa bergaul dengan para petani di sekitarnya, menanam dan menuai padi. Selain itu ia juga kerap berkumpul dengan para santri di pesantren Tegalrejo, menyamar sebagai orang biasa dengan berpakaian wulung Jubah Hitam.
Ketika Perang Sabil berkobar sampai di tlatah Pacitan, Diponegoro memakai jubah putih dan berpakaian wulung, turut serta dalam pasukannya mengibarkan Panji Hitam Tunggul Wulung dipimpin Kyai Yahudo Lorok (Ngadirojo Pacitan). Keturunan Kyai Yahudo bernama Kyai Hasan Besari di Tegalsari Ponorogo (Guru Muhammad Burham/R.Ngabehi Ronggowarsito/Abdul Manan Kyai Tremas).
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Hapus9. Ki Malang Gati Tunggul Wulung ()
Hapus(Ke Trenggalek dan Tulungagung dan kembali lagi)
10. Ki Kokerti Tunggul Wulung ()
11. Ki Dipokerti(wafat)
12. Ki Dipogati
13. Eyang Kyai Hasan Pura (wafat +1940an)
14. Eyang Kyai Muzni (wafat 1992)
15. Abu ‘Amar (2011) > K. H. M Thoyib Syafi'I (wafat 2004)
Sumber: H.Ismail (Mbah Mangil) Mantren Pacitan
Gus Anas Ungaran (Pimpinan Majelis Dzikir Manganthi)
Nur Ichwan Pacitan (budayawan Tasawuf Underground) cp 082244645709
Firman Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa dalam Al-Qur’an:
BalasHapusSurat An-Nisa’ ayat 36:
۞وَٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡٔٗاۖ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗا وَبِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱلۡجَارِ ذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡجَارِ ٱلۡجُنُبِ وَٱلصَّاحِبِ بِٱلۡجَنۢبِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ مُخۡتَالٗا فَخُورًا ٣٦
36. Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.
Surat An-Nisa’ ayat 117:
إِن يَدۡعُونَ مِن دُونِهِۦٓ إِلَّآ إِنَٰثٗا وَإِن يَدۡعُونَ إِلَّا شَيۡطَٰنٗا مَّرِيدٗا ١١٧
117. Yang mereka sembah selain Allah itu, tidak lain hanyalah berhala, dan (dengan menyembah berhala itu) mereka tidak lain hanyalah menyembah syaitan yang durhaka.
Surat An-Nisa’ ayat 115:
وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلۡهُدَىٰ وَيَتَّبِعۡ غَيۡرَ سَبِيلِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصۡلِهِۦ جَهَنَّمَۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرًا ١١٥
115. Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali
Surat An-Nalu ayat 20 dan 21:
وَٱلَّذِينَ يَدۡعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ لَا يَخۡلُقُونَ شَيۡٔٗا وَهُمۡ يُخۡلَقُونَ ٢٠ أَمۡوَٰتٌ غَيۡرُ أَحۡيَآءٖۖ وَمَا يَشۡعُرُونَ أَيَّانَ يُبۡعَثُونَ ٢١
20. Dan berhala-berhala yang mereka seru selain Allah, tidak dapat membuat sesuatu apapun, sedang berhala-berhala itu (sendiri) dibuat orang
21. (Berhala-berhala itu) benda mati tidak hidup, dan berhala-berhala tidak mengetahui bilakah penyembah-penyembahnya akan dibangkitkan
Surat An-Nahlu ayat 23:
لَا جَرَمَ أَنَّ ٱللَّهَ يَعۡلَمُ مَا يُسِرُّونَ وَمَا يُعۡلِنُونَۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُسۡتَكۡبِرِينَ ٢٣
23. Tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka lahirkan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong
Surat Al-Ikhlash ayat 1 sampai dengan 4:
قُلۡ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ ١ ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ ٢ لَمۡ يَلِدۡ وَلَمۡ يُولَدۡ ٣ وَلَمۡ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدُۢ ٤
1. Katakanlah: "Dialah Allah, Yang Maha Esa
2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu
3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan
4. dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia"
Surat An-Nahlu ayat 51 sampai dengan ayat 53:
۞وَقَالَ ٱللَّهُ لَا تَتَّخِذُوٓاْ إِلَٰهَيۡنِ ٱثۡنَيۡنِۖ إِنَّمَا هُوَ إِلَٰهٞ وَٰحِدٞ فَإِيَّٰيَ فَٱرۡهَبُونِ ٥١ وَلَهُۥ مَا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَلَهُ ٱلدِّينُ وَاصِبًاۚ أَفَغَيۡرَ ٱللَّهِ تَتَّقُونَ ٥٢ وَمَا بِكُم مِّن نِّعۡمَةٖ فَمِنَ ٱللَّهِۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ ٱلضُّرُّ فَإِلَيۡهِ تَجَۡٔرُونَ ٥٣
Surat An-Nisa’ayat 48:
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ وَمَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفۡتَرَىٰٓ إِثۡمًا عَظِيمًا ٤٨
Artinya: . Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.
KI AGENG TUNGGUL WULUNG ADALAH KETURUNAN ADAM AS AS DAN HAWA RADHIYALLAAHU 'ANHUM, ALLAAHU YARHAMHUM, MENURUT KISAH : KI AGENG TUNGGUL WULUNG WAKTU ITU BERTEMPAT TINGGAL DI WILAYAH KERAJAAN YOGYAKARTA YANG SEKARANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. TENTANG PERJALANAN HIDUP BELIAU YANG SEBENARNYA, YANG SEBENARNYA PALING TAHU ADALAH ALLAAH SUBHAANAHU WATA'AALAA (SWT), ALLAAHU A'LAM ASHSHAWAAB. MINTA MAAF ATAS ADANYA PERBEDAAN ATAU KESALAHAN.
BalasHapusSurat al Ikhlash ayat 1 sampai dengan ayat 4
BalasHapusقُلۡ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ ١ ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ ٢ لَمۡ يَلِدۡ وَلَمۡ يُولَدۡ ٣ وَلَمۡ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدُۢ ٤
Translate/terjemah:
1. Say: He, Allah, is One.
2. Allah is He on Whom all depend.
3. He begets not, nor is He begotten.
4. And none is like Him.
1.Katakanlah: "Dialah Allah, Yang Maha Esa
2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu
3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan
4. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia".
Saya mau tanya boleh taukah silsilah kyai atau ki jayeng panji kusumaningrat yg makam nya di makam haji kartosuro tepatnya makam candi. Matur nuwun
BalasHapusSaya mau tanya boleh taukah silsilah kyai atau ki jayeng panji kusumaningrat yg makam nya di makam haji kartosuro tepatnya makam candi. Matur nuwun
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSUmber asli dari penelitian kami
BalasHapusMuhammad Nurichwan (Pacitan)
Naskah Asli di dhare pada tanggal 3 Mei 2013
di
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=573234102709067&id=100000674462227&set
Terimakasih sudah turut serta mempublish...
Siip
BalasHapusmurid syekhona kholil bangkalan
BalasHapusNama Tunggul Wulung mengacu pada 3 sosok:
BalasHapus- bendera bernama Kyai Tunggul Wulung yang merupakan hadiah dari Sultan Turki tahun 1641 M.
- Senopati dari Majapahit bernama Ki Ageng/ Panembahan Tunggul Wulung.
- Ngabdullah Ibrahim Tunggul Wulung, tokoh Kristen Jawa dari Pati.
Agar tidak bingung bisa dibaca artikel saya di sini https://nafanakhun.wordpress.com/2019/07/29/bhairawa-tantrayana-vs-islam-nusantara-vs-ngabdullah-ibrahim-tunggul-wulung-toenggoel-woeloeng/
Pengin tahu anak ki ageng tunggul wulung yang ke empat, yang bernama warso menetap di daerah mana?
BalasHapusWarso menetap di kampung kambing tebing tinggi Sumatera Utara gues,,,,😀😀😀😀😀😀😀
BalasHapusadmin masih aktif?
BalasHapus