(Telaah tentang
Institusi Pendidikan Islam Sekardangan Abad 17-19 M)
Oleh:
Arif Muzayin Shofwan [1]
Abstrak
Sejarah
proses terbentuknya institusi pendidikan Islam pertama di dusun Sekardangan,
kecamatan Kanigoro, kabupaten Blitar merupakan sejarah panjang yang dimulai
sejak abad 17 hingga 19 masehi. Tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan
sejarah panjang berdirinya institusi pendidikan Islam formal pertama di dusun
tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian berlatar belakang sejarah yang
menggunakan pendekatan diskriptif-analitis dalam membahasnya. Madrasah Ibtidaiyah
Miftahul Huda 01 merupakan institusi pendidikan Islam formal yang berdiri
pertama didusun Sekardangan, desa Papungan, kecamatan Kanigoro, kabupaten
Blitar. Madrasah ibtida’iyah tersebut berdiri pada tanggal 05 Januari 1966 dan diprakarsai oleh Kyai
Muhtar Fauzi bersama dengan kawan-kawan seperjuangannya. Disamping madrasah
ibtidaiyah, pada saat itu pula juga telah berdiri TK Al-Hidayah. Kedua
institusi pendidikan Islam formal itu ternyata lahir dari institusi non formal
dari sebelumnya seperti: langgar, rumah kyai, pesantren dan madrasah diniyah.
Kata kunci:
Institusi,
pendidikan Islam, dan pendidikan formal.
Pendahuluan
Kelembagaan atau institusi pendidikan
Islam sebelum madrasah amat banyak sekali. Sejak jaman Rasulullah saw
kelembagaan pendidikan Islam sudah ada, baik yang bersifat fisik maupun
yang bersifat non fisik. Hasan Langgulung[2]
mejelaskan bahwa, pada zaman permulaan Islam, pelajaran agama disampaikan di rumah-rumah.
Rasulullah menjadikan rumah sahabat Arqam
bin Abi al-Arqam
sebagai tempat belajar dan tempat pertemuan baginda dengan para sahabat dan
para pengikutnya. Dirumah tersebut baginda menyampaikan dasar-dasar agama dan
pengajian Al-Qur’an. Selain rumah al-Arqam (Darul
Arqam), baginda menyampaikan pelajaran agama dirumahnya sendiri di Mekkah.,
sebagai tempat kaum muslimin berkumpul mempelajari aqidah dan syariah
Islam. Dengan demikian, maka rumah termasuk lembaga atau kelembagaan Islam
pertama jauh sebelum ada lembaga yang disebut dengan madrasah.
Penghijrahan Rasulullah saw ke Madinah
pada tahun 623 Masehi, membawa perubahan dan pengertian yang besar terhadap
penyebaran dan kestabilan agama Islam. Bagi tujuan tersebut, masjid pula
didirikan di Madinah seperti Masjid Quba dan Masjid Nabawi.
Fungsi masjid menurut istilah Islam adalah sebagai markas, bagi segala
aktifitas agama dan masyarakat khususnya dalam hal-hal yang berhubungan dengan
ibadat dan pendidikan. Rasulullah saw menjadikan masjid Nabawi sebagai tempat
belajar mengenai urusan dunia dan agama di samping beribadat. Situasi di masjid
menjadikannya lebih bebas dan sesuai sebagai tempat belajar dari pada di rumah,
karena di masjid seseorang tidak perlu meminta kebenaran untuk memasukinya jika
dibandingkan dengan dirumah.[3]
Dengan demikian, masjid, langgar (mushalla), rumah dan semacamnya juga termasuk
lembaga atau institusi pendidikan Islam sebelum lembaga madrasah didirikan.
Di dusun Sekardangan, proses kelembagaan
pendidikan Islam sebelum madrasah tersebut mengalami pembaharuan dari waktu ke
waktu, mulai dari yang bersifat fisik maupun non fisik.
Setidaknya, dari pengamatan penulis, permasalahan institusi pendidikan Islam di
Sekardangan berangkat dari beberapa institusi non formal, mulai dari institusi
yang disebut langgar (sebutan mushalla jaman dulu), rumah kyai,
pesantren, masjid, madrasah diniyah hingga menjadi institusi formal berupa Madrasah
Ibtidaiyah Miftahul Huda 01 dan Taman Kanak-Kanak Al-Hidayah. Dalam pembahasan
ini, penulis akan menyajikan beberapa sejarah institusi pendidikan Islam di
Sekardangan dari masa ke masa, hingga proses berdirinya Madrasah Ibtidaiyah
Miftahul Huda 01 dan Taman Kanak-Kanak Al-Hidayah yang merupakan “Institusi
Pendidikan Islam Formal Pertama (Tertua)” dalam sejarah Sekardangan.
Institusi Pendidikan Islam di Sekardangan
Kelembagaan Islam atau institusi
pendidikan Islam itu sendiri sebagaimana pendapat Ramayulis [4]
yang menyatakan bahwa lembaga berarti institute (dalam pengertian
fisik), yaitu sarana atau organisasi untuk mencapai tujuan tertentu dan
pengertian lembaga dalam arti non fisik atau abstrak adalah institution,
yakni suatu system norma untuk memenuhi kebutuhan. Lembaga dalam arti fisik
disebut bangunan, dan lembaga arti non-fisik disebut pranata.
Dilihat dari pendapat Ramayulis diatas, sudah barang tentu lembaga pendidikan
Islam tidak bisa dipandang dari segi fisik saja, namun harus juga dipandang
dari segi non fisik
Sejarah kelembagaan atau institusi pendidikan Islam formal
pertama di Sekardangan merupakan sejarah panjang yang dimulai dari beberapa
institusi pendidikan Islam non formal yang ada. Institusi pendidikan
Islam non formal itu diantaranya; [1]. Adanya langgar (sebutan mushalla zaman
dulu) sebagai tempat menimba ilmu pengetahuan bagi para pelajar atau santri.
[2]. Adanya rumah kyai sebagai tempat menimba ilmu yang ingin spesifik
mempelajari ilmu pengetahuan agama Islam tertentu ataupun yang lainnya [3].
Adanya pesantren yang merupakan usaha pembaharuan dalam bidang pendidikan Islam
yang lebih maju dari yang sebelumnya. [4]. Adanya madrasah diniyah yang
merupakan bagian dari pesantren kala itu. Setelah itu, baru kemudian muncul
institusi pendidikan Islam formal yang tidak hanya mengajarkan ilmu
keagamaan saja. Akan tetapi juga mengajarkan pelajaran umum seperti;
matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan social dalam kurikulum yang
dicanangkannya.
Sekardangan adalah sebuah dusun yang berada di desa Papungan,
kecamatan Kanigoro, kabupaten Blitar dan didirikan oleh seorang wanita pada
jaman akhir kerajaan Pajang dan Mataram dimasa pemerintahan Sultan
Hadiwijaya (Sayyid Abdurrahman/ Jaka Tingkir) yang bermana
Nyai Sekar Gadhung Melati [5]
bersama cantrik-cantriknya. Ada yang mengatakan ia bermana Nyai Dewi
Sekardani, ada pula pendapat yang menyatakan ia bernama Nyai Dewi
Sekartaji. Selanjutnya, beberapa pendapat dari para sesepuh menyatakan
bahwa sejarah pendidikan Islam di Sekardangan berawal dari institusi yang
disebut “Langgar”[6]
(sebutan mushalla untuk jaman dulu) yang didirikan oleh tokoh-tokoh dari
Kerajaan Mataram Islam akhir yang menjadi cikal-bakal warga Sekardangan.[7]
Langgar disamping sebagai tempat ibadah kaum muslim juga berfungsi sebagai
tempat menimba ilmu pengetahuan bagi para pelajar atau santri. Disamping
langgar, ada pula “Rumah Kyai” yang dijadikan sebagai tempat
menimba ilmu pengetahuan agama Islam zaman itu. Rumah kyai ini mirip semacam “Darul
Arqam” (rumah sahabat Arqam bin Abi al-Arqam) yang dipakai Nabi
Muhammad saw sebagai institusi pendidikan Islam pertama dalam sejarah Islam.
Dari berbagai data yang ada, baik data wawancara dari para sesepuh
ataupun data tertulis, menyatakan bahwa institusi pendidikan Islam formal di
Sekardangan mengalami sejarah panjang yang
berawal dari langgar (sebutan
mushalla saat itu), rumah kyai, pesantren, masjid, madrasah diniyah, hingga
terbentuknya institusi pendidikan Islam formal pertama (tertua) yang hingga
kini eksistensinya masih bisa dibanggakan. Berikut sejarah panjang institusi
pendidikan Islam non formal mulai dari langgar hingga berdirinya institusi
pendidikan Islam formal pertama yang disebut MI Miftahul Huda 01 dan TK Al-
Hidayah di Sekardangan secara berkesinambungan:
1.
Langgar dan Rumah Kyai (1755
M -1900 M)
Sebelum adanya madrasah, baik madrasah diniyah
atau madrasah yang bersifat umum, maka Langgar dan Rumah Kyai
merupakan institusi pendidikan Islam yang menonjol dan menjadi institusi
pertama di dusun Sekardangan pada tahun 1755 M – 1900 M. Langgar disamping sebagai
tempat ibadah juga berfungsi sebagai institusi pendidikan tempat menimba ilmu
agama Islam bagi para pelajar atau santri. Sedangkan kyai pendiri langgar
tersebut merangkap sebagai guru spiritual dan pengajar ilmu agama
Islam. Pada zaman ini, ada beberapa langgar (sebutan mushalla saat
itu) di dusun Sekardangan yang digunakan sebagai “Institusi Pendidikan
Islam” diantaranya:
1.
Langgar yang didirikan oleh
Mbah Kyai Barnawi, merupakan langgar pertama yang berada di dusun Sekardangan.
Hingga saat ini, langgar tersebut sudah tidak ada lagi bekasnya. Menurut
sebagian sesepuh, langgar tersebut dulu berada tepat ditengah-tengah dusun
Sekardangan. [8]
Namun ketika pada masa Mbah Kyai Imam Fakih, langgar tersebut hanya tinggal berupa
pondasi-pondasinya saja. Pondasi-pondasi itu lalu dibongkar dan menjadi
tambahan yang digunakan untuk pondasi masjid Baitul Makmur, sebuah masjid
pertama dalam sejarah Sekardangan dan didirikan oleh Mbah Kyai Imam Fakih pada
tahun 1904 M.[9]
Langgar ini dulu berfungsi sebagai tempat ibadah dan tempat menimba ilmu
pendidikan Islam bagi para pelajar atau santri.
2.
Langgar yang didirikan oleh
Mbah Kyai Abu Bakar, merupakan langgar tertua urutan kedua setelah langgar Mbah
Kyai Barnawi. Bangunan langgar ini sampai sekarang masih ada. Berada ditembok
pengimaman langgar bagian Barat terdapat sebuah logo Mataraman yang sudah
semakin keropos di makan zaman. Diatas setiap pintu dan jendela langgar ini
masih berupa relief berbentuk bunga-bunga yang merupakan ciri khas Langgar di zaman
Mataraman. Menurut sebagian sesepuh, langgar ini dahulu juga sebagai tempat
menimba ilmu agama bagi para pelajar atau santri, disamping pula sebagai tempat
shalat Jum’at warga sebelum dusun Sekardangan mempunyai sebuah masjid. Pada
generasi akhir, langgar ini juga pernah digunakan sebagai tempat khususi
[10]
bagi penganut Thariqah an-Naqsyabandiyah al-Khaliddiyah.[11]
3.
Langgar yang didirikan oleh para
keturunan Mbah Kyai Abu Yamin (makam beliau berada di Pemakaman desa Gaprang
bagian selatan, sebab saat itu Sekardangan belum mempunyai pemakaman sendiri). [12] Mbah Kyai Abu Yamin mempunyai tiga anak yang
ketiganya menurut sebagian sesepuh juga membangun langgar sendiri-sendiri
sebagai tempat ibadah dan institusi pendidikan Islam bagi para pelajar atau
santri zaman dulu. Langgar anak beliau itu adalah; [1] Langgar yang didirikan
Nyai Siti Maryam (istri Mbah Kyai Barnawi)[13] [2].
Langgar yang didirikan Mbah Kyai Abdurrahman [3]. Langgar yang didirikan Mbah
Kyai Zainuddin. Langgar-langgar ini umumnya sudah mengalami pemugaran dan
perpindahan tempat beberapa kali hingga sudah tidak bisa dilacak keasliannya
dan sudah kabur ciri khas sebagai langgar kuno (zaman dulu).
4.
Langgar yang didirikan Mbah
Kyai Imam Ghazali [14]
(putra Mbah Kyai Abu Bakar). Langgar ini beliau serahkan kepada orang yang
beliau percaya bisa memegang amanah yaitu Mbah Kyai Ramli[15]
dalam tongkat estafet kepengurusannya. Kemudian setelah Mbah Kyai Ramli wafat,
kepengurusan langgar diserahkan kepada putranya yang bernama H. Nawadji Ramli.
Pada saat kepengurusan H. Nawadji Ramli, langgar ini direhab total dan status
langgar berubah menjadi masjid yang diberi nama “Masjid Al-Mubarok”.[16]
Langgar ini di zaman Mbah Kyai Ghazali dan Mbah Kyai Ramli juga berfungsi
sebagai institusi pendidikan Islam untuk mengajarkan ilmu pendidikan Islam bagi
para pelajar atau santri.
Namun disamping langgar pada zaman itu
dijadikan sebagai tempat menimba ilmu pengetahuan Islam, para kyai zaman itu juga
tidak keberatan jika rumah mereka dipakai sebagai institusi pendidikan (tempat
menimba ilmu). Hal ini berdasarkan sebuah sejarah yang menyatakan bahwa pada
masa Nabi Muhammad saw juga menjadikan “Darul Arqam” (rumah
sahabat Arqam bin Abi al- Arqam) sebagai institusi pendidikan pertama yang
dipakai Nabi untuk mengajar para sahabat. Adapun diantara “Rumah Kyai” di
Sekardangan yang dalam masa itu dijadikan sebagai institusi pendidikan Islam
(tempat menimba ilmu) diantaranya; rumah Mbah Kyai Zainuddin, rumah Mbah Kyai
Abdurrahman, rumah Mbah Kyai Imam Ghazali, rumah Mbah Kyai Ramli, rumah Mbah
Kyai Ahmad Dasuqi,[17] dan
lain-lain.
2.
Pesantren dan Madrasah
Diniyah (1900 M- Sekarang)
Bermula dari institusi-institusi pendidikan
Islam yang berupa langgar dan rumah kyai tersebut, muncul sebuah ide cemerlang
dari Mbah Kyai Imam Fakih [18]
untuk menyatukan institusi-institusi tersebut dalam satu tempat (satu
atap). Ide Mbah Kyai Imam Fakih ini disambut dengan antusias oleh para
kyai, tokoh masyarakat dan warga dusun
Sekardangan zaman itu. Maka Mbah Kyai
Imam Fakih beserta para kyai dan warga Sekardangan pada tahun 1900 M bergotong-
royong mendirikan sebuah “Pesantren”
dan “Madrasah Diniyah” sebagai institusi pendidikan Islam yang
lebih maju daripada institusi sebelumnya.[19]
Pesantren yang beliau dirikan ini merupakan pesantren pertama dalam sejarah
Sekardangan. Pesantren itu berada di dusun Sekardangan bagian pojok Selatan,
yang berdekatan kira-kira kurang lebih jarak 200 meter dengan petilasan rumah
pendiri dusun Sekardangan. [20]
Adapun tenaga-tenaga pengajar pesantren dan
madrasah diniyah pada masa Mbah Kyai Imam Fakih saat itu sangat beragam.
Sebagian pengajar berasal dari putra-putri Mbah Kyai Imam Fakih sendiri.
Sebagian lagi berasal dari para putra-putri dari keturunan para Kyai Pendiri
Langgar di dusun Sekardangan yang
tersebut diatas. Sebagian lagi ada pula pengajar yang berasal dari tetangga
dusun Sekardangan yang memang mempunyai kemampuan untuk mengajar. Pada zaman
itu banyak sekali pelajar-pelajar atau santri dari berbagai daerah luar dusun
Sekardangan yang menimba ilmu pengetahuan Islam di pesantren dan madrasah
diniyah tersebut. Dari berbagai pelajar atau santri itu, dapat di kategorikan
sebagai berikut:
1.
Santri Tetap, yakni
santri dari daerah jauh yang menetap di pesantren. Konon sejak zaman ini memang
sudah ada santri tetap yang mendiami pesantren tersebut. Santri semacam ini
biasanya ketika pagi tiba, mereka juga ikut “bekerja” [21]
dengan warga desa.
2.
Santri Dalem, yakni
santri yang ikut mengabdi di rumah kyai. Biasanya, santri seperti ini disebut “Khadim/Khadam
Kyai” (pembantu atau abdi dalem yang ikut di rumah kyai dan setiap hari
ikut makan di rumah kyai tersebut).
3.
Santri Kalong, yakni
santri yang sore datang ke pesantren dan menginap di situ sampai pagi. Kemudian
ketika pagi tiba, ia pulang ke rumah masing-masing untuk membantu pekerjaan
orang tua masing-masing .
Dari ketiga kategori itu, maka kategori santri
ketiga (baca; Santri Kalong) merupakan kategori santri terbanyak kala itu.
Santri Kalong ini berasal dari berbagai tetangga dusun Sekardangan seperti;
Tlogo, Kuningan, Gaprang, Pakel, Duwet, Gajah, dan lain-lainnya.
Dari ide pendirian pesantren dan madrasah
diniyah ini, selanjutnya ide kreatif Mbah Kyai Imam Fakih berkembang lagi untuk
mendirikan sebuah masjid. Sebab kala itu, di dusun
Sekardangan memang belum mempunyai masjid sendiri untuk melakukan shalat Jum’at. Ide kreatif Mbah Kyai
Imam Fakih ini juga disambut antusias oleh para warga dan para kyai
Sekardangan. Dari hasil penjualan tanah
miliknya (baca: Mbah Kyai Imam Fakih) kepada Handels
Vereniging Amsterdam (HVA)[22] untuk
dijadikan jalan trem (jalan kereta api) pengangkut tebu milik Belanda, maka berdirilah
sebuah masjid pertama di Sekardangan yang diberi nama “Masjid Miftahul
Huda”.[23] Namun seiring berjalannya waktu, setelah
masjid itu direhab pada tahun 1984 M, maka masjid tersebut diganti nama dengan “Masjid
Baitul Makmur” yang mana nama terakhir ini tetap abadi hingga sekarang.[24]
Adapun kepemimpinan masjid (merangkap sebagai
ketua ta’mir masjid) dan pesantren dari masa ke masa adalah sebagaimana yang
tersebut dibawah ini:
1.
Mbah Kyai Imam Fakih (1900 M
– 1923 M), seorang kyai yang alim fikih [25]
dan menggunakan metode sorogan dalam pesantrennya.
2.
Mbah Kyai Imam Syadzali (1923
M – 1925 M), masih menggunakan metode sorogan dalam pesantrennya. Ia adalah putra dari Mbah Kyai Imam Fakih.
3.
Mbah Kyai Ahmad Shobiri (1925
M – 1951 M), seorang kyai yang alim dalam bidang tasawuf “Kitab Bidayatul
Hidayah”-nya Imam Ghazali [26] dan merupakan menantu dari Mbah Kyai Imam Fakih. Pada
masa Mbah Kyai Ahmad Shobiri ini
berhasil membangun sebuah serambi masjid.
4.
Mbah Kyai Abbas Fakih (1951 M
– 1960 M), seorang kyai yang ahli dalam bidang perdukunan (ilmu at-tibb), ahli menumbali tanah angker
dan pengobatan. [27] Ia adalah putra Mbah Kyai Imam Fakih.
5.
Mbah Kyai Imam Mahdi (1960 M
– 1997 M), cucu dari Mbah Kyai Imam Fakih. Ia adalah
penganut Thariqah al-Qadiriyah wa an-Naqsabandiyah dan
Jam’iyah Shalawat Dala’ilul Khairat. Pada
masa ini, kedua kegiatan itu yakni tharikah dan jam’iyah Shalawat Dala’ilul
Khairat berkembang sangat pesat hingga Tulungagung,
Kediri dan sekitarnya.[28]
6.
Mbah Kyai Muhammad Hamzah
(1997 M – 2002 M), [29]
pada masa ini Pesantren Miftahul Huda berganti nama menjadi “Pesantren
Ketrampilan Miftahul Huda” [30] yang
kurikulum pesantrennya memasukkan ketrampilan jahit-menjahit dan ketrampilan
lainnya.
7.
Mbah Kyai Masjhudi (2002 M –
sekarang), [31]
pada masa ini urusan kemasjidan (ta’mir masjid) dipegang beliau, sedangkan
urusan kepesantrenan dipegang oleh Kyai Drs. Muhammad Tasrifin, M.Pd.I [32] (kyai muda, menantu dari Mbah Kyai Muhammad Hamzah).
Selain para kyai diatas, ada banyak para kyai
mulai zaman kepemimpinan Mbah Kyai Abbas Fakih kebawah (zaman no.4 sampai no.7) yang
mempunyai kontribusi besar dalam membangun peradaban pada pendidikan di masjid, pesantren, madrasah
diniyah dan pendidikan Islam di lingkungan
dusun Sekardangan pada umumnya.
Diantara kyai tersebut adalah:
1.
Mbah Kyai Maulan, seorang
ulama’ yang ahli ilmu hisab, ilmu fikih dan yang terkenal mempunyai suara yang
sangat merdu dalam komunitas Ikatan Seni Hadrah Republik Indonesia (ISHARI) dan
komunitas lainnya.[33]
2.
Mbah Kyai Machrus Yunus,
seorang ulama’ yang juga ahli ilmu hisab, pengijazah Shalawat Nariyyah yang
hingga kini masih berlangsung, serta pendiri Pondok Pesantren Sunan Pandanaran dan
SD Plus Sunan Pandanaran di dusun Sekardangan.[34]
3.
Mbah Kyai Nasruddin, seorang
ulama’ yang ahli ilmu tasawuf dan penganut Thariqah Shalawat Wahidiyyah ajaran
Syaikh Abdul Madjid Ma’roef (Kedunglo, Kediri) dalam sebagian amaliyahnya.[35]
4.
Mbah Kyai Muhtar Fauzi,
seorang ulama ahli tauhid, ahli amalan Hizib Auliya’ dan merupakan seorang yang
menjadi cikal bakal berdirinya institusi pendidikan Islam formal pertama
(tertua) di Sekardangan.[36]
5.
Mbah Kyai Zainuddin, seorang
ulama yang menjadi cikal bakal amaliyah Yasinan, Tahlil dan Istigotsah di dusun
Sekardangan.[37]
6.
Dan lain-lainnya.[38]
Adapun kurikulum pendidikan Islam yang
diajarkan di masjid Baitul Makmur dan Pesantren Miftahul Huda dari masa ke masa
diantaranya:[39]
1.
Tafsir al-Qur’an; meliputi
Tafsir al-Jalalain, Tafsir al-Ibriz dan semacamnya.
2.
Ilmu Nahwu;
meliputi Kitab al-Jurumiyah, Bahasa Arab dan semacamnya.
3.
Ilmu Sharaf;
meliputi Kitab al-Tasrif dan semacamnya.
4.
Ilmu Fikih;
meliputi Kitab al-Mabadi al-Fiqhiyyah dan semacamnya.
5.
Ilmu Qiro’ah;
meliputi sorogan al-Qur’an.
6.
Dan lain-lainnya. [40]
Diantara para kyai besar yang pernah diundang memberikan
ceramah dan pencerahan di masjid Baitul Makmur dan Pesantren Miftahul Huda
antara lain:
a.
Mbah Kyai Dimyathi; seorang
kyai yang terkenal sebagian dari wali Allah (min ba’dil Auliya’) dari
Baran, Selopuro, Blitar.
b.
Mbah Kyai Machrus Ali;
seorang kyai pengasuh Pesantren Lirboyo, Kediri.
c.
Mbah Kyai Ali Shoddiq Umman;
seorang kyai pengasuh Pondok Ngunut, Tulungagung.
d.
Dan lain-lain. [41]
Pada tanggal 19 November 1986 masjid Baitul
Makmur Sekardangan diresmikan Bapak Siswanto
Adi, yang pada saat itu menjabat sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II
kabupaten Blitar dengan ditorehkan sebuah tanda tangan beliau pada prasasti yang
terdapat didepan masjid tersebut.[42]
Hal ini merupakan penghargaan dan kerjasama Umara’ (pemegang
pemerintahan) kepada Ulama’ (pemegang agama Islam) yang memang
seharusnya tetap bersatu padu dalam membangun peradaban Islam secara berkesinambungan.
Bersatu padu dalam membangun dan meningkatkan iman dan takwa kepada Tuhan yang
Maha Esa.
3.
Madrasah Formal Pertama (1966
M – Sekarang)
Bermula dari berbagai institusi pendidikan
Islam yang konvensioanal seperti; langgar, rumah kyai, masjid, pesantren hingga
madrasah diniyah diatas, maka pada tahun 1966 M muncul sebuah ide kreatif dari
Kyai Muhtar Fauzi (cucu Mbah Kyai Imam Fakih) bersama kawan-kawan
perjuangannya [43]
untuk melakukan pembaharuan dalam bidang pendidikan Islam. Ide kreatif tersebut
mendapat sambutan yang hangat dari para tokoh agama, tokoh masyarakat serta
warga dusun Sekardangan. Dari ide tersebut, maka tepat pada tanggal 05 Januari
1966 bersama segenap ta’mir Masjid Baitul Makmur dan para tokoh masyarakat
mendirikan madrasah formal yang diberi
nama “Madrasah Ibtidaiyah Miftahul Huda 01” dan “Taman
Kanak-Kanak Al-Hidayah”[44]
di atas tanah wakaf dari Mbah Kyai Abbas Fakih (putra Mbah Kyai Imam
Fakih). Kedua institusi formal ini didirikan pada tahun yang sama, yakni tahun
1966 M.[45]
Dengan demikian, Madrasah Ibtidaiyah Miftahul
Huda 01 dan Taman Kanak-Kanak Al- Hidayah merupakan “Institusi Pendidikan
Islam Formal Pertama dan Tertua” dalam sejarah Sekardangan. Kemudian berkaitan
dengan hal ini, maka pencetus ide pertama dalam pendirian madrasah formal yakni
Kyai Muhtar Fauzi ditunjuk oleh para tokoh dan para alim ulama’ untuk menjadi
kepala madrasah pertama di lembaga
tersebut. Berikut adalah kepala Madrasah Ibtidaiyah Miftahul Huda 01 dari masa
ke masa: [46]
1.
Kyai Muhtar Fauzi ( 1966 M –
1968 M)
2.
KH. Muhammad Hamzah TMH (1968
M – 1975 M)
3.
KH. Masjhudi, BA. (1975 M –
1994 M)
4.
H. Mustadji, A.Ma. (1994 M –
1997 M) [47]
5.
H. Marjani, A.Ma. (1997 M – 2007
M) [48]
6.
Lina Zunnuroiin, S.Pd.I.
(2007 M – Sekarang)
Adapun kepala Taman Kanak-Kanak Al- Hidayah dari masa ke masa
antara lain:
2.
Hj. Mastiyah Machrus, A.Ma.[51]
(1980 M – 1986 M)
3.
Siti Windarwati, S.Pd. (1986
M – 2012 M)
4.
Solikah, S.Pd. (2012 M –
Sekarang)[52]
Dari paparan sejarah singkat institusi pendidikan Islam non
formal hingga terbentuknya institusi pendidikan Islam formal
pertama (tertua) di dusun Sekardangan tersebut, mungkin ada kata-kata
indah dari Maxim Gorky yang menyatakan “The People must know their history”
[53]
yang menurut bahasa penulis sendiri dapat diartikan dengan “Warga madrasah
mesti tahu sejarahnya”. Dalam arti luas, kata-kata Gorky itu dapat
diartikan bahwa warga madrasah mulai kepala madrasah, para guru serta
siswa-siswi hendaknya tahu akan sejarah madrasah yang setiap hari dilaluinya sebagai
“tempat belajar dan mengajar” berbagai macam ilmu pengetahuan,
baik ilmu agama maupun ilmu umum. Dengan demikian, sebagai generasi penerus
akan senantiasa berkaca pada para
pendahulu serta semaksimal mungkin mampu melakukan inovasi-inovasi
(pembaharuan-pembaharuan) dalam pendidikan Islam di Sekardangan sesuai
perkembangan zaman yang semakin komplek.
Sedangkan dalam bahasa Soekarno, kata-kata indah itu terangkum
dalam dua kata singkat yaitu “Jas Merah” yang kepanjangannya
adalah “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah!”.[54]
Mungkin berawal dari perkataan Bung Karno ini, akan menjadikan warga madrasah,
baik kepala madrasah, dewan guru, pengurus maupun para siswa-siswi untuk tidak
akan pernah melupakan sejarah perjuangan para pejuang pendidikan Islam di
Sekardangan dari masa ke masa. Pejuang dari masa ke masa tersebut mulai dari
pejuang pendidikan Islam yang berupa institusi Langgar, institusi Rumah Kyai,
institusi Pesantren, institusi Masjid, hingga Institusi Madrasah Diniyah yang
menjadi cikal bakal berdirinya Madrasah Ibtidaiyah Miftahul Huda 01 dan TK Al-
Hidayah yang saat ini menjadi “tempat belajar dan mengajar”
bersama. Dan yang terakhir kali, hal itu juga merupakan sejarah panjang berdirinya Pendidikan
Anak Usia Dini (PAUD Insan Kamil) yang didirikan
oleh tokoh-tokoh Sekardangan pada abad 21 (sekarang ini) dengan kepala PAUD
pertama yaitu, Indah Jumiyatin, S.Pd.[55]
Penutup
Kesimpulan
Akhir
kata, dari paparan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa; [1]. Pada awalnya
institusi pendidikan Islam di dusun Sekardangan ada beberapa macam antara lain;
langgar, rumah kyai, masjid, pesantren dan madrasah diniyah [2]. Institusi
pendidikan Islam formal pertama di dusun Sekardangan adalah MI Miftahul Huda 01
dan TK Al-Hidayah yang didirikan pada tanggal 05 Januari 1966 atas ide
cemerlang Kyai Muhtar Fauzi dan kawan-kawannya sebagai tokoh pembaharu
pendidikan Islam yang awalnya non formal menjadi formal
[3]. Hendaknya para generasi penerus tidak melupakan sejarah para pejuang
pendidikan Islam dari masa ke masa hingga terbentuknya pendidikan Islam formal
pertama di dusun Sekardangan secara keseluruhan tanpa pandang bulu. [4].
Hendaknya para generasi penerus menjadikan sejarah tersebut, meminjam istilah
Bung Karno sebagai “kaca benggala” (kaca cermin) untuk melakukan inovasi-inovasi
(pembaharuan-pembaharuan) dalam pendidikan Islam di Sekardangan
sebagaimana yang dilakukan para pendahulu sesuai dengan zamannya. Ada sebuah
perkataan hikmah: “Anak-anakmu adalah anak-anak dizamannya, bukan anak-anak
dizaman kalian”. Dari perkataan hikmah ini, sudah tentu inovasi-inovasi atau
pembaharuan-pembaharuan harus terus diupayakan agar tidak tertinggal oleh
derasnya arus perkembangan zaman.
Kritik
dan Saran
Dalam
pemaparan sejarah diatas pasti tidak lepas dari kesalahan yang dalam peribahasa
disebutkan “Tiada gading yang tak retak”. Dalam hal ini penulis memang
sengaja tidak membahas tentang
pendidikan formal di dusun Sekardangan yang lain. Hal ini dengan pertimbangan
bahwa terbentuknya “Institusi Pendidikan Islam Formal Pertama” di
dusun Sekardangan memang merupakan sejarah perjuangan yang sangat unik dari
masa ke masa. Sedangkan lembaga formal yang lain tidak mempunyai sejarah
panjang yang terkait dengan para tokoh pertama dusun Sekardangan. Kata-kata
penulis “Formal Pertama”(di atas) sudah bisa ditebak bahwa
institusi yang penulis paparkan merupakan Institusi Formal Tertua
di dusun tersebut. Akhir kata, mudah-mudahan segala jasa-jasa kebaikan selalu
terlimpahkan kepada pejuang pendidikan Islam di Sekardangan mulai awal hingga
akhir. Baik yang tercatat dalam tulisan ini, maupun yang tidak tercatat
didalamnya. Kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan tulisan ini selalu
penulis harapkan.
Daftar Rujukan
Sumber
Buku:
Al-Abrashi, (1969). Al-Tarbiyah
Al-Islamiyah Wa Falasifatuha, (Qahirah: Isa Al-Baby al-Halaby).
Kurniawan, Eka, (2006). Pramoedya
Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama)
Langgulung, Hasan, (2003). Pendidikan
Islam dalam Abad ke 21, (Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru).
Masjid, Ta’mir, (1990). Masjid Baitul Makmur Sekardangan
Kanigoro Kabupaten Blitar, (Blitar: Ta’mir Masjid Baitul Makmur)
Ramayulis, (2002). Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam
Mulia)
Shalabi,
(1954). History of Muslim Education, (Beirut: Dar
Al-Kasyaf).
Sumber Internet:
www.erepublik.com/ea/article/jas-merah-2197408/1/20
Sumber
Lain:
Wawancara
para sesepuh dusun Sekardangan.
[1] Penulis adalah peneliti di The Post
Institute Blitar dan pengajar di Lembaga Pendidikan Dakwah Masjid Agung Kota
Blitar.
[2] Hasan Langgulung, Pendidikan
Islam dalam Abad ke 21, (Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru, 2003), hal. 17-18.
Lihat pula dalam Shalabi, History of
Muslim Education, (Beirut: Dar Al-Kasyaf, 1954), hal. 41.
[3] Hasan Langgulung, Pendidikan
Islam dalam Abad ke 21, (Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru, 2003), hal. 18. Lihat
pula dalam Al-Abrashi, Al-Tarbiyah
Al-Islamiyah Wa Falasifatuha, (Qahirah: Isa Al-Baby al-Halaby, 1969), hal.
65.
[5] Ada sebagian sesepuh yang
menyatakan bahwa Nyai Gadhung Melati sudah beragama Islam (Islam versi Sunan Kalijaga). Ia hijrah di Sekardangan sekitar tahun 1582
masehi dan kembali ke tempat asalnya Sukoharjo, Jawa Tengah sekitar tahun 1621
masehi. Nyai Sekar Gadhung Melati merupakan janda dari Kyai Purwoto Siddiq
Banyubiru (Ki Ageng Kebo Kanigoro/paman Jaka Tingkir), Sukoharjo, Jawa Tengah
dan mempunyai putri yang bernama Raden Ayu Rara Tenggok. (Disarikan dari
berbagai wawancara dengan sesepuh Sekardangan).
[6] Jaman dulu ada yang
menyebutnya “Sanggar” atau “Langgar”. Di Sumatra dikenal dengan nama “Surau”.
Seiring berjalannya waktu, nama tersebut berubah menjadi “Mushalla”, dengan bahasa
Arab yang artinya “tempat shalat atau tempat sembahyang”.
[7] Tahun 1755 M merupakan tahun terakhir Jaman
Mataram Islam, yang pada tanggal 17 Maret 1755 Kerajaan Mataram Islam dipecah belah menjadi
tiga bagian oleh kompeni Belanda dalam Perjanjian Giyanti, hingga akhirnya
orang-orang dari kerajaan tersebut banyak yang hijrah sampai ke Jawa bagian
Timur. Menurut sesepuh, para tokoh dari Mataram yang hijrah dan menjadi cikal
bakal dusun Sekardangan ada empat orang yaitu: [1]. Mbah Kyai Abu Yamin [2].
Mbah Kyai Abu Bakar [3]. Mbah Kyai Barnawi [4]. Mbah Kyai Raden Tirto Sentono
beserta kawan- kawan seperjuangan keempat tokoh tersebut. Dari keempat tokoh
inilah Sekardangan menjadi “Satu Keluarga” sebab, dari keturunan keempat tokoh
ini banyak yang melakukan pernikahan antar keturunan. Sehingga para sesepuh dulu
banyak yang menyatakan dalam bahasa Jawa: “Sak Sekardangan iki isih dulur kabeh,
senajan sedulur kadang katut”(Satu dusun Sekardangan ini masih saudara semua,
walau saudara yang karena mengikuti saudara yang menjadi saudara yang lain).
[8] Menurut penuturan para
sesepuh, ditengah dusun Sekardangan jaman dulu ada “Sumber Air” yang sangat
besar. Namun seiring berubahnya zaman, sumber air tersebut mati dan tidak
berfungsi lagi hingga sekarang. Menurut penuturan sesepuh pula, konon didekat
sumber air itu dulu ada makam (kuburan) seorang Belanda yang meninggal dunia
dalam pertempuran. Penulis sewaktu kecil juga pernah diberi tahu tentang batu nisan makam yang terbuat dari batu tak berbentuk dan
pohon bunga puring yang berada di tempat itu. (Wawancara dengan Mbah Kyai Zainuddin)
[9] Lihat Ta’mir Masjid, 1990,
hal. 3
[12] Menurut para sesepuh,
sebelum dusun Sekardangan mempunyai pemakaman sendiri, maka pada zaman dulu
banyak sekali warga dusun Sekardangan yang dimakamkan di Pemakaman desa Gaprang
bagian Selatan, seperti; Mbah Kyai Abu Yamin, Mbah Kyai Imam Muchtar dan lain-lainnya.
[14] Makam Mbah Kyai Ghazali
berada di area makam Mbah Kyai Abu Bakar (ayahnya) yang berada kurang lebih 70
meter sebelah Barat langgar yang didirikan Mbah Kyai Abu Bakar. Dulu jasadnya
akan dimakamkan di sebelah Barat langgar yang ia dirikan sendiri (yang sekarang
menjadi Masjid Al-Mubarok), tetapi tidak jadi karena berbagai pertimbangan.
Makam Mbah Kyai Abu Bakar ini sering diziarahi para penempuh spiritual dari
kota dan kabupaten Blitar pada bulan-bulan tertentu, begitu juga langgar yang
ia dirikan.
[15] Mbah Kyai Ramli adalah seorang ulama yang
terkenal sebagai ahli mengobati dengan besi panas yang dijilati dengan lidahnya
sendiri
dan mempunyai kesukaan ziarah ke makam-makam para wali dan ulama’. (Disarikan dari kisah para
sesepuh Sekardangan).
[16] Masjid Al-Mubarok sampai
saat ini tidak dipakai sebagai tempat shalat Jum’at warga. Namun pada hari Raya
Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha, masjid ini dipakai shalat Ied untuk kaum wanita
warga Sekardangan. Pada zaman KH. Maulan masjid ini akan dipakai sebagai shalat
Jum’at bersama, tetapi karena berbagai pertimbangan, hal ini belum terlaksana
hingga saat ini.
[17] Mbah Kyai Ahmad Dasuqi adalah
menantu dari Mbah Kyai Zainuddin putra Mbah Kyai Abu Yamin. Mbah Ahmad Shobiri
(menantu Mbah Kyai Imam Fakih) sering berkunjung ke rumah Mbah Kyai Ahmad
Dasuqi ini hanya sekedar diskusi ilmu-ilmu agama Islam sambil mengopi dan
merokok klobot. (Kisah dari Mbah Kyai Zainuddin).
[18] Mbah Kyai Imam Fakih
merupakan tokoh yang berasal dari Bagelenan, Jawa Tengah. Tertangkapnya
Pengeran Diponegoro pada tahun 1830 M oleh pihak Kompeni Belanda menyebabkan para
laskar Diponegoro hijrah ke berbagai tempat. Tersebutlah Mbah Kyai Imam Fakih
yang hijrah kearah Timur hingga sampai di dusun Sekardangan dan menjadi seorang
yang cikal bakal masjid dan pesantren pertama didusun tersebut. Tersebutlah Mbah Kyai
Hasan Thohiran sebagai kawan perjuangan Mbah Kyai Imam Fakih dalam lika-liku
mendirikan masjid dan pesantren tersebut.
[19] Lihat Ta’mir Masjid, 1990,
hal. 3
[20] Menurut sesepuh dusun
Sekardangan, petilasan rumah pendiri (cikal bakal dusun Sekardangan) dulu ada
dua: Pertama, berada didekat sumber air di tengah dusun Sekardangan yang
saat ini sumber itu sudah mati dan tidak ada bekasnya. Kedua, berada di
dekat sungai dusun Sekardangan bagian Selatan yang saat ini dibangun sebuah
“monumen” yang berada kira-kira 200 meter sebelah Barat Masjid Baitul Makmur. (Disarikan dari berbagai
wawancara dengan sesepuh Sekardangan)
[21] Istilah Jawa-nya “Manjing” atau “Nyambut Gawe”
(bekerja pada orang lain dan diberi upah menurut adat masing-masing daerah
tertentu)
[23] Luas tanah wakaf masjid
Baitul Makmur dari Mbah Kyai Imam Fakih seluruhnya tercatat 1837.275 M2 yang terproses pada tahun
1908 M. (Lihat, Ta’mir Masjid, 1990: 4)
[25] Saking berhati-hatinya dengan ilmu fikih, bahkan beliau dulu juga
mengharamkan rokok. (Cerita dari Mbah Kyai Zainuddin).
[26] Cerita dari para sesepuh Sekardangan, antara lain Mbah Umi
Kulsum, Mbah Kyai Zainuddin, Mbah Tsabit, dll.
[27] Penulis juga pernah diobati oleh Mbah Kyai Abbas Fakih. Penulis juga pernah mendapatkan
amalan Shalawat Nuri Dzati susunan Syaikh Abu Hasan As-Syadzili dari beliau
serta sering dikasih uang jajan (uang saku).
[28] Saat Mbah Kyai Imam Mahdi sakit, penulis bertugas
mencukur rambut beliau tiap sebulan sekali. Beliau juga pernah memberi ijazah
Shalawat Munjiyat, Shalawat Ridha dan amaliyah lainnya kepada penulis.
[29] Mbah Kyai Muhaamad Hamzah juga sebagai pengajar di MAN
Tlogo, Kanigoro, Blitar. Penulis juga sering diajak beliau saat ada undangan
ceramah atau pengajian diberbagai tempat.
[30] Yakni ditambah kata
“Ketrampilan” setelah kata “Pesantren”.
[31] Mbah Kyai Masjhudi juga sebagai pengajar di MAN
Tlogo, MA Hasanuddin Gaprang, dan MI Miftahul Huda 01 Sekardangan.
[32] Kyai Drs. Muhammad Tasrifin, M.Pd.I., juga sebagai pengajar di MAN
Tlogo dan MA Hasanuddin Gaprang.
[33] Penulis pernah mendapat saran dari Mbah
Kyai Maulan agar
tetap setia pada Kitab Ta’limul Muta’alim karya Syaikh Az-Zarnuji (seorang
ulama abad pertengahan).
[34] Penulis pernah diberi ijazah
amalan Shalat Hajat, Shalawat Ringkas (Shallallah
ala Muhammad) dan amalan
Doa Kanzul Arsy oleh Mbah Kyai Machrus Yunus.
[35] Mbah Kyai Nasruddin sering
mengajak penulis
mengikuti zikir Shalawat Wahidiyah di Kedonglo, Kediri. Mbah Kyai Nasruddin
adalah kakak dari Mbah Kyai Muhammad Hamzah yang sangat alim dalam bidang
tasawwuf.
[36] Penulis pernah diberi ijazah
amalan Shalawat Dala’ilul Khairat, Hizib Nashar, Hizib Nawawi, Hizib Barqi,
Hizib Bahri dan berbagai macam amalan lainnya oleh Mbah Kyai Muhtar Fauzi.
[37] Penulis sering diajak Mbah Kyai Zainuddin sowan-sowan kepada para ulama
dan diajak istigotsah ke berbagai tempat. Penulis juga pernah diberi ijazah amalan
Basmallah, Hizib Barqi, Shalawat Fatih, dan lainnya oleh beliau. Mbah Kyai Zainuddin yang
dimaksud disini bukanlah Mbah Kyai Zainuddin yang dimaksud diatas. Mbah Kyai
Zainuddin disini adalah cucu dari Mbah Kyai Zainuddin diatas. Untuk membedakan
Mbah Kyai Zainuddin diatas, maka Mbah Kyai Zainuddin disini sering diberi gelar
“Mbah Kyai Sakri”.
[38] Karena teramat banyaknya
para kyai (ulama’), umaro’ (pemegang pemerintahan), dan lainnya yang mempunyai
kontribusi dalam membangun peradaban Islam di Sekardangan sesuai dengan bidang
masing-masing, maka penulis tidak mungkin
akan menyebutkan satu persatu dalam tulisan yang sangat terbatas ini.
[40] Banyak nama kitab yang diajarkan di masjid dan
pesantren tersebut sebagai target kurikulum yang tak perlu disebutkan satu
persatu dalam tulisan ini.
[43] Diantara kawan-kawan
seperjuangan Kyai Muhtar Fauzi diantaranya; H. Abdul Fattah, KH. Imam Mahdi,
KH. Muhammad Hamzah, Bapak Husnan, Bapak Zaini, Bapak Abdul Hamid, Mbah Kyai
Bakri (hijrah ke Pakel), Mbah Kyai Ustman (hijrah ke Buntu, Tlogo), Mbah Kyai
Muhyiddin (hijrah ke Tanggung, Garum), Bapak H. Muhammad Damiri, KH. Maulan,
Bapak Suroyo , Mbah Kyai Muhammad
Irjaz, Bapak KH.
Erfan, Bapak Syuhud, Bapak H. Masjkur dan tokoh lainnya yang tidak mungkin
disebutkan satu persatu. Zaman ini juga telah ada
lembaga diniyah di rumah Mbah Kyai Muhammad Irjaz sebagai tempat
belajar dan mengajarkan ilmu pendidikan
Islam.
[44] MI Miftahul Huda 01 dibawah
naungan LP. Ma’arif NU dan Departemen Agama (sekarang Kementrian Agama).
Sedangkan TK Al-Hidayah dibawah naungan
YPMNU dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Kemendiknas).
Dan perlu diketahuai pula bahwa MI Miftahul Huda Papungan 02 yang berada di
dusun Duwet jaman dulu termasuk cabang dari MI Miftahul Huda 01 Sekardangan.
Dengan berjalannya waktu ia memisahkan diri dari induknya.
[46] Data kepala madrasah ini
terpampang pada dinding MI Miftahul Huda 01 Sekardangan, Kanigoro, Blitar. Selain H. Mustadji dan H.
Marjani berasal dari Sekardangan.
[47] H. Mustadji berasal dari dusun
Sumberagung, desa Banggle, kecamatan Kanigoro, kabupaten Blitar.
[50] Sebelum ini sebenarnya sudah
ada TK (Taman Kanak-Kanak) yang dipimpin oleh Bapak Kasmuni dirumah beliau,
lalu diserahkan kepada Siti Rubikah (hijrah ke Jember, istri pertama Bapak
Kasri [buyut dari Mbah Kyai Abu Yamin]). Lalu dipindah ke tempat saat ini
dijadikan satu dengan Masjid Baitul Makmur. (Kisah dari Ibu Siti Rofi’ah).
[51] Hj. Mastijah Machrus mendirikan SD Plus Sunan Pandanaran bersama
suaminya Mbah Kyai Mahrus Yunus (alm).
[53] Eka Kurniawan, Pramoedya
Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006)