Oleh:
Arif Muzayin Shofwan
Nama
lain Syaikh Hasan Ghozali Kalangbret, Tulungagung adalah Kiai Ageng Witono atau
Kiai Naib Witono atau Kiai Mangun Witono. Disebut “Syaikh” atau “Kiai”, karena
beliau seorang ahli ilmu agama Islam. Disebut “Naib” karena beliau dulu
merupakan seorang naib atau penghulu pada zaman Kraton Surakarta. Salah satu
adik beliau yang menjadi “naib” (penghulu) adalah Kiai Raden Taklim yang
dimakamkan di lereng Gunung Pegat, Srengat, Blitar. Kiai Raden Taklim adalah
salah satu ulama yang menurunkan para penghulu di Blitar. Salah satu putranya
yang bernama Kiai Raden Muhammad Kasiman merupakan nenek moyang pendiri Masjid
Agung Kota Blitar (sebelah Barat alon-alon Kota Blitar).
Disebut
“Mbah Witono” karena Syaikh Hasan Ghozali merupakan seorang yang pertama kali
mengadakan kajian-kajian Islam (wiwitane ono; Jawa) di daerah Kalangbret,
Tulungagung.
Syaikh
Hasan Ghozali merupakan generasi kesembilan dari Sunan Tembayat (Syaikh Hasan
Nawawi), Klaten, Jawa Tengah. Berikut
silsilah Syaikh Hasan Ghozali (Kiai Ageng Witono):
1.
Sunan Tembayat (Sayyid Hasan Nawawi),
berputra:
2.
Panembahan Jiwo (Sayyid Ishaq),
berputra:
3.
Panembahan Masjid Wetan, berputra:
4.
Pangeran Sumendi I (Bayat), berputra:
5.
Pangeran Sumendi II (Setono, Jetis,
Ponorogo), berputra:
6.
Pangeran Kabo, berputra:
7.
Raden Ratmojo, berputra:
8.
Kiai Ageng Donopuro (guru Kiai Hasan
Besari I), berputra:
9.
Kiai Ageng Witono (Syaikh Hasan Ghozali),
Kalangbret, Tulungagung.
Sebagai
seorang ulama (ahli ilmu agama Islam), apalagi juga sebagai “naib” (penghulu), maka
Syaikh Hasan Ghozali juga menikah melakukan sunnah
Rasulullah saw dengan Nyai Jarakan. Dari hasil pernikahan tersebut, maka Syaikh Hasan Ghozali (Kiai
Ageng Witono) dan Nyai Jarakan mempunyai beberapa putra-putri. Adapun putra-putri
Syaikh Hasan Ghozali antara lain:
1.
Kiai Imam Jauhari, Gondang, Tulungagung
2.
Kiai Imam Muntaha (Mbah Muntoho),
merupakan seorang yang disebut sebagai cikal-bakal desa Jarakan, Gondang,
Tulungagung.
3.
Kiai Gembrang Serang, merupakan salah
satu tokoh yang disebut-sebut sakti mandraguna. Ada yang menyebutkan bahwa
beliau bernama asli Kiai Ageng Nur Rahmatullah.
4.
Nyai Robi’ah, merupakan salah satu
puteri Syaikh Hasan Ghozali
Pada
zaman tersebut, Syaikh Hasan Ghozali (Kiai Ageng Witono) juga masih sambung
“saling silaturrahmi” dengan keluarga-keluarga dari Raden Setro Manggolo dan
Raden Ragil Siddiq (keturunan Sunan Tembayat yang berada di Lodoyo, Blitar
Selatan), sehingga hubungan tersebut menjadi hubungan kekerabatan yang sangat
dekat. Adapun silsilah Raden Setro Manggolo (Syaikh Abu Naim Fathullah) dan
Raden Ragil Siddiq (Eyang Siddiq) adalah sebagaimana berikut:
1.
Sunan Tembayat, berputra:
2.
Panembahan Jiwo, berputra:
3.
Panembahan Minangkabo, berputra:
4.
Panembahan Masjid Wetan, berputra:
5.
Pangeran Wuragil, berputra:
6.
Raden Ragil Sedo Komuk, berputra:
7.
Raden Setro Manggolo atau Sutro Manggolo
(Syaikh Abu Naim Fathullah), berada di arah Barat “Makam Sentono”, Lodoyo,
Blitar [tepatnya berada pada arah Selatan sungai sebelah Barat Makam Sentono,
Lodoyo] dan Raden Ragil Siddiq (Eyang Siddiq).
Kisah
Masjid Tiban Al-Istimrar
KH.
Muhammad Isa Karangsono, Kerjen, Srengat, Blitar sering menceritakan bahwa
ketika kecil dulu sering diajak ibunya yang bernama Nyai Salamah pergi di desa
Jarakan, Gondang, Tulungagung di petilasan rumah Kiai Muhammad Sya’ban (salah
satu cucu Kiai Imam Muntoho, Jarakan, Gondang, Tulungagung). Kemudian diajak
ibunya ke Makam Syaikh Hasan Ghozali (Kiai Ageng Witono) yang merupakan nenek
moyang keluarganya. Beliau juga menceritakan bahwa pada waktu dulu “Masjid
Tiban Al-Istimrar” hanya berupa petilasan saja. Bahkan di lokasi berdirinya Masjid
Al-Istimrar tersebut masih banyak berupa pepohonan yang besar-besar dan
pohon-pohon bambu, sementara dibaratnya ada banyak makam, termasuk Makam Kiai
Ageng Witono dan Kiai Hasan Mimbar [yang sampai hari ini dianggap keramat oleh
para warga masyarakat Kalangbret, Tulungagung].
Pada
waktu itu, Masjid Al-Istimrar Kalangbret nyaris belum bisa dikatakan berbentuk
sebuah masjid yang layak dipakai. Bahkan “Makam Kiai Ageng Witono” sendiri
masih belum ada bangunan cungkup seperti sekarang. Hal ini pun juga banyak
diceritakan oleh KH. Drs. Miftahul Huda, Dermojayan, Srengat, Blitar yang juga
merupakan salah satu orang yang sejak kecil sering diajak ayahnya untuk
“nyekar” di Makam Kiai Ageng Witono, leluhurnya. Hal ini pula, juga sering
diceritakan oleh KH. Sulaiman (pengasuh Pesantren Al-Asrar, Kedungcangkring,
Pakisrejo, Srengat, Blitar) kepada Bapak Tamam Thahir.
Sehingga
bisa dikatakan bahwa Masjid Tiban Al-Istimrar yang sekarang berdiri merupakan
buatan orang-orang yang berpautan jauh dengan masa Kiai Ageng Witono (Syaikh
Hasan Ghozali). Dikatakan “Masjid Tiban” memang dahulu tiba-tiba ada [tetapi
dibuat secara gotong royong] dan dipakai untuk beribadah. Artinya, masjid “yang
terjadi secara tiba-tiba” (tiban) tersebut masih dalam bentuk sederhana, yang
intinya hanya sekedar untuk berjamaah warga masyarakat. Sampai sekarang cerita
masjid tiban, seakan-akan dibesar-besarkan hingga pembangunannya di bantu jin
muslim dan dibumbui cerita-cerita tahayul dan mistik lainnya. Dan dibumbui
serta dikaitkan dengan hal-hal yang membodohkan dan bahkan dibumbui hal-hal
yang tidak masuk akal dan menyesatkan umat awam.
Persahabatan Kiai Ageng Witono dan Kiai Hasan Mimbar
Dalam
perjuangan mengajarkan ajaran agama Islam, Syaikh Hasan Ghozali (Kiai Ageng
Witono) memiliki sahabat karib yang bernama Syaikh Hasan Mimbar, Tawangsari, Tlungagung. Sementara
ada beberapa kisah dari beberapa orang yang tidak mengetahui silsilah kedua
ulama tersebut mengatakan bahwa Syaikh Hasan Ghozali (Kiai Ageng Witono) dan
Syaikh Hasan Mimbar tidak pernah menikah sepanjang hayat adalah sebuah
kesalahan. Perlu diketahui bahwa kedua ulama tersebut melakukan “sunnah
Rasulullah saw” dan menurunkan beberapa putra-putri di wilayah Tulungagung,
Kediri, Blitar, Malang, dan lain-lainnya. Terbengkelainya masjid Tiban
Al-Istimrar karena tidak ada yang meneruskan perjuangan beliau dari
putra-putrinya bukan berarti bahwa Syaikh Hasan Ghozali tidak menikah dan tidak
mempunyai keturunan sama sekali. Sebab tempat yang sekarang berdiri bangunan
Masjid Tiban Al-Istimrar tersebut dahulu memang tidak ada, bahkan hanya ada
pohon-pohon besar dan area pemakaman, sebagaimana yang penulis ceritakan di
atas. [Lihat pula, makam Mbah Sholeh Sumendi, Pasuruan yang juga keturunan
Sunan Tembayat, pun tidak dimakamkan berdampingan bersama istrinya. Hal
tersebut bukan berarti beliau tidak memiliki istri dan keturunan].
Perlu
diketahui bahwa Masjid Tiban Al-Istimrar dibangun layaknya menjadi sebuah
masjid [dengan tembok dan bangunan indah seperti sekarang] dilakukan oleh
orang-orang setelah Syaikh Hasan Ghozali. Sebagaimana tradisi-tradisi di Jawa,
ketika ada makam-makam yang dianggap keramat, lalu dibanguni ditempat tersebut
sebuah masjid atau musholla. Akhirnya, di kemudian hari banyak orang yang
menyatakan bahwa masjid atau musholla tersebut adalah bangunan yang didirikan
oleh orang yang dianggap keramat tersebut. Hingga untuk meyakinkan kepada
khalayak masyarakat, dibumbui pula dengan cerita-cerita tahayyul dan mistik untuk
meng-“keramat”-kan hal-hal tersebut. Misalnya, masjid tersebut “Tiban” yang
diartikan “terjadi tiba-tiba dan tidak dibangun oleh manusia, tetapi dibangun
oleh para jin milik wali keramat tersebut”. Bahkan mengatakan bahwa para orang
saleh mempunyai banyak jin yang bisa menolong, bahkan jin tersebut bisa berbuat
apa saja kepada orang yang tidak disukainya serta dibumbui kisah keramat mistis
lainnya, justru malah merendahkan orang-orang saleh [wali; pen] tersebut.
Perlu
diketahui bahwa dahulu di lokasi areal makam Syaikh Hasan Ghozali, Kalangbret,
Tulungagung tidaklah ada bangunan berupa “masjid” seperti yang dikatakan
masyarakat saat sekarang ini. Di situ dahulu adalah hanya berupa pepohonan
besar-besar dan areal pemakaman, layaknya areal makam-makam pada umumnya. Pembuatan
masjid dengan nama “tiban” merupakan karya orang-orang setelah Syaikh Hasan
Ghozali meninggal dunia dengan jarak yang agak cukup lama. Apalagi perlu
diketahui pula bahwa Syaikh Hasan Ghozali dan Syaikh Hasan Mimbar dahulu juga
tidak bertempat tinggal di dekat masjid yang dianggap “tiban” tersebut, karena
memang masjid tersebut ketika keduanya masih hidup tidak ada atau belum ada
dalam bentuk bangunan yang seperti sekarang. Memang disebut masjid (tempat
sujud), tetapi dulu hanyalah “Tiban” (tiba-tiba ada), namun bukan bersifat
tahayul seperti yang dipahami orang-orang bodoh atau masyarakat awam. Tiba-tiba
ada yang dimaksud adalah masih dalam bentuk sederhana dan pokoknya hanya bisa
dipakai untuk melakukan jamaah bersama, bahkan nyaris tidak bercirikan sebagai
layaknya masjid. Ini adalah kisah nyata yang benar-benar disertai data-data.
Bukan kisah “nggladrah” yang diinformasikan orang yang tidak berpengetahuan.
Dzuriyah
Syaikh Hasan Ghozali (Kiai Ageng Witono)
Para
putra-putri dan keturunan Syaikh Hasan Ghozali (Kiai Ageng Witono) banyak yang
berada di daerah Tulungagung, Blitar, Malang, Kediri, dan lain sebagainya.
Mereka semua memperoleh silsilah yang runtut hingga Syaikh Hasan Ghozali dari
para kakek buyutnya yang juga menjadi ulama di wilayah masing-masing. Begitu
pula para putra-putri dan keturunan sahabat karib beliau yang bernama Syaikh
Hasan Mimbar juga banyak bertebaran di Tulungagung, Blitar, Kediri, dan lain
sebagainya.
Berikut
beberapa silsilah Syaikh Hasan Ghozali dari generasi ke generasi yang sempat
penulis dapatkan baik dari Tulungagung, Blitar, Malang dan lain sebagainya:
1.
Kiai Ageng Witono, berputra:
2.
Kiai Ageng Gembrang Serang, berputra:
3.
Kiai Hasan Rifa’i, berputra:
4.
Kiai RH. M. Sholeh, berputra:
5.
Mbah Hasan Sanadi [+ Nyai Muntoqinah],
berputra:
6.
Mbah Mangunasri [+ Maijah], berputra:
7.
Mbah Sukadi [+ Suyati], berputra:
8.
Nyai Endang Maryati Pujiningsih,
berputra:
9.
Darojati Bintoro
Silsilah
yang saya temukan dan ditulis pada tanggal 15 Juli 1984 pada saat Haul Akbar
Kiai Muhammad Asrori Kedungcangkring, Pakisrejo, Srengat, Blitar, sebagai
berikut:
1.
Kiai Ageng Witono, berputra:
2.
Kiai Nur Rahmatullah, berputra:
3.
Kiai Ali Muntoho, berputra:
4.
Kiai Syakban, Mbrebesmili Santren,
Bedali, Purwokerto, Srengat, Blitar, berputra:
5.
Kiai Muhammad Asrori (Pendiri Masjid
Al-Asrar Kedungcangkring, Pakisrejo, Srengat, Blitar), berputra:
6.
Nyai Tsamaniyah [+ Kiai Imam Muhtar], Kerjen,
Srengat, Blitar, berputra:
7.
Kiai Mulkan Dermojayan, Srengat, Blitar
berputra:
8.
KH. Drs. Miftahul Huda (alm), Dermojayan,
Srengat, Blitar, berputra;
9.
Arifuddin Nurwijaya.
Dan banyak lagi
silsilah lain yang tersebar di Tulungaung, Blitar, Malang, dan lainnya yang
dibawa oleh generasi pergenerasi.
Catatan:
Bahkan
di Blitar, keturunan Syaikh Hasan Ghozali (Kiai Ageng Witono/Kiai Naib Witono),
Kalangbret, Tulungagung banyak yang bertemu dalam “sebuah pernikahan” dengan
keturunan Kiai Raden Taklim (Kiai Naib Taklim [adik Kiai Naib Witono]) Srengat,
Blitar. Misalnya: Kiai Muhammad Asrori (Pendiri Masjid Al-Asrar),
Kedungcangkring, Pakisrejo, Srengat, Blitar yang merupakan keturunan Kiai Naib
Witono (Syaikh Hasan Ghozali), dalam catatan data yang penulis temukan, pada
tahun 1850 Masehi menikah dengan Nyai Haditsah putra Kiai Muhammad Yunus (yang
menjabat sebagai “naib” [penghulu] Srengat), bahkan adiknya yang bernama Kiai
Ali Muntoho juga menjadi “naib” [penghulu] pula di daerah Srengat dan
sekitarnya. Perlu diketahui bahwa Nyai Haditsah tersebut merupakan keturunan
Kiai Naib Taklim (Raden Taklim) yang merupakan adik Kiai Ageng Witono,
Kalangbret, Tulungagung.
Dan
masih banyak lagi kisah pertemuan dalam “sebuah pernikahan” dzurriyah Kiai Naib
Witono, Kalangbret, Tulungagung dengan Kiai Naib Taklim, Srengat, Blitar.
Kesimpulan
& Pesan
Kesimpulannya
adalah tidak dibenarkan bahwa informasi yang menyatakan bahwa Syaikh Hasan
Ghozali dan Syaikh Hasan Mimbar dalam sepanjang hidupnya tidak menikah. Apalagi
Syaikh Hasan Ghozali menjadi seorang “naib” (penghulu), yang pada masanya
berprofesi menikahkan orang lain atau masyarakat pada waktu itu. Bahkan adik
Syaikh Hasan Ghozali yang bernama Kiai Raden Taklim juga menjadi “naib”
(penghulu) di daerah Srengat, Blitar. Bahkan keturunan-keturunan Kiai Naib
Witono (Syaikh Hasan Ghozali) di Blitar pun juga banyak yang menjadi “naib”
(penghulu).
Penulis
berpesan pada orang-orang yang tidak mengetahui sejarah di atas, agar tidak
memberikan informasi yang tidak benar bahkan menjadikan kontroversi yang
meresahkan. Seseorang yang tidak tahu-menahu data-data sejarah atau silsilah,
tidak perlu mengatakan bahwa Syaikh Hasan Ghozali dan Syaikh Hasan Mimbar tidak
pernah menikah sepanjang hayat dan tidak mempunyai keturunan. Penulis
memberikan informasi ini apa adanya dengan berbagai data yang penulis dapatkan,
dan tidak berniat untuk hal-hal yang tidak baik kepada mereka yang berniat
tidak baik. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi keluarga dan keturunan Sunan
Tembayat pada umumnya, dan khususnya keluarga besar Syaikh Hasan Ghozali dan
Syaikh Hasan Mimbar dimanapun mereka berada dan dimanapun mereka melakukan
perjuangan agama Islam.
Alamat
Penulis:
Arif Muzayin Shofwan
Jl. Masjid Baitul
Makmur Sekardangan RT. 03 RW. 09
Papungan Kanigoro
Blitar Jawa Timur. Kode Pos 66171
HP. 085649706399.
Makam Kiai Raden Donopuro (ayah Kiai Ageng Witono) |