Oleh: Arif Muzayin Shofwan
Biografi Singkat
Mbah Kiai Haji Ahmad Dasuqi
Mbah Kiai Haji Ahmad Dasuqi
merupakan ulama di Sekardangan, Kanigoro, Blitar yang berasal dari dusun
Manukan, Pojok, Garum, Blitar. Beliau hidup sekitar tahun 1845 s/d 1970 masehi
(mempunyai umur yang sangat panjang, yakni 125 tahun). Beliau merupakan putra
Mbah Kiai Marto Sentono bin Kiai Imam Tobroni yang makamnya berada di areal
Makam Patok, Pojok, Garum, Blitar. Mbah Kiai Zainuddin Sekardangan menceritakan
bahwa Mbah Kiai Imam Tobroni dan istrinya (kakek Mbah Kiai Haji Ahmad Dasuqi)
telah lama menikah tetapi tidak dikaruniai anak oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Kemudian
Mbah Kiai Imam Tobroni “sowan” kepada
gurunya yang menurut beberapa versi berada di Lodoyo, Blitar. Ada yang menyebutkan guru tersebut bukan dari Lodoya, tetapi dari Talok, Garum bernama Mbah Kiai Singo Menggolo yang masih keturunan Raden Sutro Menggolo (Syaikh Abu Naim Fathullah) Lodoya dan masih kakek Mbah Kiai Imam Tobroni [Mbok Martowati] sendiri. Seorang guru waskita Mbah
Kiai Imam Tobroni, yang disebut Mbah Kiai Singo Menggolo tersebut memberi saran kepada
Mbah Kiai Imam Tobroni dan [Mbok Martowati] istrinya, apabila beliau menginginkan seorang putra,
maka beliau berdua harus melakukan ritual “diobong/dibakar”
dalam kobaran api terlebih dahulu. Konon hanya inilah syarat yang harus
dilakukan Mbah Kiai Imam Tobroni dan istrinya menurut pandangan dari “kewaskitaan” Mbah Kiai Singo Menggolo Talok tersebut,
bila Mbah Kiai Imam Tobroni dan istrinya ingin memiliki seorang putra.
Mbah Kiai Zainuddin menyatakan
bahwa berdasarkan syarat dari gurunya yang bernama Mbah Kiai Singo Menggolo Talok tersebut,
maka Mbah Kiai Imam Tobroni dan [Mbok Martowati] istrinya berani diobong/dibakar dalam kobaran
api yang menyala-nyala, karena sangat ingin sekali memiliki seorang anak. Maka
dipersiapkanlah beberapa kubik bambu untuk membakar Mbah Kiai Imam Tobroni dan
istrinya tersebut. Setelah keduanya benar-benar matang untuk melakukan “ritual di kobaran api” tersebut, lalu Mbah
Kiai Singo Menggolo Talok menyuruh Mbah Kiai Imam Tobroni dan istrinya terjun kedalam kobaran
api yang telah dinyalakan tersebut. Ternyata karena kekuasaan Tuhan Yang Maha
Esa, Mbah Kiai Imam Tobroni dan istrinya tidak terbakar sedikitpun. Yang aneh
lagi, Nyai Imam Tobroni [Mbok Martowati] yang sudah berumur 60 tahun [pada saat dibakar bersama
Mbah Kiai Imam Tobroni], saat itu pula bisa hamil dan sekaligus melahirkan
seorang putra mungil dan merupakan satu-satunya putra dalam kehidupannya. Dalam
kisah yang lain disebutkan bahwa Nyai Imam Tobroni tidak hamil, akan tetapi di
dalam kobaran api tersebut telah muncul seorang bayi laki-laki mungil yang juga
tidak ikut terbakar yang muncul dari dalam “bambu” [pring pethung; bambu berukuran paling besar istilah Jawa] yang
masih terbakar.
Seorang putra mungil yang
terlahir dari Nyai Imam Tobroni [dalam versi lain tidak lahir, tetapi tiba-tiba
muncul dari “pring pethung” dalam
kobaran api] tersebut, oleh Mbah Kiai Lodoya diberi nama “Marto Sentono”. Mbah Kiai Zainuddin menyatakan bahwa istilah “Marto” berarti “jalan”, ada yang menyatakan "Marto" berarti anak yang sabar, sedangkan “Sentono” adalah keluarga istana (Sentanan). Dari sini bisa diartikan
bahwa nama “Marto Sentono” berarti “bayi mungil ‘Marto’ yang merupakan keluarga
Sentono yang berada di Lodoya, Blitar Selatan”. Hal ini menurut pendapat
yang menyatakan bahwa orang tua Marto Sentono merupakan keluarga dari Sentono
di Lodoya, Blitar Selatan. Versi ini pernah diungkapkan keluarga besar Kiai
Haji Ahmad Dasuqi yang berada di Jatilengger, Ponggok, Blitar dan lainnya.
Sementara dalam versi lain disebutkan bahwa
kata “Marto” diambil dari nama “Mbok Martowati” yang masih keturunan
Sunan Tembayat. Dari nama “Mbok Martowati”
inilah diambil istilah “Marto”-nya
dan ditambah istilah “Sentono”,
menjadi “Marto Sentono”. Hal ini bisa
diartikan bahwa Marto Sentono merupakan anak dari Mbok Martowati. Di dalam
versi ini dinyatakan bahwa Mbah Kiai Imam Tobroni masih bersambung saudara [atau
masih memiliki hubungan kekerabatan bila diruntut silsilah nasabnya ke atas] dengan
Mbah Kiai Buyut Abu Nangim Fathullah (Raden Sutro Menggolo) yang dimakamkan di
daerah Lodoyo, Blitar yang merupakan saudara kandung Mbah Kiai Raden Ragil
Siddiq (Eyang Siddiq) yang dimakamkan dalam areal “Makam Sentono”, Lodoyo,
Blitar Selatan. Dalam versi ini bisa dijelaskan bahwa silsilah nasab Mbah Kiai
Haji Ahmad Dasuqi Sekardangan, Kanigoro, Blitar bila diruntut ke atas sebagai
berikut:
1. Sunan Tembayat, berputra:
2. Panembahan Jiwo, berputra:
3. Panembahan Minangkabo, berputra:
4. Panembahan Masjid Wetan,
berputra:
5. Pangeran Wuragil, berputra:
6. Raden Ragil Sedo Komuk, berputra:
7. Raden Ragil Siddiq, berputra:
8. Raden Donowijoyo, berputra:
9. Mbok Martowati [+ Mbah Kiai Imam Tobroni], berputra:
10. Mbah Kiai Marto Sentono,
berputra:
11. Mbah Kiai Haji Ahmad Dasuqi
Sekardangan.
(Disarikan
dari Silsilah Sunan Tembayat dari Nyai Raden Lina Djojodiningrat Surakarta khusus "Silsilah Raden Donowijoyo" ke atas dan
informasi-informasi lainnya. Adapun silsilah Mbah Kiai Ahmad Dasuqi bersambung sampai ke Raden Donowijoyo tersebut "TIDAK PERLU DIPAKAI PATOKAN" sebab DATA-DATA-nya masih SANGAT LEMAH . Bahkan Mbah Kyai Zainuddin yakni anak Mbah Kiai Haji Ahmad Dasuqi menyatakan bahwa silsilah Mbah Kiai Haji Ahmad Dasuqi ke atas sampai ke SAWUNGGALING. Penulis sendiri belum tahu bagaimana cerita ketokohan SAWUNGGALING).
Sementara dalam versi lain, Mbah
Kiai Ahmad Dasuqi mempunyai pertalian nasab ke atas dengan Pangeran
Sawunggaling atau Raden Sawunggaling. Tidak diketahui secara pasti, apakah penarikan
silsilah tersebut dari nenek moyang Mbah Kiai Haji Ahmad Dasuqi dari pihak
perempuan atau laki-laki. Atau mungkin ada perpaduan silsilah nasab antara
keturunan Raden Sawunggaling dengan keturunan Sunan Tembayat. Ini merupakan
salah satu versi yang pernah diungkapkan oleh Mbah Kiai Zainuddin, Sekardangan,
Kanigoro, Blitar yang diperoleh dari informasi-informasi leluhurnya ke atas.
Perlu diketahui bahwa Mbah Kiai Zainuddin Sekardangan masih merupakan putra
Mbah Kiai Haji Ahmad Dasuqi. Mbah Kiai Haji Ahmad Dasuqi mempunyai tiga istri
dan dari ketiga istri tersebut memiliki 18 putra-putri, termasuk Mbah Kiai
Zainuddin tersebut [yang juga merupakan menantu dari Mbah Kiai Haji Ridwan, pendiri
Pondok Pesantren Karangsono, Kanigoro, Blitar).
Mbah Kiai Zainuddin juga pernah
menceritakan tentang makam ayah Mbah Kiai Haji Ahmad Dasuqi Sekardangan yang
bernama Mbah Kiai Imam Tobroni berada di areal Makam Patok, Pojok, Garum,
Blitar. Konon pada zaman Belanda, di atas makam Mbah Kiai Imam Tobroni pernah dilalui
pesawat terbang milik kompeni Belanda, tiba-tiba saja ketika pesawat tersebut
melintasi di atas makam Mbah Kiai Imam Tobroni sempat oleng ke kanan dan ke
kiri hingga hampir jatuh. Begitu juga ketika ada burung yang lewat di atas
makam Mbah Kiai Imam Tobroni tiba-tiba saja selalu oleng ke kanan dan ke kiri
dan hampir jatuh ke tanah. Dalam hal ini, tidak diketahui secara pasti apakah
kejadian tersebut karena “keramat”
[kemuliaan] yang dimiliki Mbah Kiai Imam Tobroni atau mungkin proses alami yang
disebabkan oleh suasana alam semesta. Atau mungkin kejadian-kejadian tersebut
bisa dikaji secara ilmiah atau tidak, belum bisa dijawab secara pasti. Wallahua’lam.
Perjalanan Keilmuan
Mbah Kiai Haji Ahmad Dasuqi
Mbah Kiai Haji Ahmad Dasuqi
pertama kali menempuh ilmu kepada ayah dan ibunya, yakni Mbah Kiai Marto
Sentono dan Nyai Marto Sentono di Manukan, Garum, Blitar [petilasannya tepatnya
adalah Masjid Manukan Kidul, Garum, Blitar utara jalan]. Kemudian setelah Ahmad
Dasuqi menginjak remaja, dia “mondok”
di Pesantren Kebonsari, Garum, Blitar yang diasuh oleh Mbah Kiai Haji
Abdurrahman. Menurut cerita Mbah Kiai Zainuddin, tidak lama ketika Ahmad Dasuqi
remaja “mondok” di Pesantren
Kebonsari, Garum, Blitar tersebut, Mbah Kiai Abdurrahman meninggal dunia dan
meninggalkan putra-putri yang masih kecil-kecil. Mbah Kiai Zainuddin menyatakan
bahwa Ahmad Dasuqi remajalah yang pada saat itu “ngemong/merawat” putra-putri Mbah Kiai Haji Abdurrahman Kebonsari Garum
tersebut. Di antara putra-putri Mbah Kiai Haji Abdurrahman Kebonsari yang
pernah di “emong” atau diasuh oleh Ahmad
Dasuqi waktu kecil antara lain:
1. Mbah Kiai Haji Hadin Mahdi
(Mursyid dan Muqaddam Thariqah Tijaniyah, Tulungsari, Garum, Blitar)
2. Mbah Kiai Haji Malak (pernah
mengijazahi “doa: subhanaka laa ilma
lanaa illa maa allamtanaa.. ila akhir” kepada penulis. [Kebonsari, Garum,
Blitar])
3. Mbah Kiai Haji Ridwan (Kebonsari,
Garum, Blitar).
4. Mbah Kiai Busro (termasuk kiai
yang “nyleneh/khariqul adat”), di
Ploso, Pakel, Blitar dan lain-lain.
Setelah Ahmad Dasuqi merasa cukup
berada di Pondok Pesantren Kebonsari, Garum, Blitar, dia kemudian melakukan
perjalanan menuntut ilmu pengetahuan agama kepada Mbah Kiai Abu Darda’ pengasuh
Pondok Pesantren Papungan, Kanigoro, Blitar [berada di dekat atau sebelah Utara
Makam Desa Papungan dan Gaprang yang merupakan salah satu pesantren tertua di
desa Papungan, Kanigoro, Blitar]. Di pondok tersebut Ahmad Dasuqi menimba ilmu
pengetahuan agama Islam dan di sela-sela waktu dia juga menimba ilmu “Aqa’id Lima Puluh/Ilmu Tauhid” kepada
seorang guru yang sampai akhir hayatnya selalu dia ikuti, yakni Mbah Kiai Haji
Muhammad Sholeh Kuningan, Kanigoro, Blitar yang merupakan putra Mbah Kiai Abu
Mansyur Kuningan dan cucu Mbah Abu Hasan Kuningan. Untuk menghidupi dirinya dan
memenuhi kebutuhan-kebutuhan “mondok”,
maka pada siang hari Ahmad Dasuqi bekerja sebagai “pencari rumput” untuk sapi-sapi milik Mbah Kiai Haji Zainuddin bin
Abu Yamin Sekardangan [Zainuddin ini merupakan kakek Zainuddin yang disebutkan
diatas].
Oleh karena ketekunan dan
kemumpunian Ahmad Dasuqi di bidang ilmu pengetahuan agama Islam dan disiplin
ilmu-ilmu lain, akhirnya Mbah Kiai Zainuddin bin Abu Yamin tertarik hati untuk mengambil
menantu Ahmad Dasuqi tersebut. Sejak Ahmad Dasuqi diambil menantu oleh Mbah
Kiai Zainuddin bin Abu Yamin tersebut, maka dia mulai hidup di Sekardangan,
Kanigoro, Blitar. Diceritakan bahwa semenjak Ahmad Dasuqi berada di
Sekardangan, maka rumah atau kediaman Ahmad Dasuqi yang saat itu masih terbuat
dari “gedheg” (anyaman bambu) dan
masih dengan atap “blarak” (daun
pohon kelapa) sering menjadi “jujugan”
Mbah Kiai Haji Muhammad Sholeh Kuningan ketika mengadakan kajian-kajian ilmu “Aqa’id Lima Puluh/Ilmu Tauhid” di
Sekardangan. Diceritakan pula oleh Mbah Kiai Zainuddin bahwa Mbah Kiai Haji Ahmad
Dasuqi Sekardangan merupakan pimpinan “Halaqah
Pengajian Aqa’id Lima Puluh” di dusun Sekardangan, yang dibentuk oleh Mbah
Kiai Haji Muhammad Sholeh Kuningan dari beberapa halaqah lainnya.
Mbah Kiai Zainuddin menyatakan
bahwa pernah suatu hari Mbah Kiai Haji Muhammad Sholeh Kuningan ke rumah salah
satu murid/santri kinasihnya, yakni Mbah Kiai Haji Ahmad Dasuqi Sekardangan.
Pada saat itu Mbah Kiai Haji Ahmad Dasuqi Sekardangan ingin menjamu gurunya tersebut
dengan hidangan yang terbaik. Namun apa yang bisa diandalkan, sebab pada saat
itu yang ada dirumah hanya nasi putih saja dan tidak ada lauk-pauknya.
Sementara untuk membeli lauk-pauk pun, Mbah Kiai Haji Ahmad Dasuqi sama sekali
tidak memiliki uang. Dalam keadaan seperti itu, Mbah Kiai Haji Ahmad Dasuqi
sangat gelisah sekali. Ketika Mbah Kiai Haji Muhammad Sholeh Kuningan melihat
muridnya tersebut merasa resah, lalu dia bertanya. Mbah Kiai Haji Ahmad Dasuqi
lalu menjawab apa yang ditanyakan Mbah Kiai Haji Muhammad Sholeh tersebut apa
adanya. Setelah tahu akan hal tersebut, lalu Mbah Kiai Haji Muhammad Sholeh
bergegas ke teras depan rumah dan meremas-remas atap yang terbuat dari “blarak”
di teras. Tiba-tiba saja, “blarak”
yang diremas-remas Mbah Kiai Haji Muhammad Sholeh Kuningan tersebut berupah
menjadi “srundeng” (semacam abon yang
biasanya terbuat dari parutan buah kelapa dan digoreng beserta bumbu-bumbunya).
Lalu “srundeng” tersebut diberikan
kepada Mbah Kiai Haji Muhammad Dasuqi Sekardangan untuk makan bersama-sama.
Rumah Kiai Haji
Ahmad Dasuqi sebagai Tempat Diskusi
Diceritakan oleh Mbah Kiai
Zainuddin bahwa zaman dahulu, rumah atau kediaman Mbah Kiai Haji Ahmad Dasuqi
Sekardangan, Kanigoro, Blitar menjadi “jujugan”
sebagai tempat diskusi ilmu-ilmu agama Islam para ulama atau kiai. Di antara
kiai-kiai yang merupakan guru atau kawan Mbah Kiai Haji Ahmad Dasuqi yang
sering berkunjung ke rumah beliau antara lain:
1. Mbah
Kiai Haji Muhammad Sholeh Kuningan:
merupakan guru ilmu tauhid Mbah Kiai Haji Ahmad Dasuqi Sekardangan yang
kemanapun pergi selalu dia ikuti. Bahkan di rumah Mbah Kiai Haji Ahmad Dasuqi
inilah Mbah Kiai Haji Muhammad Sholeh Kuningan pernah meramalkan bahwa ilmu
tauhid beliau nantinya akan diteruskan oleh Mbah Kiai Haji Sibaweh Baqhowi (Pendiri
Pondok Pesantren Al-Muslihuuun, Tlogo, Kanigoro, Blitar), kemudian akan
berpindah ke Sekardangan [yakni kepada generasi Mbah Kiai Haji Imam Mahdi, yang
merupakan cucu dari Mbah Kiai Haji Muhammad Sholeh Kuningan]. Ternyata apa yang
diramalkan Mbah Kiai Haji Muhammad Sholeh menjadi kenyataan bahwa ilmu tauhid
yang dia ajarkan diteruskan oleh Mbah Kiai Haji Sibaweh Baghowi Tlogo, kemudian
diteruskan oleh Mbah Kiai Haji Imam Mahdi Sekardangan, dan setelah itu tidak
ada generasi yang meneruskan atau mungkin malah berhenti di Sekardangan hingga
sekarang. Wallahua’lam.
2. Mbah
Kiai Haji Imam Fakih Sekardangan:
Mbah Kiai Haji Imam Fakih merupakan ulama yang “cikal bakal” Pondok Pesantren Miftahul Huda [tahun 1900 masehi] dan
Masjid Baitul Makmur [tahun 1903 masehi] di dusun Sekardangan. Beliau merupakan
ulama yang alim ilmu fikih dan sering berdiskusi ilmu-ilmu tauhid dengan Mbah
Kiai Haji Ahmad Dasuqi. Dan ketepatan rumah kedua ulama tersebut hanya berjarak
kurang lebih 100 meter. Keduanya biasa saling tukar pikiran mengenai
disiplin-disiplin ilmu yang mereka geluti masing-masing.
3. Mbah
Kiai Haji Shobiri Sekardangan:
yakni ketika Mbah Kiai Haji Shobiri [yang berasal dari Pikatan, Wonodadi,
Blitar] diambil menantu oleh Mbah Kiai Haji Imam Fakih Sekardangan, beliau
seringkali diskusi dengan Mbah Kiai Haji Ahmad Dasuqi [yang lebih tua]. Perlu
diketahui bahwa Mbah Kiai Haji Imam Fakih merupakan ulama ahli fikih yang
sangat keras sekali. Bahkan dia memberi fatwa haram terhadap rokok. Namun Mbah
Kiai Haji Shobiri yang merupakan menantu Mbah Kiai Haji Imam Fakih merupakan
orang yang sangat suka sekali dengan rokok (istilah Jawa: “nyepur lek ngrokok”). Mbah Kiai Haji Shobiri sangat suka sekali
diskusi dengan Mbah Kiai Haji Ahmad Dasuki [yang memang perokok berat hingga
akhir hayatnya]. Di kediaman Mbah Kiai Haji Ahmad Dasuqi inilah Shobiri muda
sering menghabiskan rokok cerutu-nya sambil berdiskusi ilmu-ilmu tauhid.
4. Mbah
Kiai Haji Imam Mahdi Sekardangan:
merupakan generasi penerus ilmu tauhid Mbah Kiai Haji Muhammad Sholeh yang
sering berkunjung ke rumah Mbah Kiai Haji Ahmad Dasuqi untuk berdiskusi masalah
ilmu tauhid/aqa’id lima puluh. Mbah Kiai Haji Imam Mahdi muda murid Mbah Kiai
Haji Sibaweh Baghowi Tlogo ini sering mengajak diskusi ilmu tauhid/ilmu aqa’id
dengan Mbah Kiai Haji Ahmad Dasuqi [yang merupakan santri setia Mbah Kiai Haji
Muhammad Sholeh Kuningan hingga akhir hayatnya].
5. Mbah
Kiai Haji Muhammad Ma’roef Sukorejo, Blitar: Mbah Kiai Haji Muhammad Ma’roef, pendiri Pondok
Pesantren Tarbiyatul Muballighin, Sukorejo, Blitar merupakan teman akrab Mbah
Kiai Haji Ahmad Dasuqi Sekardangan. Pada masa hidupnya, Mbah Kiai Haji Muhammad
Ma’roef Sukorejo, Kota Blitar sering berkunjung kerumah Mbah Kiai Haji Ahmad
Dasuqi Sekardangan hanya untuk berdiskusi masalah ilmu tauhid/ilmu aqa’id lima
puluh. Hal ini sering diceritakan oleh Mbah Kiai Zainuddin, Mbah Kiai Bakri
Pakel, Mbah Kiai Oestman Buntu, Tlogo, dan Mbah Kiai Muhyiddin Tanggung, Garum
yang kesemuanya merupakan putra dari Mbah Kiai Haji Ahmad Dasuqi Sekardangan.
6. Mbah
Kiai Haji Ridwan Karangsono, Kanigoro, Blitar: Mbah Kiai Haji Ridwan pendiri Pondok Pesantren
Karangsono, Kanigoro, Blitar ini disamping kawan akrab Mbah Kiai Haji Ahmad
Dasuqi Sekardangan juga merupakan “besan”-nya.
Yakni ketika putri Mbah Kiai Haji Ridwan Karangsono yang bernama Nyai Siti
Rohmah dinikahkan dengan Mbah Kiai Zainuddin putra Mbah Kiai Haji Ahmad Dasuqi
Sekardangan. Ada sebuah kisah menarik ketika Mbah Kiai Haji Ridwan ingin mengambil
menantu Zainuddin muda. Pada saat itu Mbah Kiai Haji Ridwan sering dimarahi
oleh Mbah Kiai Haji Ahmad Dasuqi. Saat itu Mbah Kiai Haji Ridwan bertanya pada
Mbah Kiai Haji Ahmad Dasuqi mengenai hari baik untuk melangsungkan pernikahan
Zainuddin muda dengan Siti Rohmah. Ketika itu Mbah Kiai Haji Ahmad Dasuqi
menyatakan bahwa semua hari adalah baik untuk melangsungkan pernikahan, pokok
tidak memakai hari yang sudah lewat.
7. Mbah
Kiai Haji Nasruddin Sekardangan:
Mbah Kiai Haji Nasruddin merupakan ulama ahli tasawwuf di Sekardangan yang
mengikuti Tharikah Wahidiyyah dan Tharikah Jazuliyyah. Beliau merupakan kakak
dari Mbah Kiai Haji Imam Mahdi Sekardangan.
8. Mbah
Kiai Haji Maulan Sekardangan:
Mbah Kiai Haji Maulan Sekardangan merupakan ulama ahli ilmu hisab dan ilmu
fikih madzhab empat yang juga sering melakukan diskusi keagamaan dengan Mbah
Kiai Haji Ahmad Dasuqi. Beliau merupakan keturunan Mbah Kiai Raden Tirto
Sentono [salah satu dari kelima tokoh yang “mbabat”
dusun Sekardangan, Kanigoro, Blitar.
9. Dan
lain-lainnya.
Demikian riwayat Mbah Kiai Haji
Ahmad Dasuqi Sekardangan, yang merupakan salah satu diantara murid kinasih Mbah
Kiai Haji Muhammad Sholeh Kuningan, penulis kitab tauhid “Nata’ijul Afkar”. Mbah Kiai Haji Ahmad Dasuqi wafat dan dimakamkan
di “Pesarean Umum Dusun Sekardangan”. Di pemakaman tersebut banyak para kiai
atau ulama dan para tokoh yang dimakamkan disana antara lain:
1. Mbah Kiai Haji Abdurrahman (salah
satu putra Mbah Kiai Haji Abu Yamin [seorang yang “mbabat” dusun Sekardangan bagian Tengah, sebelah Barat]).
2. Mbah Kiai Raden Tirto Sentono
(salah satu tokoh yang “mbabat” dusun
Sekardangan bagian Tengah, sebelah Timur).
3. Mbah Kiai Haji Hasyim (salah satu
cucu Mbah Kiai Haji Abu Yamin).
4. Mbah Kiai Hasan Thohiran (salah
satu teman perjuangan Mbah Kiai Haji Imam Fakih dalam mendirikan Pondok
Pesantren Miftahul Huda pada tahun 1900 masehi dan Masjid Baitul Makmur pada
tahun 1903 masehi. Beliau merupakan keponakan Mbah Kiai Haji Imam Fakih, yang keduanya
berasal dari Bagelenan, Jawa Tengah).
5. Mbah Kiai Haji Mahrus Yunus
(Pendiri Pesantren Sunan Pandanaran Sekardangan dan merupakan ulama yang cikal
bakal amalan Shalawat Nariyah di dusun Sekardangan)
6. Mbah Kiai Haji Maulan (ahli ilmu
hisab dan fikih madzhab empat serta ulama yang terkenal dengan suara merdu
ketika melantunkan Shalawat Hadrah ISHARI).
7. Mbah Kiai Haji Zainuddin (putra
Mbah Kiai Haji Abu Yamin [salah satu ulama yang “mbabat” dusun Sekardangan bagian Tengah, sebelah Barat]).
8. Mbah Nyai Siti Maryam (istri dari
Mbah Kiai Haji Barnawi [salah satu menantu Mbah Kiai Haji Abu Yamin dan yang “mbabat” dusun Sekardangan bagian
Selatan]). Mbah Kiai Haji Barnawi merupakan ulama pertama yang mendirikan
tempat ibadah berupa “langgar/musholla”
di dusun Sekardangan bagian Selatan.
9. Serta para kiai atau ulama lain
pada generasi berikutnya antara lain: Mbah Kiai Imam Rokhani, Mbah Kiai
Muhammad Irjaz, Mbah Kiai Zainuddin, Mbah Kiai Haji Ahmad Damiri, dan lain-lainnya.
Akhir kata, mudah-mudahan tulisan
ini berguna bagi kita semua, di dunia dan akhirat. Semoga Allah selalu
melimpahkan rahmat-Nya bagi semua makhluk. Amin, amin. Yaa Robbal Alamiin. Kirim
bacaan Surat Al-Fatikah kepada semua yang disebutkan dalam riwayat di atas,
serta kepada kaum muslimin dan muslimat. Semoga semuanya saja mendapat
kenikmatan tak terhingga sisi-Nya. Amin, amin, Yaa Robbal Alamiin. Lahum Al-Fatikah...... 3X. Wassalam.
Tentang Penulis:
Arif
Muzayin Shofwan
Jl.
Masjid Baitul Makmur Sekardangan RT. 03 RW. 09
Papungan
Kanigoro Blitar. Kode Pos 66171.
HP.
085649706399.