Arif
Muzayin Shofwan
Arif
atau Muzayin begitu dia biasa disapa. Dia merupakan salah satu aktivis The Post
Institute, sebuah NGO ternama di Kota Blitar dan dipercaya sebagai ketua divisi
multikultural. Selain sebagai aktivis, dia juga menjadi pengajar di MI Miftahul
Huda Papungan 01 Sekardangan, Kanigoro, Blitar. Saat ini dia tercatat sebagai
mahasiswa aktif pada Program Studi Doktor Pendidikan Agama Islam di Universitas
Muhammadiyah Malang. Dalam penelitian tugas akhir doktoralnya, dia sedang
meneliti tentang isu pendidikan keagamaan Islam multikultural pada sebuah
pesantren di kota Blitar. Selain itu, dia juga tercatat sebagai anggota Tim
Inti Pusat Studi Agama dan Multikulturalisme (PUSAM) Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Malang yang diketuai oleh Prof. Dr. Syamsul Arifin,
M.Si. Kepada profesor yang disebut inilah, Arif ingin terus belajar terkait
dengan isu multikulturalisme dan pendidikan multikultural.
Sebagai
ketua divisi multikultural di The Post Institute Blitar, Arif sering
berinteraksi dan berdialog mengenai kebebasan beragama dengan para tokoh agama.
Dia juga sering berinteraksi dan berdialog dengan berbagai tokoh aliran
kepercayaan di Blitar, misalnya Purwa Ayu Mardi Utama (PAMU), Sapto Dharmo, dan
penghayat kepercayaan lain yang tidak memiliki label tertentu. Menurutnya,
seseorang tidak akan mudah fanatik buta terhadap kebenaran keyakinannya apabila
dia memiliki wawasan yang luas. Orang yang memiliki wawasan yang luas tidak
akan mudah memberikan stigma negatif terhadap orang yang berbeda keyakinan.
Lebih-lebih memberikan label kafir,
musyrik, fasik terhadap mereka yang berbeda keyakinan. Dan tentu hal
tersebut merupakan sebuah pantangan bagi orang-orang yang berwawasan luas.
Orang yang berwawasan luas akan selalu meneliti “kekafiran”-nya sendiri yang berada
di dalam hatinya. Sementara orang yang kurang luas wawasan pengetahuannya, akan
selalu mengkafirkan (men-takfir-kan)
orang yang berbeda keyakinan dengannya. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan
Gus Dur “kafire dhewe nggak digatekne,
yen isih kotor budi akale”, ujarnya.
Arif
pernah mengikuti pelatihan LVE di MI Miftahul Huda Papungan 01, Kanigoro,
Blitar pada tanggal 19-20 Mei 2012 yang dibimbing oleh Dr. Muqowwim, M.Ag,
seorang trainer LVE dan dosen tetap
di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ketertarikannya dengan
pelatihan LVE menghantarkan Arif kenal dengan Mohammad Shofan dan Budhy
Munawar-Rachman, yang keduanya merupakan trainer
LVE pula. Dia sempat beberapa kali bertemu dengan Budhy Munawar-Rachman
yang biasa disapa “Mas Budhy” tersebut di Universitas Muhammadiyah Malang. Dalam
salah satu pertemuan tersebut, Mas Budhy pernah memberikan buku berjudul “Living Values Activities for Young Adults”
karya Diane Tillman kepada Arif. Sementara dengan Mohammad Shofan, dia belum
pernah bertemu dan bertatap muka kecuali hanya di media sosial facebook. Namun walau demikian, dia
menganggap “Mas Shofan” panggilan akrab Mohammad Shofan tersebut sebagai guru
inspiratif dalam beberapa hal di antaranya terkait dengan isu kebebasan
beragama dan kajian pluralismenya.
Setelah
mengikuti pelatihan LVE tersebut, Arif menilai bahwa pelatihan LVE sangat
penting untuk dikembangkan dalam negara seperti Indonesia. Menurutnya, untuk
merajut keberanekaragam suku, budaya, ras dan agama di Indonesia perlu diadakan
pelatihan LVE. Mengapa?. Sebab LVE benar-benar menawarkan sesuatu yang
benar-benar berasal dari pikiran (mind),
jiwa (soul) dan diimplementasikan
melalui perilaku, bukan hanya sekedar wacana belaka. Dia berharap pelatihan LVE
tersebut akan merambah ke daerah-daerah pinggiran, bukan hanya di dalam kampus
semata. Sebab di daerah pinggiran sana tentu masih banyak perilaku intoleran
yang harus diatasi. Menurutnya, melalui pelatihan LVE, seseorang akan memiliki
pikiran dan jiwa positif yang benar-benar akan berguna di kehidupan kini dan
mendatang.
Di
dalam merajut kebebasan beragama dan berkeyakinan, Arif pernah berkunjung di Puthuk
Ayem, sebuah tempat retret meditasi
di lingkungan Vihara Buddha Sasana Buneng, Selorejo, Blitar dan bertemu dengan
Bhikku Jayaratano yang saat itu sedang menghabiskan masa vassa-nya. Dalam pertemuan tersebut dia berdiskusi tentang
kebebasan beragama dan keyakinan dengannya. Dalam diskusi tersebut, Bhikku
Jayaratano mengatakan bahwa perbedaan beragama dan keyakinan itu indah bila seseorang
bisa merawatnya. Bangsa Indonesia akan menjadi kuat bila masyarakatnya bisa
mengelola semua perbedaan yang ada. Menurutnya, memasuki agama merupakan sebuah
pilihan yang tidak bisa dipaksakan. Dia menganalogikan agama bagaikan sebuah makanan
kesukaan. Seseorang bisa memilih makanan yang dia suka tanpa harus membenci
makanan lain yang tidak disukainya. Menanggapi pernyataan Bhikku Jayaratano di
atas, Arif juga mengatakan bahwa dalam Islam disebutkan “laa ikraha fi al-dinn”, tidak ada paksaan dalam memasuki agama.
Arif
juga seringkali bertemu dengan Bhikku Sukhito Thera di Vihara Samaggi Jaya Kota
Blitar yang tak jauh dari Makam Bung Karno, sang proklamator Republik Indonesia.
Dalam pertemuan tersebut, Arif sempat berkali-kali diskusi terkait kebebasan
beragama dan keyakinan dengan Bhikku Sukhito Thera dan tokoh Buddha lainnya. Bhikku
Sukhito Thera menyatakan bahwa seseorang yang tidak bisa menghormati agama lain
sama halnya tidak bisa menghormati agamanya sendiri. Sementara dalam pertemuan
lain, Arif pernah bertanya bagaimana cara bermeditasi yang baik dan benar.
Menurut Bhikku Sukhito Thera, kalau seseorang beragama Islam, maka cara
meditasi yang baik dan benar bisa dilakukan dengan mengucapkan lafadz “Allah-Allah-Allah” dalam pikiran dan
hatinya. Menurutnya, dengan berkonsentrasi pada lafadz “Allah-Allah-Allah” tersebut, maka hati seorang muslim akan menjadi
tenang/tenteram. Dengan demikian hal tersebut bisa dinamakan meditasi “samatha bhavana” dalam tradisi agama
Buddha.
Di
dalam diskusi dengan Bhikku Sukhito Thera tersebut banyak sekali yang Arif
ungkapkan pula, di antaranya: Arif menyatakan bahwa melafadzkan “Allah-Allah-Allah” dalam hati bisa
menjadikan seseorang tenang/tenteram sesuai dengan firman Allah swt “alaa bi zikri Allah tadz’main al-quluub”,
artinya ingatlah, dengan mengingat Allah hati menjadi tenang. Arif juga
membicarakan persamaan kegiatan meditasi dengan tafakur dalam Islam. Tafakur
yang merupakan kegiatan merenung memang mirip dengan meditasi, yang didalamnya
terdapat aktivitas perenungan pula. Bahkan Arif juga menyatakan bahwa dalam
sebuah kitab tasawuf Bidayah al-Hidayah
karya Imam al-Ghazali disebutkan bahwa tafakur
(merenung) sesaat lebih baik daripada beribadah selama 80 tahun dengan tanpa
sebuah perenungan. Pada kesempatan lain, Arif juga pernah bertemu dengan Bhikku
Jayamedho, Bhikku Uttamo Mahathera, Bhikku Sri Pannavaro Mahathera dan lainnya
di Vihara Samaggi Jaya Kota Blitar tersebut. Selain itu, Arif juga pernah
berinteraksi dengan kelompok umat Buddha Maitreya yang juga berada di Blitar.
Selanjutnya,
dalam merajut kebebasan berkeyakinan, Arif telah beberapa kali berinteraksi dan
berdiskusi dengan para penghayat aliran kepercayaan. Dia pernah berdiskusi
dengan Eyang Romo Marsudi Tomo, seorang wakil wirid sebuah aliran kepercayaan
Purwa Ayu Mardi Utama (PAMU) di Dermojayan, Srengat, Blitar. Dalam pertemuan
tersebut, Eyang Romo Marsudi Tomo menyatakan bahwa PAMU merupakan kelompok
kerukunan yang didirikan oleh RM. Djojopoernomo yang makamnya berada di Tojo,
Temuguruh, Banyuwangi. Menurutnya, kelompok kerukunan tersebut diikuti oleh
berbagai macam agama, ada yang Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha dan lain
sebagainya. Dalam ajaran PAMU disebutkan bahwa seorang yang ingin hidup
tenteram harus bisa rukun dengan tiga tetangga, yaitu; [1] tetangga wisma;
yakni tetangga yang bersebelahan rumah; [2] tetangga desa; yakni tetangga yang
bersebelahan desa hingga kecamatan, kabupaten dan seterusnya; dan [3] tetangga
negara; yakni tetangga yang bersebelahan negara.
Pada
kesempatan lain, Arif pernah berinteraksi dan berdiskusi dengan penghayat
aliran kepercayaan yang meyakini ajarannya berasal dari Sunan Kalijaga. Eyang Romo
Paniran (alm), selaku pimpinan aliran
kepercayaan tersebut pernah menyatakan tentang bagaimana bisa saling hidup
rukun dengan sesama tanpa merendahkan agama lainnya. Dalam aliran kepercayaan
ini diajarkan tentang bagaimana menata tiga bait
(artinya; rumah) yang ada dalam diri manusia sebagaimana yang terdapat
dalam Kitab Serat Hidayat Jati karya
Raden Ngabehi Ronggowarsita, yaitu: [1] bait
al-makmur; yakni rumah tempat keramaian yang berada di otak atau pikiran
manusia; [2] bait al-muharram; yakni
rumah tempat rahasia yang berada dalam hati manusia; dan [3] bait al-muqaddas; yakni rumah tempat
yang harus disucikan dan berada pada kelamin manusia. Seseorang akan bisa
menuju Tuhan bila dia bisa menata ketiga bait
tersebut. Sebagaiamana aliran PAMU di atas, aliran ini juga diikuti oleh
berbagai macam agama.
Sementara
pengalaman Arif berinteraksi dengan para pelestari budaya “nyadran” komunitas orang Jawa dilaluinya diberbagai tempat di
antaranya; di Sandranan Eyang Wirogati Jatimalang, Kota Blitar; di makam cikal
bakal desa Plosorejo, Kademangan, Blitar yakni Makam Eyang Sonomo pada saat
kirab pusaka; di Sandranan Eyang Sutojoyo, pendiri desa Sutojayan, Lodoyo,
Blitar; di Sandranan Eyang Kusumo Yudho [Mbah Imam Sopingi], pendiri desa
Sananwetan Kota Blitar; di Sadranan Nyi Ageng Sekardangan, pendiri dusun
Sekardangan, Kanigoro, Blitar; di Sadranan Eyang Sri Tanjung, pendiri desa
Tanjungsari, Blitar dan lain-lainnya.
Dalam
petualangannya tersebut, Arif sempat bertanya kepada Bapak Jawoko, salah satu
juru kunci Sadranan Eyang Wirogati, Jatimalang, Kota Blitar mengenai: mengapa
orang Jawa memiliki tradisi “nyadran”
di bawah pohon besar yang biasanya sudah berusia ratusan tahun?. Terus apakah
mereka itu menyembah pohon dan berbuat musyrik?.
Bapak Jawoko kemudian menjelaskan bahwa sebenarnya pohon rindang yang dipakai “nyadran” orang Jawa itu bukan untuk
disembah. Sejarahnya adalah bahwa tradisi para leluhur jaman dulu ketika sudah
selesai mbabat desa/dusun, dia lalu menanami
tempat itu dengan pohon yang usianya bisa bertahan lama agar para keturunan dan
orang sesudahnya nanti bisa mengingatnya melalui simbol pohon yang dia tanam
tersebut. Setelah itu, biasanya sesepuh Jawa itu meninggalkan desa tersebut dan
kemudian mbabat desa/dusun di daerah
lainnya. Menurutnya, maka tak heran bila petilasan sesepuh Jawa pada zaman dahulu
berada di berbagai daerah dan biasanya terdapat pohon rindang, misalnya
petilasan Nyi Ageng Gadhung Melati di seputar Blitar dapat ditemukan di desa
Kademangan, Blitar; Genjong, Wlingi, Blitar; Selokajang, Srengat, Blitar; dan
lain sebagainya. Bahkan petilasan Sunan Kalijaga juga berada di berbagai
daerah.
Masih
menurut Bapak Jawoko yang mengatakan bahwa orang-orang Jawa berdoa di bawah
pohon tersebut bukan untuk menyembah pohon, akan tetapi mereka melakukan itu
untuk mendoakan tokoh yang “mbabat”
desa/dusun tersebut. Pohon rindang untuk “nyadran”
orang Jawa ibarat prasasti atau monumen untuk mengenang jasa-jasa para sesepuh
yang mbabat dusun/desanya.
Menurutnya, simbol sebuah pohon merupakan sesuatu yang paling sederhana dan
banyak dipakai oleh para sesepuh Jawa pada zaman dahulu. Biasanya tokoh-tokoh atau
para sesepuh Jawa yang memiliki kelas sosial tingkat atas/tinggi pada jaman
dahulu tentu menggunakan simbol/tanda yang lebih berkelas pula, misalnya simbol
prasasti, monumen, patung dan semacamnya. Sementara mereka yang kurang memiliki
kelas tertentu, maka cara yang mereka gunakan juga sangat sederhana yakni
dengan menanam sebuah pohon yang diperkirakan usianya bisa bertahan lama agar
para keturunan dan generasi selanjutnya bisa mengenang lewat simbol/tanda
sebuah pohon yang dia tanam tersebut.
Bapak
Jawoko juga menyatakan bahwa biasanya sandranan-sadranan
itu berada di dekat sumber mata air atau sungai dikarenakan jaman dahulu itu
tidak ada sumur. Jadi untuk mendapatkan air yang bisa digunakan untuk memasak
dan minum, mereka lalu mencari tempat-tempat seperti dekat sungai dan sumber
mata air sebagai tempat kediamannya. Bapak Jawoko, seorang yang ahli sandranan
di Blitar tersebut memberikan banyak contoh sadranan yang berada di dekat
sungai atau sumber mata air antara lain; Sadranan Eyang Wirogati, Nyi Gadhung
Melati, Eyang Sutojoyo, Eyang Kusumo Yudho (Mbah Imam Sopingi), Eyang
Suromenggolo, Eyang Sri Tanjung dan lain sebagainya.
Menurut
Bapak Jawoko, simbol/tanda sebuah pohon tersebut juga dipakai oleh pasukan
Pangeran Diponegoro ketika melarikan diri ke arah Timur. Biasanya pasukan
Pangeran Diponegoro menanam pohon Sawo atau Manggis di depan rumahnya atau
masjidnya sebagai “tetenger” (tanda/simbol)
bahwa mereka merupakan salah satu pasukan Pangeran Diponegoro. Bapak Jawoko
juga menyatakan bahwa setiap zaman, para tokoh memiliki tradisi penanaman pohon
sebagai tetenger. Dan pohon yang
ditanam selalu berganti-ganti antara zaman yang satu dengan satunya tidak sama.
Pada masa tertentu, pohon yang ditanam adalah pohon bunga Kanthil, pohon
Beringin, dan pohon-pohon lain yang bisa bertahan lama hingga generasi
berikutnya. Dalam hal ini, Arif merenungkan bahwa tradisi menanam pohon yang
dilakukan oleh orang Jawa sebagai simbol/tanda (tetenger; Jw) tersebut tentu tidak lepas dari tradisi umat Buddha yakni
ketika menanam pohon Boddhi guna untuk mengenang Sang Buddha Gautama dalam
mendapatkan pencerahan dibawah pohon tersebut. Hal tersebut tentu bukan untuk
disembah seperti yang pernah dijelaskan oleh para guru agama Islam saat di MI,
MTs, MA, bahkan di perguruan tinggi sekalipun masih ada yang mempunyai perspektif
yang kurang luas akan tradisi tersebut. Sehingga terkadang para guru agama
sering memberi label “musyrik” kepada
orang yang berdoa dibawah pohon rindang sebagai “tetenger” dari para pendahulu tersebut.
Di
sisi lain, setelah mendengar penjelasan dari Bapak Jawoko tersebut, Arif lalu ingat
kata kawannya yang pernah kuliah di Universitas Gajah Mada Yogyakarta bahwa
seorang teman kawannya tersebut pernah mengadakan sebuah penelitian. Dalam
penelitian tersebut dia menemukan bahwa sumur dan kakus merupakan warisan
penjajah Belanda, sehingga sebelum penjajah Belanda datang di Indonesia, maka
orang-orang Jawa biasanya menggunakan sungai dan sumber mata air untuk
keperluan sehari-hari. Artinya penjajah Belanda inilah yang mewariskan sumur
dan kakus/WC yang sampai saat ini masih tetap eksis. Dan mungkin akan terus
eksis dan tak akan kembali lagi ke sungai untuk keperluan sehari-hari serta sebagai
tempat buang air besar. Dengan demikian, sadranan-sadranan
yang berada di dekat sumber mata air atau sungai tersebut kemungkinan telah ada
sejak sebelum penjajah Belanda datang ke Indonesia atau kemungkinan pula
terjadi pada zaman Mataram ke belakang, karena keterbatasan alat untuk membuat
sumur dan lain sebagainya.
Lain
dari pada hal di atas, Arif juga pernah bergabung dengan komunitas di Lembaga
Pecinta dan Pelestari Budaya Nusantara (LP2BN) yang diketuai oleh Drs. Aris
Sugito, SH dari desa Jiwut, Nglegok, Blitar. Lembaga tersebut mengadakan
kegiatan rutin setiap malam bulan Purnama di Candi Palah Penataran, Nglegok,
Blitar yang dihadiri oleh berbagai macam agama dan keyakinan. Ada umat Islam,
Kristen, Hindu, Buddha dan aliran kepercayaan seperti Sapto Dharmo, aliran Roso
Sejati dan lain-lainnya yang hadir pada setiap bulan Purnama di Candi Palah
Penataran tersebut. Menurut Drs. Aris Sugito, SH., kegiatan tersebut disamping
untuk melestarikan budaya nusantara juga untuk merajut kebebasan beragama dan
berkeyakinan. Sehingga dengan hadirnya berbagai macam agama dan aliran
kepercayaan tersebut akan terwujud Indonesia yang berbhinneka tunggal ika.
Arif
juga mempunyai pengalaman mengisi kultum dan doa dalam acara buka bersama puasa
bulan Ramadhan pada tanggal 10 Agustus 2012 di Gereja Katolik Paroki Santo
Yusuf Kota Blitar atas undangan Romo I Made Agustinus Hadi Prasetyo. Di gereja
tersebut dia bertemu dengan beberapa tokoh agama antara lain; JB. Sudrajat
selaku Ketua Bidang Sosial Paroki Santo Yusuf, Pendeta Henry S. Chandra, M.Th.,
Th.D selaku Ketua Sekolah Teologi Patria Blitar, Romo Pandita Padma Sujata
selaku perwakilan dari Majelis Agama Buddha Theravada (Maghabudhi) Kota Blitar
dan lain sebagainya. Dalam acara tersebut, Arif bersama Mawan Mahyuddin selaku
Direktur The Post Institute Blitar sempat berbincang-bincang dengan Pendeta
Henry S. Chandra, M.Th., Th.D terkait bagaiamana merajut toleransi antarumat
beragama di Kota Blitar dan sekitarnya.
Pengalaman
diskusi agama secara intensif juga Arif lakukan dengan Vincentyus Charollus,
seorang pemuda Kristen yang sering datang ke The Post Institute Kota Blitar.
Saat ini Charollus sedang menempuh program pascasarjana S2 jurusan Magister
Ilmu Administrasi Publik di Universitas Merdeka Malang. Setiap kali Charollus
datang ke The Post Institute Blitar, dia selalu mengucapkan salam Islami “assalamualaikum”, Arif pun juga menjawab
salamnya dengan “waalaikumussalam”.
Walau tentang menjawab salam ini ada perbedaan pendapat para ulama, yang satu
membolehkan dan satunya lagi mengharamkan, namun Arif lebih memilih pendapat
ulama yang memperbolehkan dengan alasan toleransi. Menurutnya, seorang yang didoakan
baik oleh orang lain entah yang mendoakan itu orang muslim maupun non-muslim,
hendaknya dibalas dengan doa kebaikan pula. Ucapan salam merupakan doa kesejahteraan,
sehingga harus dibalas dengan doa yang baik pula.
Diskusi
untuk merajut kebebasan beragama dan berkeyakinan dengan kelompok Kristen Saksi
Yehuwa juga Arif lakukan dengan Mbak Naning, seorang penginjil saksi Yehuwa
yang berdomisili di Sentul, Kota Blitar. Arif sering berdiskusi mengenai konsep
ketuhanan dalam kelompok Kristen Saksi Yehuwa tersebut. Dalam diskusi tersebut,
Arif dan Mbak Naning mencari berbagai persamaan konsep ketuhanan dan kerasulan
Nabi Isa (Yesus). Mbak Naning menyatakan bahwa Yesus adalah utusan Tuhan
sebagaimana yang ada dalam konsep Islam. Sementara perbedaan nama Tuhan Kristen
Saksi Yehuwa dan Islam adalah bila Kristen Saksi Yehuwa menyebut nama Tuhan
dengan sebutan “Yahweh”, tetapi umat Islam menyebut Tuhan dengan sebutan
“Allah”. Walau dalam hal-hal tertentu Arif dan Mbak Naning berbeda pendapat,
akan tetapi hal tersebut tidak membuat keduanya bermusuhan. Sebab bagi keduanya
perbedaan pendapat itu indah bila seseorang bisa merawatnya.
Usaha
merajut kebebasan beragama dan berkeyakinan, dilakukan Arif ketikan berinteraksi dengan tokoh umat Hindu, yakni
Bapak Mursalim, M.Pd., seorang guru agama Hindu yang berdomisili di Gaprang,
Kanigoro, Blitar. Beliau merupakan salah satu teman Arif ketika menempuh
program pascasarjana S2 jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial di
Universitas Kanjuruhan Malang. Arif dan Bapak Mursalim selalu berboncengan
montor bersama ketika kuliah di perguruan tinggi tersebut. Arif juga sering
diskusi masalah agama dengan Bapak Mursalim. Keduanya membahas persamaan dan
perbedaan konsep ketuhanan Islam dan Hindu. Begitu juga, Arif sering meminjam
kitab suci agama Hindu, salah satunya adalah Kitab Suci Sarasamuccaya dan beberapa kitab lainnya. Selain itu,
Arif juga sering diskusi mengenai agama Hindu dan Islam dengan Mas Anto,
Jatilengger, Ponggok, Blitar. Mas Anto juga merupakan salah satu umat Hindu
yang taat. Dia banyak memberikan buku-buku agama Hindu kepada Arif untuk
perbandingan dengan ajaran agama Islam, dintaranya buku Pancha Crada, karya Drs. I. B. Oka Punyatmadja, Kitab Saracamuccaya, Kitab Bhagawadgita
dan lainnya.
Diskusi
tentang ajaran agama Hindu juga Arif lalui di Kantor The Post Institute bersama
kolega-koleganya. Beberapa kali The Post Institute Blitar kedatangan kawan
sesama aktifvis bernama Selwa Kumaar yang beragama Hindu dari Medan, Sumatera
Utara. Kumaar merupakan pemuda Hindu yang taat keturunan India. Tak pelak
kedatangan Kumaar yang biasanya menginap selama satu minggu di The Post
Institute Blitar tersebut Arif gunakan bertukar pikiran (diskusi) mengenai
persamaan dan perbedaan Hindu-Islam. Dalam diskusi tersebut, Kumaar sering menjelaskan
ajaran “ahimsa” yang dipraktekkan
secara nyata oleh Mahatma Gandhi dalam perjuangannya. Sebagaimana Charollus
yang Kristen, Kumaar yang Hindu pun setiap datang ke The Post Institute Blitar
juga mengucapkan salam Islami “assalamualaikum”.
Para kolega-kolega di The Post Institute Blitar termasuk Arif lalu menjawab
salam tersebut dengan “wa’alaikumussalam”
kepada Kumaar dengan alasan toleransi. Terkadang pula, Arif yang Islam,
Charollus yang Kristen, dan Kumaar yang Hindu bertemu di The Post Institute
Blitar dan mengadakan diskusi tentang perbedaan dan persamaan agama
masing-masing. Diskusi-diskusi kecil ini sering dilakukan Arif bersama
kolega-koleganya di The Post Institute Blitar, baik dengan sesama agama maupun
yang tidak sama agamanya.
Di
sisi lain, aktifis The Post Institute tersebut juga sering berinteraksi dengan
berbagai kelompok tharikah. Di dalam tradisi NU, Arif sering melihat pertikaian
sejumlah kelompok tharikah satu dengan kelompok tharikah yang lain. Kelompok
tharikah yang satu merasa bahwa ajaran tharikat yang dia ikutilah yang paling
benar. Begitu juga dalam beberapa kelompok tharikah yang lain, terkadang mereka
saling mengolok-olok satu sama yang lainnya. Dengan adanya hal tersebut, Arif
merasa resah untuk segera menemukan jawaban tentang mengapa fenomena pertikaian
kelompok tharikah tersebut harus terjadi. Mengapa kelompok tharikah yang satu
mengolok-olok tharikah yang lain. Bukankah kelompok-kelompok tharikah tersebut
sebenarnya ingin beribadah menuju Tuhan dan mengharap ridha-Nya?. Inilah yang
menyebabkan Arif akhirnya banyak bersinggungan dengan berbagai kelompok
tharikah. Walaupun jawaban dari fenomena di atas belum sepenuhnya memuaskan,
akan tetapi semua proses bersinggungan dengan kelompok tharikah tersebut memiliki
makna tersendiri bagi Arif, terutama ketika dia dipercaya direktur The Post
Insitute sebagai ketua divisi multikultural.
Dalam
kelompok tharikah Naqsyabandiyah, sebuah organisasi tharikah yang dinisbatkan
kepada Syaikh Muhammad Baha’uddin al-Naqsyabandi, Arif sering diskusi masalah
tharikah tersebut dengan Kiai Muhammad Makki, seorang mursyid tharikah Naqsyabandiyah di Bandung, Tlogo, Kanigoro,
Blitar. Dalam diskusi tersebut Kiai Muhammad Makki pernah menunjukkan sebuah
sertifikat dari seorang syaikh di Mekah yang telah mengijazahkan amalan
tharikah Naqsyabandiyah kepada ayahnya pada saat menunaikan ibadah haji.
Sertifikat tersebut sebagai tanda bahwa ayah Kiai Muhammad Makki telah diberi
kewenangan menyebarkan ajaran tharikah Naqsyabandiyah setelah nanti pulang dari
menunaikan ibadah haji. Selanjutnya, atas petunjuk ayahnya tersebut Kiai Muhammad
Makki ditunjuk sebagai penerus ajaran tharikah Naqsyabandiyah.
Di
dalam tharikah Sathariyah, sebuah kelompok tharikah yang dinisbatkan kepada
Syaikh Abdullah al-Sathari dari India, Arif juga sering berdiskusi dengan Kiai
Mahrosin, seorang mursyid tharikah
Sathariyah di desa Jajar, Selopuro, Blitar. Dalam pertemuan tersebut Kiai
Mahrosin mengatakan bahwa tharikah yang dia jalankan itu merupakan warisan
ayahnya yang bernama Kiai Syahri Dhuhan, Gentor, Ponggok, Blitar. Menurut Arif,
tharikah Sathariyah ini memang unik. Bila dalam tharikah-tharikah lain ada
sebuah wirid khusus yang harus dilakukan penganut tharikah, maka dalam tharikah
Sathariyah ini tidak ada wirid tertentu yang harus diamalkan oleh pengikutnya.
Setelah murid dibaiat oleh guru mursyid,
dia diperkenankan mengamalkan wirid-wirid umum yang biasa diamalkan oleh
orang-orang Islam. Tak ada wirid khusus yang harus diamalkan oleh pengikut
tharikat ini.
Selanjutnya
keterlibatan Arif dengan kelompok tharikah Wahidiyah Kedunglo, Kediri juga
dilakukannya. Keterlibatan tersebut Arif lalui ketika mempelajari Kitab Syarh al-Hikam karya Syaikh Ahmad
ibnu Atha’illah al-Sakandari secara privat kepada Kiai Nasruddin, seorang tokoh
tharikah Wahidiyah di desa Sekardangan, Kanigoro, Blitar. Kiai Nasruddin seringkali
mengajak Arif untuk melakukan “Mujahadah Wahidiyah Kubra” ke Kedunglo, Kediri.
Mujahadah tersebut biasanya diikuti oleh pengikut tharikat Wahidiyah dari
seluruh pelosok tanah air. Tharikat Wahidiyah merupakan organisasi tharikah
lokal yang didirikan oleh Kiai Abdul Madjid Ma’roef, pengasuh Pondok Pesantren
Kedunglo, Kediri. Banyak pelajaran yang Arif temui dalam tharikah Wahidiyah
tersebut di antaranya; [1] li-Allah;
semua ibadah harus diniati semata-mata karena Allah; [2] bi-Allah; semua ibadah terlaksana hanya dengan pertolongan Allah;
[3] li al-Rasul; semua ibadah harus
diniati karena mengikuti Rasulullah saw; [4] bi al-Rasul; semua ibadah yang kita lakukan merupakan jasa dari
Rasulullah saw; dan lain sebagainya.
Pengalaman
yang diperoleh Arif terkait keterlibatannya dengan tharikat Shiddiqiyah dilalui
bersama Bapak Nur Fadli Tlogo, Kanigoro, Blitar, seorang penganut tharikah
tersebut. Perlu diketahui bahwa tharikah Shiddiqiyah juga merupakan organisasi
tharikah lokal yang didirikan oleh Kiai Muhammad Mukhtar Mu’thi dari Ploso,
Jombang. Dalam hal ini, Arif beberapa kali bertemu dengan wakil/khalifah
tharikat Shiddiqiyah bernama Kiai Munirul Muhtar di Blitar. Sebagaimana
tharikah Naqsyabandiyah, tharikah ini juga mengajarkan dua dzikir khusus yaitu;
[1] dzikir sirri; yakni sebuah dzikir
yang harus dilakukan secara rahasia hanya dalam hati; dan [2] dzikir jahri; yakni sebuah dzikir yang
harus dilakukan dengan terang-terangan melalui lisan. Bila lafadz dzikir yang
pertama menggunakan “Dzikir Ismu Dzat”
[Allah-Allah-Allah] dalam hati
seiring keluar masuknya nafas, maka lafadz dzikir yang kedua menggunakan “Dzikir Nafi Isbat” [Laailahaillallah] yang diamalkan secara lisan bersama-sama atau
sendirian.
Keterlibatan
Arif dengan kelompok penganut tharikah Akmaliyah dilaluinya bersama Kiai
Muhammad Agung Priyokusumo, Sananwetan, Kota Blitar. Menurut Kiai Muhammad
Agung Priyokusumo, tharikah Akmaliyah berisi tentang ajaran “manunggaling kawula gusti” sebagaimana
ajaran Syaikh Siti Jennar yang masyhur di tanah Jawa. Menurutnya pula, tharikah
Akmaliyah inilah yang dianut Syaikh Siti Jennar jaman dulu. Tidak ada dzikir
secara khusus yang harus diamalkan oleh penganut tharikah Akmaliyah, sebab
tharikah ini lebih banyak menggali filosofis dari ajaran “manunggaling kawulo gusti” tersebut. Selain mengembangkan tharikah
ini, Kiai Muhammad Agung Priyokusumo juga mengembangkan “Tarian Sufi Whirling”,
yakni sebuah tarian sufi yang sering dinisbatkan kepada Syaikh Jalaluddin
al-Rumi, seorang tokoh pendiri tharikah Maulawiyah. Pada saat melakukan tarian
tersebut, tangan kanan selalu menghadap ke atas untuk menarik energi ilahi dari
langit dan tangan kiri selalu menghadap ke bawah untuk menyalurkan energi ilahi
ke bumi. Menurut Kiai Muhammad Agung Priyokusumo, tarian sufi Whirling hampir
mirip dengan seni Taichi dalam tradisi Cina.
Arif
juga pernah ikut “tirakatan” dalam
komunitas tharikah Naqsyabandiyah Uluwiyah Khalidiyah selama dua minggu di
Pesantren Baiturrahmah Blimbing Malang dibawah asuhan Kiai Muhammad Sholeh Hudi
Muhyiddin al-Amin. Selama dua minggu itu pula Arif dan beberapa jamaah yang
lain harus puasa dan tidak boleh keluar dari dalam pesantren. Menurut Arif,
pengalaman tersebut merupakan salah satu latihan untuk mengendalikan diri.
Sebab dalam dua minggu itu pula tidak ada makan untuk sahur dan yang ada hanya makan
untuk berbuka. Itu saja dibatasi hanya satu piring kecil, walau mungkin kalau
tidak kuat, seseorang boleh membeli makanan
di kantin yang ada di dalam pesantren tersebut. Di sisi lain, seorang yang
melakukan “tirakatan” di situ
dianjurkan tidak berbicara sama sekali walau dengan teman dekatnya. Mungkin
dalam istilah Jawa adalah “poso mbisu”
(puasa atau menahan untuk tidak berbicara). Dalam kegiatan tersebut dianjurkan
bahwa hati selalu berdzikir “Allah-Allah-Allah”
tanpa henti dua puluh empat jam. Dzikir tersebut bisa disesuaikan dengan
keluar-masuknya nafas atau detak jantung.
Keterlibatan
Arif dalam tharikah Jazuliyah, sebuah organisasai tharikah yang dinisbatkan
kepada Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Sulaiman al-Jazuli dilalui dengan
gurunya yang bernama Kiai Imam Mahdi (alm),
seorang mursyid tharikah Jazuliyah dan pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Huda
Sekardangan, Kanigoro, Blitar. Tharikah ini lebih mengedepankan bacaan shalawat
dalam Kitab Dala’il al-Khairat yang
disusun oleh Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Sulaiman al-Jazuli tersebut.
Dalam tradisi tharikah, ormas Nahdhatul Ulama memandang bahwa tharikah
Jazuliyah juga merupakan organisasai tharikah yang mu’tabarah (silsilahnya bersambung sampai Rasulullah saw). Setiap
tahun di pesantren Kiai Imam Mahdi (alm)
tersebut selalu diadakan “Haul Muallif
Shalawat Dala’il al-Khairat: Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Sulaiman
al-Jazuli”, kemudian dilakukan ijazahan/baiat
dan Arif telah beberapa kali mengikuti acara tersebut.
Keterlibatan
Arif dalam kelompok tharikat Syadziliyah, sebuah organisasi tharikah yang
dinisbatkan pada Syaikh Abu al-Hasan Ali al-Syadzili dia lalui ketika mengikuti
suluk di Pondok Pesantren Pesulukan Tharikah Agung (PETA), Kauman, Tulungagung
pimpinan Kiai Abdul Jalil Mustaqim. Di pesantren tersebut, Arif mondok selama dua minggu dan terlibat
mengamalkan ajaran tharikah Syadziliyah. Pengalaman yang Arif dapatkan di
tempat tersebut di antaranya; Arif mendapatkan informasi bahwa Kiai Abdul Jalil
Mustaqim, sang mursyid tharikah
Syadziliyah sebenarnya tidak hanya menempuh satu aliran tharikah saja, akan
tetapi dia menempuh tujuh tharikah. Beberapa tharikah yang ditempuh Kiai Abdul
Jalil Mustaqim antara lain; tharikah Syadiliyah, Sathariyah, Qadiriyah,
Naqsyabandiyah dan lainnya.
Di
dalam kelompok alirah tharikah Tijaniyah, sebuah organisasi tharikah yang
dinisbatkan kepada Syaikh Abu al-Abbas Ahmad al-Tijani, Arif memiliki
pengalaman dengan Kiai Hadin Mahdi, seorang mursyid
tharikah Tijaniyah yang berada di Tulungsari, Garum, Blitar. Ketika ada
acara-acara Haul Syaikh Abu al-Abbas Ahmad al-Tijani di Tulungsari, Garum,
Blitar, Arif sering diundang dalam acara tersebut. Begitu juga, keterlibatan
Arif dalam tharikah Qadiriyah, sebuah tharikah yang dinisbatkan kepada Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani, dia lalui bersama Kiai Irfan Mashadi Sekardangan,
Kanigoro, Blitar. Kiai Irfan Mashadi merupakan penganut tharikah Qadiriyah murid
dari Kiai Ahmad Asrori Ustman, pengasuh Pondok Pesantren al-Fitrah, Kedinding,
Surabaya. Dari berbagai keterlibatan dengan kelompok tharikah di atas, Arif
banyak menemukan beberapa penganut tharikah belum bisa bersikap toleran dengan kelompok
tharikah lainnya. Menurut Arif,
nilai-nilai pelatihan LVE yang dia dapatkan apabila ditularkan kepada para
penganut kelompok tharikah di atas kemungkinan besar akan bisa merangkai
berbagai perilaku yang tidak toleran dari berbagai kelompok tharikah satu
terhadap yang lainnya, sehingga menjadi lebih toleran.
Sementara
dalam merajut kebebasan beragama dan berkeyakinan dengan kelompok spiritualis
juga Arif lakukan. Di dalam hal tersebut antara lain, Arif pernah bergabung
dengan Master Aquandro Lutfi, seorang pelatih Reiki Usui yang telah mendirikan Indonesian Holistic Healing Center
(IHHC) dan sering melatih reiki Usui di Bali. Arif juga pernah bersinggungan
dengan pelatih Reiki Tummo bersama Master Agung Budi Samana Blitar. Ada banyak
pengetahuan yang Arif dapatkan ketika bertemu dengan spiritualis-spiritualis di
atas, hingga dia juga membaca buku-buku tentang reiki yang disusun oleh Anand
Khrishna, sang master reiki di Indonesia. Begitu juga, Arif juga banyak membaca
buku-buku reiki yang disusun oleh Firmansah Efenddy, M.Sc., seorang master
Reiki Kundalini yang pernah kuliah di Amerika Serikat.
Berdasarkan
beberapa pengalaman Arif dalam berinteraksi dengan berbagai kelompok agama,
keyakinan, tharikah dan komunitas spiritualis di atas, membuat dia lebih bisa bersikap
toleran kepada kelompok-kelompok tersebut. Lebih-lebih setelah Arif mengikuti
pelatihan LVE yang diadakan di MI Miftahul Huda Papungan 01, Kanigoro, Blitar
sebagaimana yang pernah diceritakan di atas, dia merasa bahwa
pelatihan-pelatihan LVE seyogiyanya terus dilakukan dan dikembangkan tidak
hanya di kampus saja, tetapi pelatihan tersebut hendaknya merambah ke
pelosok-pelosok desa seluruh tanah air. Nilai-nilai yang ada di dalam pelatihan
LVE, terutama nilai toleransi, cinta damai harus terus diperjuangkan dan
ditebarkan ke segala penjuru.
Di
sisi lain, pengalaman merajut kebebasan beragama dan berkeyakinan juga Arif
dapatkan bersama jaringan Gus Durian ketika mengadakan diskusi lintas iman di Maha
Vihara Mojopahit, Trowulan, Mojokerto bersama Mawan Mahyuddin, direktur The
Post Institute Blitar. Begitu pula, Arif pun pernah menjadi penulis notulen dalam
acara diskusi lintas iman yang diadakan oleh jaringan Gus Durian di Vihara
Samaggi Jaya Kota Blitar. Dalam diskusi lintas iman yang diadakan di Vihara
Samaggi Jaya Blitar, para peserta berasal dari berbagai agama, bahkan ada yang
berasal dari aliran kepercayaan adat Bali. Semua peserta mengapresiasi kegiatan
semacam itu. Wakil dari aliran kepercayaan adat Bali tersebut memberikan saran
agar kegiatan lintas iman tersebut hendaknya tidak berhenti dalam wacana
belaka, tetapi hendaknya diwujudkan secara nyata misalnya dengan mengadakan
kerja bhakti di tempat ibadah semua agama secara bergantian. Sementara wakil
dari agama Buddha mengusulkan bahwa seyogianya kegiatan ini ditulis hingga
menjadi sebuah buku yang kemungkinan akan menginspirasi para generasi
berikutnya.
Sementara
pengalaman Arif terkait penegakan HAM diperoleh ketika berinteraksi dengan
korban peristiwa G30S di Blitar Selatan, terutama di desa Pasiraman, Lorejo,
Ngrejo, dan Tambakrejo. Pada saat itu The Post Institute (TPI) Blitar
mendapatkan program pelanggaran HAM berat bermitra dengan Indonesia untuk
Kemanusiaan (IKA) Jakarta dibawah The Asia Foundation melalui PNPM Peduli dibawah
pengawasan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan dan
Arif ditunjuk oleh direktur TPI sebagai manager program. Namun karena dia masih
sibuk mengadakan penelitian tugas akhir doktoralnya di Universitas Muhammadiyah
Malang, maka posisi manager program tersebut dia serahkan kepada koleganya di
TPI yang bernama Denny Syahputra. Memang mengenai hal di atas, masih ada
beberapa pandangan berbeda apakah layak eks-tapol dan napol PKI dianggap
sebagai “korban” pelanggaran HAM berat. Namun dalam hal ini, Arif lebih memilih
pendapat Komnas HAM yang menyatakan bahwa mereka tergolong korban pelanggaran
HAM berat.
Pada
dua bulan awal pelaksanaan program PNPM Peduli tersebut di atas, Arif beberapa
kali berinteraksi dan berdiskusi dengan eks-tapol dan napol PKI di Blitar
Selatan di empat desa di atas serta mengadakan beberapa kali pertemuan di
Kantor The Post Institute Blitar dengan mereka. Melalui interaksi tersebut Arif
sulit membayangkan bagaimana guru-guru di MI, MTs, MA bahkan di PT mengatakan
bahwa PKI semuanya jahat dan anti Tuhan. Sebab apa yang Arif temui ketika
berinteraksi dengan para eks tapol dan napol PKI di Blitar Selatan tersebut
berbeda jauh dengan yang dikatakan para gurunya selama sekolah dan bahkan
sewaktu kuliah. Apa yang dikatakan para guru bahwa para PKI adalah “anti Tuhan”
tidak terbukti. Bahkan seorang eks-tapol PKI yang bernama Bapak Suyatman
merupakan orang yang tekun beribadah dan menjadi takmir di sebuah masjid di desa
tersebut. Beliau sering menjadi imam dalam membaca Kitab Ambiyo, sebuah kitab yang berisi kisah para nabi dengan lagu
tembang macapat. Kebanyakan mereka juga beragama Islam dan melaksanakan shalat
lima waktu sebagaimana umat Islam yang lain. Dan masih banyak lagi orang-orang
yang terlibat PKI tersebut ternyata rajin beribadah seperti Ibu Patmuinah putra
Kiai Abdurrahman Kedungcangkring, Pakisrejo, Srengat, Blitar.
Berdasarkan
hal di atas, tentu saja stigma negatif yang dilekatkan masyarakat bahwa mereka
“anti Tuhan” harus digali lagi secara mendalam. Artinya apakah mereka
benar-benar anti Tuhan ataukah hanya menjadi korban elite politik pada masa
lalu, tentu harus terus digali. Menurut Arif, pengalaman kelam masa lampau
seperti peristiwa 65 hendaknya dijadikan pelajaran bagi anak bangsa agar hal
tersebut tidak terulang kembali. Dengan demikian, kehadiran LVE untuk
memberikan pelatihan-pelatihan sangat dibutuhkan. Melalui LVE, seseorang akan
mendapatkan pembelajaran bicara dari hati ke hati, bukan berdasarkan
kepentingan belaka. Dengan demikian, Arif sangat yakin bila pelatihan LVE
tersebut dikembangkan ke berbagai penjuru akan bangsa ini lebih
berperikemanusian, dan tidak akan mudah terprovokasi dengan hal-hal yang
negatif. Para generasi bangsa akan lebih memiliki kesadaran mendalam akan
nilai-nilai kemanusiaan yang harus dijaga bersama, bukan malah dihancurkan.
Berdasarkan
pengalaman berinteraksi dengan berbagai kultur di atas, Arif merasakan bahwa
berwarna-warni itu indah, dan pelangi itu indah karena mempunyai warna-warni
yang seimbang. Dengan demikian, pandangan yang seimbang atas warna-warni kehidupan
akan menjadikan dunia ini seimbang pula. Arif mengharapkan harmonisasi semua warna-warni
kehidupan di muka bumi ini selalu terwujud di setiap saat. Dia berharap pula, pelatihan-pelatihan
LVE, akan menjadi penyeimbang berbagai warna-warni kehidupan manusia di bumi
ini.