Oleh: Tobroni[1]
Pada tanggal 3-5 September 2013,
Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Balitbang Kementerian Agama
menyelenggarakan The Second
International Symposium on Empowering Madrasah in the Global Context. Acara yang dibuka Wakil Presiden
Budiono Menghadirkan pakar dan pemerhati pendidikan Islam dari berbagai negara:
Mesir, Amerika Serikat, Turki, India dan Indonesia. Simposium internasional ini
menjadi ajang bursa ide untuk mengkritisi lembaga pendidikan madrasah dan
menggali ide-ide segar untuk pemberdayaan madrasah dalam menghadapi tantangan
global. Diantara tantangan global madrasah adalah isu radikalisme dan
terorisme, demokrasi dan multikulturalisme. Sedangkan tantangan internal
madrasah meliputi persoalan kualitas, dikhotomi keilmuan, dan problem politik
dan budaya di masing-masing Negara. Tulisan ini tidak bermaksud akan
menguraikan berbagai tantangan tersebut, melainkan lebih memfokuskan pada dua
hal yaitu transformasi umat Islam dan implikasinya terhadap pengarus-utamaan
(mainstreaming)
madrasah.
Maintreaming
Madrasah.
Pembangunan
di berbagai Negara muslim telah berjaya melahirkan tumbuhnya kelas menengah
muslim (the rising muslim middle class).
Di Indonesia fenonena ini ditandai dengan adanya “santrinisasi priyayi” dan
“priyayisasi santri”. Kelas menengah santri yang semakin
berkembang dan mampu melakukan transformasi sosial dan mobilitas vertikal, membutuhkan
lembaga pendidikan madrasah yang berkualitas di satu sisi dan kemampuan yang
semakin baik untuk mengembangkan madrasah yang semakin berkualitas.
Perkembangan
selanjutnya melahirkan adanya pengarusutamaan madrasah (madrasah mainstreaming) dimana lembaga pendidikan madrasah yang
berkualitas mampu bersanding, berbanding dan bertanding dengan lembaga
persekolahan. Bahkan di berbagai tempat terjadi fenomena madrasah kebanjiran
murid dan sekolah kekurangan siswa. Banyak Madrasah Ibtidaiyah (MI) baru
didirikan di sisi lain banyak Sekolah Dasar yang gulung tikar atau di merger. Fenomena
pengarus-utamaan madrasah juga ditandai oleh alumni madrasah yang tidak hanya
mampu melahirkan tokoh agama, melainkan juga tokoh dan pakar di berbagai bidang
kehidupan, menjadi pejabat publik hampir di semua lini. Semakin banyak alumni
madrasah yang menjadi menteri, senator, pengusaha, musisi, wartawan dan lain
sebagainya. Mainstreaming madrasah juga ditandai dengan perluasan basis sosial
madrasah. Basis sosial madrasah telah melampaui varian budaya masyarakat Indonesia
yaitu abangan, santri dan priyayi. Madrasah juga telah melampaui stratifikasi
sosial dan orientasi partai politik.
Lembaga pendidikan
madrasah yang berkualitas memiliki
peluang yang sangat besar karena dianggap lebih mampu membentuk anak didik memiliki
iman taqwa (imtaq) dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Karakter religiusitas murid madrasah dianggap mampu menjadi landasan moral,
motivasional dan spiritual untuk berprestasi dan dalam pembentukan karakter
tangguh. Anggapan bahwa madrasah berperan dalam menyuburkan paham radikalisme
dan terorisme serta miskin toleransi dan anti modernism adalah salah alamat.
Radikalisme justru tumbuh pada seseorang yang tidak memiliki basis keilmuan
agama yang luas dan kokoh.
Penguatan
Madrasah.
Dalam berbagai even
internasional seperti olimpiade sain dan kompetisi sekolah sehat, madrasah
telah mampu ikut ambil bagian dan sering tampil sebagai juara. Di berbagai
daerah telah muncul madrasah unggul yang sangat diminati oleh masyarakat.
Fenomena madrasah unggul atau madrasah model ini merupakan hasil dari berbagai
upaya penguatan madrasah antara lain dalam bentuk penguatan filosofis dan
konseptual, kurikulum, kelembagaan, sistem pendidikan dan model-model
pembelajaran. Penguatan ini mampu menghapuskan dikhotomi keilmuan
dalam pendidikan madrasah, memperluas bidang keilmuan atau kurikulum, merubah
persepsi publik kearah yang lebih positif,
munculnya variasi model kelembagaan dan pebelajaran di madrasah.
Penguatan madrasah juga
dilakukan pada aspek yuridis dan politis, walaupun hasinya belum bisa maksimal.
Madrasah yang pada masa Orde Baru dianggap sebagai forgotten and peripheral
community (komunitas yang terlupakan dan termarjinalkan) setahap demi
setahap diakui eksistensinya dan semakin diperlakukan sebagai warga bangsa
dengan segala hak dan kewajibannya, walaupun belum sepenuhnya. Peng-anaktirian
terhadap madrasah sampai sekarang masih terjadi bahkan menurut UNESCO murid
madrasah hanya menikmati APBN kurang dari 10 % dibandingkan dengan siswa
sekolah negeri. Keterbatasan akses APBN bagi murid madrasah terus diperjuangkan
melalui Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan perjuangan melalui anggota
dewan di senayan. Perjuangan menuntut persamaan hak bagi murid dan
penyelenggara madrasah masih panjang,
karena sampai sekarang hanya 10% madrasah yang berstatus negeri, dan menurut
edaran Menteri Dalam Negeri madrasah tidak berhak mendapatkan APBD. Semua ini
berarti walaupun secara yuridis kedudukan madrasah sama dengan sekolah, akan
tetapi secara politis masih banyak yang harus diperjuangkan.
Namun, fenomena yang
ada sekang ini, walaupun secara politis madrasah masih diperlakukan sebagai
anak tiri atau the second class,
namun karena semangat keagamaan yang tinggi yang dimiliki para penyelenggara
madrasah dan etos murid madrasah, telah bermunculan madrasah-madrasah unggul
atau madrasah model baik yang berstatus negeri maupun swasta. Yang berstatus
swasta biasanya dikembangkan oleh pondok pesantren, ormas-ormas Islam maupun
yayasan-yayasan dakwah dan sosial.
Masa Depan
Madrasah
Madrasah di Indonesia termasuk yang
paling dinamis dan kreatif dibandingkan dengan yang ada di Negara-negara muslim
lainnya khususnya di Asia Tenggara, Asia Selatan dan Negara-negara muslim di
wilayah Balkan. Di Negara-negara tersebut, yang disebut madrasah masih sebatas
pada madrasah diniyah (keagamaan), bersifat eksklusif dan memiliki visi politik
oposisi terhadap pemerintah. Sedangkan di Indonesia yang disebut madrasah
(kecuali disebut secara khusus sebagai madrasah diniyah) adalah sekolah umum
yang mengembangkan kurikulum, memiliki tujuan
dan sifat inklusifitas yang sama dengan lembaga persekolahan. Di Indonesia,
insan madrasah memiliki jasa yang besar dalam perjuangan maupun dalam mengisi
kemerdekaan republik ini maupun dalam membayar pajak. Karena itu pada era
reformasi dan demokrasi ini tidak ada lagi alasan untuk meng-anaktirikan
madrasah atau kecurigaan politis terhadap madrasah. Sikap bijak dan adil para
elit politik ini sangat berperan penting dalam menentukan masa depan madrasah.
Dengan trasformasi politik kea rah yang
lebih berkeadaban di satu sisi dan transformasi serta mobilitas vertikal umat
Islam akan membawa implikasi positif bagi pengarus-utamaan madrasah dalam
berbagai dimensinya. Sekarang ini demokrasi dan toleransi serta modernisasi
bangsa Indonesia sudah dapat dijadikan contoh bagi negeri muslim lain, niscaya
ke depan madrasah di Indonesia juga akan menjadi model yang dapat menginspirasi
dan dijadikan contoh bagi neger-negeri musim lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar