Oleh: Arif Muzayin Shofwan
Kiai Ageng
Witono atau yang kadang disebut Syaikh Hasan Ghozali atau Mbah Hasan Ghozali merupakan
ulama yang hidup pada abad 17 masehi dan berdakwah Islam di Kalangbret, Kauman,
Tulungagung. Kiai Ageng Witono diberi gelar “Syaikh” atau “Kiai”
karena beliau merupakan seorang ulama yang mengajarkan ajaran agama Islam. Disebut
“Mbah” berarti orang yang sudah tua
umurnya atau orang yang lebih tua ilmunya. Dikatakan atau disebut “Witono” karena beliau merupakan orang
yang menjadi “wiwitane ono” (awalnya
ada) diskusi-diskusi ajaran agama Islam di Kalangbret, Kauman, Tulungagung pada
zamannya. Ada pula yang menyebut “Kiai
Mangun Witono”, sebab dialah orang yang pertama kali membangun [mangun;
mbangun] tradisi kajian-kajian agama Islam di daerah Kalangbret, Kauman,
Tulungagung. Dalam literatur-literatur lain, dia biasanya juga disebut “Kiai Naib Witono”, sebab dia pada jaman
dahulu berprofesi sebagai “Naib”
(penghulu), yang biasa menikahkan masyarakat Kalangbret, Kauman, Tulungagung
pada zamannya. Dalam hal ini, perlu diketahui bahwa keturunan-keturunan beliau
pada akhirnya juga banyak yang berprofesi sebagai “Naib” (penghulu). Kiai Ageng Witono merupakan putra dari Kiai Ageng
Donopuro (guru dari Kiai Ageng Besari I) yang masih keturunan Sunan Tembayat,
Klaten, Jawa Tengah. Berikut silsilah Syaikh Hasan Ghozali
(Kiai Ageng Witono):
1.
Sunan Tembayat (Sayyid Hasan Nawawi),
berputra:
2.
Panembahan Jiwo (Sayyid Ishaq),
berputra:
3.
Panembahan Masjid Wetan, berputra:
4.
Pangeran Sumendi I (Bayat), berputra:
5.
Pangeran Sumendi II (Setono, Jetis,
Ponorogo), berputra:
6.
Pangeran Kabo, berputra:
7.
Raden Ratmojo, berputra:
8.
Kiai Ageng Donopuro (guru Kiai Hasan
Besari I), berputra:
9.
Kiai Ageng Witono (Syaikh Hasan
Ghozali), Kalangbret, Tulungagung.
Pada
jaman dahulu, Kiai Ageng Witono berprofesi sebagai “naib” (penghulu) di daerah Kalangbret, Kauman, Tulungagung. Maka
tak heran bila keturunan-keturunan beliau banyak yang menjadi “naib” (penghulu). Kiai Ageng Witono
mempunyai adik yang bernama Kiai Raden Taklim yang berprofesi sebagai “naib” (penghulu) pula di Srengat, Blitar.
Bahkan Kiai Raden Taklim juga menurunkan keturunan yang banyak berprofesi
sebagai “naib” (penghulu) pula di
daerah Blitar. Perlu diketahui bahwa Kiai Raden Taklim merupakan ayah dari Kiai
Raden Muhammad Kasiman yang rumahnya berada di Utara “Masjid Agung Kota Blitar”
[barat alon-alon kota Blitar]. Kiai Raden Muhammad Kasiman inilah seorang yang menurunkan
para pendiri masjid agung kota Blitar yang sangat megah tersebut. Perlu
diketahui bahwa di areal makam Kiai Ageng Witono, Kalangbret, Kauman, Tulungagung,
juga dimakamkan pula “para naib” (penghulu) yang merupakan keturunan dari
beliau [Kiai Ageng Witono] tersebut.
Sementara
Kiai Hasan Mimbar merupakan teman karib Kiai Ageng Witono dalam perjuangan
menegakkan ajaran agama Islam. Dalam
berbagai kajian, Kiai Hasan Mimbar merupakan ulama keturunan Sunan Ampel,
Surabaya bisa dibenarkan. Seorang penulis di Kompasiana pada10 Desember
2011 [saya tidak perlu sebutkan namanya] menulis “asal-asalan” dan tidak konsisten dalam menulis sejarah Kiai Ageng
Witono. Dia [si penulis] menyebutkan bahwa Ki Ageng Witono berasal dari “Klaten
Jawa Tengah”. Berikut tulisannya: “Mbah
Hasan Ghazali sendiri berasal dari daerah Klaten, Jawa Tengah.”. Tentu ini
juga bisa disalahkan dan bisa dianggap bahwa dia [si penulis] tidak mengetahui
data-data atau tidak berdasarkan data-data tertulis. Kalau dia menuliskan bahwa
Kiai Hasan Ghozali adalah putra Kiai Ageng Donopuro (Sentono, Jetis, Ponorogo)
dan keturunan Sunan Tembayat, Klaten, Jawa Tengah, maka ini baru bisa dianggap betul
[sesuai dengan data].
Begitu pula,
di sisi lain si penulis di Kompasiana tersebut mengatakan bahwa Kiai Ageng
Witono adalah saudara kandung Kiai Hasan Mimbar, yang tentu berasal dari “Tawangsari, Tulungagung”. Salah satu keturunan Kiai Hasan Mimbar menyatakan dan tabayun kepada saya bahwa Kiai Hasan Mimbar berada di Majan, Tulungagung, bukan Tawangsari. Dengan demikian apa yang ada di Kompasiana tersebut layak dipertanyakan keakuratan datanya. Bahkan si
penulis juga mengeluarkan silsilah Kiai Ageng Witono yang layak dipertanyakan. Sebelumnya
penulis Kompasiana tersebut mengatakan bahwa Kiai Ageng Witono berasal dari “Klaten, Jawa Tengah”. Tetapi kalau
membaca silsilah dibawah ini, kita agak sedikit geli membacanya. Apa yang
membuat geli?. Jawabnya, awalnya dia katakan dari “Klaten, Jawa Tengah”, tetapi disisi lain dia katakan bahwa Kiai
Ageng Witono dari “Tawangsari,
Tulungagung”. Berikut yang dia tuliskan: “Beliau bertiga [Kiai Ageng Witono, Kiai Hasan Mimbar, Kiai Abdul Qohar;
pen] adalah putra Mbah Madali (Tawangsari ) bin Mursyidin (Mojoagung) bin Siti
Munawaroh binti Sunan Drajat bin Sunan Ampel bin Sunan Asmoro Qondi bin Maulana
Jumadil Kubro Troloyo”. Sekali lagi, di sisi lain dia [si penulis] mengatakan
bahwa Kiai Ageng Witono berasal dari Klaten, Jawa Tengah. Di sisi lain dia [si
penulis] mengatakan bahwa Kiai Ageng Witono adalah putra Mbah Madali yang tentu
berasal dari Tawangsari, Tulungagung. Ini bukti bahwa penulis di Kompasiana tersebut
menulis secara “asal comot informasi” dan “asal-asalan”, tidak bisa
dipertanggungjawabkan, dan tidak bisa dipakai bahan rujukan oleh penulis atau
peneliti lain. Tidak pula dia [si penulis tersebut] konsisten. Atau minimal
mendekati “konsisten” lah.
Dalam
menulis, si penulis di Kompasiana tersebut hanya asal menulis dan tidak
melakukan penelitian melalui data-data yang valid atau mungkin mendekati valid.
Apalagi si penulis di Kompasiana tersebut terkesan tidak memiliki kapasitas
sebagai penulis sejarah Kiai Ageng Witono, yakni dengan mengutip pernyataan
seorang mursyid yang menyatakan bahwa Kiai Ageng Witono tidak pernah menikah. Saya
katakan, kalau ada seorang mursyid yang bilang bahwa Kiai Ageng Witono tidak
menikah, itu menandakan mursyid tersebut juga tidak punya kapasitas tentang
sejarah dan silsilah Kiai Ageng Witono. Si mursyid tidak tahu-menahu tentang
data-data dan hanya meraba-raba belaka. Tulisan yang ditulis si penulis
Kompasiana tersebut juga merupakan sebuah keragu-raguan, dengan dibumbui kata “wallahua’lam” (hanya Allah yang lebih
tahu) atas benar dan salahnya yang dia tuliskan tentang sejarah Kiai Ageng
Witono. Hal ini menunjukkan bahwa penulis tidak mengadakan
penelitian-penelitian melalui data-data secara benar. Dia hanya menulis secara
“asal-asalan” dengan data-data yang sangat minim, sehingga bisa dipastikan kebenaran
tulisannya pun tidak bisa dipertanggungjawabkan. Perlu diketahui bahwa baik
Kiai Ageng Witono dan Kiai Hasan Mimbar dalam hidupnya juga melakukan “pernikahan” dan keduanya mempunyai
banyak keturunan di daerah Tulungagung, Blitar, Kediri, Malang, dan lain
sebagainya.
Melebih-lebihkan
Cerita Masjid Tiban Al-Istimrar
Si
penulis di Kompasiana [yang tak perlu saya sebutkan namanya] tersebut juga terlihat
melebih-lebihkan cerita tentang Masjid Tiban Al-Istimrar, untuk memberikan rasa
kekaguman kepada masyarakat dengan mengatakan sebagai berikut: “Warga Desa
Kauman, Kauman, Tulungagung, Jawa Timur pagi itu dihebohkan dengan sebuah
bangunan berbentuk masjid yang muncul secara tiba-tiba. Padahal, sore harinya
di lokasi tersebut sama sekali tidak terdapat bangunan. Tentu saja hal ini
menyita perhatian masyarakat luas. Tanda tanya besar pun meliputi benak mereka.
Siapakah yang mendirikannya?”. Tidak
ada bangunan yang muncul tiba-tiba semacam ini walaupun keluar dari waliyullah
sekalipun. Ini adalah ucapan yang “melebih-lebihkan cerita” dan tidak
bisa dipertanggungjawabkan sama sekali secara ilmiah. Kisah atau cerita
tersebut hanya layak dimasukkan dalam dongeng atau legenda. Ini merupakan
ungkapan yang ingin membesar-besarkan nama waliyullah. Justru dengan ucapan seperti
ini malah tidak membesarkan waliyullah tersebut. Kecuali dalam tataran dongeng
atau legenda, silahkan saja bercerita begitu. Tetapi bisa jadi malah
merendahkan waliyullah tersebut, sebab kisah nyata malah masuk dalam dongeng
yang tidak ilmiah. Untuk itu, saya katakan, yang biasa saja kawan!. Yang
kiranya sedikit masuk akal, malah lebih baik. Jangan membesar-besarkan sejarah atau
kisah seorang tokoh dengan cerita tahayyul yang justru malah bisa membodohkan
umat.
Perlu diketahui bahwa dahulu di areal makam “Kiai Ageng Witono” itu
memang tidak ada masjid berupa bangunan indah seperti yang terlihat seperti
sekarang. Bahkan di lokasi yang didirikan masjid tersebut dahulu hanya berupa pohon-pohon
yang rindang yang Barat-nya terdapat banyak makam (kuburan-kuburan), termasuk
“Makam Kiai Ageng Witono” yang belum dicungkup pada masa tersebut. Perlu
diketahui pula bahwa terbengkalainya sebuah masjid tiban setelah Kiai Ageng
Witono meninggal merupakan bukti bahwa Kiai Ageng Witono tidak mempunyai
keturunan adalah pernyataan yang “tidak benar” dan menandakan minimnya
informasi tentang sejarah Kiai Ageng Witono. Sekali lagi perlu saya katakan
bahwa masjid tersebut dibangun oleh orang-orang setelah Kiai Ageng Witono
meninggal dunia berpaut sangat jauh. Perlu diketahui pula, kakek-kakek buyut saya
dulu sering ke makam Kiai Ageng Witono tersebut, dan memang disana tidak ada bangunan
masjid. Yang ada di tempat tersebut adalah [di Timur makam] hanya ada
pohon-pohon rindang, yang konon dahulu pada jaman Kiai Ageng Witono merupakan
masjid tiban. Tetapi arti “masjid tiban” tersebut tidak dimaknai “sore
hari tidak ada banguna masjid, lalu pada pagi hari ada bangunan masjid”.
Sebab ini adalah pernyataan yang konyol yang hanya ingin membesar-besarkan sejarah
melebih-lebihkan kisah seorang tokoh secara tidak masuk akal. Sekali lagi,
istilah “masjid tiban” pada konteks Kiai Ageng Witono ini tidak bisa
hanya dipahami secara tahayyul yang mungkin malah bisa membodohkan manusia lain
atau umat Islam sendiri. Kisah Kiai Ageng Witono bukan “dongeng”, tapi kisah
“nyata”, kawan.
Perlu saya jelaskan di sini bahwa “masjid tiban” yang dimaksud [dalam
konteks ini] bisa dipahami seperti “pasar
tiban”. Artinya, karena keterbatasan sarana dan prasarana pada jaman
dahulu, lalu Kiai Ageng Witono membuat masjid tiban [tiba-tiba ada] secara
sederhana, yang pokok bisa dipakai untuk shalat jama’ah bersama dan shalat
Jumat bersama. Dalam Islam, tanah lapang bisa dipakai sebagai masjid dan bisa diniati
sebagai masjid untuk mengadakan jama’ah bersama. Inilah yang dimaksud masjid
tiban di era Kiai Ageng Witono. Bukan kisah “yang tidak masuk akal” dan “melebih-lebihkan
cerita” bahwa “pagi hari tidak ada bangunan
masjid, lalu sore hari ada bangunan masjid”. Apalagi dalam tulisan
Kompasiana si penulis menyatakan: “Setelah
tinggal di Kauman, beberapa waktu kemudian Mbah Ageng mendirikan sebuah masjid
yang konon tidak diketahui saat pembangunannya. Warga Kauman hanya menyaksikan
masjid tersebut sudah berdiri kokoh di pagi hari. Padahal, sore harinya di
lokasi tersebut sama sekali tidak terdapat bangunan. Karena muncul tiba-tiba,
masjid tersebut kemudian diberi nama Masjid Tiban Istimror.” Ini adalah
pernyataan yang sangat lucu, apalagi bila diucapkan dalam era modern seperti
sekarang ini. Tentu akan ditertawakan oleh anak-anak TK dan anak-anak SD yang
cerdas-cerdas. Hal tersebut merupakan sesuatu hal yang malah bisa membodohkan
umat masyarakat, dan bukan malah mencerdaskan. Apakah sulapan, kok tidak ada
yang tahu pembangunannya?. Padahal Kiai Ageng Witono hidup pada abad 17 masehi,
dimana kisah Kiai Ageng Witono masih terbuka lebar untuk dikaji secara ilmiah.
Kemudian pernyataan “proses pembangunannya tidak ada yang tahu”, ini bisa membuat
ketawa anak-anak yang masih duduk di SD atau MI, bahkan TK. Masak masjid
sebesar itu proses pembangunannya tidak ada yang tahu. Pesan saya, tolong jangan
melebih-lebihkan cerita!. Biasa sajalah, kawan!. [Tembok-tembok masjid tiban itu
“dibangun tahun berapa” bisa kok
dibuktikan dengan mendatangkan orang ahli. Bisa dibuktikan bahwa itu buatan manusia banyak, bukan sekali jadi.
Tidak sore hari tidak ada, lalu pagi hari ada bangunan masjid. Tolong bererpikirlah
sewajarnya saja!. Jangan melebih-lebihkan cerita].
Masjid Tiban Sempat Terbengkelai
Bahkan dalam tulisannya di
Kompasiana, dia [si penulis] mengatakan: “Berdasarkan
penuturan seorang mursyid, Mbah Ageng Withono semasa hidupnya tidak pernah
menikah, apalagi punya keturunan. Namun, di kemudian hari ada beberapa orang
yang mengaku sebagai keturunan beliau. Mengenai kebenarannya wallahu a’lam, kita kembalikan saja
pada Yang Maha Kuasa. Yang jelas, sepeninggal Mbah Ageng Withono, Masjid Tiban
Istimror sempat terbengkelai.” Ini pernyataan yang lebih tidak bisa
dipertanggungjawabkan pula. Sudah saya jelaskan di atas bahwa dahulu memang di
tempat tersebut hanya berupa areal pekuburan (pemakaman) dan memang tidak ada
masjid [di tempat tersebut]. Masjid yang sekarang dikatakan “masjid tiban” terlalu dibesar-besarkan
untuk meng-keramat-kan Kiai Ageng Witono dengan dibumbui cerita yang tidak
masuk akal. Bahkan walau yang mengatakan adalah “mursyid sebuah thariqah”, ini juga harus dipertanyakan bila si
mursyid tersebut tidak memiliki data-data yang valid atau minim data. Seorang
mursyid juga manusia biasa, yang bisa salah dan bisa diliputi ketidaktahuan
pula. Seorang mursyid tak perlu didewa-dewakan sebagai wakil Tuhan atau khalifah
Tuhan satu-satunya, lalu secara “pathok
bangkrong” dijadikan sebagai satu-satunya rujukan. Kalau yang mengatakan
seorang mursyid?. Mursyid thariqah apa?. Dari mana?. Apakah dia benar-benar
tahu?. Saya katakan lagi, mursyid yang mengatakan tersebut tidak mempunyai
kapasitas untuk menjelaskan akan sejarah Kiai Ageng Witono dengan tertib, dan
dia hanya meraba-raba semata.
Saya katakan sekali lagi, Kiai Ageng
Witono dulu adalah seorang “naib”
(penghulu). Perlu ditegaskan bahwa sebagai seorang “naib” (penghulu) yang berprofesi menikahkan masyarakat pada waktu
itu, Kiai Ageng Witono pun juga mempunyai istri dan keturunan. Makanya Kiai
Ageng Witono juga biasa disebut “Kiai Naib Witono” dalam berbagai tulisan para
ahli. Mengenai pernyataan si penulis Kompasiana yang menyatakan bahwa “dikemudian hari ada orang yang mengaku
sebagai keturunannya” adalah karena dia [si penulis] diliputi “ketidaktauan
sejarah” [minimnya data-data] dan tidak mengetahui tentang sejarah Kiai Ageng
Witono disertai dengan data-data secara benar. Serta dia [si penulis] tidak
benar-benar berusaha untuk mendapatkan data-data lain secara objektif. Perlu
diketahui, bahwa mereka yang ziarah ke makam Kiai Ageng Witono [yang dikatakan
si penulis Kompasiana “mengaku sebagai
keturunannya”] sebenarnya memang benar-benar mempunyai silsilah yang dia
terima dari kakek buyutnya dari berbagai generasi atau dari generasi ke
generasi, dan bukan hanya mengaku sebagai keturunan Kiai Ageng Witono. Tetapi
mereka memang benar-benar punya data bahwa mereka merupakan keturunan Kiai
Ageng Witono. Penyataan si penulis Kompasiana yang mengatakan “mengaku sebagai keturunannya” bisa jadi
akan menyakiti orang-orang yang benar-benar keturunan Kiai Ageng Witono,
Kalangbret, Kauman, Tulungagung. Perlu diketahui bahwa dahulu keluarga besar
Kiai Jauhari Mahmud, Notorejo, Gondang, Tulungagung juga punya silsilah ke atas
sampai ke Kiai Ageng Witono. Begitu juga keluarga Kiai Ali Muntoho (Mbah
Muntoho [cikal bakal desa Jarakan, Gondang, Tulungaung]), juga mempunyai
silsilah yang sampai ke Kiai Ageng Witono. Mereka “tidak mengaku keturunannya di kemudian hari” sebagaimana yang diungkapkan
si penulis Kompasiana yang tidak mengetahui sejarah secara detail dan hanya
menulis secara serampangan tersebut.
Sekali lagi saya katakan kepada si
penulis di Kompasiana yang “asal-asalan
menulis” tersebut, tolong tulislah yang “objektif”, bukan “subjektif”
hanya dari rabaan sang mursyid yang tak mempunyai kapasitas sejarah Kiai Ageng
Witono tersebut. Perlu diketahui, mereka yang mempunyai silsilah menyambung
sampai Kiai Ageng Witono tersebut kebanyakan semua juga “para keluarga kiai” [dari keturunan
Kiai Ageng Witono] yang berada di daerah Tulungagung, Blitar, Malang, Kediri
dan lainnya [yang merupakan keturunan Kiai Ageng Witono] sendiri. Mereka bukan
“Seorang Penipu” yang hanya menipu
dan “mengaku-aku bahwa mereka keturunan
Kiai Ageng Witono” saja. Saya katakan, bukan penipu dan hanya mengaku-aku
keturunannya!. Mereka itu benar-benar punya kisah atau sejarah yang disertai
data-data dari kakek buyutnya bahwa silsilah mereka menyambung dengan Kiai
Ageng Witono, Kalangbret, Kauman, Tulungagung. Saya katakan, kalau ingin
menjadi penulis yang baik harus “objektif”,
bukan “subjektif” hanya sekedar asal
comot cerita versi “guru mursyid thariqah”
yang tidak mempunyai kapasitas untuk menjelaskan kisah Kiai Ageng Witono sama
sekali. Sekali lagi saya katakan bahwa baik Kiai Ageng Witono maupun Kiai Hasan
Mimbar dalam kehidupan mereka pun juga menikah dan mempunyai banyak keturunan
yang tersebar di daerah Tulungagung, Blitar, Kediri, Malang, dan lain-lainnya.
Sekali lagi saya katakan, mereka keturunan Kiai Ageng Witono, bukan “seorang penipu” dan “tidak mengaku-aku keturunan Kiai Ageng
Witono” seperti pernyataan si penulis Kompasiana tersebut. Mereka memang punya
data-data dari para leluhur mereka dari generasi ke generasi. Buat si penulis
Kompasiana, lebih berhati-hatilah dalam menulis agar tulisanmu bermutu dan tidak
asal comot serta acak-acakan dan bisa-bisa malah menyakitkan hati orang yang
membaca tulisanmu. Atau setidaknya, kau bisa menulis secara “objektif”, bukan “subjektif”.
Apalagi dia [si penulis dalam
Kompasiana] tersebut menyebutkan bahwa karena tidaka punya keturunan yang
mengurus “masjid tiban” tersebut, maka masjid tiban tersebut diserahkan oleh Kiai
Ageng Witono kepada jin bernama Mbah Ngadiman. Berikut pernyataan si penulis
Kompasiana tersebut: “Hal ini disebabkan
–menurut versi yang mengatakan tidak menikah– tidak adanya keturunan yang
mewarisi, di samping juga tidak ada yang berani bertindak sebagai pengelola
masjid. Sebab, masjid tersebut oleh Mbah Ageng Withono diberi pengaman atau
penunggu berupa jin yang bernama Mbah Ngadiman. Konon, jika bukan orang alim
tidak akan kuat untuk menempati dan mengelola masjid tersebut. Karenanya, sepeninggal
Mbah Ageng Withono Masjid Tiban Istimror sempat terbengkelai selama puluhan
tahun. Bahkan, di lokasi tempat berdirinya Masjid Tiban Istimror terdapat makam
kerabat bupati pertama Tulungagung, Tumenggung Mangoendirono yang berwasiat
agar dimakamkan di situ. Sebab, konon ia prihatin dengan kondisi masjid yang
tidak terawat.” Saya katakan, perlu diketahui bahwa di areal makam Kiai
Ageng Witono juga ada makam para “naib”(penghulu) yang merupakan keturunan
beliau [Kiai Ageng Witono], sebab beliau sendiri dahulu berprofesi sebagai “naib” (penghulu), sehingga keturunan
Kiai Ageng Witono banyak pula yang menjadi seorang “naib” (penghulu). Dan perlu diketahui, masjid tiban tersebut dibangun
dalam bentuk bangunan tembok seperti yang bisa kita lihat sekarang adalah
dibangun setelah Kiai Ageng Witono wafat dan dahulu para keturunan beliau ketika
ziarah ke makam tersebut, memang tidak ada masjid berbentuk bangunan seperti
yang terlihat sekarang.
Sekali lagi mohon dibaca ulang apa
yang saya tulis di atas!. Bahwa saya katakan, dahulu memang di lokasi didirikan
masjid tersebut tidak ada bangunan “masjid”
seperti yang kita lihat saat ini. Yang ada di lokasi itu hanyalah pohon-pohon
besar yang di sebelah Barat-nya banyak berupa pemakaman (kuburan-kuburan).
Bahkan pada waktu itu, makam Kiai Ageng Witono di Barat Masjid Tiban Al-Istimrar tersebut juga belum
dicungkup. Sebagaimana tradisi di Jawa, maka ketika ada makam orang keramat,
lalu disitu biasanya dibangun sebuah musholla atau masjid oleh para pecinta
makam. Lalu dengan berjalannya waktu, banyak orang yang mengatakan bahwa masjid
tersebut dibangun oleh orang keramat tersebut. Atau mungkin untuk mempromosikan
dan lebih meng-keramat-kan orang yang dianggap keramat tersebut, para pengelola
makam menyatakan bahwa “musholla” atau “masjid” yang dibangun tersebut
merupakan tempat dimana dia berdakwah. Padahal sebenarnya tempat tersebut
dahulu memang tidak ada bangunan masjid atau musholla-nya. [Kalau kita banyak
belajar tradisi-tradisi masjid di dekat makam keramat seperti ini, tentu kita
akan banyak tahu, dan tidak “menginformasikan
yang asal-asalan dan tidak masuk akal” seperti cerita dongeng yang tidak
masuk akal dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah].
Tulisan lain
yang ditulis si penulis di Kompasiana berikutnya adalah: “Kisah lain lagi, setiap hari Jumat,
tepatnya selepas menunaikan ibadah salat Jumat, Mbah Ageng selalu pergi ke
Sembayat, Gresik untuk mengadakan pertemuan bersama para wali membahas
permasalahan umat. Belaiu pergi ke sana dengan mengendarai seekor harimau.”. Tembayat kok Gresik?. Ini adalah
hal yang konyol yang menandakan si penulis Kompasiana juga tidak benar-benar
menguasai apa yang dia tulis. Wali siapa
pada saat itu?. Apalagi hanya dengan mengendarai harimau?. Harimau apa?.
Harimau jadi-jadian?. Sangat konyol sekali dan sangat melebih-lebihkan cerita. Untuk
itu sekali lagi saya berpesan: “Janganlah
terlalu membesar-besarkan cerita tokoh seorang wali secara tidak masuk akal.
Agar kau nanti tetap dihargai banyak orang. Di tulisan ini saya juga
menyampaikan pada si penulis di Kompasiana bahwa Kiai Ageng Witono sebagai
seorang “naib” (penghulu) yang berprofesi menikahkan masyarakat Kalangbret pada
jaman dahulu juga menikah, melakukan “sunnah Rasulullah” dan mempunyai keturunan
yang tersebar di Tulungagung, Kediri, Malang, Blitar dan lain sebagianya. Maka
tak heran bila keturunan Kiai Ageng Witono banyak yang menjadi “naib”
(penghulu) baik yang ada di Tulungagung, Kediri, Blitar dan lain-lainnya.
Bahkan di Blitar, pertemuan keturunn “Kiai Ageng Witono” dengan keturunan
adiknya “Kiai Raden Taklim” banyak bertemu dalam sebuah “pernikahan. Buat
mereka yang keturunan para naib (penghulu) yang dimakamkan di areal makam Kiai
Agen Witono, ketahuilah profesi seorang naib (penghulu) para kakek buyut kalian
merupakan warisan dari Eyang Buyut Witono yang dahulu juga berprofesi sebagai
naib (penghulu). Dan kalian adalah keturunan Kiai Ageng Witono tersebut, bukan
keturunan yang lain. Namun, jangan kalian terlalu meng-keramat-kan dan terlalu
membanggakan Eyang Buyutmu, yakni Kiai Ageng Witono. Ketahuilah Kiai Ageng
Witono juga orang biasa seperti kita, yang juga mempunyai salah dan lupa (mahal
al-khatta’ wa an-nisyan). Pelajarilah perjuangan hidup Kiai Ageng Witono dengan
tanpa mengunggulkannya. Sekali lagi terimalah Kiai Ageng Witono secara wajar
sebagaimana manusia lainnya, jangan terlalu mengkeramatkan beliau hingga
keterlaluan. Sebab di dunia dan di akhirat ini hanya satu yang perlu
dikeramatkan, yaitu Allah azza wa jalla. Doakan Kiai Ageng Witono [leluhurmu],
sebab semua amal anak Adam terputus kecuali doa orang sholeh yang mendoakan
leluhurnya [orang tuanya]. Jangan malah di Makam Kiai Ageng Witono, minta yang
tidak-tidak dan tidak sesuai dengan tuntunan agama! ”. Terima kasih.
Alamat Penulis
Arif Muzayin Shofwan
Jl. Masjid Baitul Makmur Sekardangan RT. 03 RW. 09
Papungan Kanigoro Blitar. Kode Pos 66171
HP. 085649706399.
Lanjutkan
BalasHapussaya atas nama BPK. SAMSUL dari MADURA ingin mengucapkan banyak terimah kasih kepada MBAH KARYO,kalau bukan karna bantuannya munkin sekaran saya sudah terlantar dan tidak pernaah terpikirkan oleh saya kalau saya sdh bisa sesukses ini dan saya tdk menyanka klau MBAH KARYO bisa sehebat ini menembuskan semua no,,jika anda ingin seperti saya silahkan hubungi MBAH KARYO no ini 082301536999 saya yakin anda tdk akan pernah menyesal klau sudah berhubungan dgn MBAH KARYO dan jgn percaya klau ada yg menggunakan pesan ini klau bukan nama BPK. SAMSUL dan bukan nama MBAH KARYO krna itu cuma palsu.m
BalasHapus