Arif Muzayin Shofwan
PENDAHULUAN
Puji
syukur saya panjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa yang telah memberikan
nikmat-Nya kepada semua manusia sejagad raya. Shalawat dan salam mudah-mudahan
tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad saw, ahli bait, dan sahabatnya. Kata
pepatah Jawa: “urip ing ndonya mung
mampir ngombe”, artinya hidup di dunia merupakan persinggahan sebentar yang
nantinya diakhiri dengan sebuah kematian. Setinggi derajat, seampuh, sekaya,
dan sesakti apapun seseorang tentu saja
tidak akan bisa lepas dari sebuah kematian. Baik dalam jangka waktu dekat
maupun jauh.
Oleh
karena hidup di dunia hanya merupakan persinggahan sebentar, maka saya berniat
mengisi sebagian kehidupan tersebut dengan menulis sebuah buku kecil yang
mudah-mudahan bermanfaat bagi generasi penerus. Buku kecil yang berjudul “Sekelumit Kisah Bumi Sekardangan dari Masa
ke Masa” ini menceritakan berbagai kisah mulai dari berdirinya dusun
Sekardangan pada masa kerajaan Islam Pajang-Mataram, hingga kisah-kisah unik
dan legendaris lainnya. Tentu saja, dalam rangkaian persinggahan tersebut ada
beberapa kolega yang banyak berkontribusi demi terselesainya buku ini.
Untuk
itu, saya perlu mengucapkan terima kasih kepada beberapa kolega tersebut.
Ucapan terima kasih pertama saya ucapkan sedalam-dalamnya kepada Gus Ahmad
Mansyuri, selaku Ketua Paguyuban Seni Budaya dan Olah Raga “Kyai Buyut
Banyubiru” Sekardangan, yang telah banyak membantu penulis dalam berbagai hal,
baik dari segi material maupun non-material. Tak lupa ucapan terima kasih
mendalam saya sampaikan buat kawan-kawan di “Padepokan Kiai Abu Bakar”
Sekardangan bagian Utara yang telah banyak menginspirasi dalam segi apapun
hingga tak bisa dijelaskan dengan kata-kata manusia biasa.
Ucapan
terima kasih kedua, saya ucapkan kepada beberapa kolega yang telah banyak
berkontribusi dalam berbagai kegiatan yang selama ini saya lakukan, di
antaranya: Mas Cahyo, Mas Agus, Mas Muna, Mas Huda Lash, Mas Narto, Mas Burhan,
Mas Wildan, Mas Dardiri, Gus Toni Sholeh, Mas Bokir, Mas Gundala, Mas Candra
Jik Oun, Mas Amin Loundry, Mas Nurkholis, Mas Fakih, Mas Jauhar dan lain
sebagainya. Tak lupa buat Muhammad Naufal Az-Zamzami, cintailah kehidupan masa
lalu, kini, dan mendatang, maka kehidupan tersebut akan mencintaimu. Tentu
saja, saya tidak bisa menyebutkan para kolega satu-persatu dalam buku yang
relatif kecil ini.
Terakhir
kali, saya perlu mengucapkan terima kasih tak terhingga kepada semua warga
dusun Sekardangan, baik mereka yang peduli maupun tidak peduli kepada kisah
para leluhur cikal bakalnya. Teriring doa kebaikan, mudah-mudahan dusun
Sekardangan menjadi sebuah tempat yang nyaman, tentram, berkah dan damai
sepanjang zaman yang tiada tertandingi. Akhirnya kritik dan saran demi
kesempurnaan buku kecil ini selalu saya harapkan.
BAB SATU
SEJARAH SEKARDANGAN PADA MASA KERAJAAN ISLAM PAJANG
A. Hubungan Kadipaten Kanigoro dan
Sekardangan
Sejarah
dusun Sekardangan diawali dari seorang adipati bernama Ki Kebo Kanigoro yang
petilasannya berada di Timur POM Bensin, tepat sebelah Utara jalan di kecamatan
Kanigoro. Petilasan tersebut sering dikenal dengan nama “Petilasan Jati Kurung”, sebab dahulu ada pohon Jati besar yang
dikurung pagar dan berfungsi sebagai monumen sederhana dari generasi
berikutnya. Di tempat itulah dahulu Ki Kebo Kanigoro mendirikan rumah bersama
istrinya yang bernama Nyai Gadhung Melati (Raden Ajeng Kardinah) dan putrinya
Rara Tenggok (Rara Sekar Rinonce).
Dan perlu diketahui bahwa Ki Kebo Kanigoro (Kiai Buyut Banyubiru) inilah
seorang tokoh yang mendirikan Kadipaten Kanigoro (sekarang menjadi sebuah
kecamatan di kabupaten Blitar) pada masa kerajaan Islam Pajang (1568-1586).
Ki
Kebo Kanigoro atau yang pada akhirnya juga disebut Kiai Buyut Banyubiru hidup
pada pertengahan abad ke-15 hingga 16 masa kerajaan Islam Pajang-Mataram.
Ada banyak nama lain dari Ki Kebo Kanigoro, diantaranya: Kiai Siddiq Urip, Kiai
Purwoto Siddiq, Kiai Siddiq Perwitosari, Kiai Buyut Siddiq, Ki Ageng Arimurko,
Ki Ageng Kartawijaya, Kiai Ageng Siddiq Imam Purwata Sari, dan lain sebagainya.
Beliau merupakan paman dan guru spiritual Jaka Tingkir (Raden Mas
Karebet/Sayyid Abdurrahman/Sultan Hadiwijaya) yang merupakan putra dari Ki Kebo
Kenongo (Sayyid Syihabuddin) sekaligus pendiri kerajaan Islam Pajang. Selain
itu, Ki Kebo Kanigoro (Kiai Buyut Banyubiru) juga merupakan salah satu murid
dari Syaikh Siti Jenar yang terkenal dengan ajaran tauhid “manunggaling kawulo-Gusti”, artinya bersatunya hamba dengan
Tuhan-nya.
Saat
awal berdirinya kerajaan Islam Pajang, Jaka Tingkir ingin memperluas
kerajaannya hingga pelosok wilayah Jawa Timur. Dalam agenda besar tersebut,
Jaka Tingkir bekerjasama dengan Ki Kebo Kanigoro yang merupakan paman sekaligus
guru spiritualnya untuk memperluas kerajaannya sampai daerah yang pada akhirnya
disebut Kadipaten Kanigoro (sekarang menjadi sebuah kecamatan di kabupaten
Blitar). Hingga
pada akhirnya pada saat terjadi pergolakan politik antara kerajaan Islam Pajang
dan Mataram (rentetan dari perpolitikan kerajaan Islam Demak Bintoro), Ki Kebo
Kanigoro dalam agendanya memperluas kerajaan tersebut sering berganti nama samaran
agar supaya tidak tercium pihak dari penguasa kerajaan yang dimaksud.
Tak
jauh dari hal di atas, untuk menghindari terciumnya agenda perluasan kerajaan Islam
Pajang hingga pelosok Jawa Timur, istri dari Ki Kebo Kanigoro juga sering
berganti nama. Ada beberapa nama samaran yang disematkan kepada beliau, di
antaranya: Nyai Gadhung Melati, Dewi Sekardani, Dewi Sekartaji, dan lain
sebagainya. Tentu saja pada masa itu, nama asli istri dari Ki Kebo Kanigoro pun
juga menjadi sesuatu yang harus dirahasiakan. Hal tersebut dimaksudkan pula
agar supaya tidak tercium oleh pihak penguasa kerajaan pada masa itu yang tentu
saja tidak rela akan adanya sebuah kerajaan yang menandinginya.
Konon
pada saat pergolakan politik kerajaan Islam antara Pajang dan Mataram (rentetan
dari perpolitikan kerajaan Islam Demak Bintoro) semakin memuncak, dusun
Sekardangan (sekarang termasuk dalam wilayah desa Papungan) yang letaknya
sekitar tiga kilometer dari Kadipaten Kanigoro merupakan tempat yang strategis
untuk menyembunyikan istri dan putri Ki Kebo Kanigoro tersebut. Di tempat
itulah, istri Ki Kebo Kanigoro menggunakan nama samaran Nyai Gadhung Melati dan
hidup bersama putrinya yang bernama Rara Tenggok. Diceritakan pula bahwa pada
masa tersebut ada banyak tokoh perempuan yang menggunakan sebutan Nyai Gadhung
Melati, salah satunya adalah istri dari Ki Ageng Kuning (pendiri desa
Kuningan).
Namun sebagian warga setempat sering pula menyebut istri Ki Ageng Kuning dengan
sebutan Mbok Rondo Kuning.
B. Kisah Ki Kebo Kanigoro disebut Kiai
Ageng Banyubiru
Setelah
Ki Kebo Kanigoro menyembunyikan istri dan putrinya di dusun Sekardangan, beliau
kemudian berniat kembali ke kerajaan Islam Pajang (Jawa Tengah) untuk melihat
lebih dekat perkembangan politik yang ada di sana. Tentu saja, untuk
menyembunyikan identitas dirinya, Ki Kebo Kanigoro tetap menggunakan nama
samaran dalam perjalanan dan berpindah-pindah tempat tersebut. Konon dalam
sebuah perjalanan panjang tersebut, Ki Kebo Kanigoro pernah bermukim
selama tujuh tahun di daerah Purwokerto. Setelah itu, beliau kemudian hijrah ke
Rejosari, Semin, Gunungkidul. Di tempat tersebut beliau hidup di tengah hutan
Kali Goyang. Setelah Ki Kebo Kanigoro hidup di tengah hutan Kali Goyang cukup
lama, beliau kemudian meneruskan perjalanan sampai di hutan Wonogung,
Jatingarang, Weru, Sukoharjo.
Dikisahkan
bahwa di tempat baru Jatingarang-Sukoharjo tersebut, Ki Kebo Kanigoro melakukan tapa kungkum di
sendang setempat. Konon karena pancaran dari energi spiritual Ki Kebo Kanigoro
saat tapa kungkum, maka air Sendang Wonogung mendadak berubah berwarna biru.
Hingga akhirnya Sendang Wonogung itu pun seiring berjalannya waktu kemudian
dinamakan “Sendang Banyubiru”. Berdasarkan peristiwa itulah, Ki Kebo Kanigoro
diberi julukan “Kiai Ageng Banyubiru” atau “Ki Buyut Banyubiru”. Kemudian pada
era selanjutnya, konon julukan “Kiai Ageng Banyubiru” juga sering digunakan
pula oleh murid-murid dan orang-orang sesudah beliau yang memang cinta pada
sosok ketokohan beliau.
Perlu
diketahui pula bahwa hingga saat ini dusun Banyubiru sering disebut sebagai
tempat Jaka Tingkir berguru kepada Ki Kebo Kanigoro (Kiai Buyut Banyubiru).
Konon selain Sendang Wonogung (Banyubiru), ada delapan sendang lain yang
diyakini sebagai petilasan Ki Kebo Kanigoro (Kiai Buyut Banyubiru) dalam
perjalanan panjang tersebut, di antaranya: Sendang Margomulyo, Sendang Krapyak,
Sendang Margojati, Sendang Bendo, Sendang Gupak Warak, Sendang Danumulyo,
Sendang Siluwih dan Sendang Sepanjang. Sendang Gupak Warak berada di Wonogiri,
dan sendang lainnya tersebar di Weru, Sukoharjo. Semua sendang itu kini airnya
telah menyusut. Bahkan Sendang Wonogung (Banyubiru) sudah tidak lagi
mengeluarkan air, dan dibiarkan menjadi kolam kering penampung air hujan, dan
di atasnya dibangun sebuah masjid.
C. Nyai Gadhung Melati Kembali ke Sukoharjo
Kembali ke
kisah Nyai Gadhung Melati dan putrinya yang disembunyikan di dusun Sekardangan
sebagaimana yang disebutkan di atas. Yakni, setelah dalam masa yang cukup lama
pergolakan politik kerajaan Islam Pajang dan Mataram (rentetan dari
perpolitikan kerajaan Islam Demak Bintoro) sudah mulai mereda, maka Nyai
Gadhung Melati dan Rara Tenggok (Rara Sekar Rinonce) memutuskan menyusul Ki
Kebo Kanigoro (Kiai Buyut Banyubiru) yang telah kembali ke Sukoharjo-Jawa
Tengah tersebut.
Diceritakan bahwa sebenarnya keputusan kembalinya Nyai Gadhung Melati bersama
Rara Tenggok ke Sukoharjo-Jawa Tengah tersebut dirasakan berat hati oleh para
warga masyarakat yang ada di dusun Sekardangan.
Dikisahkan
pula bahwa sebelum Nyai Gadhung Melati memutuskan kembali menyusul suaminya
yang terlebih dulu ke Sukoharjo-Jawa Tengah, beliau menyempatkan diri pergi ke
daerah Batu-Malang bersilaturrahmi kepada salah satu sanak saudaranya.
Saat itu, Nyai Gadhung Melati dihantarkan oleh beberapa cantriknya dengan
berjalan kaki. Sementara, Rara Tenggok (Rara Sekar Rinonce) putrinya tetap
berada di dusun Sekardangan. Konon setelah beberapa bulan di Batu-Malang, Nyai
Gadhung Melati mendengar kabar bahwa putrinya yang berada di dusun Sekardangan
sakit keras. Beliau lalu memutuskan kembali pulang ke dusun Sekardangan. Namun
setelah sesampai Nyai Gadhung Melati (Raden Ajeng Kardinah) di dusun
Sekardangan, ternyata Rara Tenggok (Rara Sekar Rinonce) putrinya sudah sembuh
atau dangan dari sakit yang
dideritanya.
Perlu diketahui
bahwa istilah “dangan” rangkaian dari
kata “Sekardangan”, dalam bahasa Jawa berarti sembuh dari sakit yang diderita.
Oleh karena kesembuhan putrinya tersebut, maka dusun tersebut dinamakan “Dusun
Sekardangan”. Artinya, ketika Nyai Gadhung Melati (Raden Ajeng Kardinah) telah
tiba dari Batu-Malang ke dusun tersebut, ternyata Rara Sekar Rinonce (Rara
Tenggok) sudah “dangan” atau sembuh
dari sakit yang diderita. Konon kesembuhan Rara Tenggok tersebut diobati dengan
terapi bunga Melati yang memang memiliki banyak khasiat. Maka tak heran bila
pada masa lampau, tanaman bunga Melati banyak tersebar di pekarangan-pekarangan
warga dusun Sekardangan. Bahkan ada sebagian warga dusun Sekardangan yang
menjadikan bunga Melati sebagai simbol magis dan organisasi kemasyarakatan
maupun simbol perusahaan yang mereka dirikan.
Untuk
mengenang jasa Nyai Gadhung Melati, Rara Tenggok, dan Ki Kebo Kanigoro (Kiai
Buyut Banyubiru), maka dibangunlah sebuah monumen di areal petilasan rumah yang
dahulu ditempati ketiga tokoh tersebut di dusun Sekardangan, desa Papungan,
kecamatan Kanigoro, kabupaten Blitar. Dan setiap hari Selasa Kliwon bulan
Muharram (Asyura), di monumen petilasan yang jaraknya kurang lebih dua ratus
meter dari Masjid Baitul Makmur tersebut selalu digunakan acara kirim doa
leluhur, tahlil, mengenang jasa cikal bakal, dan rangkaian ritual lainnya.
Acara tersebut diikuti oleh beberapa warga dusun Sekardangan dan simpatisan sebagai
bagian dari rangkaian acara ritual “Bersih Dusun Sekardangan” yang diadakan rutin
setiap tahun.
Adapun
silsilah nasab Ki Kebo Kanigoro (Kiai Buyut Banyubiru atau Kiai Siddiq Urip Banyubiru)
dari pihak ayah dalam berbagai literatur masih bersambung dengan Rasulullah
saw. Berikut silsilah nasab Ki Kebo Kanigoro dari pihak ayah: Nabi Muhammad SAW → Sayyidah Fathimah Az-Zahra
→ Al-Imam Sayyidina Hussain
→ Al-Imam Ali
Zainal ‘Abidin → Al-Imam Muhammad Al Baqir → Al-Imam Ja’far As-Sodiq → Al-Imam
Al-Imam Ali Uradhi .→ Al-Imam Muhammad An-Naqib .→ Al-Imam Isa Naqib Ar-Rumi →
Al-Imam Ahmad al-Muhajir → Al-Imam Ubaidillah → Al-Imam Alawi Awwal → Al-Imam
Muhammad Sohibus Saumi’ah → Al-Imam Alawi Ats-Tsani → Al-Imam Sayyid Ali Kholi’
Qosim → Al-Imam Muhammad Sohib Mirbath → Al-Imam Alawi Ammil Faqih → Al-Imam
Abdul Malik Azmatkhan → Sayyid Abdullah Azmatkhan → As-Sayyid Ahmad Shah Jalal →
As-Sayyid Asy-Syaikh Jumadil Kubro al-Husaini/ Syekh Jamaluddin Akbar
al-Husaini .→ Syarif Muhammad Kebungsuan (Adipati Handayaningrat/ Ki
Ageng Wuking I/ Ki Ageng Tingkir I) → Ki Kebo Kanigoro (Kiai Siddiq/ Kiai
Buyut Banyubiru).
Sementara nasab
Ki Kebo Kanigoro (Kiai Buyut Banyubiru) dari pihak ibu masih bersambung dengan
Raja Majapahit Brawijaya V. Berikut silsilah Ki Kebo Kanigoro dari pihak ibu: Prabu
Brawijaya V (Raja Kerajaan Majapahit terakhir) → Raden Ayu Retno Pambayun
(suami Adipati Handayaningrat) → Ki Kebo Kanigoro (Kiai Buyut Banyubiru/ Kiai Ageng
Purwoto Sidik). Selanjutnya, Ki Kebo Kanigoro menikah dengan Nyai Gadhung
Melati (Raden Ajeng Kardinah) dan memiliki putri bernama Rara Tenggok (Rara
Sekar Rinonce). Berdasarkan kedua uraian silsilah di atas, maka nasab Ki Kebo
Kanigoro (Kiai Buyut Banyubiru) merupakan percampuran darah Jawa dan Arab.
Ketiga tokoh
legendaris sebagai cikal bakal dusun Sekardangan (yang termasuk kawasan desa
Papungan, kecamatan Kanigoro, kabupaten Blitar) tersebut, yakni: Ki Kebo
Kanigoro (Kiai Purwoto Sidik atau Kiai Buyut Banyubiru), Nyai Gadhung Melati
(Raden Ajeng Kardinah atau Nyai Ageng Sekardangan), dan Rara Tenggok (Rara
Sekar Rinonce) setelah wafat dimakamkan di utara Sendang Wonogung Banyubiru di
dusun Sarehan, desa Jatingarang, kecamatan Weru, kabupaten Sukoharjo (Selatan
kota Solo, Jawa Tengah).
Sementara, sebagaimana yang telah diuraikan di atas bahwa tempat petilasan
rumah yang dahulu kala pernah ditempati ketiga tokoh tersebut di dusun
Sekardangan hanyalah merupakan sebuah monumen bersejarah untuk mengenang
jasa-jasanya.
BAB DUA
SEJARAH SEKARDANGAN
PADA MASA KERAJAAN ISLAM MATARAM
A. Kisah Berakhirnya Kerajaan Islam
Pajang
Pada
akhir abad ke-15 masehi sekitar tahun 1587 setelah kekuasaan kerajaan Islam
Pajang berakhir, maka kekuasaan berpindah di Kerajaan Islam Mataram yang
dipimpin oleh Sultan Sutawijaya. Dalam pemerintahan Kerajaan Islam Mataram
tersebut, Sultan Sutawijaya bergelar Panembahan Senopati Ing Ngalogo. Tentu
saja, dia juga merupakan penerus dari dinasti kerajaan Islam Demak Bintoro yang
didirikan Raden Fatah (Pangeran Djin Bun). Dan dikisahkan pula bahwa pada tahun
tersebut, kerajaan Islam Pajang telah beralih status menjadi sebuah kadipaten
yang kekuasaannya dibawah Kerajaan Islam Mataram dan dipimpin oleh Pangeran
Gagak Bening, yakni adik dari Panembahan Senopati Ing Ngalogo (Sultan
Sutawijaya).
Pada
awal berdirinya kerajaan Islam Pajang telah disebutkan dalam beberapa literatur
bahwa pada tahun 1568 Sultan Hadiwijaya dan para adipati Jawa Timur
dipertemukan di Giri Kedaton oleh Sunan Prapen. Dalam
kesempatan tersebut, para adipati sepakat mengakui kedaulatan Pajang di atas
negeri-negeri Jawa Timur. Sebagai
tanda ikatan politik, Panji Wiryakrama dari Surabaya (pemimpin persekutuan
adipati Jawa Timur) dinikahkan
dengan puteri Hadiwijaya. Dengan demikian, apabila para adipati se-Jawa Timur
pada masa awal berdirinya kerajaan Islam Pajang tersebut dikumpulkan, tentu
saja termasuk Adipati Ki Kebo Kanigoro (Kiai Buyut banyubiru) yang berada di
Kadipaten Kanigoro (sekarang menjadi sebuah kecamatan di kabupaten Blitar) juga
ikut dalam persekutuan pada adipati se-Jawa Timur tersebut.
Kisah
bagaimana Ki Kebo Kanigoro (Kiai Buyut Banyubiru) sekeluarga yang petilasannya
berada di Timur POM Bensin sebelah Utara jalan dan di dusun Sekardangan telah
digambarkan pada bab sebelumnya. Akan tetapi, pasca keruntuhan kerajaan Islam
Pajang hingga berkuasanya kerajaan Islam Mataram dan ketika Ki Kebo Kanigoro
(Kiai Buyut Banyubiru) sudah kembali ke dusun Sarehan, desa Jatingarang,
kecamatan Weru, kabupaten Sukoharjo, tidak terdapat kisah secara khusus, baik
dari tutur tinular dari para sesepuh tentang bagaimana keberadaan Kadipaten
Kanigoro kala itu. Apalagi tak dapat ditemukan pula sebuah kisah tutur tinular
dari para sesepuh bagaimana keberadaan dan keadaan dusun Sekardangan setelah
ditinggal Nyai Gadhung Melati (Raden Ajeng Kardinah) dan Rara Tenggok (Rara
Sekar Rinonce) menyusul Ki Kebo Kanigoro ke Sukoharjo-Jawa Tengah.
Seakan-akan
sudah tidak ada yang bisa bercerita tentang dusun Sekardangan pada masa awal
pasca keruntuhan kerajaan Islam Pajang. Hingga akhirnya, sekitar abad ke-17
datanglah para tokoh dari Mataram yang juga dianggap mbabat dusun Sekardangan. Namun keadaan ketika para tokoh masa
kerajaan Islam Mataram generasi abad ke-17
datang di dusun Sekardangan, sebenarnya di dusun tersebut sudah ada
bukti pemakaman muslim yang tidak terawat dan berdekatan dengan “Petilasan Mbah
Sekardangan” yang berjarak sekitar dua ratus meter (yakni tepat berada di
seputar Barat dan Selatan Masjid Baitul Makmur Sekardangan). Diperkirakan bahwa
makam-makam muslim yang tidak terawat tersebut merupakan makam para sesepuh
pasca kembalinya Ki Kebo Kanigoro, Nyai Gadhung Melati (Raden Ajeng Kardinah),
dan Rara Tenggok ke dusun Sarehan, desa Jatingarang, kecamatan Weru, kabupaten
Sukoharjo-Jawa Tengah. Wal-khasil, mudah-mudahan para sesepuh dusun Sekardangan
masa lalu yang makamnya sudah tak terawat dan nyaris sudah tak bernisan
tersebut mendapatkan tempat yang bahagia di sisi-Nya.
B. Tokoh Sekardangan pada Masa
Kerajaan Islam Mataram
Sekitar
abad ke-17 masehi, pada masa pertengahan Kerajaan Islam Mataram, dusun
Sekardangan yang konon masih jarang penduduknya dan masih banyak pohon rindang
kemudian dibabat oleh para tokoh yang berasal dari beberapa daerah. Terkecuali
pemukiman Sekardangan bagian Selatan yang lebih dulu telah dibabat oleh Ki Kebo
Kanigoro, Nyai Gadhung Melati (Raden Ajeng Kardinah), Rara Tenggok, dan
beberapa cantriknya sebagai tempat persembunyian sebagaimana yang pernah
dikisahkan. Diceritakan pula bahwa pada abad ke-17 tersebut ada lebih dari lima
tokoh yang mbabat dusun Sekardangan, di
antaranya: Kiai Kasan Muhtar, Kiai Abu Yamin, Kiai Raden Tirto Sentono, Kiai
Barnawi, Kiai Bontani, dan Kiai Wongsopuro (Kiai Sopuro).
Tentu saja, beberapa tokoh yang disebutkan itu hanya sebagian informasi yang
bisa penulis dapatkan.
Para
tokoh itulah yang diceritakan beberapa sesepuh sebagai orang yang mbabat dusun Sekardangan masa Kerajaan
Islam Mataram. Adapun sekelumit kisah tentang para tokoh di atas dapat
dijabarkan sebagai berikut:
1.
Kiai Kasan Muhtar
Kiai
Kasan Muhtar merupakan pendiri langgar pertama di Sekardangan bagian Utara.
Keberadaan langgar yang beliau dirikan tersebut hingga kini sudah tidak ada
bekasnya. Akan tetapi, beliau memiliki menantu bernama Kiai Abu Bakar yang
meneruskan tongkat estafet pengajaran pendidikan Islam. Kiai Abu Bakar juga
mendirikan sebuah langgar yang konon pada zaman Sekardangan belum memiliki
sebuah bangunan masjid, langgar itulah yang dipakai untuk shalat Jum’at warga
masyarakat. Setelah Kiai Kasan Muhtar dan istrinya wafat, jasad keduanya
dimakamkan di Pemakaman Gaprang bagian Selatan, sebab pada masa itu dusun
Sekardangan belum memiliki tempat pemakaman tersendiri. Sementara itu, setelah
Kiai Abu Bakar wafat, jasad beliau dimakamkan di pemakaman keluarga sebelah
Barat langgar yang beliau dirikan berjarak kurang lebih seratus meter.
Diceritakan pula bahwa Kiai Abu Bakar merupakan santri pertama Syaikh Nawawi
pendiri Pondok Pesantren Ringinagung, Pare, Kediri.
Di pemakaman keluarga tersebut juga terdapat makam putranya yang bernama Kiai
Ghozali.
2.
Kiai Abu Yamin
Kiai
Abu Yamin merupakan tokoh yang mbabat
dusun Sekardangan bagian Tengah. Beliau memiliki tiga anak yang semuanya juga
membangun sebuah langgar sebagai tempat beribadah kepada Tuhan. Tiga anak
tersebut adalah Kiai Abdurrahman, Kiai Zainuddin, dan Nyai Maryam (istri Kiai
Barnawi). Setelah Kiai Abu Yamin dan istrinya wafat, keduanya dimakamkan di
Pemakaman Gaprang bagian Selatan, sebab pada waktu itu dusun Sekardangan belum
memiliki tempat pemakaman sendiri.
3.
Kiai Raden Tirto Sentono
Diceritakan
bahwa Kiai Raden Tirto Sentono juga merupakan tokoh yang mbabat dusun Sekardangan bagian Tengah bersama Kiai Abu Yamin.
Apabila Kiai Abu Yamin mbabat sebelah
Barat, maka Kiai Raden Tirto Sentono mbabat
sebelah Timur. Konon Kiai Raden Tirto Sentono juga memiliki saudara yang
dimakamkan di Puncak Gunung Pegat (utara kecamatan Srengat).
Berdasarkan hasil kajian dari keturunannya, dapat disimpulkan bahwa Kiai Raden
Tirto Sentono hidup sezaman dengan Kiai Raden Muhammad Kasiman, Kiai Raden
Sleman, dan Ndoro Tedjo yang makamnya berada di Puncak Gunung Pegat.
Selanjutnya, setelah Kiai Raden Tirto Sentono wafat, jasadnya dimakamkan di
Pemakaman Umum dusun Sekardangan. Sementara istri beliau dimakamkan di
Pemakaman Gaprang bagian Selatan.
4.
Kiai Barnawi
Dikisahkan
bahwa Kiai Barnawi merupakan menantu dari Kiai Abu Yamin yang konon merupakan
tokoh yang mbabat dusun Sekardangan
bagian Selatan, sebelah Utara jalan. Beliau inilah salah satu kiai yang
mendirikan tempat ibadah berupa langgar pertama yang berada di dusun
Sekardangan bagian Selatan. Hingga buku ini ditulis, langgar yang didirikan
Kiai Barnawi tersebut sudah tidak ada bekasnya sama sekali. Konon puing-puing
pondasi mushalla (langgar) yang dibangun Kiai Barnawi tersebut dulunya dipugar
dan digunakan sebagai tambahan membuat pondasi Masjid Baitul Makmur. Tidak
diketahui secara jelas di mana makam Kiai Barnawi berada. Namun diperkirakan
Kiai Barnawi dimakamkan di sebelah Barat Masjid Baitul Makmur yang memang sejak
dulu banyak bekas-bekas makam muslim yang sudah tidak dirawat oleh sanak
keluarga dari generasi berikutnya.
5.
Kiai Bontani
Tak
diketahui secara pasti bagaimana kisah Kiai Bontani yang makamnya berada di
bawah “Pohon Jenar” sebelah Barat Masjid Baitul Makmur Sekardangan. Namun dari
keterangan beberapa sesepuh, Kiai Bontani juga merupakan salah satu tokoh yang mbabat dusun Sekardangan bagian Selatan,
sebelah Selatan jalan. Diceritakan pula bahwa Kiai Bontani memiliki saudara
yang berada di daerah Talun. Hingga saat buku kecil ini ditulis, keberadaan
makam Kiai Bontani dan istrinya masih dirawat dengan baik oleh generasi
keturunan berikutnya.
6.
Kiai Wongsopuro
Kiai
Wongsopuro yang sering disebut “Mbah Sopuro” ini konon berasal dari Lodoyo yang
hidup sezaman dengan Raden Ragil Siddiq dan Raden Sutro Menggolo (Syaikh Abu
Naim Fathullah) Lodoyo. Ada kisah menarik bahwa wirid yang diamalkan Kiai
Sopuro berbunyi “Huk-Huk-Huk” dari
kata “Huwa-Huwa-Huwa’, yang artinya
Dia-Dia-Dia.
Setelah Kiai Sopuro wafat, jasadnya dimakamkan di sebelah Barat Masjid Baitul
Makmur. Konon ketika Kiai Sopuro wafat, Masjid Baitul Makmur juga belum
didirikan. Dan lokasi Barat Masjid Baitul Makmur tersebut diperkirakan sebagai
areal pemakaman yang sudah ada sejak zaman Ki Kebo Kanigoro, Nyai Gadhung
Melati, dan Rara Tenggok/Rara Sekar Rinonce (yakni, tiga tokoh cikal bakal
dusun Sekardangan Era Kerajaan Islam Pajang). Ada banyak bukti dan informasi
bahwa sebelum Masjid Baitul Makmur didirikan, terdapat banyak makam muslim di
Barat masjid tersebut yang sudah tidak dirawat oleh generasi berikutnya.
Selanjutnya,
setelah generasi ke-3 atau ke-4 dari keturunan para tokoh yang mbabat dusun
Sekardangan di atas, kemudian seputar abad ke-18 (Era Diponegoro-an akhir)
muncul beberapa generasi berikutnya yang kebanyakan berasal dari daerah
Bagelenan, Jawa Tengah. Tokoh yang berasal dari Bagelenan, Jawa Tengah
misalnya: Kiai Imam Fakih (tokoh pendiri Pondok Pesantren Miftahul Huda), Kiai
Kasan Thohiran (tokoh yang berjasa membantu perjuangan Kiai Imam Fakih
mendirikan pesantren), dan lain sebagainya. Sementara itu, pada masa ini pula
muncul Kiai Ahmad Dasuqi (menantu Kiai Zainuddin) yang berasal dari Manukan,
Garum. Tentu saja, tidak hanya tokoh tersebut saja yang hadir di dusun
Sekardangan pada masa itu.
Beberapa
tokoh yang hidup semasa maupun kurun waktu setelah generasi para kiai di atas,
antara lain: Kiai Abdurrahman, Kiai Zainuddin, Kiai Ghozali, dan beberapa kiai
lainnya. Selanjutnya, setelah Kiai Imam Fakih dan istrinya wafat, jasad
keduanya dimakamkan di sebelah Barat Masjid Baitul Makmur Sekardangan.
Sementara itu, jasad Kiai Kasan Thohiran dan istrinya beserta jasad Kiai Ahmad
Dasuqi dan ketiga istrinya dimakamkan dalam Pemakaman Umum dusun Sekardangan.
Sekali lagi, tentu saja masih banyak para tokoh yang hidup semasa dengan
kiai-kiai di atas yang lepas dari pantauan dan penelitian penulis.
C. Kisah Berdirinya Pesantren dan
Masjid Pertama di Sekardangan
Pada
saat dusun Sekardangan belum memiliki sebuah lembaga pesantren dan masjid, maka
pengajaran pendidikan agama Islam disampaikan oleh para kiai di rumah-rumah
maupun langgar pribadi. Kebanyakan keberadaan langgar (mushalla) pada zaman
tersebut merupakan aset pribadi yang tidak diwakafkan menjadi milik publik.
Walau sejarah berdirinya pesantren dan masjid pertama di dusun Sekardangan
tersebut sudah tidak berada di zaman Kerajaan Islam Mataram, namun penulis
ingin memasukkan kisah tersebut dalam bab ini. Alasannya adalah kajian akan hal
ini tidak bisa dimasukkan pada bab berikutnya, sebab penulis membatasi era
modernisasi pada bab berikutnya sejak organisasi besar modern, yakni Nahdlatul
Ulama (1926) dan Muhammadiyah (1912) berdiri di tahun tersebut. Padahal
pesantren dan masjid pertama di dusun Sekardangan lebih dahulu berdiri sebelum
kedua ormas keagamaan besar tersebut didirikan.
Bermula
dari keberadaan institusi pendidikan Islam rumah-rumah dan langgar pribadi para
kiai sebagaimana di atas, maka muncul sebuah ide cemerlang dari Kiai Imam
Fakih, seorang ulama yang berasal dari Bagelenan-Jawa Tengah untuk
menyatukannya dalam satu tempat. Ide dari Kiai Imam Fakih itu disambut dengan
antusias oleh para kiai, tokoh masyarakat dan warga dusun Sekardangan di zaman tersebut. Akhirnya pada tahun 1900 masehi Kiai Imam
Fakih beserta para kiai dan warga dusun Sekardangan bergotong- royong dan
berhasil mendirikan sebuah pesantren sebagai
pengajaran pendidikan Islam yang lebih maju daripada institusi-institusi
sebelumnya. Konon, seorang ulama yang sering disebut-sebut banyak berjasa
membantu perjuangan pendirian pesantren pada waktu itu adalah Kiai Kasan
Thohiran.
Diceritakan pula bahwa Kiai Kasan Thohiran ini masih merupakan keponakan Kiai
Imam Fakih, yang konon juga berasal dari Bagelenan-Jawa Tengah.
Setelah
Kiai Imam Fakih bersama-sama para warga masyarakat kala itu berhasil membangun
sebuah pesantren, beliau kemudian berniat membangun sebuah masjid yang bisa
digunakan untuk shalat Jumat warga. Kala itu, Kiai Imam Fakih menjual tanah
miliknya kepada Handels Vereniging
Amsterdam (HVA) untuk dijadikan sebagai jalan trem (jalan kereta api) pengangkut tebu milik Belanda. Dari hasil
penjualan tanah tersebut kemudian Kiai Imam Fakih menggunakannya untuk membuat
sebuah masjid. Beliau juga mewakafkan sebagian tanah miliknya untuk dibanguni
sebuah masjid tersebut. Maka, pada tahun 1903, berdirilah sebuah masjid pertama
di dusun Sekardangan yang diberi nama “Masjid Miftahul Huda”, yang berarti tempat sujud yang menjadi pembuka
petunjuk bagi manusia. Namun seiring berjalannya waktu, setelah masjid
itu direhab pada tahun 1984, maka nama masjid tersebut diganti dengan sebutan “Masjid Baitul Makmur”, artinya tempat
sujud sebagai rumah Tuhan yang selalu ramai untuk beribadah.
Dalam tulisan kecil ini,
perlu disebutkan pula beberapa tokoh sentral kepemimpinan atau Ketua Ta’mir
Masjid Baitul Makmur dari generasi ke generasi. Berikut kepemimpinan ta’mir
masjid tersebut dari generasi ke generasi:
1. Kiai
Imam Fakih (1900 M – 1923 M)
2. Kiai
Imam Syadzali (1923 M – 1925 M)
3. Kiai
Ahmad Shobiri (1925 M – 1951 M)
4. Kiai
Abbas Fakih (1951 M – 1960 M)
5. Kiai
Imam Mahdi (1960 M – 1997 M)
6. Kiai
Muhammad Hamzah (1997 M – 2002 M)
7. Kiai
Mashudi (2002 M – sekarang), dan dibantu oleh Kiai Muhammad Munib (Ketua Ta’mir
II) dan Kiai Saik Saiful Hadi (Ketua Ta’mir III).
Sebenarnya,
masih banyak lagi tokoh-tokoh yang berkecimpung dalam struktur kepengurusan
Ta’mir Masjid Baitul Makmur Sekardangan dari generasi ke generasi. Namun buku
kecil ini tidak akan membahas secara lengkap struktur kepengurusan dari
generasi ke generasi yang dimaksud. Sebab sudah ada dokumen khusus yang telah
mencatat hal tersebut secara lengkap dari kepengurusan Ta’mir Masjid Baitul
Makmur Sekardangan. Selain itu, buku kecil ini memang ditulis untuk maksud yang
sangat global dan serba terbatas.
BAB TIGA
SEJARAH SEKARDANGAN PADA MASA MODERNISASI
A. Berdirinya Institusi Pendidikan
Formal Pertama
Dalam
tulisan ini, yang dimaksud masa modernisasi pendidikan Islam dimulai sejak
berdirinya organisasi besar Nahdlatul Ulama yang didirikan oleh Kiai Hasyim
Asy’ari pada tahun 1926 dan Muhammadiyah oleh Kiai Ahmad Dahlan tahun 1912.
Sebab mulai era tersebut telah terjadi modernisasi Islam dalam bidang apapun,
mulai bidang pendidikan, sosial, budaya, politik, dan lain sebagainya. Bahkan
era modernisasi dalam segi apapun bisa dimulai sejak berdirinya organisasi Budi
Utomo tahun 1908. Namun karena tulisan ini berkaitan erat dengan konteks sosial
budaya dan keagamaan Islam, maka era modernisasi dibatasi mulai dari berdirinya
kedua ormas keagamaan yang hingga kini menjadi arus utama (mainstream) bangsa Indonesia.
Ciri
khas modernisasi dalam dunia pendidikan Islam khususnya ditandai dengan adanya
institusi formal dengan sistem klasikal dalam dunia pesantren. Apabila pada
masa tradisional, sistem pendidikan Islam di pondok pesantren menggunakan
kurikulum berdasarkan khatam kitab-kitab klasik, maka dalam masa modernisasi
kurikulum tersebut sedikit demi sedikit sudah mulai berganti dengan kurikulum
yang dicanangkan oleh pemerintah. Misalnya, seorang pelajar di era kurikulum
tradisional biasanya harus khatam berdasarkan Kitab Jurumiyah, Kitab Nadzam
Imrithy, Kitab Mutammimah, Kitab Alfiyah Ibnu Malik hingga kitab-kitab
klasik lainnya. Di era kurikulum modern, sebuah kelulusan pendidikan yang
didasarkan pada khatamnya kitab-kitab klasik sudah mulai tergerus atau berganti
dengan kurikulum yang dicanangkan pemerintah.
Ciri
khas kurikulum modern lainnya adalah dimasukkannya mata pelajaran umum dalam
lembaga pendidikan Islam, misalnya: Matematika, Ilmu Bumi, Ilmu Pendidikan
Sosial, Pendidikan Moral Pancasila, dan mata pelajaran umum lainnya. Tentu
saja, semua mata pelajaran yang tersebut tidak atau belum diajarkan dalam masa
pendidikan tradisional sebelumnya. Selain itu, ciri khas modernitas dalam dunia
pendidikan Islam dimulai dengan adanya pakaian seragam layaknya di lembaga
pendidikan umum. Biasanya dalam pendidikan berdasarkan kurikulum tradisional,
para pelajar masih menggunakan sarung dan kopiah ketika menuntut ilmu di sebuah
lembaga pendidikan Islam. Akan tetapi para pelajar pada masa modern sudah mulai
menggunakan celana, sepatu, seragam, dan semacamnya.
Era
modernisasi pendidikan Islam di dusun Sekardangan, dimulai sejak berdirinya
institusi pendidikan formal pertama berupa Madrasah Ibtidaiyah Miftahul Huda
Papungan 01 dan Taman Kanak-Kanak Al-Hidayah Papungan 01 yang berdiri pada
tahun 1961. Dikisahkan bahwa Pendidikan TK Al-Hidayah Papungan 01 di dusun
Sekardangan pertama kali diprakarsai oleh Kiai Asmuni (Mbah Muni). Konon
seputar tahun tersebut keberadaan TK Al-Hidayah Papungan 01 bertempat di
kediaman Kiai Asmuni (Mbah Muni) Sekardangan bagian Selatan.
Selanjutnya karena berbagai pertimbangan, setelah Kiai Asmuni (Mbah Muni) tidak
lagi berkecimpung dalam hal tersebut, maka keberadaan TK Al-Hidayah Papungan 01
dipindah ke Sekardangan bagian paling Utara dan diasuh oleh Ibu Siti Rubikah.
Pada era selanjutnya yakni masa Kiai Muhammad Hamzah, TK Al-Hidayah Papungan 01
tersebut dipindah jadi satu dalam lingkungan Masjid Baitul Makmur Sekardangan
bagian Selatan.
Sementara
itu, kisah berdirinya MI Miftahul Huda Papungan 01 yang saat ini berada di
lingkungan Masjid Baitul Makmur Sekardangan bagian Selatan, juga tidak lepas
dari usaha para aktivis muda masa itu yang ingin menjadikan pendidikan Islam di
mushalla atau langgar di seputar dusun Sekardangan menjadi satu tempat. Maka
tersebutlah aktivis muda bernama Kiai Muhtar Fauzi dan kawan-kawannya mempunyai
ide kreatif mendirikan lembaga pendidikan Islam formal pertama di dusun
Sekardangan. Berawal dari para aktivis muda yang diprakarsai Kiai Muhtar Fauzi
inilah, maka berdirilah sebuah lembaga pendidikan Islam formal tertua di dusun
Sekardangan. Selanjutnya, pada tahun berikutnya dalam jangka yang cukup agak
lama, kemudian muncullah Pondok Pesantren Mambaul Hisan yang didirikan oleh
Kiai Muhammad Irfa’i dan disusul adanya SD Plus Sunan Pandanaran yang didirikan
oleh Kiai Mahrus Yunus bersama tokoh-tokoh lainnya.
B. Keberadaan Kegiatan Sosial Keagamaan
Pada
masa Kiai Imam Mahdi, seorang tokoh kharismatik salah satu cucu dari Kiai Imam
Fakih, keberadaan kegiatan sosial keagamaan dipandang cukup menjadi perhatian
di kalangan masyarakat Blitar, Tulungagung, Kediri, dan daerah-daerah lainnya.
Kiai Imam Mahdi inilah yang menjadi tokoh sentral perkembangan Jam’iyah Wirid Dala’ilul Khairat
(Jawirot) di dusun Sekardangan yang memiliki pengikut terutama di tiga
kabupaten tersebut. Dalam berbagai literatur, Wirid Dala’ilul Khairat yang disusun oleh Syaikh Abu Muhammad bin
Sulaiman Al-Jazuli merupakan sebuah wirid shalawat yang silsilah keimuannya
bersambung kepada Rasulullah saw. Maka dari itu, sebagian ulama ahli tasawuf
menyebutnya sebagai sebuah Tharikah Mu’tabarah Jazuliyyah.
Adapun Silsilah Ijazah Wirid Shalawat Dalailul Khairat (Thariqah Jazuliyyah)
di dusun Sekardangan yang dikembangkan oleh Kiai Imam Mahdi memiliki dua jalur yang pada akhirnya bertemu pada Syaikh
Abdus Salam Bin Massyish, yakni guru Syaikh Abul Hasan Ali As- Syadzili. Dari
pertemuan ini, bisa dikatakan bahwa Syaikh al- Jazuli merupakan penganut Thariqah Syadziliyyah yang nantinya
berkembang menjadi sebuah Thariqah Jazuliyyah.
Kaitan Dalam hal tersebut Syafiq A. Mughni pernah mengatakan: “Abul Hasan as- Syadzili (wafat 1258 M)
juga melahirkan thariqah yang berpengaruh di Sudan Timur. Thariqah ini pada
abad ke- 15 direformasi dalam bentuk Thariqah Jazuliyyah di Maroko”.
Berikut merupakan silsilah yang penulis dapat dari pada saat Haul Akbar Tharikah Jazuliyyah di
dusun Sekardangan, di mana
silsilah keilmuan Syaikh al- Jazuli ke atas akan bertemu dengan dua wali agung seperti
Syaikh Abdul Qadir al- Jailani (pendiri Thariqah
Qadiriyyah) dan Syaikh Abul Hasan as- Syadzili (pendiri Thariqah Syadziliyyah).
1.
Allah Rabbul
Izzati Swt.. (1). Allah Rabbul Izzati
Swt.
2. Sayyidina Jibril. (2).
Sayyidina Jibril.
3. Nabi Muhammad
Saw. (3). Nabi Muhammad Saw.
4. Sayyidina Ali
bin Abu Thalib. (4). Sayyidina Ali Bin
Abu Thalib.
5.
Syaikh Hasan Al-Basri. (5).
Syaikh Hasan bin Ali.
6. Syaikh Habib
Al-Ajami. (6). Syaikh Abu Muhammad
Jabir.
7. Syaikh Daud
At-Th’ai. (7). Syaikh Muhammad Said
Al- Ghozwaniy.
8.
Syaikh Ma’ruf Al-Kharkhi. (8). Syaikh Fathus Su’ud.
9. Syaikh Sari
As-Saqati. (9). Syaikh Sa’ad.
10. Syaikh Junaidi
Al- Baghdadi. (10). Syaikh Abu
Muhammad Said.
11. Syaikh Abu
Bakar Asy-Shibli. (11). Syaikh Abil
Qosim Ahmad al Marwani.
12. Syaikh Abdul
Wahid At- Tamimi. (12). Syaikh Abi
Ishaq Ibrahim al Bashri.
13. Syaikh Abul
Faroj At-Turtusi. (13). Syaikh
Zainuddin Al- Qozwiniy.
14. Syaikh Abul
Hasan Ali Al-Hukkari. (14). Syaikh Muhammad Syamsuddin.
15. Syaikh Abu Said
Mubarak Al- Mahzumi. (15). Syaikh
Muhammad Tajuddin.
16. Syaikh Abdul
Qadir Al-Jailani. (16). Syaikh
Nuruddin Abil Hasan Ali.
17.
Syaikh Abu Madyan Syu’aib. (17). Syaikh Fakhruddin.
18. Syaikh Muhammad
Shalih. (18). Syaikh Taqiyyuddin Al-
Fuqoyr.
19. Syaikh Muhammad
bin Harazim. (19). Syaikh Abdurrahman
Al- Aththor Az- Zayyat.
20. Syaikh Abdus
Salam Bin Masyish. (20). Syaikh Abdus
Salam Bin Masyish. (Disinilah pertemuan kedua silsilah keilmuan diatas
bertemu).
21.
Syaikh Abul Hasan Ali Bin Abdul Jabbar As-
Syadzili.
22.
Syaikh Abu Abdillah Al- Maghrobi.
23.
Syaikh Anusi Uwais Zamanihi Al- Badawi.
24.
Syaikh Abul Fadl Al- Hindi.
25.
Syaik Abu Zaid Abdurrahman Az- Zajroji.
26.
Syaikh Abu Ustman Sa’id Al- Hartani.
27.
Syaikh Abu Abdillah Muhammad Al- Amghori.
28.
Syaikh Abu Abdillah Muhammad Bin Sulaiman Al-
Jazuli. (Muallif Shalawat Dala’ilul
Khairat)
Silsilah jalur
pertama:
29.
Syaikh Ahmad Al- Maknasi.
30.
Syaikh Muhammad.
31.
Syaikh Ahmad.
32.
Syaikh Abdurrahman Bin Ahmad Bin Muhammad Bin
Ahmad Al- Husaini Al- Maghrobi Al- Maknasi.
33.
Syaikh
Muhammad Bin Abdullah.
34.
Syaikh Muhammad Bin Sannah Al- Umari.
35.
Syaikh Abdurrahman Bin Sulaiman Al- Akhdal.
36.
Syaikh Husain Bin Muhammad Al- Habsy.
37.
Syaikh Muhammad Bin Husain Al- Habsy.
38.
Syaikh Abdullah Bin Jamid As- Shafi.
39.
Syaikh Al- Allamah Kamil Abdullah Sholah.
40.
Syaikh Salim Bin Abdullah Bin Umar As-
Syathiri.
41.
Kiai Muhammad Azizi Hasbullah Selopuro.
Silsilah jalur kedua:
29.
Syaikh Ahmad Al- Maknasi.
30.
Syaikh Muhammad.
31.
Syaikh Ahmad.
32.
Syaikh Abdurrahman Bin Ahmad Bin Muhammad Bin
Ahmad Al- Husaini Al- Maghrobi Al- Maknasi.
33.
Syaikh Al- Allamah Ahmad Bin Muhammad An-
Nakhli Al- Makky.
34.
Syaikh Muhammad Tajuddin Abdul Muhsin Bin Salim
Al- Qala’i dan Syaikh Abdul Qadir Bin Abu Bakar As- Shiddiqi.
35.
Syaikh Abdul Malik Bin Abdul Mun’im Al- Qala’i
Al- Makky.
36.
Syaikh Yahya Bin Abbas Bin Muhammad Bin Shiddiq
Al- Makky.
37.
Syaikh Abbas Bin Ja’far Bin Abbas Bin Muhammad Bin
Shiddiq Al- Makky.
38. Syaikh Ahmad
Bin Abdullah As- Syammi (Tsumma Al-
Makky)
39.
Syaikh Muhammad Yasin Bin Isa Al- Fadani Al-
Makky.
40.
Kiai Abdul Aziz Bin Mansyur Pacul Gowang Jombang.
Silsilah jalur
ketiga:
29.
Syaikh Abdurrahman Bin Ahmad.
30.
Syaikh Muhammad Bin Muhammad bin Abdullah Al-
Maghrobi. (Al- Ashlu Al- Madani)
31.
Syaikh Rofi’uddin Bin Syamsuddin Al- Amiri Al-
Qandahari.
32.
Syaikh Muhammad Shalih Bin Khairullah Ar-
Radhawi Al- Bukhari.
33.
Syaikh Muhammad Bin Ibrahim Abi Khadir Ad-
Dimyathi. (Tsumma Al- Madani)
34. Syaikh Muhammad
Amin Bin Ahmad bin Ridwan. (Syaikh
Dala’il di Masjid Nabawi)
35.
Syaikh Abdul Muhsin Bin Muhammad Amin Ridwan. (Syaikh Dala’il di Masjidil Haram)
36.
Syaikh Muhammad Yasin Bin Isa Al- Fadani Al-
Makky.
37.
Kiai Abdul Aziz Bin Mansyur Pacul Gowang
Jombang.
Silsilah jalur
keempat:
29.
Syaikh Abdul Aziz At- Tiba’i.
30.
Syaikh Ahmad Musa As- Simlali.
31.
Syaikh Ahmad Bin Abbas As- Shum’i.
32.
Syaikh Ahmad Al- Muqri.
33.
Syaikh Abdul Qadir Al- Fasiy.
34.
Syaikh Ahmad bin Al- Hajj.
35.
Syaikh Muhammad Bin Ahmad Bin Ahmad Al-
Mutsanna.
36.
Syaikh Ali Bin Yusuf Al- Hariri Al- Madani.
37.
Syaikh Muhammad Amin Bin Ahmad Ar- Ridwan Al-
Madani.
38.
Syaikh Abdul Muhsin Bin Muhammad Amin Ridwan.
39.
Kiai Mansyur Kalipucung.
40.
Kiai Sibawaih Baghowi Tlogo.
41.
Kiai Imam Mahdi, Kiai Nasruddin, Kiai Muhtar
Fauzi Sekardangan.
Selain kegiatan sosial keagamaan yang berbasis
spiritual seperti di atas, di dusun Sekardangan juga terdapat kegiatan Wirid Shalawat
Nariyah yang dikembangkan oleh Kiai Mahrus Yunus, pendiri Pondok Pesantren
Sunan Pandanaran Sekardangan bagian Selatan. Tak jauh dari itu, hingga kini di
dusun Sekardangan masih ada kegiatan sosial keagamaan Islam lain, di antaranya:
Jamaah Shalawat Barzanji, Shalawat Diba’ Al-Huda, Manaqib Syaikh Abdul Qadir
Al-Jailani, Majelis Shalawat Gondo Suwargo, Majelis Shalawat Riyadhul Jannah,
Yasinan Rutin setiap malam Jum’at,
Pengajian Selapanan Habib Idrus dari Bangil, Pengajian Muslimat
Nahdlatul Ulama, Santunan Yatim Piatu oleh ibu-ibu Muslimat Nahdlatul Ulama,
Pengajian Rutin di mushalla-mushalla maupun masjid dan lain sebagainya.
Hingga buku ini ditulis, banyak para kiai yang
berkontribusi demi kegiatan sosial keagamaan di dusun Sekardangan. Adapun
istilah “kiai” dalam bahasa Jawa dipakai untuk menyebut tiga jenis gelar yang
saling berbeda, yaitu: (1) sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang
dianggap keramat; umpamanya, “Kiai Garuda Kencana” dipakai untuk sebutan Kereta
Emas yang ada di Keraton Yogyakarta; (2) gelar kehormatan untuk orang-orang tua
pada umumnya; (3) gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada ahli agama Islam
yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajarkan kitab-kitab Islam
klasik kepada para santrinya. Tentu saja, arti “kiai” dalam tulisan ini bukan
menggunakan pengertian kategori yang pertama.
Adapun beberapa kiai yang telah berkontribusi
dalam kegiatan sosial keagamaan di dusun Sekardangan saat ini, di antaranya:
Kiai Mashudi, Kiai Syamsuri, Kiai Abdul Fatah, Kiai Muhammad Shokeh, Kiai
Muhammad Munib, Kiai Kafrawi, Kiai Muhammad Tasrifin, Kiai Saiq Saiful Hadi,
Kiai Saiful Anam, Kiai Abdul Hadi, Kiai Muhammad Irfai, Kiai Masykur, Kiai
Nawadji Romli, Kiai Muhannan, Kiai Jamil Fakih, Kiai Kulli Syaiin, Kiai
Muhammad Natsir, Kiai Bahruddin, Kiai Zainuddin, Kiai Tamzi, Kiai Mahmuddin,
Kiai Masruhin, Kiai Suwandi, Kiai Fauzi, Kiai Yasin Fakih, dan beberapa kiai
lainnya. Semua para kiai tersebut memiliki kontribusi menurut bidang
masing-masing yang mereka geluti. Kiai Yasin Fakih misalnya, telah banyak
berkontribusi dalam mengembangkan “Jam’iyah Terong” sekitar tahun 2004-2010.
Berawal dari “Jam’iyah Terong” inilah akhirnya ada inisiatif dari kaum muda
untuk membentuk sebuah Karang Taruna “Sekar Muda” dengan simbol bunga Melati
yang hingga kini masih diakui keberadaannya.
C. Keberadaan Institusi
dan Kegiatan Sosial Kemasyarakatan
Ada banyak kegiatan sosial kemasyarakatan yang ada di dusun
Sekardangan. Paguyuban Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) merupakan salah
satu kegiatan sosial kemasyarakatan utama dalam struktur kepengurusan
pemerintahan sebuah dusun hingga tingkat desa. Tiga tugas utama Rukun Tetangga
(RT), di antaranya: (1) membantu menjalankan tugas pelayanan kepada masyarakat
yang menjadi tanggungjawab pemerintah daerah; (2) memelihara kerukunan hidup
warga; dan (3) menyusun rencana dan melaksanakan pembangunan dengan mengembangkan
aspirasi dan swadana murni masyarakat. Tentu saja, ketiga hal tersebut bukan
satu-satunya tugas utama Rukun Tetangga (RT) secara lengkap. Sebab masih ada
beberapa Paguyuban Rukun Tetangga (RT) lain yang mengembangkan ketiga tugas
utama tersebut menjadi beberapa sub/bagian.
Selain institusi RT dan RW, organisasi lain yang juga merupakan
kegiatan bidang sosial kemasyarakatan dari tingkat desa Papungan hingga dusun
Sekardangan adalah Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) “Maju Makmur” yang
merupakan kepanjangan dari P2KP atau PNPM Mandiri. Adapun prinsip BKM Maju
Makmur dalam Bab III Pasal 3 yang harus dijunjung tinggi, ditumbuhkembangkan
dan dilestarikan, di antaranya; (1) demokrasi; (2) partisipasi; (3) transparasi
dan akuntabilitas; (4) desentralisasi; serta (5) kolaborasi dan komprehensif.
Sementara nilai BKM Maju Makmur yang harus dilestarikan dalam Bab III Pasal 4,
di antaranya: (1) dapat dipercaya atau amanah; (2) ikhlas dan kerelawanan; (3)
kejujuran; (4) keadilan; (5) kesetaraan; dan (6) kebersamaan dalam keragaman.
Sementara
itu, kegiatan pemuda yang ada di dusun Sekardangan salah satunya dinaungi dalam
wadah Karang Taruna “Sekar Muda” yang telah beberapa kali melakukan regenerasi
(pergantian generasi). Dilihat dari segi bahasa, arti “karang” adalah tempat dan “taruna”
berarti pemuda. Oleh karena itu, anggota Karang Taruna “Sekar Muda” Sekardangan
adalah para pemuda terutama mereka yang sudah tidak bersekolah. Menurut Badan
Pusat Statistik (BPS) pemuda adalah penduduk yang berusia antara 15 – 35 tahun.
Dengan demikian, ada banyak pemuda dusun Sekardangan yang usianya sebagaimana
kisaran tersebut masih tetap aktif menjadi anggota karang taruna. Terdapat
banyak kegiatan di dusun Sekardangan yang sering mendapat bantuan pemikiran dan
tenaga dari para pemuda anggota karang taruna.
Tak
jauh dari semua hal di atas, ada banyak kegiatan sosial kemasyarakatan yang
terdapat di dusun Sekardangan baik secara struktur kelembagaan maupun
terencana. Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia dengan mengadakan
acara pemutaran film-film kemerdekaan Republik Indonesia merupakan salah satu
kegiatan sosial kemasyarakatan terencana yang dilakukan oleh sebagian Paguyuban
Rukun Tetangga (RT) di dusun Sekardangan. Sementara itu, kegiatan “Bersih
Dusun” yang dilakukan setiap hari Selasa Kliwon bulan Muharram merupakan
kegiatan sosial kemasyarakatan sekaligus berisi ritual keagamaan dan kebudayaan
yang biasanya dilakukan bersama-sama mulai dari kamituwo (kepala dusun), ketua
RT dan RW, hingga keterlibatan seluruh warga dusun Sekardangan.
Ada
beberapa ritual tahunan berkaitan dengan bersih dusun Sekardangan tersebut, di
antaranya: kirim doa leluhur baik di petilasan cikal bakal dusun Sekardangan
maupun tahlil di kediaman kamituwo (kepala dusun). Selain itu, terkadang
diadakan pementasan wayang kulit semalam suntup dengan menghadirkan dalang dari
berbagai daerah secara bergantian setiap tahun. Terkadang pula, rangkaian
bersih dusun tersebut juga diisi dengan pertunjukan seni jaranan, orkes,
shalawatan dan semacamnya. Tentu saja, ritual bersih dusun tersebut diiringi
dengan doa pengharapan agar semua warga dusun Sekardangan benar-benar bersih
lahir dan batin, dimudahkan segala urusan, dan menjadi dusun yang tenang,
tentram, damai sepanjang zaman.
BAHAN
BACAAN
Al-Abrashi,
(1969). Al-Tarbiyah Al-Islamiyah Wa Falasifatuha. Qahirah: Isa Al-Baby
al-Halaby.
---------- (2016). Petilasan Ki Ageng Kebo Kanigoro Boyolali. Artikel diakses pada
tanggal 12 Juli 2016 dari http://www.jalansolo.com.
----------
(2016). Kisah Jaka Tingkir, Pernah Menjadi Raja di Kerajaan Pajang. Artikel
diakses pada tanggal 12 Juli 2016 dari http://www.joko-tingkir.com.
Basthomi,
M, (2016). Anggaran Dasar Badan
Keswadayaan Masyarakat (BKM) “Maju Makmur” desa Papungan, kec. Kanigoro, kab.
Blitar. Makalah yang disampaikan dalam acara Musyawarah untuk Memilih
Perwakilan BKM Maju Makmur Periode 2016-2019, tanggal 31 Mei 2016.
Dhofier,
Zamakhsyari, (1994). Tradisi Pesantren:
Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES.
Hatimah,
Ihat, dkk., (2007). Pembelajaran
Berwawasan Kemasyarakatan. Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka.
Langgulung,
Hasan, (2003). Pendidikan Islam dalam Abad ke 21. Jakarta: Pustaka
Al-Husna Baru.
Shalabi,
(1954). History of Muslim Education.
Beirut: Dar Al-Kasyaf.
Shofwan,
Arif Muzayin, (2015). Silsilah Kyai Ageng
Purwoto Sidik Banyubiru (Ki Kebo Kanigoro) Sukoharjo Jawa Tengah. Artikel
diakses pada tanggal 15 Juni 2015 dari http://arifmuzayinshofwan.blogspot.co.id.
Soepono
(1973). Kisah Joko Tingkir Sultan
Hadiwijaya. Sragen: T.P.
Sub
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, (2001). Legenda
Ki Ageng Banyubiru dan Joko Tingkir Ds. Jatingarang Kec. Weru Kabupaten
Sukoharjo. Sukoharjo: Penerbit Dinas Perhubungan Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sukoharjo.
Ta’mir
Masjid (1990). Masjid Baitul Makmur Sekardangan Kanigoro Kabupaten Blitar,
(Sekardangan: Ta’mir Masjid Baitul Makmur).
TENTANG
PENULIS
Arif Muzayin Shofwan adalah
lelaki kelahiran Blitar, Jawa Timur. Dia pernah menuntut ilmu secara formal di
TK Al-Hidayah Papungan 01 (1984); MI Miftahul Huda Papungan 01 (1991); MTsN
Kunir, Wonodadi, Blitar, (1993); kemudian meneruskan di MAN Tlogo, Kanigoro,
Blitar (1996). Setelah singgah di beberapa pesantren, dia kemudian menempuh
kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Al-Muslihuun Blitar jurusan Sarjana
Pendidikan Agama Islam (2004). Pernah kuliah Program Diploma dua pada jurusan
Pendidikan Guru Sekolah Dasar di Universitas Terbuka Negeri UPBJJ Malang
(2007), dan jurusan S1 pada jurusan yang sama di universitas tersebut (2009).
Kuliah pada Program Magister Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS) ditempuh
di Universitas Kanjuruhan Malang (2009). Selanjutnya, dia menempuh Program
Studi Doktor Pendidikan Agama Islam di Universitas Muhammadiyah Malang (2016).
Selain
itu, pria yang memiliki hobi membaca dan menulis tersebut pernah tercatat
sebagai Anggota Tim Inti Pusat Studi Agama dan Multikulturalisme (PUSAM)
Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang (2013-2016). Dia juga
pernah menjadi Ketua Divisi Pesantren, Hak Asasi Manusia, dan Multikulturalisme
di The Post Institute Blitar (2012-2017). Organisasi lain yang pernah dilalui
pria tersebut, di antaranya: Aktivis Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU); Aktivis
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII); Anggota Lembaga Pecinta dan
Pelestari Budaya Nusantara (LP2BN); Ketua Dewan Kepesantrenan Hidayatullah
Blitar (2005-2010); Ketua Bagian Kesiswaan Lembaga Pendidikan Dakwah Masjid Agung
(LPDMA) Kota Blitar (2013); Anggota Purwa Ayu Mardi Utama (PAMU); Ketua Remaja
Masjid Baitul Makmur Sekardangan (REMAS), tahun 1998; dan beberapa lembaga dan
organisasi lainnya.
Tulisan
dan penelitian ilmiah yang pernah dipublikasikan, antara lain: Studi Manajemen Lembaga Pendidikan Dakwah di
Masjid Agung Kota Blitar (Penerbit: STID Al-Hadid Surabaya, 2014); Dakwah Walisongo dan Konstruksi Sosial
Masyarakat Jawa (Penerbit: STID Al-Hadid Surabaya, 2015); Character Building melalui Pendidikan Agama
Islam: Studi Kasus di MI Miftahul Huda Papungan 01 Blitar (Penerbit:
Program Pascasarjana IAIN Tulungagung, 2015); Signifikansi Nilai Pendidikan Multikultural dalam Ajaran Agama Buddha
(Penerbit: Yayasan Dhammacakka Jakarta, 2016); Merajut Kebebasan Beragama dan Hak Asasi Manusia (Penerbit: Pusat
Studi Agama dan Multikulturalisme Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah
Malang, 2015); dan lain sebagainya. Penggemar musik Kitaro dan segala musik
bernuansa alam semesta tersebut bisa dihubungi melalui surat elektronik: arifms78@yahoo.co.id.