Kamis, 14 Juli 2016

MERAJUT KEBEBASAN BERJALAN MENUJU TUHAN MELALUI AJARAN TASAWUF



Arif Muzayin Shofwan
Nama saya Arif Muzayin Shofwan, dan biasa dipanggil Arif Klenik. Dipanggil demikian, karena memang saya suka hal-hal yang berbau klenik seperti berkunjung ke tempat-tempat keramat, kuburan para kiai atau wali, sandranan-sadranan desa atau dusun, petilasan tokoh-tokoh agung dan semacamnya. Bukan maksud saya berziarah ke tempat-tempat tersebut untuk berbuat syirik (menyekutukan Tuhan), tetapi saya hanya ingin mengkaji sejarah kehidupan dan perjuangan para tokoh yang telah wafat tersebut. Saya merupakan salah satu aktifis The Post Institute Blitar dan dipercaya sebagai ketua divisi multikultural, yang mana dalam sisi tertentu juga harus fokus pada kajian pesantren dan Hak Asasi Manusia (HAM). Di lembaga tersebut memang ada dua nama Arif yang memiliki kesukaan berbeda, yakni: saya dan Arif Agus Setiawan. Nama yang saya sebut ini sering dipanggil dengan Arif Aidit, Arif Musik, dan terakhir Arif Loundry. Tak ada kisah yang tertulis dalam buku dan kitab suci apapun mengapa dia harus dipanggil dengan ketiga sebutan tersebut. Namun sejauh yang saya ketahui, hal tersebut hanya untuk membedakan dua nama Arif yang berbeda dalam satu lembaga.
Ada banyak pengalaman menarik yang saya peroleh di The Post Institute, yakni sebuah NGO yang dipimpin oleh Mawan Mahyuddin. Saya pernah diberi kepercayaan oleh Mas Mawan, panggilan akrab Mawan Mahyuddin untuk mengisi kajian tentang jalan menuju Tuhan. Sebenarnya saya juga agak ragu untuk mengkaji topik semacam itu. Bagaiamana tidak ragu, saya sendiri juga belum pernah menuju dan bertemu Tuhan. Namun, kesempatan yang diberikan Mas Mawan tersebut saya gunakan semaksimal mungkin. Saya masih ingat, bahwa kajian tersebut terangkai pada bulan Ramadhan menjelang Maghrib dan menjelang makan sahur. Ada banyak kawan yang mengikuti kajian tersebut di antaranya; beberapa aktifis Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), ustadzah dari MAMNU Blitar, ustadz Madrasah Diniyah (MADIN), guru Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan aktifis-aktifis lainnya. Adapun yang paling menyenangkan, kajian tersebut juga dihadiri empat inteljen dari pihak kepolisian Resort Blitar.
Pengalaman mengisi kajian di The Post Institute tersebut, saya awali manakala memberikan materi bertema “Jalan Menuju Tuhan Kiai Haji Abdoel Madjid Ma’roef Kedunglo Kediri”. Dalam kajian tersebut, saya mengupas biografi Kiai Haji Abdoel Madjid yang merupakan penyusun shalawat Wahidiyyah. Saya menceritakan bahwa Kiai Haji Abdoel Madjid Ma’roef lahir pada tahun 1920 masehi. Beliau merupakan salah satu putra Kiai Haji Muhammad Ma’roef, seorang kiai pengasuh Pondok Pesantren Kedunglo, Kediri. Saya ceritakan pula bahwa kedua tokoh tersebut merupakan orang yang berpengaruh di kalangan warga Nahdlatul Ulama (NU). Begitu pula, Kiai Haji Abdoel Madjid Ma’roef pernah menjabat sebagai anggota Syuriah Nahdlatul Ulama (NU) Kodya Kediri.
Setelah saya menceritakan biografi Kiai Haji Abdoel Madjid Ma’roef sebagaimana di atas, lalu saya menceritakan bagaimana awal mula beliau menyusun shalawat Wahidiyyah. Saya ceritakan bahwa, bermula pada bulan Juli 1959, Kiai Haji Abdoel Madjid Ma’roef menerima isyarah gaib dalam keadaan terjaga dan sadar agar dirinya “mengangkat nasib masyarakat”. Dalam isyarah gaib tersebut, Kiai Abdoel Madjid Ma’roef diperintah agar memperbaiki dan membangun mental masyarakat khususnya dengan jalan bathiniyyah berupa kesadaran (makrifat) kepada Allah swt dan Rasul-Nya saw. Mula-mula dia mendapat isyarah gaib agar memperbanyak shalawat Badawiyah karya Syaikh Ahmad al-Badawi, shalawat Nariyah karya Syaikh Abdul Wahab al-Tazi, shalawat Munjiyat karya Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, dan shalawat Masyisiyah karya Syaikh Abdus Salam bin Masyisyi untuk memperbaiki dan membangun mental masyarakat. Selanjutnya muncul isyarah gaib kedua agar dia segera berusaha memperbaiki dan membangun mental masyarakat melalui rangkaian bacaan shalawat yang pada akhirnya dikenal dengan nama shalawat Wahidiyah.
Saya juga menerangkan dalam kajian tersebut bahwa Kiai Haji Abdoel Madjid Ma’roef memiliki “Enam Ajaran Wahidiyah” dalam menuju Tuhan, yaitu: Pertama, li Allah: artinya segala amal perbuatan apa saja, baik yang berhubungan langsung kepada Allah dan Rasul-Nya saw, maupun yang berhubungan dengan masyarakat luas, dengan sesama makhluk pada umumnya, baik yang wajib, sunnah atau boleh (wenang; Jawa), asal bukan perbuatan yang merugikan atau bukan perbuatan yang tidak diridhai Allah harus diniati untuk mengabdikan diri kepada Allah swt dengan ikhlas tanpa pamrih. Yakni li Allah (semata-mata karena Allah), bukan li ghair Allah (selain Allah). Dari sini, tentu saja saya berharap mudah-mudahan apa yang dilakukan para aktifis The Post Institute selalu didasari dengan niat li Allah, artinya hanya karena Allah semata dan bukan yang lainnya.
Kedua, bi Allah: artinya kapan dan dimanapun berada senantiasa menyadari bahwa segala sesuatu termasuk gerak gerik dirinya, baik lahir maupun bathin disebabkan atas pertolongan Allah swt semata. Seorang hamba tidak boleh mengaku atau merasa bahwa perbuatan yang dia lakukan adalah atas kekuatan dan kemampuan dirinya. Melalui ajaran ini, Kiai Haji Abdoel Madjid Ma’roef ingin mengajak pada semua manusia agar selalu menerapkan prinsip “Laa Haula wa Laa Quwwata illa bi Allah” yang artinya tiada daya dan kekuatan melaksanakan segala sesuatu melainkan atas pertolongan Allah swt. Dari prinsip itulah muncul ajaran “bi Allah” (segala sesuatu yang dikerjakan atas pertolongan Allah swt semata). Bagi saya, ajaran ini mengajarkan betapa manusia memang tidak memiliki kekuatan apapun di hadapan Tuhan Yang Maha Perkasa.
Ketiga, li al-Rasul: yakni sebuah ajaran yang mengajak manusia agar senantiasa menyadari bahwa segala amal perbuatan apa saja, asal bukan perbuatan keji dan mungkar, bukan perbuatan yang melanggar syariat, baik lahir maupun bathin, hendaknya diniati karena mengikuti Rasulullah saw semata. Dalam hal ini, saya jelaskan pula bahwa ajaran li al-Rasul (karena mengikuti Rasulullah saw) tersebut oleh Kiai Haji Abdoel Madjid Ma’roef didasarkan pada firman Allah swt: “Dan taatlah kepada Allah (li Allah) dan Rasulnya (li al-Rasul), jika kalian semua orang-orang yang beriman” (QS. Al-Anfal: 1) dan “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah (li Allah) dan taatlah kepada Rasul (li al-Rasul) dan janganlah kalian semua merusakkan amal-amal kalian” (QS. Muhammad: 33). Bagi saya, ajaran ini mengajarkan bagiamana orang Islam bisa secara utuh (kaffah) mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw.
Keempat, ajaran bi al-Rasul: yakni sebuah ajaran yang mengajarkan agar senantiasa menyadari dan merasa bahwa segala ibadah lahir maupun bathin yang dilakukan seorang hamba merupakan buah jasa dari Rasulullah saw. Seorang hamba hingga sekarang ini bisa melaksanakan syariat Islam sebab jasa-jasa perjuangan Rasulullah saw. Untuk itu, seorang hamba harus sadar “bi al-Rasul” dalam melaksanakan ibadah apapun, baik lahir maupun bathin. Dalam hal ini, saya juga menyebutkan bahwa firman Allah swt yang menunjukkan bahwa seorang hamba harus menyadari jasa-jasa Rasulullah saw tercermin dalam ayat “wa maa arsalnaaka illa rahmatan li al-alamiin”, artinya dan tiada Aku mengutus Engkau (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat atau kasih sayang bagi seluruh alam semesta (QS. Al-Anbiya’: 107). Dengan demikian, bagi saya, diutusnya Nabi Muhammad saw sebagai rahmat bagi seluruh alam hendaknya harus selalu disyukuri oleh seorang hamba.
Kelima, yukti kulla dzii haqqin haqqahu: yakni sebuah ajaran yang mengajarkan agar seseorang senantiasa berusaha memenuhi segala bidang kewajiban kepada yang berhak. Seseorang hendaknya mengutamakan pemenuhan kewajiban di segala bidang yang dia lakukan sehari-hari, baik kewajiban kepada Allah swt, Rasul-Nya, maupun segala kewajiban yang berhubungan dengan sesama. Kewajiban kepada Allah swt misalnya seorang hamba wajib melaksanakan segala perintah-Nya, disamping dia juga memiliki hak untuk mendapatkan pahala dari sisi-Nya. Kewajiban kepada sesama manusia, misalnya seorang suami mempunyai kewajiban menafkahi seorang istri di samping dia juga mempunyai hak memperoleh pelayanan seorang istri tersebut dengan baik. Bagi saya, ajaran ini bisa pula diterapkan bagi para aktifis NGO yang harus terus berusaha memberikan layanan sebaik mungkin kepada mereka yang berhak menerima pendampingan.
Keenam, taqdim al-aham fa al-aham tsumma al-anfa’ fa al-anfa’: yakni sebuah ajaran yang mengajarkan bahwa seseorang yang melaksanakan melaksanakan kewajiban-kewajiban atau tugas-tugasnya, hendaknya mendahulukan yang lebih penting (al-aham). Apabila keduanya sama-sama penting, maka harus memilih yang lebih bermanfaat (al-anfa’). Kemudian apabila keduanya sama-sama lebih bermanfaat, maka harus memilih yang lebih bermanfaat lagi, dan seterusnya. Dalam hal ini, Kiai Haji Abdoel Madjid Ma’roef menyatakan bahwa hal-hal yang berhubungan dengan Allah swt dan Rasul-Nya saw, terutama sesuatu yang wajib dipandang sebagai hal yang lebih penting (al-aham). Begitu pula, hal-hal yang bermanfaat bagi umat mengenai ajaran Islam, harus dipandang sebagai hal yang lebih bermanfaat (al-anfa’) dibanding yang lain. Bagi saya, seorang aktifis NGO sudah selayaknya mendahulukan hal-hal yang lebih penting (al-aham). dan lebih bermanfaat (al-anfa’) dalam kehidupan dunia dan akhiratnya.
Setelah kajian di atas usai, maka pada minggu kedua saya memberikan kajian lagi dengan tema “Kajian Kitab Syarh al-Hikam: Jalan Menuju Tuhan Syaikh Ahmad bin Athaillah al-Sakandari”, tepatnya saat malam menjelang sahur di bulan Ramadlan. Kitab yang saya sebut ini sering dikaji oleh Kiai Haji Imron Jamil di Radio Mayangkara Blitar dan areal Makam Syaikh Dimyati Baran, Selopuro, Blitar. Perlu diketahui pula bahwa kiai satu ini merupakan murid Kiai Haji Abdul Jalil Mustaqim, seorang mursyid tharikah Syadziliyah dan pengasuh Pondok PETA Tulungagung. Selanjutnya, sudah menjadi ciri khas bagi saya, bahwa manakala memberikan kajian, tentu terlebih dahulu memberikan pembahasan tentang biografi tokoh tersebut. Sebab bagi saya, biografi seorang tokoh sangat penting dipelajari manakala seseorang ingin menempuh perjalanan spiritual darinya.
Saya menguraikan dalam kajian tersebut bahwa nama lengkap Syaikh Ahmad bin Athaillah al-Sakandari adalah Tajuddin Abu al-Fadl Ahmad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Abdul Karim ibn Abdurrahman ibn Ahmad ibn Isa ibn al-Husain ibn Athaillah al- Judzami al-Maliki al-Sakandari. Dia merupakan keturunan Arab yang diperkirakan lahir pada tahun 658 Hijriyah di kota Iskandariah, Mesir. Dia disebut “al-Judzami” sebab dinisbatkan kepada nenek moyangnya yang berasal dari Judzam, sebuah kabilah Kahlan yang bermuara pada Ya’rib ibn Qahthan, Arab. Sementara disebut “al-Maliki” sebab dia merupakan penganut madzhab Imam Malik. Adapun sebutan “al-Syadzili” sebab dia merupakan penganut tharikat Syadziliyah. Dia berguru tharikah tersebut kepada Syaikh Abu al-Abbas al-Mursy, yakni murid sang pendiri tharikah Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili (w. 1258 M).
Selanjutnya, saya juga menguraikan perjalanan Syaikh Ahmad bin Athaillah al-Sakandari dalam menapaki berbagai ilmu pengetahuan hingga menjadi ahli tasawuf terkenal. Saat remaja, Ahmad bin Athaillah belajar fikih kepada seorang ulama terkenal bernama Syaikh Nashiruddin al-Mimbar al-Judzami. Pada mulanya Ahmad bin Athaillah sangat menentang ajaran tasawuf, sebab dia memang dilahirkan dari keluarga yang anti tasawuf. Sebelum Ahmad bin Athaillah berguru kepada Syaikh Abu al-Abbas al-Mursy, dia merupakan salah satu orang yang menentang ajaran al-Mursy. Namun setelah Ahmad bin Athaillah mendatangi majelis pengajian al-Mursy, dia lalu merasakan bagaimana indahnya ajaran tasawuf. Dari al-Mursy inilah, dia akhirnya berfokus pada ajaran tasawuf dan menjadi seorang sufi. Bagi saya, kisah ini mengajarkan indahnya perjalanan hidup manusia yang penuh makna. Ada sebagian orang yang dari awal sangat alergi, tetapi justru pada akhirnya malah menggauli bahkan bersenggama dengan ajaran tersebut sampai akhir hayatnya.
Saya juga menjelaskan bahwa Syaikh Ahmad bin Athaillah al-Sakandari menyusun tak kurang dari 22 kitab lebih, di antaranya: Kitab Al-Hikam al-Atha’iyyah, Kitab al-Tanwir fi Isqath al-Tadbir, Kitab Lata’if al-Minan fi Manaqib al-Syaikh Abi al-Abbas al-Mursy wa Syaikhihi al-Syadzili Abi al-Hasan, Kitab Taj al-‘Arus al-Hawi li Tahdzib al-Nufus, Kitab Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah fi Dzikri Allah al-Karim al-Fattah, dan Kitab Al-Qaul al-Mujarrad fi al-Ism al-Mufrad. Kitab yang saya sebutkan terakhir inilah konon memang dirancang untuk menghadapi serangan Syaikh Ibnu Taimiyyah yang menolak ajaran tasawuf. Bagi saya, apa yang dilakukan Syaikh Ahmad bin Athaillah al-Sakandari manakala menyusun kitab terakhir tersebut sudah tepat. Artinya, pemikiran (al-fikrah) harus dilawan dengan pemikiran (al-fikrah) pula, bukannya dilawan dengan fisik seperti yang dilakukan para penganut Islam radikal atau garis keras sebagaimana yang sering ditayangkan di televisi atau tertulis di majalah dan koran.
Setelah panjang lebar saya menceritakan biografi Syaikh Ahmad bin Athaillah al-Sakandari, lalu saya lanjutkan mengkaji “Kitab Syarh al-Hikam” karya monumentalnya. Dalam kajian tersebut saya sampaikan bahwa kitab tersebut memuat 127 kata mutiara. Secara garis besar saya jelaskan bahwa walau kitab tersebut tidak membicarakan secara sistematis ajaran tasawuf sebagaimana ulama tasawuf lain, tetapi di dalamnya membahas maqam spiritual dengan ciri khas bahasa hikmahnya, antara lain: (1) maqam taubat, yakni merupakan makam pertama yang harus dilalui penempuh spiritual dalam menuju Tuhan; (2) maqam zuhud, yakni tidak berlebihan dari segi apapun; (3) maqam sabar, yakni sabar menempuh jalan Tuhan dan semacamnya; (4) maqam syukur, yakni mensyukuri segala nikmat Tuhan; (5) maqam khauf, yakni merasa takut akan sirnanya hal atau maqam yang diberikan oleh Tuhan; (6) maqam raja’, yakni selalu mengharapkan adanya hal dan maqam dari Tuhan dengan segala usahanya; (7) maqam ridha, yakni rela menerima takdir Tuhan baik ataupun buruk.; (8) maqam tawakkal, yakni berserah diri pada Allah bahwa segala sesuatu bertumpu pada kehendak (iradah) Allah swt semata ; (9) maqam mahabbah, yakni mencintai Tuhan, sebuah makam tertinggi dalam pandangan kaum sufi (ahli tasawuf). Bagi saya, teramat sulit di era globalisasi seperti sekarang untuk mencapai maqam-maqam tersebut. Namun tentu saja doa dan usaha tetap harus saya lakukan semaksimal mungkin untuk mencapai hal tersebut.
Tentu saja, dalam kajian tersebut saya juga banyak mencuplik ungkapan-ungkapan Syaikh Ahmad bin Athaillah al-Sakandari tentang maqam-maqam tersebut. Dalam maqam taubat, saya mencuplik ungkapan “min ‘alamat maut al-qalb ‘adam al-huzn ‘ala ma fataka min al-muwafaqat wa tark al-nadam ‘ala ma fa’altahu min  wujud al-zallat”, artinya di antara tanda matinya hati adalah tidak adanya kesedihan atas kesempatan beribadah yang dilewatkan, dan tiadanya penyesalan atas kesalahan yang dilakukannya. Bagi saya, ungkapan tersebut mengajarkan akan pentingnya waktu yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia agar dia menggunakannya dengan sebaik-baiknya. Berdasarkan ungkapan tersebut, tentu saja mereka yang berprofesi sebagai penulis misalnya, akan menggunakan waktunya untuk menulis dengan baik. Begitu pula, mereka yang memilih sebagai aktifis NGO misalnya, tentu saja akan menggunakan waktu tersebut untuk memperjuangkan hak-hak kaum lemah (dlu’afa’) sebaik mungkin dengan penuh tanggungjawab.
Selain itu, saya mencuplik ungkapan Syiakh Ahmad bin Athaillah “ma basaqat aghshanuhu dzull illa ‘ala bidzri thama’in”, artinya tidak akan tumbuh dahan-dahan kehinaan kecuali dari benih ketamakan. Bagi saya, ungkapan ini mengajarkan kepada manusia agar tidak tamak kepada manusia lainnya. Sebab ketamakan akan membawa kehinaan yang tak terhingga. Para aktifis NGO yang benar-benar mapan hatinya, tentu saja tidak akan rela bila hatinya dipenuhi dengan sifat ketamakan. Tamak bisa menjangkiti siapa saja, termasuk para aktifis NGO yang konon selalu memperjuangkan masyarakat tertindas (dlu’afa’). Mungkin ada aktifis NGO bila lembaga lain mendapat kucuran dana dari funding, merasa iri hati dan dengki. Tentu saja, sifat yang demikian ini akan merusak niat semula untuk memperjuangkan rakyat tertindas (dlu’afa). Hal ini kalau dibiarkan tentu saja akan membawa NGO tersebut jatuh ke dalam kehinaan. Tak masuk akal bila manusia yang diliputi sifat ketamakan akan memperjuangkan hak-hak masyarakat tertindas (dlu’afa’), dan justru karena ketamakan tersebut dia akan hanya memperkaya diri pribadinya.
Ungkapan Syaikh Ahmad bin Athaillah al-Sakandari lain yang saya sampaikan adalah “liyukhaffif alam al-bala’ ‘alaika ilmuka bi annahu subhanahu wa ta’ala huwa al-mubli laka. Fa alladzi wajahatka minhu al-aqdar huwa alladzi ‘awwadaka husna al-ikhtiyar”, artinya pedihnya ujian dapat diringankan dengan pengetahuanmu bahwa Allah yang memberi ujian. Yang mendatangkan ujian (takdir) kepadamu adalah Dia (Allah) yang tentu menganugerahkan pilihan-pilihan terbaik buatmu. Bagi saya, ungkapan tersebut mengajarkan sebuah kesabaran manakala mendapat ujian dari Tuhan. Mereka yang menjadi aktifis NGO tentu saja banyak mendapat ujian berupa caci maki dari berbagai pihak yang tidak suka. Tentu saja, hal tersebut harus disikapi dengan kesabaran yang tanpa batas. Bisa jadi ujian tersebut merupakan anugerah terbaik dari Tuhan yang diberikan kepada para aktifis NGO yang benar-benar memperjuangkan masyarakat tertindas (dlu’afa’).
Selain itu, saya juga menyampaikan ungkapan Syaikh Ahmad bin Athaillah al-Sakandari berikut “al-faqad busuth al-mawahib”, artinya bermacam-macam ujian yang diberikan Tuhan pada hakekatnya merupakan sebuah hamparan pemberian. Masih sebagaiamana hal di atas, ungkapan ini mengajarkan kepada manusia untuk terus bersikap sabar. Sebab ujian-ujian dari Tuhan pada manusia pada hakekatnya merupakan pemberian. Bisa jadi melalui serangkain ujian-ujian tersebut seorang hamba akan mendapatkan hikmah-hikmah tersembunyi dibaliknya. Para aktifis NGO tentu tidak lepas dari berbagai macam ujian manakala mendampingi masyarakat tertindas (dlu’afa’). Ujian tersebut bisa berupa hinaan, cemoohan, bahkan cacian yang menyudutkan dirinya. Dalam hal ini, Syaikh Ahmad bin Athaillah al-Sakandari menawarkan bagaimana mengatasi ujian-ujian tersebut dengan terus berfokus pada kehendak (iradat) Allah swt semata. Dengan demikian, bisa dipahami bahwa Dia-lah yang memberikan ujian, dan Dia pulalah yang akan menghilangkan ujian tersebut sesuai kehendak-Nya.
Terkait kajian tersebut, saya juga menyampaikan ungkapan Gus Dur yang sering mengatakan bahwa nama Nahdlatul Ulama (NU) diilhami oleh kalimat Syaikh Ahmad bin Athaillah al-Sakandari yang berbunyi “laa tas’khab man la yunhiduka ila Allahi haluhu wa la yadulluka ilaihi maqaluhu”, artinya jangankan kau jadikan sahabat atau guru, orang yang perbuatannya tidak membangkitkan kamu kepada Allah, serta perkataannya tidak menunjukkan kepada-Nya. Kata “yunhidu” artinya membangkitkan dan yang bisa membangkitkan kepada Allah adalah seorang ulama. Dari sini, maka lahirlah nama Nahdlatul Ulama (NU). Istilah “Nahdlatul Ulama” yang berarti “kebangkitan para ulama” diharapkan benar-benar membangkitkan umat muslim agar senantiasa mendekatkan diri kepada Allah swt.  Bagi saya, tentu hal ini merupakan hal yang sangat substantif bagi mereka yang benar-benar menjadi ulama. Mereka yang menjadi ulama, sudah selayaknya harus benar-benar bisa membangkitkan umat manusia menuju jalan Tuhan. Bukan malah meraih keuntungan dengan menjual ayat-ayat Tuhan dan memperkaya diri dengan menjual umat manusia melalui partai politik yang seakan-akan merupakan perintah Tuhan.
Usai kajian di atas, kemudian saya diberi kepercayaan oleh Mawan Mahyuddin untuk memberi kajian dengan tema “Kajian Kitab Minhaj al-Abidin: Jalan Menuju Tuhan Syaikh Abu Hamid Muhammad al-Ghazali”, tepatnya pada minggu ketiga bulan Ramadlan. Saya pernah mempelajari kitab tersebut kepada Kiai Haji Muhammad Arsyad Bushoiri, pengasuh Pondok Pesantren Al-Falah Trenceng, Sumbergempol, Tulungagung. Selain itu, saya juga pernah belajar kitab tersebut kepada Kiai Haji Muhammad Hafidz Syafii, pengasuh Pondok Pesantren Mamba’ul Hidayah, Tlogo, Kanigoro, Blitar dan Kiai Haji Nasruddin, pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Huda, Sekardangan, Kanigoro, Blitar. Kepada ketiga kiai inilah saya berdoa, mudah-mudahan Tuhan senantiasa memberikan kasih sayang yang tak terhingga.
Sebagaimana kajian sebelumnya, saya terlebih dahulu juga menyampaikan biografi Syaikh Abu Hamid Muhammad al-Ghazali tersebut. Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Thusi al-Syafii al-Ghazali. Dia lahir pada tahun 450H/1058M di desa Thus, Khurasan, Iran. Tambahan istilah “al-Syafii” sebab dia menganut madzhab Imam Syafii. Adapun istilah “al-Ghazali” dengan menbaca ringan (tahfif) huruf “za”-nya merupakan nisbat pada sebuah desa Ghazalah, yang merupakan wilayah dari desaThus, Iran. Sedangkan istilah “al-Ghazzali” dengan membaca berat (tadh’if) huruf “za”-nya, yang kadang juga dinisbatkan padanya, merupakan nisbat terhadap pekerjaan ayahnya sebagai pemintal wol. Ada banyak gelar yang disematkan kepada al-Ghazali antara lain: (1) Hujjatul Islam, yakni bukti kebenaran agama Islam; (2) Zainuddin, yakni hiasan agama; (3) Bahrul Mughriq, yakni samudera yang menghanyutkan, dan lain-lain. Bagi saya, gelar-gelar yang disematkan kepada al-Ghazali tersebut bukan karena dia gila gelar. Akan tetapi, dia memang layak mendapat gelar-gelar tersebut.
Saya menyampaikan pula bahwa ayah al-Ghazali adalah seorang yang wara’ yang menafkahi keluarganya dengan hasil keringatnya sendiri. Di waktu senggang ayah al-Ghazali selalu menyempatkan diri mendatangi tokoh agama dan ahli fikih serta mendengarkan nasehat-nasehatnya. Sang ayah wafat ketika al-Ghazali dan adiknya masih usia kanak-kanak. Menjelang wafat, ayah al-Ghazali berwasiat kepada salah seorang temannya yang ahli sufi untuk mendidik dan membesarkan kedua anak tersebut. Ayah al-Ghazali menitipkan pada temannya yang ahli sufi tersebut dan menyerahkan harta yang dia tinggal untuk mengurus kedua putra tersebut. Sang sufi tersebut memegang amanah ayah al-Ghazali, sehingga sampai harta dari ayahnya tersebut habis, lalu sang sufi menyarankan al-Ghazali dan adiknya agar pergi sekolah dan mencari biaya sendiri. Bagi saya, kisah derita al-Ghazali tersebut mengajarkan bahwa sebuah kesuksesan harus diraih dengan kesungguhan hati dan kerja keras. Begitu pula, keberhasilan para aktifis NGO dalam mendampingi kaum tertindas (dlu’afa’) tentu tidak akan bisa lepas dari kesungguhan hati dan kerja keras.
Setelah itu, saya menyampaikan bahwa setelah al-Ghazali mendapat saran dari ahli sufi kawan ayahnya, dia dan adiknya kemudian menuntut ilmu pada sebuah madrasah di Thus serta memperoleh makanan dan pendidikan disana. Konon, di madrasah inilah awal mula perkembangan pemikiran dan spiritual al-Ghazali yang penuh arti hingga akhir hayatnya. Di madrasah tersebut, al-Ghazali mempelajari ilmu fikih kepada Ahmad bin Muhammad al-Razikani dan mempelajari tasawuf kepada Yusuf al-Nasaj hingga usia 20 tahun. Setelah itu dia lalu belajar ilmu fiqih dan bahasa Arab di Jurjan kepada Abu Nasr al-Ismaili, akan tetapi tidak diketahui berapa lama dia belajar disana. Namun karena ilmu yang dimiliki dari Thus dan Jurjan tidak mencukupi, dia lalu pindah ke Naisabur belajar ilmu madzhab fikih, ilmu kalam, ilmu usul, filsafat dan disiplin ilmu lain kepada Abu al-Ma’ali al-Juwaini, seorang tokoh teologi Asyariyah paling terkenal dan guru besar di madrasah Nidzamiyah. Bagi saya, kisah ini sangat menginspirasi siapapun dalam menuntut ilmu. Tentu saja bagi aktifis NGO, tentu saja sudah sepatutnya untuk terus mempelajari disiplin ilmu yang signifikan dengan aktifitasnya semaksimal mungkin.
Memang ada banyak kisah menarik manakala membahas biografi al-Ghazali. Sejak kecil al-Ghazali dikenal sebagai seorang anak pecinta ilmu pengetahuan dan sangat berhasrat mencari kebenaran hakiki, walau selalu dilanda duka cita. Suatu hari di hari libur madrasah, al-Ghazali pulang ke kampung halamannya. Di tengah perjalanan al-Ghazali dihadang oleh segerombolan perampok yang mengambil semua kitab yang dimilikinya. Al-Ghazali sendiri pernah mengatakan bahwa kebiasaan untuk mencari hakekat kebenaran sesuatu merupakan kebiasaan dan favoritnya sejak kanak-kanak dan masa muda. Menurutnya, hal tersebut merupakan insting dan bakat yang dilimpahkan Allah swt  pada dirinya dan bukan merupakan usaha rekayasa. Bagi saya, kisah tersebut mengajarkan bahwa ternyata suatu hasrat, insting, dan bakat memang tidak bisa dipaksakan. Dalam konteks NGO, seorang yang mendedikasikan diri sebagai aktifis yang terus mau mendampingi kaum lemah (dlu’afa’), tentu saja merupakan pilihan luhur yang tidak bisa lepas dari insting dan bakat yang dilimpahkan Tuhan.
Kisah menarik lain yang sampaikan dalam kajian tersebut adalah sebelum Abu al-Ma’ali al-Juwaini wafat, dia sempat memperkenalkan al-Ghazali kepada perdana menteri Nizam al-Mulk, yang merupakan pendiri madrasah Nidzamiyah. Maka setelah Abu al-Ma’ali al-Juwaini wafat, al-Ghazali lalu berangkat ke al-Asykar mengunjungi perdana menteri Nizam al-Mulk dari pemerintahan Bani Saljuk tersebut. Dia disambut dengan penuh kehormatan sebagai ulama besar dan dipertemukan dengan para ulama besar lainnya. Tahun 1091 M al-Ghazali diutus perdana menteri Nizam al-Mulk untuk menjadi guru besar di madrasah Nidzamiyah yang didirikan di Baghdad. Dia menjadi salah satu orang yang terkenal di Baghdad dan selama empat tahun memberi kuliah kepada lebih dari 300 mahasiswa di sana. Pada saat yang sama al-Ghazali menekuni kajian filsafat secara otodidak lewat bacaan buku pribadi serta menulis sejumlah buku. Bagi saya, kisah tersebut mengajarkan bahwa menekuni ilmu secara otodidak ternyata bisa menghasilkan hasil yang cemerlang. Tentu saja, bila hal tersebut ditarik dalam dunia NGO, sudah selayaknya aktifis NGO terus mempertajam pengetahuannya baik secara formal maupun lainnya. Aktifis NGO yang sangat sibuk mendampingi masyarakat tertindas (dlu’afa’), tentu bisa mensiasati belajar secara otodidak, melalui diskusi-diskusi, dan semacamnya.
Bagi saya, mengkaji biografi al-Ghazali, sama persis mendalami perjalanan spiritual beliau secara utuh (kaffah). Dalam kajian tersebut, saya terus saja menyampaikan kisah al-Ghazali, sebab banyak peserta yang juga tertarik akan kisak tersebut. Atas prestasi yang diraih, maka al-Ghazali yang saat itu dalam usia 43 tahun diangkat sebagai pimpinan madrasah Nidzamiyah. Ibnu Rusn menyatakan bahwa al-Ghazali menjadi pemimpin madrasah Nidzamiyah sekitar empat tahun. Setelah itu al-Ghazali mengalami krisis rohani, krisis keraguan (skeptis) yang meliputi akidah dan segala jenis makrifat. Dia lalu meninggalkan Baghdad menuju Syam (Syiria) secara diam-diam. Untuk mengelabuhi kawan-kawannya di madrasah Nidzamiyah, al-Ghazali mengatakan kepada mereka pergi ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Mulai dari sinilah al-Ghazali mulai meninggalkan pekerjaan sebagai pengajar dan dia memulai hidup baru menjauh dari lingkungan manusia serta menempuh kehidupan yang penuh zuhud. Bagi saya, kisah tersebut mengajarkan perjalanan rumpil seorang al-Ghazali yang ingin terus mencari kebenaran. Bagi saya, dalam konteks NGO, tentu saja ada saat-saat tertentu bagi para aktifis untuk mengadakan refleksi ke dalam. Namun tentu saja tidak harus melakukan sebagaimana yang al-Ghazali lakukan.

Walhasil, dalam kajian terbatas yang diadakan di The Post Institute Blitar tersebut saya segera meringkas cerita al-Ghazali. Setelah sekian lama al-Ghazali untuk mengabdikan diri untuk ilmu pengetahuan dan mendapatkan kebenaran hakiki pada akhir hayatnya, dia lalu meninggal dunia di Thus pada hari Senin, 14 Jumadil Akhir 505H/1111M menjelang matahari terbit dan dimakamkan di Zhahir Tabiran, ibu kota Thus, Iran. Konon, al-Ghazali wafat dihadapan adiknya yang bernama Ahmad Mujiduddin dan meninggalkan tiga anak perempuan, sedangkan anak laki-lakinya yang bernama Hamid telah meninggal dunia sebelum al-Ghazali wafat. Oleh karena al-Ghazali mempunyai anak laki-laki bernama Hamid inilah, maka al-Ghazali diberi julukan “Abu Hamid, yang berarti ayah si Hamid. Saya juga menyampaikan bahwa Kitab Minhaj al-Abidin yang dikaji pada kesempatan tersebut merupakan karya terakhir al-Ghazali tentang tasawuf. Demikian sekilas pengalaman saya di The Post Institute Blitar, mudah-mudahan berguna dalam kehidupan kini dan mendatang. Berikut saya akhiri dengan sabda Nabi Muhammad saw:

“Barangsiapa disibukkan zikir kepada-Ku, hingga lupa meminta kepada-Ku,
maka akan Ku berikan kepadanya sesuatu yang lebih baik daripada yang Ku berikan
kepada mereka yang meminta” (HR. Tirmidzi).
Penulis
Arif Muzayin Shofwan
Jl. Masjid Baitul Makmur Sekardangan RT. 03 RW. 09
Papungan Kanigoro Blitar Jawa Timur. HP. 085649706399

1 komentar:

  1. saya atas nama BPK. SAMSUL dari MADURA ingin mengucapkan banyak terimah kasih kepada MBAH KARYO,kalau bukan karna bantuannya munkin sekaran saya sudah terlantar dan tidak pernaah terpikirkan oleh saya kalau saya sdh bisa sesukses ini dan saya tdk menyanka klau MBAH KARYO bisa sehebat ini menembuskan semua no,,jika anda ingin seperti saya silahkan hubungi MBAH KARYO no ini 082301536999 saya yakin anda tdk akan pernah menyesal klau sudah berhubungan dgn MBAH KARYO dan jgn percaya klau ada yg menggunakan pesan ini klau bukan nama BPK. SAMSUL dan bukan nama MBAH KARYO krna itu cuma palsu.m

    BalasHapus