Oleh:
Arif Muzayin Shofwan
Istilah
“Makam Sentono” diartikan sebagai
makam keluarga istana/kraton. Di daerah Blitar, terdapat beberapa makam yang
disebut sebagai “Makam Sentono” atau
makam keluarga istana/kraton. Biasanya, di mana ada makam yang disebut “Makam
Sentana”, maka di tempat tersebut dulunya ada sebuah pemerintahan setingkat
kabupaten (yang dipimpin oleh bupati) atau kadipaten (yang dipimpin oleh
adipati). Misalnya, makam Sentono Boto Putih Surabaya, Makam Sentono Bathoro
Kathong Ponorogo, Makam Sentono Gedong Kediri, Makam Sentono Pangeran Sumendi Jetis-Ponorogo,
dan lain sebagainya. Adapun makam yang disebut sebagai “Makam Sentono” di
kabupaten Blitar, di antaranya:
Pertama,
Makam Sentono Lodoyo Blitar:
merupakan tempat pemakaman para keluarga istana/kraton pada masa pemerintahan
kadipaten Lodoyo, Blitar. Ada beberapa keluarga kraton/istana yang dimakamkan
ditempat tersebut, di antaranya: (1) Habib Al-Kamal/ Ki Ageng Imam Sampurno
yang merupakan penasehat kerajaan Surakarta; (2) Prabu Joko/ Pangeran Prabu
yang merupakan putra Kraton Surokarto sekaligus pembawa Gong Kyai Pradah; (3) Ki
Ageng Ronggo Lodoyo/ Kiai Muhammad Badri seorang wedono Lodoyo; (4) Raden
Sutojoyo/ Ki Ageng Sutojoyo yang merupakan cikal bakal desa Sutojayan, Lodoyo;
(5) Dzurriyah/putra wayah Sultan Abdul Hamid/Pangeran Diponegoro; (6) Keturunan
Sunan Tembayat Klaten-Jawa Tengah, di antaranya; Kyai Ragil Siddiq, Mbah Boinem
dan lain sebagainya.
Kedua,
Makam Sentono Banggle, Kanigoro,
Blitar. Makam Sentono Banggle ini diyakini sebagai peninggalan pada saat
Kanigoro masih menjadi sebuah kadipaten yang dipimpin oleh Ki Kebo Kanigoro
(Kyai Purwoto Siddiq Banyubiru/ Kyai Siddiq Urip). Adapun petilasan rumah
(kadipaten Kanigoro masa lampau) yang dulu ditempati Ki Kebo Kanigoro, Nyai
Kardinah (Nyi Gadhung Melati) istrinya, Rara Tenggok (Rara Sekar Rinonce/ Rara
Sari Onche) hingga kini sering disebut “Petilasan
Jati Kurung” Kanigoro. Disebut demikian, sebab dahulu ada Pohon Jati yang
dulu dikurung pagar berada di sebelah Timur POM Bensin Kanigoro, jarak 150
meteran, bagian Utara jalan. Ki Kebo Kanigoro (Kyai Buyut Banyubiru atau Kiai
Siddiq Urip) inilah yang menjadi peletak dasar berdirinya Kadipaten Kanigoro di
era Kerajaan Islam Pajang-Mataram.
Dahulu,
Pohon Jati itu ditanam ditempat tersebut berfungsi sebagai monumen peringatan
bahwa di tempat tersebut pernah menjadi petilasan rumah Ki Kebo Kanigoro dan
keluarganya. Tentu saja, pohon Jati itu ditanam oleh orang-orang generasi
setelahnya yang berfungsi sebagai “tetenger” untuk mengenang tokoh yang
cikal bakal pendiri Kadipaten Kanigoro yang kekuasaannya berhubungan erat
dengan Kerajaan Islam Pajang. Karena Kerajaan Islam Pajang tak bertahan lama
(yakni hanya satu raja yang berkuasa, adalah Joko Tingkir), maka kelanjutan
sejarah kisahnya tidak bisa eksis seperti kadipaten-kadipaten lainnya era Zaman
Kerajaan Mataram yang memang kekuasaannya bertahan cukup lama.
Selanjutnya,
ada beberapa makam kuno/lama yang berada di “Makam Sentono” Banggle, Kanigoro, Blitar. Dari beberapa wawancara
yang saya lakukan, di makam tersebut disemayamkan Raden Aryo Sentono, yakni
seorang tokoh yang diyakini keturunan dari keluarga Kadipaten Kanigoro masa
lampau. Ada lagi sebuah makam yang disebut “Makam Mbah Buddho”, yakni sebuah makam
yang konon banyak digunakan sebagai ritual menarik jimat-jimat kuno, seperti: batu
akik, cacing kanil, wesi kuning, semar mesem, dan semacamnya. Selanjutnya, ada
pula beberapa makam kiai beserta keluarganya dan warga sekitar yang dimakamkan
di areal makam Sentono tersebut. Bisa disebutkan salah satu kiai ahli zikir pecinta
tasawuf Imam Al-Ghozali yang dimakamkan di areal Makam Sentono Banggle, yaitu:
Kyai Muhyiddin As-Shoffari dan beberapa kerabat serta kyai-kyai lainnya.
Kembali
lagi ke kisah Ki Kebo Kanigoro, sang peletak dasar berdirinya Kadipaten
Kanigoro, Blitar. Ki Kebo Kanigoro (Kyai Siddiq Banyubiru) merupakan saudara Ki
Kebo Kenongo/ Ki Ageng Pengging II (ayah Joko Tingkir, sang pendiri Kerajaan
Islam Pajang). Beliau merupakan cucu Raja Brawijaya V dari putrinya yang
bernama Ratu Pambayun (istri Adipati Handayaningrat). Dalam beberapa literatur,
saudara Ki Kebo Kanigoro (Kyai Buyut Banyubiru) di antaranya: (1) Ki Kebo
Kenongo;(2) Ki Kebo Amiluhur; (3) Ki Kebo Sulastri; (4) Raden Ayu Retno Pandang
Kuning; dan (5) Raden Ayu Retno Pandang Sari. Apabila silsilah nasab Ki Kebo
Kanigoro (Kyai Buyut Banyubiru) dari pihak ibu masih bersambung dengan Raja
Majapahit, maka dari pihak ayah masih bersambung dengan Nabi Muhammad SAW.
Berikut silsilah Ki Kebo Kanigoro dari pihak ayah:
Nabi Muhammad SAW → Sayyidah Fathimah Az-Zahra → Al-Imam Sayyidina Hussain → Al-Imam Ali
Zainal Abidin → Al-Imam Muhammad Al-Baqir → Al-Imam Ja’far As-Sodiq → Al-Imam Ali Uradhi .→ Al-Imam
Muhammad An-Naqib .→ Al-Imam Isa
Naqib Ar-Rumi → Al-Imam Ahmad al-Muhajir → Al-Imam Ubaidillah → Al-Imam
Alawi Awwal → Al-Imam Muhammad Sohibus Saumi’ah → Al-Imam Alawi Ats-Tsani → Al-Imam Sayyid Ali Kholi’ Qosim → Al-Imam Muhammad Sohib Mirbath → Al-Imam Alawi Ammil Faqih → Al-Imam Abdul Malik Azmatkhan → Sayyid Abdullah Azmatkhan → As-Sayyid Ahmad Shah Jalal → As-Sayyid Asy-Syaikh Jumadil Kubro al-Husaini → Syarif Muhammad Kebungsuan (Adipati Handayaningrat/
Ki Ageng Pengging Sepuh) → Ki Kebo
Kanigoro (Kiai Siddiq Urip/ Kiai Buyut Banyubiru).
Berdasarkan
kedua silsilah nasab tersebut, dapat dipahami bahwa Ki Kebo Kanigoro (Kyai
Buyut Banyubiru/ Kyai Siddiq) memiliki darah Jawa-Arab atau Arab-Jawa. Darah
Jawa, Ki Kebo Kanigoro mewarisi darah Prabu Brawijaya V (Raja Majapahit
terakhir) melalui putrinya Ratu Ayu Pambayun. Sementara dari darah Arab, Ki
Kebo Kanigoro mewarisi darah Sayyid Jumadil Kubro/ Syarif Muhammad Kabungsuan/
Adipati Handayaningrat.
Konon,
Ki Kebo Kanigoro (Kyai Buyut Banyubiru/ Kyai Siddiq) inilah yang dahulu
mengarahkan Joko Tingkir untuk mendirikan sebuah kerajaan Islam Pajang. Selain
itu, Ki Kebo Kanigoro (Kyai Buyut Banyubiru) juga dianggap sebagai guru
spiritual Joko Tingkir (Sayyid Abdurrahman).
Oleh
karena runtuhnya Kerajaan Islam Pajang (akibat rentetan politik Kerajaan Demak,
Pajang, hingga Mataram) menyebabkan Ki Kebo Kanigoro kembali ke dusun Sarehan,
desa Jatingarang, kecamatan Weru, kabupaten Sukoharjo hingga wafat. Ada banyak
petilasan Ki Kebo Kanigoro dalam pengembaraan tersebut. Konon dusun Sekardangan
yang letaknya sekitar tiga kilometer dari Kadipaten Kanigoro merupakan tempat
terakhir Ki Kebo Kanigoro (Kyai Buyut Banyubiru/ Kyai Siddiq) ketika melakukan
perjalanan kembali ke Sukoharjo-Jawa Tengah (para sesepuh Sekardangan sering
menyebutnya “kembali ke Solo”).
Bahkan
ketika Ki Kebo Kanigoro (Kyai Buyut Banyubiru) kembali ke Sukoharjo, istri dan
anaknya yakni: Nyai Kardinah (Nyi Gadhung Melati) dan Rara Tenggok (Rara Sekar
Rinonce [sesepuh Sekardangan menyebutnya Rara Sari Onche]) masih tetap berada
di dusun Sekardangan. Hingga dua tokoh ini akhirnya, melahirkan sejarah dusun
yang disebut “Dusun Sekardangan”, yakni sebuah dusun yang sangat asri, sejuk,
dan hening; dilingkupi/ dibatasi/ dilingkari oleh sungai-sungai yang jernih
sehingga nyaman untuk semedi (meditasi; tafakkur; bermunajat kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa); dan lain sebagainya.
Setelah
menandai berdirinya dusun Sekardangan, akhirnya pada tahun 1621 kedua tokoh
perempuan tersebut (yakni; Nyai Kardinah/ Nyi Gadhung Melati dan Rara Sekar
Rinonce/ Rara Tenggok) kembali menyusul Ki Kebo Kanigoro (Kyai Buyut Banyubiru)
yang sudah lebih dulu kembali ke Sukoharjo-Jawa Tengah. Setelah kedua tokoh
tersebut wafat, jasadnya dimakamkan di dusun Sarehan, desa Jatingarang,
kecamatan Weru, Kabupaten Sukoharjo-Jawa Tengah. Yakni, tempat di mana jasad
Kyai Buyut Banyubiru (Ki Kebo Kanigoro) dimakamkan.
Kata
Kiai Zainuddin Dasuqi: “... mbahe wedok ndisik
mulih ning Jawa Tengah karo anake wedok bar lungo soko Malang kono critane...Mbuh critane wong-wong ndisik ngono kuwi....”
Kata Mbah Bayan Mayar: “...lek bapakku
ndisik (Mbah Markalam; pen) lan wong tuwek-tuwek ndisik, kuwi critane mbahe
wedok ndisik mbalik maneh karo anake wedok ning Solo... Yen critane wong-wong
tuwek ndisik, anake mbah wedok sing jenenge Sari Once (Rara Sekar Rinonce/ Rara
Tenggok; pen) kuwi kereng lan disiplin....”. Kata Mbah Gunawan: “.... Kanigoro kuwi jenenge uwong.... ndisik
critane Mbah Kanigoro (Ki Kebo kanigoro; pen) kuwi yo tau manggon ning
petilasan Sekardangan kidul kono kae...
Makane sing tau ning kono iku ora mung wong siji-loro thok...” Kata Mbah
Gatot menguatkan: “.... Enenge Kecamatan
Kanigoro kuwi yo didekne karo Adipati Ki Kebo Kanigoro Gus... Jaman kerajaan
Pajang-Mataram... Joko Tingkir kae lho... Makame keluargane ndisik yo ning
Makam Sentono Banggle kono kae Gus... Makam Sentono Banggle kae peninggalan
jaman kerajaan Islam Demak-Pajang-Mataram... Ngono lho....” Begitulah
sekelumit wawancara dari beberapa sesepuh.
Berdasarkan
uraian di atas, maka tak heran bila banyak dusun di sekitar wilayah kecamatan
Kanigoro-Blitar dan sekitarnya diresmikan oleh tiga tokoh tersebut, yakni Ki
Kebo Kanigoro, Nyai Gadhung Melati (Nyai Kardinah), dan Rara Sekar Rinonce
(Rara Sari Onche/ Rara Tenggok). Desa Gogodeso yang ada di kecamatan Kanigoro
misalnya sering dinisbatkan bahwa yang cikal-bakal dusun tersebut adalah Mbok
Rara Sari Onche (Rara Sekar Rinonce/ Rara Tenggok). Desa Kuningan, selain
cikal-bakalnya dinisbatkan pada Ki Ageng Kuning dan Mbok Rondo Kuning, juga
dinisbatkan kepada Nyai Gadhung Melati (Nyai Kardinah) sebagai orang yang
meresmikan desa tersebut. Desa Centong misalnya, selain Mbok Sri Penganti (yang
makamnya berada di dalam areal makam umum desa Centong), maka Nyai Gadhung
Melati oleh para sesepuh juga sering disebut-sebut tokoh yang meresmikan
keberadaan desa tersebut.
Selain
itu, ada banyak lagi tempat persinggahan Nyai Gadhung Melati dan Rara Sekar
Rinonce (Rara Tenggok) dalam berbagai perjalanannya hingga oleh masyarakat
tempat singgah tersebut diabadikan sebagai “Monumen Petilasan” yang kadang pula lazim dijadikan sebagai “Sadranan” warga desa. Di daerah
Maliran-Ponggok-Blitar juga ada petilasan singgah Nyai Gadhung Melati dan Rara
Sekar Rinonce yang dibangun mirip makam. Di utara pasar Kademangan, juga
terdapat petilasan Nyai Gadhung Melati dan Rara Tenggok (Rara Sekar Rinonce)
yang berada dekat musholla. Di daerah Dayu-Ponggok-Blitar, juga terdapat
perilasan Nyai Gadhung Melati dan Rara Sekar Rinonce yang sudah menjadi
perumahan warga desa. Di desa Delonje-Talun, juga terdapat petilasan Nyai
Gadhung Melati yang berada di tengah persawahan penduduk. Di daerah
Genjong-Wlingi juga terdapat petilasan Nyai Gadhung Melati dan Rara Tenggok
(Rara Sekar Rinonce).
Di
daerah Selokajang-Srengat-Blitar, juga ada petilasan Nyai Gadhung Melati dan
Rara Sekar Rinonce (Rara Tenggok) tepat di utara Sumber Kucur-Selokajang. Di
Selokajang-Srengat-Blitar ini, yang sering disebut cikal bakal desa ada empat
orang, yaitu: (1) Nyai Gadhung Melati; (2) Mbah Sampir; (3) Mbah Kyai Abu
Hanifah; (4) Mbah Kyai Hasan Ali yang konon kadang disebut Ki Ageng Selo.
Begitu pula, di Batu-Malang juga ada petilasan Nyai Gadhung Melati dan Eyang
Singo. Jadi, memang perlu kajian lagi yang lebih mendalam siapakah tokoh Nyai
Gadhung Melati dan Rara Sekar Rinonce (Rara Tenggok/ Rara Sari Onche) yang
sering disebut-sebut sebagai cikal-bakal desa dan dusun yang banyak tersebar di
wilayah kecamatan Kanigoro hingga kabupaten Blitar.
Kembali
ke kisah Makam Sentono Banggle. Konon pula, pada masa-masa Kerajaan Mataram
(yakni setelah masa Kerajaan Islam Pajang berakhir pada tahun 1586 masehi),
terlebih pada masa abad ke-17, sisa-sisa keturunan tokoh yang berada di “Makam Sentono Banggle” banyak yang
berhubungan dekat dengan tokoh-tokoh yang dimakamkan dalam areal “Makam Kubur Dowo” Tlogo, Kanigoro,
Blitar, yang kebanyakan berasal dari Mataram-Jawa Tengah. Konon, kubur dowo di
Tlogo yang panjangnya kurang lebih lima meter tersebut bukan berisi jasad
manusia. Akan tetapi berisi jimat-jimat pada masa Kerajaan Mataram yang dibawa
tokoh-tokoh abad ke-17-an. Di antara yang ditanam/dikubur di dalam kubur dowo
tersebut adalah: tombak, keris, cacing kanil, wesi kuning, dan berbagai macam
azimat. Beberapa tokoh Islam yang dikubur dalam areal “Makam Kubur Dowo Tlogo”,
di antaranya: Mbah Kyai Reso Wijoyo, Mbah Kyai Ponco Wijoyo, Mbah Kyai Haji Abu
Bakar (ulama pertama desa Tlogo), Mbah Kyai Baghowi, Mbah Kyai Sibaweh (murid
Kyai Muhammad Sholeh Kuningan), Mbah Kyai Mujab Masyhud (ahli azimat), Mbah
Kyai Mahfud dan lain sebagainya.
Semoga sekelumit kisah tutur tinular wawancara dari para
sesepuh ini bermanfaat bagi kita semua. Semoga tulisan ini bisa menyambung tali
silaturrahim bagi kita semua. Amin. Akhirnya, saya patut berterima kasih kepada
para sesepuh diantaranya; Mbah Kiai Zainuddin Dasuki, Mbah Bayan Mayar, Mbah
Gatot, Mbah Malik, Mbah Sangidu, Mbah Jawoko, Mbah Jazuli, Mbah Gunawan, Mbah
Agung, Mbah Tsabit, Mbah Yahdi dan beberapa tokoh lain yang bisa saya ajak bicara;
yang bisa saya dapatkan informasinya mengenai petilasan-petilasan dan
sejarah-sejarah seputar dusun Sekardangan hingga kecamatan Kanigoro dan
kabupaten Blitar. Mohon maaf bila tulisan penelitian ini ada yang kurang tepat.
Terima kasih. Penulis: Arif Muzayin Shofwan. Alamat: Jl. Masjid Baitul Makmur
Sekardangan RT. 03 RW. 09, Papungan, Kanigoro, Blitar. Kode Pos 66171. HP.
085649706399.
|
Petilasan Jatikurung yang merupakan tanda petilasan Ki Kebo Kanigoro, Nyai Gadhung Melati (Nyai Kardinah), Rara Tenggok (Rara Sekar Rinonce/ Rara Sari Onche) di Kanigoro-Blitar. |
|
|
|
Salah satu Situs "Makam Sentono Banggle" yang sering dianggap peninggalan Ki Kebo Kanigoro, Nyai Gadhung Melati, dan Rara Sekar Rinonce, berjarak 1,5 KM ke Utara dari Petilasan Jatikurung Kanigoro-Blitar. |