(Telaah tentang Institusi Pendidikan Islam di Sekardangan Abad 17 M
- 19 M)
Oleh: Arif Muzayin Shofwan [1]
Pendahuluan
Kelembagaan atau institusi pendidikan
Islam sebelum madrasah amat banyak sekali. Sejak jaman Rasulullah saw
kelembagaan pendidikan Islam sudah ada, baik yang bersifat fisik maupun
yang bersifat non fisik. Hasan Langgulung[2]
mejelaskan bahwa, pada zaman permulaan Islam, pelajaran agama disampaikan di rumah-rumah.
Rasulullah menjadikan rumah sahabat Arqam bin Abi al-Arqam sebagai tempat belajar dan tempat pertemuan baginda
dengan para sahabat dan para pengikutnya. Dirumah tersebut baginda menyampaikan
dasar-dasar agama dan pengajian Al-Qur’an. Selain rumah al-Arqam (Darul Arqam),
baginda menyampaikan pelajaran agama dirumahnya sendiri di Mekkah., sebagai
tempat kaum muslimin berkumpul mempelajari aqidah dan syariah Islam.
Dengan demikian, maka rumah termasuk lembaga atau kelembagaan Islam pertama
jauh sebelum ada lembaga yang disebut dengan madrasah.
Penghijrahan Rasulullah saw ke Madinah
pada tahun 623 Masehi, membawa perubahan dan pengertian yang besar terhadap
penyebaran dan kestabilan agama Islam. Bagi tujuan tersebut, masjid pula
didirikan di Madinah seperti Masjid Quba dan Masjid Nabawi.
Fungsi masjid menurut istilah Islam adalah sebagai markas, bagi segala
aktifitas agama dan masyarakat khususnya dalam hal-hal yang berhubungan dengan
ibadat dan pendidikan. Rasulullah saw menjadikan masjid Nabawi sebagai tempat
belajar mengenai urusan dunia dan agama di samping beribadat. Situasi di masjid
menjadikannya lebih bebas dan sesuai sebagai tempat belajar dari pada di rumah,
karena di masjid seseorang tidak perlu meminta kebenaran untuk memasukinya jika
dibandingkan dengan dirumah.[3]
Dengan demikian, masjid, langgar (mushalla), rumah dan semacamnya juga termasuk
lembaga atau institusi pendidikan Islam sebelum lembaga madrasah didirikan.
Di dusun Sekardangan, proses kelembagaan
pendidikan Islam sebelum madrasah tersebut mengalami pembaharuan dari waktu ke
waktu, mulai dari yang bersifat fisik maupun non fisik.
Setidaknya, dari pengamatan penulis, permasalahan institusi pendidikan Islam di
Sekardangan berangkat dari beberapa institusi non formal, mulai dari institusi
yang disebut langgar (sebutan mushalla jaman dulu), rumah kyai,
pesantren, masjid, madrasah diniyah hingga menjadi institusi formal berupa Madrasah
Ibtidaiyah Miftahul Huda 01 dan Taman Kanak- Kanak Al- Hidayah. Dalam
pembahasan ini, penulis akan menyajikan beberapa sejarah institusi pendidikan
Islam di Sekardangan dari masa ke masa, hingga proses berdirinya Madrasah
Ibtidaiyah Miftahul Huda 01 dan Taman Kanak-Kanak Al-Hidayah yang merupakan “Institusi
Pendidikan Islam Formal Pertama (Tertua)” dalam sejarah Sekardangan.
Institusi Pendidikan Islam di Sekardangan
Kelembagaan Islam atau institusi pendidikan
Islam itu sendiri sebagaimana pendapat Ramayulis [4]
yang menyatakan bahwa lembaga berarti institute (dalam pengertian
fisik), yaitu sarana atau organisasi untuk mencapai tujuan tertentu dan
pengertian lembaga dalam arti non fisik atau abstrak adalah institution,
yakni suatu system norma untuk memenuhi kebutuhan. Lembaga dalam arti fisik
disebut bangunan, dan lembaga arti non-fisik disebut pranata.
Dilihat dari pendapat Ramayulis diatas, sudah barang tentu lembaga pendidikan
Islam tidak bisa dipandang dari segi fisik saja, namun harus juga dipandang
dari segi non fisik
Sejarah kelembagaan atau institusi pendidikan Islam formal
pertama di Sekardangan merupakan sejarah panjang yang dimulai dari beberapa
institusi pendidikan Islam non formal yang ada. Institusi pendidikan
Islam non formal itu diantaranya; [1]. Adanya langgar (sebutan mushalla zaman
dulu) sebagai tempat menimba ilmu pengetahuan bagi para pelajar atau santri.
[2]. Adanya rumah kyai sebagai tempat menimba ilmu yang ingin spesifik
mempelajari ilmu pengetahuan agama Islam tertentu ataupun yang lainnya [3].
Adanya pesantren yang merupakan usaha pembaharuan dalam bidang pendidikan Islam
yang lebih maju dari yang sebelumnya. [4]. Adanya madrasah diniyah yang
merupakan bagian dari pesantren kala itu. Setelah itu, baru kemudian muncul
institusi pendidikan Islam formal yang tidak hanya mengajarkan ilmu
keagamaan saja. Akan tetapi juga mengajarkan pelajaran umum seperti; matematika,
ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan social dalam kurikulum yang
dicanangkannya.
Sekardangan adalah sebuah dusun yang berada di desa Papungan,
kecamatan Kanigoro, kabupaten Blitar dan didirikan oleh seorang wanita pada
jaman akhir Majapahit dimasa pemerintahan Raja Brawijaya V yang bermana Nyai
Sekar Gadhung Melati [5]
bersama cantrik-cantriknya. Ada yang mengatakan ia bermana Nyai Dewi
Sekardani, ada pula pendapat yang menyatakan ia bernama Nyai Dewi
Sekartaji. Selanjutnya, beberapa pendapat dari para sesepuh menyatakan
bahwa sejarah pendidikan Islam di Sekardangan berawal dari institusi yang
disebut “Langgar”[6]
(sebutan mushalla untuk jaman dulu) yang didirikan oleh tokoh-tokoh dari
Kerajaan Mataram Islam akhir yang menjadi cikal-bakal warga Sekardangan.[7]
Langgar disamping sebagai tempat ibadah kaum muslim juga berfungsi sebagai
tempat menimba ilmu pengetahuan bagi para pelajar atau santri. Disamping
langgar, ada pula “Rumah Kyai” yang dijadikan sebagai tempat
menimba ilmu pengetahuan agama Islam zaman itu. Rumah kyai ini mirip semacam “Darul
Arqam” (rumah sahabat Arqam bin Abi al-Arqam) yang dipakai Nabi
Muhammad saw sebagai institusi pendidikan Islam pertama dalam sejarah Islam.
Dari berbagai data yang ada, baik data wawancara dari para sesepuh
ataupun data tertulis, menyatakan bahwa institusi pendidikan Islam formal di
Sekardangan mengalami sejarah panjang yang
dimulai dari langgar (sebutan mushalla saat itu), rumah kyai, pesantren,
masjid, madrasah diniyah, hingga terbentuknya institusi pendidikan Islam formal
pertama (tertua) yang hingga kini eksistensinya masih bisa dibanggakan. Berikut
sejarah panjang institusi pendidikan Islam non formal mulai dari langgar
hingga berdirinya institusi pendidikan Islam formal pertama yang disebut
MI Miftahul Huda 01 dan TK Al- Hidayah di Sekardangan secara berkesinambungan:
1.
Langgar dan Rumah Kyai (1755 M -1900 M)
Sebelum adanya
madrasah, baik madrasah diniyah atau madrasah yang bersifat umum, maka Langgar
dan Rumah Kyai merupakan institusi pendidikan Islam yang menonjol
dan menjadi institusi pertama di dusun Sekardangan pada tahun 1755 M – 1900 M. Langgar
disamping sebagai tempat ibadah juga berfungsi sebagai institusi pendidikan
tempat menimba ilmu agama Islam bagi para pelajar atau santri. Sedangkan kyai
pendiri langgar tersebut merangkap sebagai guru spiritual dan pengajar
ilmu agama Islam. Pada zaman ini, ada beberapa langgar (sebutan
mushalla saat itu) di dusun Sekardangan yang digunakan sebagai “Institusi
Pendidikan Islam” diantaranya:
1.
Langgar
yang didirikan oleh Mbah Kyai Barnawi, merupakan langgar pertama yang berada di
dusun Sekardangan. Hingga saat ini, langgar tersebut sudah tidak ada lagi
bekasnya. Menurut sebagian sesepuh, langgar tersebut dulu berada tepat
ditengah-tengah dusun Sekardangan. [8] Namun
ketika pada masa Mbah Kyai Imam Fakih, langgar tersebut hanya tinggal berupa
pondasi-pondasinya saja. Pondasi-pondasi itu lalu dibongkar dan menjadi
tambahan yang digunakan untuk pondasi masjid Baitul Makmur, sebuah masjid
pertama dalam sejarah Sekardangan dan didirikan oleh Mbah Kyai Imam Fakih pada
tahun 1904 M.[9]
Langgar ini dulu berfungsi sebagai tempat ibadah dan tempat menimba ilmu
pendidikan Islam bagi para pelajar atau santri.
2.
Langgar
yang didirikan oleh Mbah Kyai Abu Bakar, merupakan langgar tertua urutan kedua
setelah langgar Mbah Kyai Barnawi. Bangunan langgar ini sampai sekarang masih
ada. Berada ditembok pengimaman langgar bagian Barat terdapat sebuah logo
Mataraman yang sudah semakin keropos di makan zaman. Diatas setiap pintu dan
jendela langgar ini masih berupa relief berbentuk bunga-bunga yang merupakan ciri
khas Langgar di zaman Mataraman. Menurut sebagian sesepuh, langgar ini dahulu
juga sebagai tempat menimba ilmu agama bagi para pelajar atau santri, disamping
pula sebagai tempat shalat Jum’at warga sebelum dusun Sekardangan mempunyai
sebuah masjid. Pada generasi akhir, langgar ini juga pernah digunakan sebagai
tempat khususi [10]
bagi penganut Thariqah an-Naqsyabandiyah al-Khaliddiyah.
3.
Langgar
yang didirikan oleh para keturunan Mbah Kyai Abu Yamin (makam beliau berada di
Pemakaman desa Gaprang bagian selatan, sebab saat itu Sekardangan belum
mempunyai pemakaman sendiri). [11] Mbah Kyai Abu Yamin mempunyai tiga anak yang
ketiganya menurut sebagian sesepuh juga membangun langgar sendiri-sendiri
sebagai tempat ibadah dan institusi pendidikan Islam bagi para pelajar atau santri
zaman dulu. Langgar anak beliau itu adalah; [1] Langgar yang didirikan Nyai
Siti Maryam [2]. Langgar yang didirikan Mbah Kyai Abdurrahman [3]. Langgar yang
didirikan Mbah Kyai Zainuddin. Langgar-langgar ini umumnya sudah mengalami
pemugaran dan perpindahan tempat beberapa kali hingga sudah tidak bisa dilacak
keasliannya dan sudah kabur ciri khas sebagai langgar kuno (zaman dulu).
4.
Langgar
yang didirikan Mbah Kyai Imam Ghazali [12]
(putra Mbah Kyai Abu Bakar). Langgar ini beliau serahkan kepada orang yang
beliau percaya bisa memegang amanah yaitu Mbah Kyai Ramli[13]
dalam tongkat estafet kepengurusannya. Kemudian setelah Mbah Kyai Ramli wafat,
kepengurusan langgar diserahkan kepada putranya yang bernama H. Nawadji Ramli.
Pada saat kepengurusan H. Nawadji Ramli, langgar ini direhab total dan status
langgar berubah menjadi masjid yang diberi nama “Masjid Al-Mubarok”.[14]
Langgar ini di zaman Mbah Kyai Ghazali dan Mbah Kyai Ramli juga berfungsi
sebagai institusi pendidikan Islam untuk mengajarkan ilmu pendidikan Islam bagi
para pelajar atau santri.
Namun disamping
langgar pada zaman itu dijadikan sebagai tempat menimba ilmu pengetahuan Islam,
para kyai zaman itu juga tidak keberatan jika rumah mereka dipakai sebagai
institusi pendidikan (tempat menimba ilmu). Hal ini berdasarkan sebuah sejarah
yang menyatakan bahwa pada masa Nabi Muhammad saw juga menjadikan “Darul
Arqam” (rumah sahabat Arqam bin Abi al- Arqam) sebagai institusi
pendidikan pertama yang dipakai Nabi untuk mengajar para sahabat. Adapun
diantara “Rumah Kyai” di Sekardangan yang dalam masa itu
dijadikan sebagai institusi pendidikan Islam (tempat menimba ilmu) diantaranya;
rumah Mbah Kyai Zainuddin, rumah Mbah Kyai Abdurrahman, rumah Mbah Kyai Imam
Ghazali, rumah Mbah Kyai Ramli, rumah Mbah Kyai Ahmad Dasuqi, dan lain-lain.
2.
Pesantren dan Madrasah Diniyah (1900 M- Sekarang)
Bermula dari
institusi-institusi pendidikan Islam yang berupa langgar dan rumah kyai
tersebut, muncul sebuah ide cemerlang dari Mbah Kyai Imam Fakih [15]
untuk menyatukan institusi-institusi tersebut dalam satu tempat (satu
atap). Ide Mbah Kyai Imam Fakih ini disambut dengan antusias oleh para
kyai, tokoh masyarakat dan warga dusun
Sekardangan zaman itu. Maka Mbah Kyai
Imam Fakih beserta para kyai dan warga Sekardangan pada tahun 1900 M bergotong-
royong mendirikan sebuah “Pesantren”
dan “Madrasah Diniyah” sebagai institusi pendidikan Islam yang
lebih maju daripada institusi sebelumnya.[16]
Pesantren yang beliau dirikan ini merupakan pesantren pertama dalam sejarah
Sekardangan. Pesantren itu berada di dusun Sekardangan bagian pojok Selatan,
yang berdekatan kira-kira kurang lebih jarak 200 meter dengan petilasan rumah
pendiri dusun Sekardangan. [17]
Adapun
tenaga-tenaga pengajar pesantren dan madrasah diniyah pada masa Mbah Kyai Imam
Fakih saat itu sangat beragam. Sebagian pengajar berasal dari putra-putri Mbah
Kyai Imam Fakih sendiri. Sebagian lagi berasal dari para putra-putri dari
keturunan para Kyai Pendiri Langgar dusun Sekardangan yang tersebut
diatas. Sebagian lagi ada pula pengajar yang berasal dari tetangga dusun
Sekardangan yang memang mempunyai kemampuan untuk mengajar. Pada zaman itu
banyak sekali pelajar-pelajar atau santri dari berbagai daerah luar dusun Sekardangan
yang menimba ilmu pengetahuan Islam di pesantren dan madrasah diniyah tersebut.
Dari berbagai pelajar atau santri itu, dapat di kategorikan sebagai berikut:
1.
Santri
Tetap, yakni santri dari daerah jauh yang
menetap di pesantren. Konon sejak zaman ini memang sudah ada santri tetap yang
mendiami pesantren tersebut. Santri semacam ini biasanya ketika pagi tiba,
mereka juga ikut “bekerja” [18]
dengan warga desa.
2.
Santri
Dalem, yakni santri yang ikut mengabdi di
rumah kyai. Biasanya, santri seperti ini disebut “Khadim/Khadam Kyai”
(pembantu atau abdi dalem yang ikut di rumah kyai dan setiap hari ikut makan di
rumah kyai tersebut).
3.
Santri
Kalong, yakni santri yang sore datang ke
pesantren dan menginap di situ sampai pagi. Kemudian ketika pagi tiba, ia
pulang ke rumah masing-masing untuk membantu pekerjaan orang tua masing-masing .
Dari ketiga
kategori itu, maka kategori santri ketiga (baca; Santri Kalong) merupakan
kategori santri terbanyak kala itu. Santri Kalong ini berasal dari berbagai
tetangga dusun Sekardangan seperti; Tlogo, Kuningan, Gaprang, Pakel, Duwet,
Gajah, dan lain-lainnya.
Dari ide
pendirian pesantren dan madrasah diniyah ini, selanjutnya ide kreatif Mbah Kyai
Imam Fakih berkembang lagi untuk mendirikan sebuah masjid. Sebab kala itu,
dusun Sekardangan memang belum mempunyai masjid sendiri untuk melakukan shalat
jum’at. Ide kreatif Mbah Kyai Imam Fakih ini juga disambut antusias oleh para
warga dan para kyai Sekardangan. Dengan hasil penjualan tanah miliknya kepada Handels
Vereniging Amsterdam (HVA)[19]
untuk dijadikan jalan trem (jalan kereta api) pengangkut tebu milik Belanda, maka berdirilah
sebuah masjid pertama di Sekardangan yang diberi nama “Masjid Miftahul
Huda”. [20] Namun seiring berjalannya waktu, setelah
masjid itu direhab pada tahun 1984 M, maka masjid tersebut diganti nama dengan “Masjid
Baitul Makmur” yang mana nama terakhir ini tetap abadi hingga sekarang.[21]
Adapun
kepemimpinan masjid (merangkap sebagai ketua ta’mir masjid) dan pesantren dari
masa ke masa adalah sebagaimana yang tersebut dibawah ini:
1.
Mbah
Kyai Imam Fakih (1900 M – 1923 M), seorang kyai yang alim fikih [22]
dan menggunakan metode sorogan dalam pesantrennya.
2.
Mbah
Kyai Imam Syadzali (1923 M – 1925 M), masih menggunakan metode sorogan dalam
pesantrennya.
3.
Mbah
Kyai Ahmad Shobiri (1925 M – 1951 M), seorang kyai yang alim dalam bidang
tasawuf “Kitab Bidayatul Hidayah”-nya Imam Ghazali. [23] Pada
masa beliau ini berhasil membangun sebuah serambi masjid.
4.
Mbah
Kyai Abbas Fakih (1951 M – 1960 M), seorang kyai yang ahli dalam bidang
perdukunan, ahli menumbali tanah angker dan pengobatan. [24]
5.
Mbah
Kyai Imam Mahdi (1960 M – 1997 M), pada masa ini Thariqah al-Qadiriyah wa an-Naqsabandiyah
dan Jam’iyah Shalawat Dala’ilul Khairat yang beliau pegang berkembang sangat
pesat hingga Tulungagung, Kediri dan sekitarnya.[25]
6.
Mbah
Kyai Muhammad Hamzah (1997 M – 2002 M), [26]
pada masa ini Pesantren Miftahul Huda berganti nama menjadi “Pesantren
Ketrampilan Miftahul Huda” [27] yang
kurikulum pesantrennya memasukkan ketrampilan jahit-menjahit dan ketrampilan
lainnya.
7.
Mbah
Kyai Masjhudi (2002 M – sekarang), [28]
pada masa ini urusan kemasjidan (ta’mir masjid) dipegang beliau, sedangkan
urusan kepesantrenan dipegang oleh Kyai Drs. Muhammad Tasrifin [29] (kyai
muda, menantu dari Mbah Kyai Muhammad Hamzah).
Selain para
kyai diatas, ada banyak para kyai mulai zaman kepemimpinan Mbah Kyai Abbas
Fakih kebawah yang mempunyai kontribusi besar dalam membangun peradaban pada masjid,
pesantren, madrasah diniyah dan pendidikan Islam di Sekardangan. Diantara kyai
tersebut adalah:
1.
Mbah
Kyai Maulan, seorang ulama’ yang ahli ilmu hisab, ilmu fikih dan yang terkenal
mempunyai suara yang sangat merdu dalam komunitas Ikatan Seni Hadrah Republik
Indonesia (ISHARI) dan komunitas lainnya.[30]
2.
Mbah
Kyai Machrus Yunus, seorang ulama’ yang juga ahli ilmu hisab, pengijazah
Shalawat Nariyyah yang hingga kini masih berlangsung, serta pendiri Pondok
Pesantren Sunan Pandanaran dan SD Plus Sunan Pandanaran di dusun Sekardangan.[31]
3.
Mbah
Kyai Nasruddin, seorang ulama’ yang ahli ilmu tasawuf dan penganut Thariqah
Shalawat Wahidiyyah ajaran Syaikh Abdul Madjid Ma’roef (Kedunglo, Kediri) dalam
sebagian amaliyahnya.[32]
4.
Mbah
Kyai Muhtar Fauzi, seorang ulama ahli tauhid, ahli amalan Hizib Auliya’ dan
merupakan seorang yang menjadi cikal bakal berdirinya institusi pendidikan
Islam formal pertama (tertua) di Sekardangan.[33]
5.
Mbah
Kyai Zainuddin, seorang ulama yang menjadi cikal bakal amaliyah Yasinan, Tahlil
dan Istigotsah di dusun Sekardangan.[34]
6.
Dan
lain-lainnya.[35]
Adapun
kurikulum pendidikan Islam yang diajarkan di masjid Baitul Makmur dan Pesantren
Miftahul Huda dari masa ke masa diantaranya:[36]
1.
Tafsir
al-Qur’an; meliputi Tafsir al-Jalalain, Tafsir al-Ibriz dan semacamnya.
2.
Nahwu;
meliputi Kitab al-Jurumiyah, Bahasa Arab dan semacamnya.
3.
Sharaf;
meliputi Kitab al-Tasrif dan semacamnya.
4.
Fikih;
meliputi Kitab al-Mabadi al-Fiqhiyyah dan semacamnya.
5.
Qiro’ah;
meliputi sorogan al-Qur’an.
6.
Dan
lain-lainnya. [37]
Diantara para
kyai besar yang pernah diundang memberikan ceramah dan pencerahan di masjid
Baitul Makmur dan Pesantren Miftahul Huda antara lain:
a.
Mbah
Kyai Dimyathi; seorang kyai yang terkenal kewaliannya dari Baran, Selopuro,
Blitar.
b.
Mbah
Kyai Machrus Ali; seorang kyai pengasuh Pesantren Lirboyo, Kediri.
c.
Mbah
Kyai Ali Shoddiq Umman; seorang kyai pengasuh Pondok Ngunut, Tulungagung.
d.
Dan
lain-lain. [38]
Pada tanggal 19
November 1986 masjid Baitul Makmur Sekardangan diresmikan Siswanto Adi, yang
pada saat itu menjabat sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II kabupaten Blitar
dengan ditorehkan sebuah tanda tangan beliau pada prasasti yang terdapat
didepan masjid tersebut.[39]
Hal ini merupakan penghargaan dan kerjasama Umara’ (pemegang
pemerintahan) kepada Ulama’ (pemegang agama Islam) yang memang
seharusnya tetap bersatu padu dalam membangun peradaban Islam secara berkesinambungan.
Bersatu padu dalam membangun dan meningkatkan iman dan takwa kepada Tuhan yang
Maha Esa.
3.
Madrasah Formal Pertama (1966 M – Sekarang)
Bermula dari
berbagai institusi pendidikan Islam yang konvensioanal seperti; langgar, rumah
kyai, masjid, pesantren hingga madrasah diniyah diatas, maka pada tahun 1966 M muncul
sebuah ide kreatif dari Kyai Muhtar Fauzi (cucu Mbah Kyai Imam Fakih) bersama kawan-kawan
perjuangannya [40]
untuk melakukan pembaharuan dalam bidang pendidikan Islam. Ide kreatif tersebut
mendapat sambutan yang hangat dari para tokoh agama, tokoh masyarakat serta
warga dusun Sekardangan. Dari ide tersebut, maka tepat pada tanggal 05 Januari
1966 bersama segenap ta’mir Masjid Baitul Makmur dan para tokoh masyarakat
mendirikan madrasah formal yang diberi
nama “Madrasah Ibtidaiyah Miftahul Huda 01” dan “Taman
Kanak-Kanak Al-Hidayah”[41]
di atas tanah wakaf dari Mbah Kyai Abbas Fakih (putra Mbah Kyai Imam Fakih).
Kedua institusi formal ini didirikan pada tahun yang sama, yakni tahun 1966 M.[42]
Dengan
demikian, Madrasah Ibtidaiyah Miftahul Huda 01 dan Taman Kanak-Kanak Al-
Hidayah merupakan “Institusi Pendidikan Islam Formal Pertama dan Tertua”
dalam sejarah Sekardangan. Kemudian berkaitan dengan hal ini, maka pencetus ide
pertama dalam pendirian madrasah formal yakni Kyai Muhtar Fauzi ditunjuk oleh
para tokoh dan para alim ulama’ untuk menjadi kepala madrasah tersebut. Berikut
adalah kepala Madrasah Ibtidaiyah Miftahul Huda 01 dari masa ke masa: [43]
1.
Kyai
Muhtar Fauzi ( 1966 M – 1968 M)
2.
KH.
Muhammad Hamzah TMH (1968 M – 1975 M)
3.
KH.
Masjhudi, BA. (1975 M – 1994 M)
4.
H.
Mustadji, A.Ma. (1994 M – 1997 M) [44]
5.
H.
Marjani, A.Ma. (1997 M – 2007 M) [45]
6.
Lina
Zunnuroiin, S.Pd.I. (2007 M – Sekarang)
Adapun kepala Taman Kanak-Kanak Al- Hidayah dari masa ke masa
antara lain:
2.
Hj.
Mastiyah Machrus, A.Ma.[48] (1980
M – 1986 M)
3.
Siti
Windarwati, S.Pd. (1986 M – 2012 M)
4.
Solikah,
S.Pd. (2012 M – Sekarang)[49]
Dari paparan sejarah singkat institusi pendidikan Islam non
formal hingga terbentuknya institusi pendidikan Islam formal
pertama (tertua) di dusun Sekardangan tersebut, mungkin ada kata-kata
indah dari Maxim Gorky yang menyatakan “The People must know their history”
[50]
yang menurut bahasa penulis sendiri dapat diartikan dengan “Warga madrasah
mesti tahu sejarahnya”. Dalam arti luas, kata-kata Gorky itu dapat
diartikan bahwa warga madrasah mulai kepala madrasah, para guru serta
siswa-siswi hendaknya tahu akan sejarah madrasah yang setiap hari dilaluinya sebagai
“tempat belajar dan mengajar” berbagai macam ilmu pengetahuan,
baik ilmu agama maupun ilmu umum. Dengan demikian, sebagai generasi penerus
akan senantiasa berkaca pada para
pendahulu serta semaksimal mungkin mampu melakukan inovasi-inovasi
(pembaharuan-pembaharuan) dalam pendidikan Islam di Sekardangan sesuai
perkembangan zaman yang semakin komplek.
Sedangkan dalam bahasa Soekarno, kata-kata indah itu terangkum
dalam dua kata singkat yaitu “Jas Merah” yang kepanjangannya
adalah “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah!”.[51]
Mungkin berawal dari perkataan Bung Karno ini, akan menjadikan warga madrasah,
baik kepala madrasah, dewan guru, pengurus maupun para siswa-siswi untuk tidak
akan pernah melupakan sejarah perjuangan para pejuang pendidikan Islam di
Sekardangan dari masa ke masa. Pejuang dari masa ke masa tersebut mulai dari
pejuang pendidikan Islam yang berupa institusi Langgar, institusi Rumah Kyai,
institusi Pesantren, institusi Masjid, hingga Institusi Madrasah Diniyah yang
menjadi cikal bakal berdirinya Madrasah Ibtidaiyah Miftahul Huda 01 dan TK Al-
Hidayah yang saat ini menjadi “tempat belajar dan mengajar”
bersama. Dan yang terakhir kali, hal itu juga merupakan sejarah panjang berdirinya Pendidikan
Anak Usia Dini (PAUD Insan Kamil) yang didirikan
oleh tokoh-tokoh Sekardangan pada abad 21 (sekarang ini) dengan kepala PAUD
pertama yaitu, Indah Jumiyatin, S.Pd.[52]
Penutup
Kesimpulan
Akhir kata, dari paparan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa;
[1]. Pada awalnya institusi pendidikan Islam di dusun Sekardangan ada beberapa
macam antara lain; langgar, rumah kyai, masjid, pesantren dan madrasah diniyah
[2]. Institusi pendidikan Islam formal pertama di dusun Sekardangan adalah MI
Miftahul Huda 01 dan TK Al-Hidayah yang didirikan pada tanggal 05 Januari 1966
atas ide cemerlang Kyai Muhtar Fauzi dan kawan-kawannya sebagai tokoh pembaharu
pendidikan Islam yang awalnya non formal menjadi formal
[3]. Hendaknya para generasi penerus tidak melupakan sejarah para pejuang
pendidikan Islam dari masa ke masa hingga terbentuknya pendidikan Islam formal
pertama di dusun Sekardangan secara keseluruhan tanpa pandang bulu. [4].
Hendaknya para generasi penerus menjadikan sejarah tersebut, meminjam istilah
Bung Karno sebagai “kaca benggala” (kaca cermin) untuk melakukan inovasi-inovasi
(pembaharuan-pembaharuan) dalam pendidikan Islam di Sekardangan sebagaimana
yang dilakukan para pendahulu sesuai dengan zamannya. Ada sebuah perkataan
hikmah: “Anak-anakmu adalah anak-anak dizamannya, bukan anak-anak dizaman
kalian”. Dari perkataan hikmah ini, sudah tentu inovasi-inovasi atau
pembaharuan-pembaharuan harus terus diupayakan agar tidak tertinggal oleh
derasnya arus perkembangan zaman.
Kritik dan Saran
Dalam pemaparan sejarah diatas pasti tidak lepas dari kesalahan
yang dalam peribahasa disebutkan “Tiada gading yang tak retak”. Dalam
hal ini penulis memang sengaja tidak
membahas tentang pendidikan formal di dusun Sekardangan yang lain. Hal
ini dengan pertimbangan bahwa terbentuknya “Institusi Pendidikan Islam
Formal Pertama” di dusun Sekardangan memang merupakan sejarah
perjuangan yang sangat unik dari masa ke masa. Sedangkan lembaga formal yang
lain tidak mempunyai sejarah panjang yang terkait dengan para tokoh pertama
dusun Sekardangan. Kata-kata penulis “Formal Pertama”(di atas)
sudah bisa ditebak bahwa institusi yang penulis paparkan merupakan Institusi
Formal Tertua di dusun tersebut. Akhir kata, mudah-mudahan segala
jasa-jasa kebaikan selalu terlimpahkan kepada pejuang pendidikan Islam di
Sekardangan mulai awal hingga akhir. Baik yang tercatat dalam tulisan ini,
maupun yang tidak tercatat didalamnya. Kritik dan saran dari pembaca demi
kesempurnaan tulisan ini selalu penulis harapkan.
Wassalam…..
Daftar Rujukan
Sumber Buku:
Al-Abrashi,
(1969). Al-Tarbiyah Al-Islamiyah Wa Falasifatuha, (Qahirah: Isa Al-Baby
al-Halaby).
Kurniawan, Eka,
(2006). Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama)
Langgulung, Hasan, (2003). Pendidikan Islam dalam Abad ke 21,
(Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru).
Masjid, Ta’mir, (1990). Masjid Baitul Makmur Sekardangan
Kanigoro Kabupaten Blitar, (Blitar: Ta’mir Masjid)
Ramayulis, (2002). Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam
Mulia)
Shalabi, (1954). History
of Muslim Education, (Beirut: Dar
Al-Kasyaf).
Sumber Internet:
www.erepublik.com/ea/article/jas-merah-2197408/1/20.
Sumber Lain:
Wawancara para sesepuh dusun Sekardangan.
[1] Penulis adalah
pecinta sejarah yang senantiasa haus akan informasi sejarah tempat dimana ia di
lahirkan (baca; Sekardangan). Hingga saat ini, penulis senantiasa mengembangkan
minatnya akan hal tersebut. Penulis merupakan
alumni TK Al-Hidayah (tahun 1984) dan MI Miftahul Huda 01 (tahun 1990),
Sekardangan, Papungan, Kanigoro, Blitar.
[2] Hasan
Langgulung, Pendidikan Islam dalam Abad ke 21, (Jakarta: Pustaka
Al-Husna Baru, 2003), hal. 17-18. Lihat pula dalam Shalabi, History of Muslim Education, (Beirut: Dar Al-Kasyaf,
1954), hal. 41.
[3] Hasan
Langgulung, Pendidikan Islam dalam Abad ke 21, (Jakarta: Pustaka
Al-Husna Baru, 2003), hal. 18. Lihat pula dalam
Al-Abrashi, Al-Tarbiyah Al-Islamiyah Wa Falasifatuha, (Qahirah:
Isa Al-Baby al-Halaby, 1969), hal. 65.
[4]
Ramayulis, Ilmu
Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hal. 216
[5] Ada sebagian
sesepuh yang menyatakan bahwa ia sudah beragama Islam. Ada yang berpendapat
bahwa ia masih beragama Hindu-Buddha. Ada yang berpendapat ia sudah Islam,
tetapi Islam Kejawen (Islam yang sinkretis dengan Hindu-Buddha). Ada yang
menyatakan ia beragama Kejawen tulen. Warga dusun Sekardangan sering menyebut
beliau dengan sebutan “Mbah Sekardangan” atau “Mbah Sekar” saja.
[6] Jaman dulu ada
yang menyebutnya “Sanggar” atau “Langgar”. Di Sumatra dikenal dengan nama
“Surau”. Seiring berjalannya waktu, nama tersebut berubah menjadi “Mushalla”, dengan
bahasa Arab yang artinya “tempat shalat atau tempat sembahyang”.
[7]
Tahun 1755 M merupakan
tahun terakhir Jaman Mataram Islam, yang pada tanggal 17 Maret 1755 Kerajaan Mataram Islam dipecah belah menjadi
tiga bagian oleh kompeni Belanda dalam Perjanjian Giyanti, hingga akhirnya
orang-orang dari kerajaan tersebut banyak yang hijrah sampai ke Jawa bagian
Timur. Menurut sesepuh, para tokoh dari Mataram yang hijrah dan menjadi cikal
bakal dusun Sekardangan ada empat orang yaitu: [1]. Mbah Kyai Abu Yamin [2].
Mbah Kyai Abu Bakar [3]. Mbah Kyai Barnawi [4]. Mbah Kyai Raden Tirto Sentono
beserta kawan- kawan seperjuangan keempat tokoh tersebut. Dari keempat tokoh
inilah Sekardangan menjadi “Satu Keluarga” sebab, dari keturunan keempat tokoh
ini banyak yang melakukan pernikahan antar keturunan. Sehingga para sesepuh dulu
banyak yang menyatakan dalam bahasa Jawa: “Sak Sekardangan iki isih dulur
kabeh, senajan sedulur kadang katut”(Satu dusun Sekardangan ini masih saudara
semua, walau saudara yang karena mengikuti saudara yang menjadi saudara yang
lain).
[8] Menurut
penuturan para sesepuh, ditengah dusun Sekardangan jaman dulu ada “Sumber Air”
yang sangat besar. Namun seiring berubahnya zaman, sumber air tersebut mati dan
tidak berfungsi lagi hingga sekarang. Menurut penuturan sesepuh pula, konon
didekat sumber air itu dulu ada makam (kuburan) seorang Belanda yang meninggal
dunia dalam pertempuran. Penulis sewaktu kecil juga pernah diberi tahu tentang patokan
makam yang terbuat dari batu tak berbentuk dan pohon bunga puring yang berada
di tempat itu.
[9] Lihat Ta’mir
Masjid, 1990, hal. 3
[10]
Zikir bersama
yang bersifat khusus bagi sesama penganut Thariqah an-Naqsyabandiyah.
[11] Menurut para
sesepuh, sebelum dusun Sekardangan mempunyai pemakaman sendiri, maka pada zaman
dulu banyak sekali warga dusun Sekardangan yang dimakamkan di Pemakaman desa
Gaprang bagian Selatan, seperti; Mbah Kyai Abu Yamin, Mbah Kyai Imam Muchtar
dan lain-lainnya.
[12] Makam Mbah
Kyai Ghazali berada di area makam Mbah Kyai Abu Bakar (ayahnya) yang berada
kurang lebih 70 meter sebelah Barat langgar yang didirikan Mbah Kyai Abu Bakar.
Dulu jasadnya akan dimakamkan di sebelah Barat langgar yang ia dirikan sendiri
(yang sekarang menjadi Masjid Al-Mubarok), tetapi tidak jadi karena berbagai
pertimbangan. Makam Mbah Kyai Abu Bakar ini sering diziarahi para penempuh
spiritual dari kota dan kabupaten Blitar pada bulan-bulan tertentu, begitu juga
langgar yang ia dirikan.
[13]
Mbah Kyai Ramli
adalah seorang ulama yang terkenal sebagai ahli mengobati dengan besi panas
yang dijilati dengan lidahnya sendiri.
[14] Masjid
Al-Mubarok sampai saat ini tidak dipakai sebagai tempat shalat Jum’at warga.
Namun pada hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha, masjid ini dipakai
shalat Ied untuk kaum wanita warga Sekardangan. Pada zaman KH. Maulan masjid
ini akan dipakai sebagai shalat Jum’at bersama, tetapi karena berbagai
pertimbangan, hal ini belum terlaksana hingga saat ini.
[15] Mbah Kyai Imam
Fakih merupakan tokoh yang berasal dari Bagelenan, Jawa Tengah. Tertangkapnya
Pengeran Diponegoro pada tahun 1830 M oleh pihak Kompeni Belanda menyebabkan para
laskar Diponegoro hijrah ke berbagai tempat. Tersebutlah Mbah Kyai Imam Fakih
yang hijrah kearah Timur hingga sampai di dusun Sekardangan dan menjadi seorang
yang cikal bakal masjid dan pesantren pertama didusun tersebut.
[16] Lihat Ta’mir
Masjid, 1990, hal. 3
[17] Menurut
sesepuh dusun Sekardangan, petilasan rumah pendiri (cikal bakal dusun
Sekardangan) dulu ada dua: Pertama, berada didekat sumber air di tengah
dusun Sekardangan yang saat ini sumber itu sudah mati dan tidak ada bekasnya. Kedua,
berada di dekat sungai dusun Sekardangan bagian Selatan yang saat ini dibangun
sebuah “monumen” yang berada kira-kira 200 meter sebelah Barat Masjid Baitul
Makmur.
[18]
Istilah
Jawa-nya “Manjing” atau “Nyambut Gawe” (bekerja pada orang lain dan diberi upah
menurut adat masing-masing daerah tertentu)
[19]
http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/04/kisah-tak-terperi-kuli-hindia-belanda
[20] Luas tanah wakaf
masjid Baitul Makmur dari Mbah Kyai Imam Fakih seluruhnya tercatat 1837.275 M2 yang terproses
pada tahun 1908 M. (Lihat, Ta’mir Masjid, 1990: 4)
[21]
Lihat Ta’mir
Masjid, 1990, hal. 13
[22]
Cerita dari
para sesepuh Sekardangan. Bahkan beliau dulu juga mengharamkan rokok pula..
[23]
Cerita dari
para sesepuh Sekardangan.
[24]
Penulis juga
pernah diobati oleh beliau. Penulis juga pernah mendapatkan amalan Shalawat
Nuri Dzati susunan Syaikh Abu Hasan As-Syadzili dari beliau serta sering
dikasih uang jajan (uang saku).
[25] Saat beliau
sakit, penulis bertugas mencukur rambut beliau tiap sebulan sekali. Beliau
pernah memberi ijazah Shalawat Munjiyat, Shalawat Ridha dan amaliyah lainnya
kepada penulis.
[26]
Beliau juga sebagai
pengajar di MAN Tlogo, Kanigoro, Blitar. Penulis juga sering diajak beliau saat
ada undangan ceramah atau pengajian diberbagai tempat.
[27] Yakni ditambah
kata “Ketrampilan” setelah kata “Pesantren”.
[28] Beliau juga sebagai
pengajar di MAN Tlogo, MA Hasanuddin Gaprang, dan MI Miftahul Huda 01
Sekardangan.
[29]
Beliau juga
sebagai pengajar di MAN Tlogo dan MA Hasanuddin Gaprang.
[30] Penulis pernah
diberi saran beliau agar tetap setia pada Kitab Ta’limul Muta’alim karya Syaikh
Az-Zarnuji (seorang ulama abad pertengahan).
[31] Penulis pernah
diberi ijazah amalan Shalat Hajat dan amalan doa Kanzul Arsy oleh beliau.
[32] Penulis sering
diajak mengikuti zikir Shalawat Wahidiyah di Kedonglo, Kediri oleh beliau.
[33] Penulis pernah
diberi beliau ijazah amalan Shalawat Dala’ilul Khairat, Hizib Nashar, Hizib
Nawawi, Hizib Barqi, Hizib Bahri dan berbagai macam amalan lainnya oleh beliau.
[34] Penulis sering
diajak beliau sowan-sowan kepada para ulama dan diajak istigotsah ke berbagai
tempat. Penulis
juga pernah diberi ijazah amalan Basmallah, Hizib Barqi, Shalawat Fatih, dan
lainnya oleh beliau.
[35] Karena teramat
banyaknya para kyai (ulama’), umaro’ (pemegang pemerintahan), dan lainnya yang
mempunyai kontribusi dalam membangun peradaban Islam di Sekardangan sesuai dengan
bidang masing-masing, maka penulis tidak
mungkin akan menyebutkan satu persatu dalam tulisan yang sangat terbatas ini.
[36]
Lihat Ta’mir
Masjid, 1990, hal. 14-15
[37]
Banyak nama
kitab yang diajarkan di masjid dan pesantren tersebut sebagai target kurikulum
yang tak perlu disebutkan satu persatu dalam tulisan ini.
[38]
Lihat Ta’mir
Masjid, 1990, hal. 17 (pada tahun 1985 M – 1987 M).
[39]
Lihat Ta’mir
Masjid, 1990, hal. 5
[40] Diantara
kawan-kawan seperjuangan Kyai Muhtar Fauzi diantaranya; H. Abdul Fattah, KH.
Imam Mahdi, KH. Muhammad Hamzah, Bapak Husnan, Bapak Zaini, Bapak Abdul Hamid,
Mbah Kyai Bakri (hijrah ke Pakel), Mbah Kyai Ustman (hijrah ke Buntu, Tlogo),
Mbah Kyai Muhyiddin (hijrah ke Tanggung, Garum), Bapak H. Muhammad Damiri, KH.
Maulan, Bapak Suroyo , Mbah Muhammad Irjaz, Bapak H. Erfan, Bapak Syuhud, Bapak
H. Masjkur dan tokoh lainnya yang tidak mungkin disebutkan satu persatu. Zaman ini
juga ada lembaga di rumah Mbah Muhammad Irjaz sebagai tempat belajar mengajarkan
ilmu pendidikan Islam saat itu.
[41] MI Miftahul
Huda 01 dibawah naungan LP. Ma’arif NU dan Departemen Agama (sekarang
Kementrian Agama). Sedangkan TK Al-Hidayah dibawah naungan YPMNU dan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan (sekarang Kemendiknas). Dan perlu diketahuai pula bahwa MI Miftahul
Huda Papungan 02 yang berada di dusun Duwet jaman dulu termasuk cabang dari MI
Miftahul Huda 01 Sekardangan. Dengan berjalannya waktu ia memisahkan diri dari
induknya.
[42]
Lihat Ta’mir
Masjid, 1990, hal. 14
[43] Data kepala
madrasah ini terpampang pada dinding MI Miftahul Huda 01 Sekardangan, Kanigoro,
Blitar. Selain
H. Mustadji dan H. Marjani berasal dari Sekardangan.
[44] Beliau berasal
dari dusun Sumberagung, desa Banggle, kecamatan Kanigoro, kabupaten Blitar.
[45] Beliau berasal
dari desa Tlogo, kecamatan Kanigoro, kabupaten Blitar.
[46] Beliau hijrah
ke Sulawesi dan sampai sekarang masih hidup.
[47] Sebelum ini sebenarnya
sudah ada TK (Taman Kanak-Kanak) yang dipimpin oleh Bapak Kasmuni dirumah beliau,
lalu diserahkan kepada Siti Rubikah (hijrah ke Jember, istri pertama Bapak Kasri
[buyut dari Mbah Kyai Abu Yamin]). Lalu dipindah ke tempat saat ini dijadikan satu
dengan Masjid Baitul Makmur.
[48]
Beliau
mendirikan SD Plus Sunan Pandanaran bersama suaminya Mbah Kyai Mahrus Yunus
(alm).
[49]
Data dari TK
Al_Hidayah Papungan 01 Sekardangan.
[50] Eka Kurniawan,
Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006)
[51]
www.erepublik.com/ea/article/jas-merah-2197408/1/20.
[52]
Menantu dari
Mbah Kyai Imam Mahdi (alm).
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Foto Monumen Petilasan "Mbah Sekardangan" Pendiri dusun Sekardangan
Masjid Baitul Makmur didirikan tahun 1904 M (Mbah Kyai Imam Fakih)
bagus pak....
BalasHapusbisa di bukukan itu....
untuk pembelajaran....
JALI MERAH, kata bung karno
BalasHapusHehehe. Semoga Pak Dori. Amin.
BalasHapus