Jumat, 06 Desember 2013

SPIRITUALITAS BARU DAN MASA DEPAN AGAMA



Syamsul Arifin[1]
Melalui telaah kebudayaan yang mendalam, pergeseran yang terjadi dalam masyarakat akhir-akhir ini bisa dikatakan sebagai pergeseran dari modernisme ke pascamodernisme. Pergeseran ini menarik dicermati karena menyentuh aspek yang paling mendasar dalam kehidupan manusia, yaitu berhubungan dengan pandangan dunianya (word view). Adanya pergeseran ini merupakan mata rantai berbagai krisis yang tidak bisa diselesaikan dengan cara-cara yang bersifat teknis-instrumental, seperti melalui sains. Bahkan, sains sendiri belakangan ini juga menghadapi kritik, karena kecuali secara epistemologi sains tidak mampu menghantarkan pada pemahaman yang holistic terhadap realitas, sains juga dinilai menimbulkan banyak krisis. Karena sains lahir dari peradaban modern, maka kritik terhadap sains juga kritik terhadap modernisme sebagai landasan paradigmatic dalam menjelaskan realitas.
Modernisme lahir pada abad ke-17 dan ke-18 melalui apa yang kemudian banyak dikenal dengan enlightenment atau aufklarung.[2] Lahir dengan semangat mendekonstruksi terhadap mitos yang terbungkus dalam agama karena dianggap anti rasionalisme dan empirisme, pada awal-awal kemunculannya, disambut dengan penuh gegap gempita karena memberikan ruang gerak yang lebih leluasa kepada manusia, lebih-lebih dalam melakukan eksploitasi terhadap kekayaan alam semesta. Dengan cara ini, modernisme tampil sebagai suatu pandangan dunia baru (weltanschauung) yang dijadikan acuan utama dalam menjelaskan semua realitas seperti teologi, kosmologi dan antropologi, yang secara sistematis menggantikan kedudukan agama. Kalau toh diakui eksistensinya, agama tidak lebih sebagai urusan pribadi (private affair) yang telah kehilangan kemaknaan social, kultur, dan structural.
Dalam realitas historis, memang diakui pandangan hidup modernisme yang mendasarkan pada paradigma positivisme, telah membawa banyak kemajuan bagi umat manusia yang tidak pernah dialami pada masa sebelumnya. Apa yang sekarang disebut dengan kapitalisme sebagai “masyarakat yang dibayangkan”, dalam ekonomi demokrasi dalam politik, sekularisme dalam agama, kemajuan dibidang iptek, secara simbolik telah menjadikan bukti cerita sukses kebudayaan dan peradaban modern.
Akan tetapi modernisme mulai menghadapi kritik yang demikian hebat, karena dalam kenyataannya banyak menimbulkan paradoks, dibalik keberhasilan secara material. Hal ini dapat dicermati dari munculnya persoalan global yang menyentuh sisi-sisi kemanusiaan yang bersifat fundamental seperti persoalan anomie, alienation[3] dan krisis tentang makna dan tujuan hidup (meaning and purpose of life). Munculnya krisis kemanusiaan ini, menurut pendapat Seyyed Hussein Nasr, karena modernisasi tidak berakar pada dimensi transenden. Atau seperti diungkap oleh Brifault dalam bukunya, The ‘Making of Humanity’, karena modernisme semenjak awal sejarahnya telah melantarkan serta mereduksi nilai-nilai kemanusiaan yang esensial, sehingga modernisme telah terpelanting dari eksistensinya lalu mengalami keterasingan jiwa.
Fenomena Fundamentalisme
Ada suatu prediksi bahwa mengiringi pergantian dari millennium kedua ke millennium ketiga atau abad ke-21, agama akan menjadi salah satu mainstream dalam perkembangan sejarah peradaban umat manusia. Munculnya banyak krisis yang diderita oleh umat manusia sebagaimana telah dipertontonkan dalam panggung peradaban baru, telah mendorong kesadaran kritis manusia kembali ke alam primordialnya, yaitu agama. Demikianlah, dipenghujung abad ke-20 ini kehidupan keagamaan memperlihatkan grafik yang menanjak. Paling tidak gejala ini dapat dilihat dari banyaknya perkumpulan agama dan berbagai macam aktivitas di dalamnya. Sejalan dengan itu, agama kemudian menjadi bagian pembentuk symbol dalam kehidupan sosio-kultural masyarakat urban. Perkembangan semacam ini oleh para pengamat dipandang sebagai kebangkitan agama seperti dikemukakan oleh John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam bukunya, ‘Megatrend 2000’.
Betulkan sekarang terjadi kebangkitan agama? Seperti apakah wujud kebangkitan agama itu? Jawaban pertanyaan ini akan beragam karena artikulasi keberagamaan sangat beragam sifatnya. Sehingga bisa jadi, adanya kesimpulan bahwa sekarang terjadi kebangkitan agama, karena didasarkan pada aspek tertentu dan melupakan aspek lainnya. Karena itu sampai saat ini terdapat perbedaan pandangan dari kalangan peminat studi agama mengenai kebangkitan agama itu. Ada sementara pihak yang melihat adanya kebangkitan itu karena dipandang dari aspek symbol dan ritus kehidupan keagamaan nampak marak. Akan tetapi kesimpulan ini ditolak oleh yang lainnya, karena symbol dan ritus dalam agama bukan hal yang esensial. Lebih dari sekedar peristiwa simbolik, pihak ini lebih menekankan pada fungsi agama sebagai landasan etik, moral dan spiritual dengan manusia dapat menemukan suatu system makna dalam menghadapi berbagai tantangan hidup dimasa depan.
Adanya dua pandangan diatas tidak perlu dipertentangkan, karena antara yang satu dengan yang lainnya bersifat melengkapi. Jika yang pertama lebih banyak berada pada tataran esoterisme agama. Karena keduanya menjadi tolok ukur kesempurnaan dalam beragama, maka salah satu di antara keduanya tidak bisa ditinggalkan. Antara keduanya, ditegaskan oleh Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis (1995), seperti dua sisi dari satu mata uang logam, jika salah satunya hilang, maka uang tersebut tidak berharga.
Masalahnya bagaimana dapat dihindari keberagamaan yang parsial dan reduksionik, yang hanya menonjolkan satu aspek dan menghilangkan aspek yang lainnya. Sebab, belakangan ini muncul kecenderungan keberagamaan yang demikian, seperti yang diperlihatkan secara jelas oleh gerakan fundamentalisme agama.[4]
Sebagai salah satu kecenderungan keberagamaan yang sangat popular, gerakan fundamentalisme agama menarik dicermati karena perkembangannya yang demikian fenomenal. Hal ini dapat dilihat dari kemampuan gerakan ini dalam membangun komunitas keagamaan sendiri yang cenderung eksklusif, serta mempunyai daya rambah yang cukup luas terhadap semua aspek kehidupan social masyarakat. Sebagai sebuah paham (isme) dan gerakan, fundamentalisme menawarkan suatu wacana keagamaan di luar wacana mainstream. Karena itu dalam fundamentalisme terlihat banyak perbedaan dengan faham dan gerakan keagamaan lainnya.
Misalnya dalam hal teologinya. Dikatakan oleh Ernest Gellner (1992), fundamentalisme berpandangan, bahwa keimanan harus dipegang dengan teguh secara penuh dan harfiah, tidak mengenal kompromi, keluwesan, reinterprestasi atau pengurungan (free of compromise, softening, reinterpretation or domination). Dalam pandangan fundamentalisme ini, inti agama adalah doktrin yang harus ditetapkan secara persisi dan paripurna. Tambahan pula, dalam fundamentalisme terdapat system pengkultusan (cult) sebagai sumber legitimasi yang mempunyai otoritas pemberi kepuasan dan keselamatan kepada para pengikutnya.
Dalam beberapa hal, fundamentalisme, seperti diyakini oleh para pengikutnya, dapat memberikan kepuasan batin secara cepat pada saat masyarakat diombang-ambingkan oleh struktur modernitas yang dianggapnya tidak memberi kepuasan yang hakiki. Ikhwal munculnya fundamentalisme diakui sebagian pemerhati memang disebabkan oleh berbagai akibat negative yang muncul dalam masyarakat modern-industrial seperti kesepian, rapuhnya struktur social yang kukuh dan ambruknya makna yang berlaku.
Namun demikian, fundamentalisme memperoleh kritik yang sangat tajam karena hanya mendatangkan efek ketenangan yang bersifat sementara (palliative) dan terdapat banyak kepalsuan didalamnya. Jika pada mulanya fundamentalisme dimaksudkan untuk mencari kemerdekaan, maka justru yang terdapat dalam fundamentalisme adalah bentuk pelarian dari kebebasan (escape from freedom) yang bersifat membelenggu.
Aktualisasi Spiritualitas Agama
Fundamentalisme merupakan gambaran dari sebuah keberagamaan yang statis, karena hanya mementingkan teks atau doktrin, penonjolan yang berlebihan terhadap symbol, serta pemujaan yang berlebihan terhadap tokoh kharismatik. Dengan wataknya yang demikian, wajar apabila fundamentalisme tidak dapat memberikan kepuasan yang hakiki yang ingin dicapai dalam proses keberagamaan.
Esensi kepuasan dalam beragama manakala dalam seseorang, pertama, merasakan kehadiran dan “kemanunggalan” dengan Realitas yang Mutlak (Ultimate Reality), yaitu Tuhan. Tuhan merupakan puncak pengalaman keberagamaan. Oleh Rudolf Otto, seorang ahli studi agama fenomenologis, pengalaman ini dirumuskan sebagai mysterium fascinans at tremendum, pengalaman misterius yang mempesona namun sekaligus menakutkan. Disebut misterius, karena hanya dapat dirasakan namun tak mungkin dijelaskan. Pengalaman yang unik dan istimewa, yang dapat menggetarkan hati, mendatangkan pesona dan kebahagiaan yang luar biasa. Dan kedua, apabila keberagamaan itu menumbuhkan kepekaan pada nilai-nilai kemanusiaan.
Pertautan secara dialektis antara kedua pengalaman inilah yang disebut dengan spiritualitas, sebagai dimensi yang fundamental dalam agama. Ia merupakan ruh, jiwa dan sumber dinamis agama.
Dimensi spiritual agama ini tidak mungkin dapat dimasuki, jika yang ditonjolkan dalam keberagamaan adalah ritus atau symbol. Kedudukan ritus atau symbol (tak lebih) merupakan medium untuk mendekatkan diri kepada sang pencipta. Maka yang dipentingkan, bagaimana batas-batas simbolik dapat terlampaui dalam proses keberagamaan. Dengan pernyataan ini tidak dimaksudkan bahwa ritus atau symbol tidak penting. Sekedar mempertegas pernyataan semula, ritus merupakan badan, sedangkan dalam badan dan jiwa, itulah spiritualitas agama. Dengan demikian, memasuki dunia spiritual tidak berarti harus meninggalkan agama seperti dalam paham Thomas Jefferson, yang mengaku percaya Tuhan (Deisme), kepada Kemaha-Esaan Tuhan (Unitarianisme), dan kepada kebenaran Universal (Universalisme), tanpa perlu meningkatkan diri kepada salah satu dari agama-agama formal (organized religion).
Sepintas faham Deisme di atas memberikan kesan liberalistic karena lebih bertumpu pada kemampuan manusia secara rasionalistik dalam mencari kepuasan spiritual. Padahal bila dicermati lebih dalam, paham ini akan menjebak manusia pada paham humanisme reduksionalistik, karena adanya penolakan pada agama formal.
Agama merupakan hal yang paling asasi dalam kehidupan manusia. Ia juga sebagai keadaan alami (state of nature) atau fitrah manusia yang tidak dapat digantikan dengan yang lainnya. Mengikuti penjelasan Rudolf Otto, dalam diri manusia tidak hanya terdapat struktur-struktur apriori yang rasional, tetapi juga struktur apriori yang irasional, yaitu berupa keinsafan beragama (sensus religiosus). Oleh Max Scheler (1954), dipertegas lagi bahwa keinsafan ini sebagai kemampuan paling dasariah dalam diri manusia dimana segala kegiatan rohani seperti cinta kasih, seni, filsafat dan lain sebagainya bermula dari sensus religiosus. Potensi ini membutuhkan afirmasi secara relegius pula yang dibuktikan dengan adanya penerimaan pada agama.
Ini sebenarnya  tidak lebih sebagai kelanjutan natur manusia yang harus dilaluinya sebagai makhluk religius. Maka semua kekuatan eksternal yang bersifat reduksionalistik, seperti tampak dalam Deisme, tidak akan mampu memberikan peneguhan secara religius-spiritual. Karena itu kenapa paham ini secara historis-sosiologis tidak pernah mampu menggeser dominasi agama formal. Bahkan, belakangan agama formal menunjukkan kebangkitannya, sehingga tak kurang seorang pemikir humanis-religius, Soejatmoko, mengatakan bahwa agama mendatang adalah abad spiritualitas melalui agama-agama (Nurcholis Madjid, 1995). Jadi, jika sebelumnya tercipta apa yang oleh Harvey Cox disebut denga seculer city sejalan dengan proses modernisasi, maka sekarang sebaliknya, sebagai religion return to seculer city.
Dengan demikian, kita tidak terlalu pesimistik dengan masa depan agama. Agama akan tetap menjadi bagian dari historisitas kehidupan manusia, meskipun acapkali menghadapi tantangan eksternal seperti tantangan dari modernitas. Kedudukan agama sebagai hal yang paling fundamental, eksistensial dan primordial, menjadi alasan terpenting kenapa agama tetap dibutuhkan bagi sejarah masa depan umat manusia. Apalagi, sekarang umat manusia sedang menghadapi berbagai krisis, akan semakin memberikan peluang kepada agama menawarkan system makna (meaning system) untuk mengatasi krisis itu. Dalam konteks inilah spiritualitas agama dapat ditawarkan sebagai alternative wacana keberagamaan di masa depan karena dapat menghantarkan manusia pada kemerdekaan yang hakiki.


[1] Syamsul Arifin adalah seorang guru besar Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), penulis buku “Merambah Jalan Baru Dalam Beragama” (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2000). Semua tulisan ini saya kutip dari judul buku tersebut secara keseluhan sebagai tempat belajar pribadi. Lalu setiap kata-kata yang menurut saya penting, saya beri keterangan. Meminjam bahasa pesantren, “disyarahi” atau diberi penjelasan. (Arif Muzayin Shofwan).
[2] Aufklarung adalah suatu gerakan besar di Eropa pada abad ke-18 M yang memberi kedudukan dan kepercayaan luar biasa kepada akal budi manusia. Gerakan ini tumbuh sejalan dengan penemuan-penemuan besar di bidang ilmu pengetahuan alam di Italia, Jerman, Polandia, dan Inggris. Beberapa ilmuwan yang hadir dan meramaikan ilmu pengetahuan pada masa ini, antara lain Galileo, Kepler, Copernicus, dan Newton. Lihat,  http://assyita.blogspot.com/2011/05/pengaruh-periode-aufklarung-pada.html
[3] Anomie adalah sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Émile Durkheim untuk menggambarkan keadaan yang kacau, tanpa peraturan. Kata ini berasal dari bahasa Yunani a-: "tanpa", dan nomos: "hukum" atau "peraturan". Lihat.  http://id.wikipedia.org/wiki/Anomie. Alienasi (alienation) atau biasa disebut keterasingan merupakan bentuk pengalaman ketika orang mengalami degradasi mental, yang mana menganggap bahwa dirinya sendiri sebagai orang asing. Orang yang merasa asing dengan dirinya sendiri. Ia tidak menganggap sebagai subjek atau sebagai pusat dari dunia, yang berperan sebagai pelaku atas perbuatan karena inisiatifnya sendiri. Tetapi sebaliknya, perbuatan beserta akibat-akibatnya telah menjadi tuannya, yang harus ditaati setiap waktu. Keterasingan itu boleh dikatakan menyangkut hubungan personal dengan pekerjanya, dengan barang-barang yang mereka konsumsi, dengan sesama manusia, dan bahkan dengan dirinya sendiri. Lihat, http://forum.kompas.com/urban-life/6260-apakah-kamu-merasakan-alienation-keterasingan.html.
[4] Fundamentalisme adalah sebuah gerakan dalam sebuah aliran, paham atau agama yang berupaya untuk kembali kepada apa yang diyakini sebagai dasar-dasar atau asas-asas (fondasi). Karenanya, kelompok-kelompok yang mengikuti paham ini seringkali berbenturan dengan kelompok-kelompok lain bahkan yang ada di lingkungan agamanya sendiri. Mereka menganggap diri sendiri lebih murni dan dengan demikian juga lebih benar daripada lawan-lawan mereka yang iman atau ajaran agamanya telah "tercemar".Kelompok fundamentalis mengajak seluruh masyarakat luas agar taat terhadap teks-teks Kitab Suci yang otentik dan tanpa kesalahan. Lihat, http://id.wikipedia.org/wiki/Fundamentalisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar