Syamsul Arifin[1]
Melalui telaah kebudayaan yang mendalam, pergeseran yang terjadi
dalam masyarakat akhir-akhir ini bisa dikatakan sebagai pergeseran dari modernisme
ke pascamodernisme. Pergeseran ini menarik dicermati karena
menyentuh aspek yang paling mendasar dalam kehidupan manusia, yaitu berhubungan
dengan pandangan dunianya (word view). Adanya pergeseran ini
merupakan mata rantai berbagai krisis yang tidak bisa diselesaikan dengan cara-cara
yang bersifat teknis-instrumental, seperti melalui sains. Bahkan,
sains sendiri belakangan ini juga menghadapi kritik, karena kecuali secara epistemologi
sains tidak mampu menghantarkan pada pemahaman yang holistic terhadap realitas,
sains juga dinilai menimbulkan banyak krisis. Karena sains lahir dari peradaban
modern, maka kritik terhadap sains juga kritik terhadap modernisme sebagai
landasan paradigmatic dalam menjelaskan realitas.
Modernisme lahir pada abad ke-17 dan ke-18 melalui apa yang
kemudian banyak dikenal dengan enlightenment atau aufklarung.[2]
Lahir dengan semangat mendekonstruksi terhadap mitos yang terbungkus dalam
agama karena dianggap anti rasionalisme dan empirisme, pada awal-awal
kemunculannya, disambut dengan penuh gegap gempita karena memberikan ruang
gerak yang lebih leluasa kepada manusia, lebih-lebih dalam melakukan
eksploitasi terhadap kekayaan alam semesta. Dengan cara ini, modernisme tampil
sebagai suatu pandangan dunia baru (weltanschauung) yang
dijadikan acuan utama dalam menjelaskan semua realitas seperti teologi,
kosmologi dan antropologi, yang secara sistematis
menggantikan kedudukan agama. Kalau toh diakui eksistensinya,
agama tidak lebih sebagai urusan pribadi (private affair) yang
telah kehilangan kemaknaan social, kultur, dan structural.
Dalam realitas historis, memang diakui pandangan hidup modernisme
yang mendasarkan pada paradigma positivisme, telah membawa banyak
kemajuan bagi umat manusia yang tidak pernah dialami pada masa sebelumnya. Apa
yang sekarang disebut dengan kapitalisme sebagai “masyarakat yang
dibayangkan”, dalam ekonomi demokrasi dalam politik, sekularisme dalam
agama, kemajuan dibidang iptek, secara simbolik telah menjadikan bukti cerita
sukses kebudayaan dan peradaban modern.
Akan tetapi modernisme mulai menghadapi kritik yang demikian hebat,
karena dalam kenyataannya banyak menimbulkan paradoks, dibalik keberhasilan
secara material. Hal ini dapat dicermati dari munculnya persoalan global yang
menyentuh sisi-sisi kemanusiaan yang bersifat fundamental seperti persoalan anomie,
alienation[3]
dan krisis tentang makna dan tujuan hidup (meaning and purpose of life). Munculnya
krisis kemanusiaan ini, menurut pendapat Seyyed Hussein Nasr, karena
modernisasi tidak berakar pada dimensi transenden. Atau seperti
diungkap oleh Brifault dalam bukunya, The ‘Making of Humanity’,
karena modernisme semenjak awal sejarahnya telah melantarkan serta mereduksi
nilai-nilai kemanusiaan yang esensial, sehingga modernisme telah terpelanting
dari eksistensinya lalu mengalami keterasingan jiwa.
Fenomena Fundamentalisme
Ada suatu prediksi bahwa mengiringi pergantian dari millennium
kedua ke millennium ketiga atau abad ke-21, agama akan menjadi salah satu mainstream
dalam perkembangan sejarah peradaban umat manusia. Munculnya banyak krisis yang
diderita oleh umat manusia sebagaimana telah dipertontonkan dalam panggung
peradaban baru, telah mendorong kesadaran kritis manusia kembali ke alam
primordialnya, yaitu agama. Demikianlah, dipenghujung abad
ke-20 ini kehidupan keagamaan memperlihatkan grafik yang menanjak. Paling tidak
gejala ini dapat dilihat dari banyaknya perkumpulan agama dan berbagai macam
aktivitas di dalamnya. Sejalan dengan itu, agama kemudian menjadi bagian
pembentuk symbol dalam kehidupan sosio-kultural masyarakat urban. Perkembangan
semacam ini oleh para pengamat dipandang sebagai kebangkitan agama seperti
dikemukakan oleh John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam bukunya, ‘Megatrend
2000’.
Betulkan sekarang terjadi kebangkitan agama? Seperti apakah wujud
kebangkitan agama itu? Jawaban pertanyaan ini akan beragam karena artikulasi
keberagamaan sangat beragam sifatnya. Sehingga bisa jadi, adanya kesimpulan
bahwa sekarang terjadi kebangkitan agama, karena didasarkan pada aspek tertentu
dan melupakan aspek lainnya. Karena itu sampai saat ini terdapat perbedaan
pandangan dari kalangan peminat studi agama mengenai kebangkitan agama itu. Ada
sementara pihak yang melihat adanya kebangkitan itu karena dipandang dari aspek
symbol dan ritus kehidupan keagamaan nampak marak. Akan tetapi kesimpulan ini
ditolak oleh yang lainnya, karena symbol dan ritus dalam agama bukan hal yang
esensial. Lebih dari sekedar peristiwa simbolik, pihak ini lebih menekankan
pada fungsi agama sebagai landasan etik, moral dan spiritual dengan manusia
dapat menemukan suatu system makna dalam menghadapi berbagai tantangan hidup
dimasa depan.
Adanya dua pandangan diatas tidak perlu dipertentangkan, karena
antara yang satu dengan yang lainnya bersifat melengkapi. Jika yang pertama
lebih banyak berada pada tataran esoterisme agama. Karena
keduanya menjadi tolok ukur kesempurnaan dalam beragama, maka salah satu di
antara keduanya tidak bisa ditinggalkan. Antara keduanya, ditegaskan oleh
Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis (1995), seperti dua sisi dari
satu mata uang logam, jika salah satunya hilang, maka uang tersebut tidak
berharga.
Masalahnya bagaimana dapat dihindari keberagamaan yang parsial
dan reduksionik, yang hanya menonjolkan satu aspek dan menghilangkan
aspek yang lainnya. Sebab, belakangan ini muncul kecenderungan keberagamaan
yang demikian, seperti yang diperlihatkan secara jelas oleh gerakan fundamentalisme
agama.[4]
Sebagai salah satu kecenderungan keberagamaan yang sangat popular,
gerakan fundamentalisme agama menarik dicermati karena perkembangannya yang
demikian fenomenal. Hal ini dapat dilihat dari kemampuan gerakan ini dalam
membangun komunitas keagamaan sendiri yang cenderung eksklusif, serta mempunyai
daya rambah yang cukup luas terhadap semua aspek kehidupan social masyarakat.
Sebagai sebuah paham (isme) dan gerakan, fundamentalisme menawarkan suatu
wacana keagamaan di luar wacana mainstream. Karena itu dalam
fundamentalisme terlihat banyak perbedaan dengan faham dan gerakan keagamaan
lainnya.
Misalnya dalam hal teologinya. Dikatakan oleh Ernest Gellner
(1992), fundamentalisme berpandangan, bahwa keimanan harus dipegang dengan
teguh secara penuh dan harfiah, tidak mengenal kompromi, keluwesan,
reinterprestasi atau pengurungan (free of compromise, softening,
reinterpretation or domination). Dalam pandangan fundamentalisme ini,
inti agama adalah doktrin yang harus ditetapkan secara persisi dan paripurna.
Tambahan pula, dalam fundamentalisme terdapat system pengkultusan (cult)
sebagai sumber legitimasi yang mempunyai otoritas pemberi kepuasan dan
keselamatan kepada para pengikutnya.
Dalam beberapa hal, fundamentalisme, seperti diyakini oleh para
pengikutnya, dapat memberikan kepuasan batin secara cepat pada saat masyarakat
diombang-ambingkan oleh struktur modernitas yang dianggapnya tidak memberi
kepuasan yang hakiki. Ikhwal munculnya fundamentalisme diakui sebagian
pemerhati memang disebabkan oleh berbagai akibat negative yang muncul dalam
masyarakat modern-industrial seperti kesepian, rapuhnya struktur social yang
kukuh dan ambruknya makna yang berlaku.
Namun demikian, fundamentalisme memperoleh kritik yang sangat tajam
karena hanya mendatangkan efek ketenangan yang bersifat sementara (palliative)
dan terdapat banyak kepalsuan didalamnya. Jika pada mulanya
fundamentalisme dimaksudkan untuk mencari kemerdekaan, maka justru yang
terdapat dalam fundamentalisme adalah bentuk pelarian dari kebebasan (escape
from freedom) yang bersifat membelenggu.
Aktualisasi Spiritualitas Agama
Fundamentalisme merupakan gambaran dari sebuah keberagamaan yang statis,
karena hanya mementingkan teks atau doktrin, penonjolan yang berlebihan
terhadap symbol, serta pemujaan yang berlebihan terhadap tokoh kharismatik.
Dengan wataknya yang demikian, wajar apabila fundamentalisme tidak dapat
memberikan kepuasan yang hakiki yang ingin dicapai dalam proses keberagamaan.
Esensi kepuasan dalam beragama manakala dalam seseorang, pertama,
merasakan kehadiran dan “kemanunggalan” dengan Realitas yang Mutlak (Ultimate
Reality), yaitu Tuhan. Tuhan merupakan puncak pengalaman keberagamaan.
Oleh Rudolf Otto, seorang ahli studi agama fenomenologis, pengalaman ini
dirumuskan sebagai mysterium fascinans at tremendum, pengalaman
misterius yang mempesona namun sekaligus menakutkan. Disebut misterius, karena
hanya dapat dirasakan namun tak mungkin dijelaskan. Pengalaman yang unik dan
istimewa, yang dapat menggetarkan hati, mendatangkan pesona dan kebahagiaan
yang luar biasa. Dan kedua, apabila keberagamaan itu menumbuhkan
kepekaan pada nilai-nilai kemanusiaan.
Pertautan secara dialektis antara kedua pengalaman inilah yang
disebut dengan spiritualitas, sebagai dimensi yang fundamental dalam agama. Ia
merupakan ruh, jiwa dan sumber dinamis agama.
Dimensi spiritual agama ini tidak mungkin dapat dimasuki, jika yang
ditonjolkan dalam keberagamaan adalah ritus atau symbol. Kedudukan ritus atau
symbol (tak lebih) merupakan medium untuk mendekatkan diri kepada sang
pencipta. Maka yang dipentingkan, bagaimana batas-batas simbolik dapat
terlampaui dalam proses keberagamaan. Dengan pernyataan ini tidak dimaksudkan
bahwa ritus atau symbol tidak penting. Sekedar mempertegas pernyataan semula,
ritus merupakan badan, sedangkan dalam badan dan jiwa, itulah spiritualitas
agama. Dengan demikian, memasuki dunia spiritual tidak berarti harus
meninggalkan agama seperti dalam paham Thomas Jefferson, yang mengaku percaya
Tuhan (Deisme), kepada Kemaha-Esaan Tuhan (Unitarianisme),
dan kepada kebenaran Universal (Universalisme), tanpa perlu
meningkatkan diri kepada salah satu dari agama-agama formal (organized
religion).
Sepintas faham Deisme di atas memberikan kesan liberalistic karena
lebih bertumpu pada kemampuan manusia secara rasionalistik dalam mencari
kepuasan spiritual. Padahal bila dicermati lebih dalam, paham ini akan menjebak
manusia pada paham humanisme reduksionalistik, karena adanya penolakan pada
agama formal.
Agama merupakan hal yang paling asasi dalam kehidupan
manusia. Ia juga sebagai keadaan alami (state of nature) atau
fitrah manusia yang tidak dapat digantikan dengan yang lainnya. Mengikuti
penjelasan Rudolf Otto, dalam diri manusia tidak hanya terdapat
struktur-struktur apriori yang rasional, tetapi juga struktur apriori yang
irasional, yaitu berupa keinsafan beragama (sensus religiosus). Oleh
Max Scheler (1954), dipertegas lagi bahwa keinsafan ini sebagai kemampuan
paling dasariah dalam diri manusia dimana segala kegiatan rohani seperti cinta
kasih, seni, filsafat dan lain sebagainya bermula dari sensus religiosus.
Potensi ini membutuhkan afirmasi secara relegius pula yang dibuktikan dengan
adanya penerimaan pada agama.
Ini sebenarnya tidak lebih sebagai
kelanjutan natur manusia yang harus dilaluinya sebagai makhluk religius. Maka
semua kekuatan eksternal yang bersifat reduksionalistik, seperti tampak dalam
Deisme, tidak akan mampu memberikan peneguhan secara religius-spiritual. Karena
itu kenapa paham ini secara historis-sosiologis tidak pernah mampu menggeser
dominasi agama formal. Bahkan, belakangan agama formal menunjukkan
kebangkitannya, sehingga tak kurang seorang pemikir humanis-religius,
Soejatmoko, mengatakan bahwa agama mendatang adalah abad spiritualitas melalui
agama-agama (Nurcholis Madjid, 1995). Jadi, jika sebelumnya tercipta apa yang
oleh Harvey Cox disebut denga seculer city sejalan dengan proses
modernisasi, maka sekarang sebaliknya, sebagai religion return to seculer
city.
Dengan demikian, kita tidak terlalu pesimistik dengan masa depan
agama. Agama akan tetap menjadi bagian dari historisitas kehidupan manusia,
meskipun acapkali menghadapi tantangan eksternal seperti tantangan dari
modernitas. Kedudukan agama sebagai hal yang paling fundamental,
eksistensial dan primordial, menjadi alasan terpenting
kenapa agama tetap dibutuhkan bagi sejarah masa depan umat manusia. Apalagi,
sekarang umat manusia sedang menghadapi berbagai krisis, akan semakin
memberikan peluang kepada agama menawarkan system makna (meaning system)
untuk mengatasi krisis itu. Dalam konteks inilah spiritualitas agama dapat
ditawarkan sebagai alternative wacana keberagamaan di masa depan karena dapat
menghantarkan manusia pada kemerdekaan yang hakiki.
[1] Syamsul Arifin
adalah seorang guru besar Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), penulis buku
“Merambah Jalan Baru Dalam Beragama” (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2000). Semua
tulisan ini saya kutip dari judul buku tersebut secara keseluhan sebagai tempat
belajar pribadi. Lalu setiap kata-kata yang menurut saya penting, saya beri
keterangan. Meminjam bahasa pesantren, “disyarahi” atau diberi
penjelasan. (Arif Muzayin Shofwan).
[2] Aufklarung
adalah suatu gerakan besar di Eropa pada abad ke-18 M yang memberi kedudukan
dan kepercayaan luar biasa kepada akal budi manusia. Gerakan ini tumbuh sejalan
dengan penemuan-penemuan besar di bidang ilmu pengetahuan alam di Italia,
Jerman, Polandia, dan Inggris. Beberapa ilmuwan yang hadir dan meramaikan ilmu
pengetahuan pada masa ini, antara lain Galileo, Kepler, Copernicus, dan Newton.
Lihat, http://assyita.blogspot.com/2011/05/pengaruh-periode-aufklarung-pada.html
[3] Anomie adalah sebuah
istilah yang diperkenalkan oleh Émile
Durkheim untuk menggambarkan keadaan yang kacau, tanpa peraturan. Kata ini
berasal dari bahasa Yunani a-: "tanpa", dan nomos:
"hukum" atau "peraturan". Lihat. http://id.wikipedia.org/wiki/Anomie. Alienasi
(alienation) atau biasa disebut keterasingan merupakan bentuk pengalaman
ketika orang mengalami degradasi mental, yang mana menganggap bahwa dirinya
sendiri sebagai orang asing. Orang yang merasa asing dengan dirinya sendiri. Ia
tidak menganggap sebagai subjek atau sebagai pusat dari dunia, yang berperan
sebagai pelaku atas perbuatan karena inisiatifnya sendiri. Tetapi sebaliknya,
perbuatan beserta akibat-akibatnya telah menjadi tuannya, yang harus ditaati
setiap waktu. Keterasingan itu boleh dikatakan menyangkut hubungan personal
dengan pekerjanya, dengan barang-barang yang mereka konsumsi, dengan sesama
manusia, dan bahkan dengan dirinya sendiri. Lihat, http://forum.kompas.com/urban-life/6260-apakah-kamu-merasakan-alienation-keterasingan.html.
[4] Fundamentalisme adalah sebuah
gerakan dalam sebuah aliran, paham atau agama yang berupaya
untuk kembali kepada apa yang diyakini sebagai dasar-dasar atau asas-asas
(fondasi). Karenanya, kelompok-kelompok yang mengikuti paham ini seringkali
berbenturan dengan kelompok-kelompok lain bahkan yang ada di lingkungan
agamanya sendiri. Mereka menganggap diri sendiri lebih murni dan dengan
demikian juga lebih benar daripada lawan-lawan mereka yang iman atau ajaran
agamanya telah "tercemar".Kelompok fundamentalis mengajak
seluruh masyarakat luas agar taat terhadap teks-teks Kitab Suci
yang otentik dan tanpa kesalahan.
Lihat, http://id.wikipedia.org/wiki/Fundamentalisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar