Oleh:
Arif Muzayin Shofwan
“Tulis
apapun yang bisa Anda tulis!. Siapa tahu bermanfaat.”
(Anonim)
Saat
bincang-bincang ringan dalam acara rapat pamong dusun Sekardangan yang diadakan
di rumah Mas Bastomi, saya meminta Mbah Husaini untuk menceritakan sekelumit kisah
tentang tokoh-tokoh dusun Sekardangan masa lalu, yang berada dalam wilayah desa
Papungan, kecamatan Kanigoro, kabupaten Blitar, Jawa Timur masa lampau. Mbah
Husaini menerangkan bahwa kisah dusun Sekardangan dimulai dari “Petilasan Mbah Sekardangan” yang berada
di Barat Masjid Baitul Makmur Sekardangan, berjarak kurang lebih 150 meter. Penelusuran saya
tentang para tokoh yang pernah bermukim di petilasan tersebut di antaranya: Ki Kebo Kanigoro (Mbah Kyai Purwoto Siddiq
Banyubiru); Nyai Ajeng Kardinah (Nyai Gadhung Melati); dan Rara Sekar Rinonce (Rara
Tenggok) yang pada akhirnya pulang kembali ke Sukoharjo, Jawa Tengah. Mbah
Husaini mendapatkan cerita dari para sesepuh dusun Sekardangan masa lalu bahwa
petilasan Mbah Sekardangan yang sekarang dibuat menjadi sebuah monumen (punden atau pepunden; bahasa Jawa) dulu merupakan petilasan rumah atau kediaman
cikal bakal dusun Sekardangan.
Sebagian
sesepuh dusun Sekardangan menyatakan bahwa para sesepuh Jawa pada zaman dulu
biasanya membuat sebuah monumen peringatan selalu berbentuk “punden” (pepunden) yang biasanya juga disebut
“sadranan” (sebuah tempat yang
diyakini sebagai tempat tinggal cikal-bakal masa lalu maupun untuk menanam
segala macam tumbal desa atau dusun dari sang cikal-bakal). Tempat tersebut
biasanya digunakan untuk peringatan bersih desa/dusun oleh warga Sekardangan. Tempat
untuk mengenang cikal-bakal dusun/desa dan bukan untuk berbuat syirik
seperti anggapan mereka yang tak paham akan tradisi Jawa. Jadi sebuah “punden” atau “pepunden” atau “sadranan”
sebenarnya kajiannya sama dengan monumen Tugu Pancasila Sakti, monumen Tugu
Monas, dan beberapa monumen yang lainnya. Bedanya, kalau “punden” atau “pepunden”
atau “sadranan” merupakan tugu
peringatan tingkat dusun, desa, kecamatan, ataupun kabupaten serta bercorak tradisi
masa lampau. Tapi kalau monumen Pancasila Sakti, tugu Monas merupakan tugu
peringatan tingkat nasioanal dan bercorak tradisi masa kini yang lebih modern. Lanjut
kata sebagian sesepuh Sekardangan bahwa, jadi sifatnya hanya untuk sebuah
peringatan, mengenang cikal-bakal dusun/desa dan semacamnya. Bukan untuk berbuat
musyrik menyekutukan Tuhan sebagaimana anggapan mereka yang tak pernah mendalami
tradisi Jawa.
Kata
Mbah Kyai Zainuddin bahwa setelah ketiga tokoh di atas berhasil menjadi
cikal-bakal dusun Sekardangan, kemudian mereka kembali ke Jawa Tengah. Yakni
dalam penelusuran saya, tepatnya di dusun Sarehan, desa Jatingarang, kecamatan
Weru, kabupaten Sukoharjo. Kisah ini signifikan dengan cerita dari Mbah Bayan
Mayar yang diperolehnya dari Mbah Markalam. Begitu pula, cerita tersebut
signifikan dengan cerita para sesepuh yang lain. Kata para sesepuh dusun
Sekardangan bahwa tepat di sebelah barat masjid Baitul Makmur dan sekitarnya
dulu ada banyak makam kuno yang sudah tidak ada yang merawat. Bahkan
makam-makam tersebut sampai berada di bawah barongan
pohon Bambu saking lamanya. Makam-makam tersebut konon merupakan kuburan para
sesepuh pada zaman Mbah Sekardangan (tiga tokoh di atas). Hal tersebut
diperkuat dengan kesaksian Mbah Husaini, Mbah Yani, dan kisah dari sesepuh
Sekardangan lainnya.
Berawal
dari hal di atas, tulisan ini akan menerangkan penelusuran saya tentang
beberapa situs makam para sesepuh dusun Sekardangan yang masih bisa saya
dapatkan informasinya dari para sesepuh. Ya, penelusuran tersebut saya lakukan
bersama Paklik Nuruddin dan Mbah Jawoko, yakni penelusuran makam kuno para sesepuh
dusun Sekardangan yang berada di Gaprang Utara, Kanigoro, Blitar. Saya
menelusuri makam Mbah Kyai Raden Atmo
Setro dan Mbah Kyai Abu Yamin
serta beberapa makam kuno lain yang tidak saya kenal. Begitu pula, saya juga
menelusuri makam Mbah Kyai Raden Tirto
Sentono (makam di Sekardangan) dan Mbah
Kyai Raden Setro Kromo (makam di Sekardangan dan merupakan menantu dari
Mbah Kyai Raden Atmo Setro). Saya menikmati perjalanan penelusuran yang sangat
mengasyikkan ini. Dari segi silsilah saya dan Mas Nurdin juga berasal dari Mbah Kyai Raden Atmo Setro di atas.
Saya ingin menuliskan silsilah saya agar kalau saya lupa saya bisa buka-buka
lagi. Berikut silsilah yang dimaksud:
1.
Mbah
Kyai Raden Atmo Setro (makam di Gaprang Utara, Kanigoro, Blitar)
berputra:
2.
Nyai
Setro Kromo (istri Mbah Kyai Raden Setro Kromo dari
Gajah, Papungan, Kanigoro, Blitar. Nama kecil dari Mbah Kyai Raden Setro Kromo
adalah Ahmad Darim. Mbah Kyai Raden Setro Kromo memiliki 4 orang anak, salah
satunya Nyai Zainuddin ini. Dari tokoh inilah sebenarnya antara warga dusun
Gajah dan Sekardangan masih memiliki hubungan kekerabatan), berputra:
3.
Nyai
Zainuddin (istri Mbah Kyai Zainuddin bin Abu Yamin bin
Abdurrahim), berputra:
4.
Nyai
Murdinah (istri Mbah Kyai Ahmad Dasuqi bin Marto Dikromo bin
Imam Tobroni), berputra:
5.
Nyai
Umi Kulsum (istri dari Mbah Kyai Muhammad Irjaz bin Ibrahim),
berputra:
6.
Nyai
Siti Rofiah (istri Mbah Tamam bin Thahir bin Munawwar),
berputra:
7.
Arif
Muzayin Shofwan (penulis)
Sementara jalur silsilah Paklik Nuruddin adalah:
1.
Mbah
Kyai Raden Atmo Setro (makam di Gaprang Utara, Kanigoro, Blitar)
berputra:
2.
Nyai
Setro Kromo (istri Mbah Kyai Raden Setro Kromo dari
Gajah, Papungan, Kanigoro, Blitar. Nama kecil dari Mbah Kyai Raden Setro Kromo
adalah Ahmad Darim. Dari tokoh inilah sebenarnya antara warga dusun Gajah dan
Sekardangan masih memiliki hubungan kekerabatan), berputra:
3.
Nyai
Zainuddin (istri Mbah Kyai Zainuddin bin Abu Yamin bin
Abdurrahim), berputra:
4.
Nyai
Sarmi (istri Mbah Modin Sekardangan kala itu), berputra:
5.
Mbah
Zaini, berputra:
6.
Paklik
Nuruddin (paman mindoan)
Jadi
saya generasi ke-7 dan Paklik Nuruddin merupakan generasi ke-6 dari Mbah Kyai
Raden Atmo Setro dan generasi ke-6 dari Mbah Kyai Abu Yamin yang kedua makam
tokoh ini berada di desa Gaprang, Kanigoro, Blitar. Sebenarnya, ada banyak para
sesepuh dusun Sekardangan yang dimakamkan di areal desa Gaprang Utara, sebab
pada masa itu dusun Sekardangan belum memiliki areal makam tersendiri. Beberapa
tokoh yang saya ketahui dan yang dimakamkan di desa Gaprang bagian Utara hanya
tiga orang, di antaranya: (1) Mbah Kyai
Raden Atmo Setro; (2) Mbah Kyai Abu
Yamin; dan (3) Mbah Kyai Hasan
Muhtar. Selain ketiga tokoh tersebut, saya tidak tahu dan belum
mempelajarinya. Warga dusun Sekardangan hampir 70 persen rata-rata masih berkaitan
nasab dengan tokoh di atas. Begitu pula warga Sekardangan berkaitan nasab dengan
Mbah Kyai Raden Tirto Sentono, Mbah Kyai
Bontani (makam di barat Masjid Baitul Makmur), Mbah Kyai Wongsopuro (makam di barat Masjid Baitul Makmur), Mbah Kyai Barnawi (saya belum tahu
makamnya), Mbah Kyai Abu Bakar, Mbah
Menthel, Mbah Mangun (makam ketiganya berada di barat mushalla Mbah Kyai
Abu Bakar Sekardangan) dan tokoh tokoh masa lalu lainnya. Belum lagi terjadinya
hubungan kekerabatan dan pernikahan dari generasi di bawah tokoh di atas lainnya.
Makanya, para sesepuh dusun Sekardangan dulu sering mengatakan begini: “Wong sak Sekardangan kuwi jik dulur kabeh”,
artinya semua warga Sekardangan itu masih saudara.
Sayang
beritu sayang, tradisi menarik silsilah bukan merupakan sesuatu yang menarik di
hati mereka yang tidak tertarik. Akhirnya, ibarat kata sesepuh Jawa “okeh sing kepaten obor”, artinya sudah
tidak ada sesepuh yang bisa menjelaskan runtutan silsilah nasabnya ke atas. Mbah
Kyai Zainuddin menyatakan bahwa Mbah Kyai Abu Yamin dan Mbah Kyai Hasan Muhtar
merupakan santri pertama di dusun Sekardangan. Ayah Mbah Kyai Abu Yamin yang
bernama Mbah Kyai Abdurrohim konon
dimakamkan di “Pemakaman Karanglo”
kota Blitar. Selanjutnya, makam ayah dari Mbah
Abdurrohim yang namanya saya juga tidak tahu, konon berada di “Pemakaman Sentono Lodoyo” Blitar
Selatan. Untuk kisah-kisah ke atasnya, saya tidak tahu-menahu. Sementara itu,
untuk Mbah Kyai Hasan Muhtar saya juga tidak tahu-menahu jalur ke atasnya. Adapun
Mbah Kyai Raden Atmo Setro mungkin pula juga berasal dari Lodoyo pada saat
pemerintahan Pangeran Prabu yang terkenal dengan pasukan “Singo Lodoyo”-nya. Kalau saya pelajari dari generasi-ke generasi
tokoh-tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa mereka hidup sezaman dengan Mbah Kyai Raden Gunondiko, Mbah Kyai Raden Conomo, dan Mbah Kyai Raden Marsidiq (tiga orang tokoh yang cikal-bakal desa
Plosorejo, Kademangan, Blitar).
Tak
jauh dari hal di atas, bila para keturunan dari Mbah Kyai Raden Atmo Setro tersebut hingga kini sampai generasi ke-6,
7, 8, dan 9, bisa disimpulkan pula bahwa beliau sezaman dengan Mbah Kyai Raden Muhammad Qosim
(keturunan Sunan Tembayat), Mbah Raden
Ndoro Tedjo yang makam keduanya berada di Puncak Gunung Pegat, Srengat,
Blitar. Begitu pula, dapat disimpulkan pula bahwa Mbah Kyai Raden Atmo Setro sezaman dengan Mbah Raden Ngabehi Wirogati (cikal-bakal Jatimalang, kota Blitar
dan keturunan Sunan Tembayat), Mbah Kyai
Raden Rembang (cikal-bakal Rembang, Blitar dan termasuk keturunan Sunan
Tembayat). Tokoh-tokoh yang saya sebutkan merupakan ulama-ulama yang rata-rata
hijrah dari Mataram ke Jawa Timur karena rentetan dari perpolitikan Raja
Amangkurat I Mataram yang bekerjasama dengan Belanda. Atau mungkin orang tua, kakek, atau kakek buyut para tokoh-tokoh yang saya
sebutkan di atas menjadi korban perpolitikan peristiwa saat itu. Akhirnya,
untuk menghindari akibat perpolitikan yang berlarut-larut mereka lalu hijrah
dan bedol desa hingga menurunkan anak cucu, cicit, dan keturunan di tempat
tersebut.
Kata
sebagian sesepuh dusun Sekardangan dengan mengutip ungkapan “Man
Lam Yasykurin Nass Lam Yasykurillah” (Barangsiapa tak bisa bersyukur
kepada manusia, maka dia tak bisa bersyukur kepada Allah) menjelaskan rasa
syukur kepada para leluhur. Kata mereka, jadi kita mendoakan kepada leluhur
kita semua hanyalah sebagai rasa syukur terima kasih kita kepada para leluhur.
Karena melalui proses yang panjang dari generasi ke generasi para leluhur inilah
kita bisa terlahir di dunia dengan segala ragam suka dan derita. Hal inilah
yang patut kita syukuri. Syukur atau terima kasih kita kepada para leluhur itu di
antaranya dengan cara mendoakan mereka. Mendoakan agar para leluhur mendapatkan
kebahagiaan dalam alam kehidupan yang sedang mereka alami. Kalau kita tahu hal
ini, tak ada yang perbuatan syirik (menyekutukan Tuhan) dalam
hal ini. Justru dengan hal tersebut, kita akan banyak mengetahui sejarah
leluhur kita semua. Lanjut kata sebagian sesepuh Sekardangan bahwa hanya diri
pribadi kita semua yang mengetahui syirik dan tidak syirik-nya diri
kita. Bukan orang lain yang hanya sebagai pengamat luar dengan segala macam
persepsinya.
Yah,
inilah akhir dari cerita penelusuran saya bersama Paklik Nuruddin dan Mbah
Jawoko mengenai sebagian sesepuh yang mbabat dusun Sekardangan. Sebagai akhir
dari catatan harian (cahar) ini, saya berterima kasih kepada para sesepuh dusun
Sekardangan yang telah memberikan beragam informasi yang saya butuhkan.
Akhirnya, teriring doa, “Ya Tuhan berkahilah seluruh warga dusun Sekardangan.
Berikan rizki yang melimpah barokah bagi semua warga dusun Sekardangan. Ya
Tuhan, jadikanlah dusun Sekardangan sebagai tempat yang nyaman, tentram, dan
damai sepanjang zaman. Ya Tuhan, mudah-mudahan Engkau mengabulkan doa-doa yang
baik-baik dari warga dusun Sekardangan. Ya Tuhan, mudah-mudahan Engkau menolak
doa-doa yang tidak baik dari warga dusun Sekardangan. Ya Tuhan, berikan
kesejahteraan bagi warga dusun Sekardangan di dalam kehidupan kini dan
mendatang.” Amin, amin, amin. Ya Rabbal Alamin.
“Sluman,
slumun, slamet. Slameto lek ngemongi jiwa raga”
Paklik Nuruddin di belakang makam Mbah Kyai Raden Atmo Setro (salah satu dari beberapa sesepuh yang mbabat dusun Sekardangan) di Pemakaman Kuno desa Gaprang Utara |
Mbah Jawoko berada di depan makam Mbah Kyai Abu Yamin (salah satu dari ulama yang mbabat dusun Sekardangan) berada di Pemakaman Kuno desa Gaprang Utara |
Makam Mbah Kyai Raden Tirto Sentono (salah satu dari sesepuh yang mbabat dusun Sekardangan) berada di Makam Umum dusun Sekardangan |
Tentang
Penulis
Arif
Muzayin Shofwan adalah salah satu peneliti situs makam
kuno, petilasan, dan cikal-bakal di seputar kota dan kabupaten Blitar, Jawa
Timur. Oleh karena pria tersebut sering meneliti berbagai situs makam kuno,
petilasan, dan cikal-bakal, maka dia terkadang juga berbau kuburan, kijing,
batu nisan, kembang telon, kembang ponco warno, kembang kenongo, kembang boreh,
kembang melati, kembang kantil, cok bakal, minyak misik, minyak jakfaron, minyak
malaikat subuh, minyak bunga sedap malam, minyak srimpi, dupa Kawi, dupa Cina, dupa
Arab, dupa India, menyan Jawa, menyan Arab dan bermacam bau-bauan lainnya. Pria
yang memiliki hobi membaca dan menulis tersebut beralamatkan di Jl. Masjid
Baitul Makmur Sekardangan RT. 03 RW. 09 Papungan, Kanigoro, Blitar, Jawa Timur.
HP. 085649706399.
saya atas nama BPK. SAMSUL dari MADURA ingin mengucapkan banyak terimah kasih kepada MBAH KARYO,kalau bukan karna bantuannya munkin sekaran saya sudah terlantar dan tidak pernaah terpikirkan oleh saya kalau saya sdh bisa sesukses ini dan saya tdk menyanka klau MBAH KARYO bisa sehebat ini menembuskan semua no,,jika anda ingin seperti saya silahkan hubungi MBAH KARYO no ini 082301536999 saya yakin anda tdk akan pernah menyesal klau sudah berhubungan dgn MBAH KARYO dan jgn percaya klau ada yg menggunakan pesan ini klau bukan nama BPK. SAMSUL dan bukan nama MBAH KARYO krna itu cuma palsu.m
BalasHapussaya atas nama BPK. SAMSUL dari MADURA ingin mengucapkan banyak terimah kasih kepada MBAH KARYO,kalau bukan karna bantuannya munkin sekaran saya sudah terlantar dan tidak pernaah terpikirkan oleh saya kalau saya sdh bisa sesukses ini dan saya tdk menyanka klau MBAH KARYO bisa sehebat ini menembuskan semua no,,jika anda ingin seperti saya silahkan hubungi MBAH KARYO no ini 082301536999 saya yakin anda tdk akan pernah menyesal klau sudah berhubungan dgn MBAH KARYO dan jgn percaya klau ada yg menggunakan pesan ini klau bukan nama BPK. SAMSUL dan bukan nama MBAH KARYO krna itu cuma palsu.m
BalasHapusSaya sedang mencari sejarah keturunan Raden Marto Diwirio Wirogarti , di jogja ,siapa tahu e-mel Sy ya : mgks67@gmail.com
BalasHapus