Kamis, 03 November 2016

MENELUSURI SEBAGIAN TOKOH DUSUN SEKARDANGAN MASA LAMPAU KHUSUSNYA MBAH KYAI RADEN ATMO SETRO



Oleh: Arif Muzayin Shofwan

“Tulis apapun yang bisa Anda tulis!. Siapa tahu bermanfaat.”
(Anonim)

Saat bincang-bincang ringan dalam acara rapat pamong dusun Sekardangan yang diadakan di rumah Mas Bastomi, saya meminta Mbah Husaini untuk menceritakan sekelumit kisah tentang tokoh-tokoh dusun Sekardangan masa lalu, yang berada dalam wilayah desa Papungan, kecamatan Kanigoro, kabupaten Blitar, Jawa Timur masa lampau. Mbah Husaini menerangkan bahwa kisah dusun Sekardangan dimulai dari “Petilasan Mbah Sekardangan” yang berada di Barat Masjid Baitul Makmur Sekardangan, berjarak  kurang lebih 150 meter. Penelusuran saya tentang para tokoh yang pernah bermukim di petilasan tersebut di antaranya: Ki Kebo Kanigoro (Mbah Kyai Purwoto Siddiq Banyubiru); Nyai Ajeng Kardinah (Nyai Gadhung Melati); dan Rara Sekar Rinonce (Rara Tenggok) yang pada akhirnya pulang kembali ke Sukoharjo, Jawa Tengah. Mbah Husaini mendapatkan cerita dari para sesepuh dusun Sekardangan masa lalu bahwa petilasan Mbah Sekardangan yang sekarang dibuat menjadi sebuah monumen (punden atau pepunden; bahasa Jawa) dulu merupakan petilasan rumah atau kediaman cikal bakal dusun Sekardangan.

Sebagian sesepuh dusun Sekardangan menyatakan bahwa para sesepuh Jawa pada zaman dulu biasanya membuat sebuah monumen peringatan selalu berbentuk “punden” (pepunden) yang biasanya juga disebut “sadranan” (sebuah tempat yang diyakini sebagai tempat tinggal cikal-bakal masa lalu maupun untuk menanam segala macam tumbal desa atau dusun dari sang cikal-bakal). Tempat tersebut biasanya digunakan untuk peringatan bersih desa/dusun oleh warga Sekardangan. Tempat untuk mengenang cikal-bakal dusun/desa dan bukan untuk berbuat syirik seperti anggapan mereka yang tak paham akan tradisi Jawa. Jadi sebuah “punden” atau “pepunden” atau “sadranan” sebenarnya kajiannya sama dengan monumen Tugu Pancasila Sakti, monumen Tugu Monas, dan beberapa monumen yang lainnya. Bedanya, kalau “punden” atau “pepunden” atau “sadranan” merupakan tugu peringatan tingkat dusun, desa, kecamatan, ataupun kabupaten serta bercorak tradisi masa lampau. Tapi kalau monumen Pancasila Sakti, tugu Monas merupakan tugu peringatan tingkat nasioanal dan bercorak tradisi masa kini yang lebih modern. Lanjut kata sebagian sesepuh Sekardangan bahwa, jadi sifatnya hanya untuk sebuah peringatan, mengenang cikal-bakal dusun/desa dan semacamnya. Bukan untuk berbuat musyrik menyekutukan Tuhan sebagaimana anggapan mereka yang tak pernah mendalami tradisi Jawa.

Kata Mbah Kyai Zainuddin bahwa setelah ketiga tokoh di atas berhasil menjadi cikal-bakal dusun Sekardangan, kemudian mereka kembali ke Jawa Tengah. Yakni dalam penelusuran saya, tepatnya di dusun Sarehan, desa Jatingarang, kecamatan Weru, kabupaten Sukoharjo. Kisah ini signifikan dengan cerita dari Mbah Bayan Mayar yang diperolehnya dari Mbah Markalam. Begitu pula, cerita tersebut signifikan dengan cerita para sesepuh yang lain. Kata para sesepuh dusun Sekardangan bahwa tepat di sebelah barat masjid Baitul Makmur dan sekitarnya dulu ada banyak makam kuno yang sudah tidak ada yang merawat. Bahkan makam-makam tersebut sampai berada di bawah barongan pohon Bambu saking lamanya. Makam-makam tersebut konon merupakan kuburan para sesepuh pada zaman Mbah Sekardangan (tiga tokoh di atas). Hal tersebut diperkuat dengan kesaksian Mbah Husaini, Mbah Yani, dan kisah dari sesepuh Sekardangan lainnya.

Berawal dari hal di atas, tulisan ini akan menerangkan penelusuran saya tentang beberapa situs makam para sesepuh dusun Sekardangan yang masih bisa saya dapatkan informasinya dari para sesepuh. Ya, penelusuran tersebut saya lakukan bersama Paklik Nuruddin dan Mbah Jawoko, yakni penelusuran makam kuno para sesepuh dusun Sekardangan yang berada di Gaprang Utara, Kanigoro, Blitar. Saya menelusuri makam Mbah Kyai Raden Atmo Setro dan Mbah Kyai Abu Yamin serta beberapa makam kuno lain yang tidak saya kenal. Begitu pula, saya juga menelusuri makam Mbah Kyai Raden Tirto Sentono (makam di Sekardangan) dan Mbah Kyai Raden Setro Kromo (makam di Sekardangan dan merupakan menantu dari Mbah Kyai Raden Atmo Setro). Saya menikmati perjalanan penelusuran yang sangat mengasyikkan ini. Dari segi silsilah saya dan Mas Nurdin juga berasal dari Mbah Kyai Raden Atmo Setro di atas. Saya ingin menuliskan silsilah saya agar kalau saya lupa saya bisa buka-buka lagi. Berikut silsilah yang dimaksud:

1.    Mbah Kyai Raden Atmo Setro (makam di Gaprang Utara, Kanigoro, Blitar) berputra:
2.    Nyai Setro Kromo (istri Mbah Kyai Raden Setro Kromo dari Gajah, Papungan, Kanigoro, Blitar. Nama kecil dari Mbah Kyai Raden Setro Kromo adalah Ahmad Darim. Mbah Kyai Raden Setro Kromo memiliki 4 orang anak, salah satunya Nyai Zainuddin ini. Dari tokoh inilah sebenarnya antara warga dusun Gajah dan Sekardangan masih memiliki hubungan kekerabatan), berputra:
3.    Nyai Zainuddin (istri Mbah Kyai Zainuddin bin Abu Yamin bin Abdurrahim), berputra:
4.    Nyai Murdinah (istri Mbah Kyai Ahmad Dasuqi bin Marto Dikromo bin Imam Tobroni), berputra:
5.    Nyai Umi Kulsum (istri dari Mbah Kyai Muhammad Irjaz bin Ibrahim), berputra:
6.    Nyai Siti Rofiah (istri Mbah Tamam bin Thahir bin Munawwar), berputra:
7.    Arif Muzayin Shofwan (penulis)

Sementara jalur silsilah Paklik Nuruddin adalah:
1.    Mbah Kyai Raden Atmo Setro (makam di Gaprang Utara, Kanigoro, Blitar) berputra:
2.    Nyai Setro Kromo (istri Mbah Kyai Raden Setro Kromo dari Gajah, Papungan, Kanigoro, Blitar. Nama kecil dari Mbah Kyai Raden Setro Kromo adalah Ahmad Darim. Dari tokoh inilah sebenarnya antara warga dusun Gajah dan Sekardangan masih memiliki hubungan kekerabatan), berputra:
3.    Nyai Zainuddin (istri Mbah Kyai Zainuddin bin Abu Yamin bin Abdurrahim), berputra:
4.    Nyai Sarmi (istri Mbah Modin Sekardangan kala itu), berputra:
5.    Mbah Zaini, berputra:
6.    Paklik Nuruddin (paman mindoan)

Jadi saya generasi ke-7 dan Paklik Nuruddin merupakan generasi ke-6 dari Mbah Kyai Raden Atmo Setro dan generasi ke-6 dari Mbah Kyai Abu Yamin yang kedua makam tokoh ini berada di desa Gaprang, Kanigoro, Blitar. Sebenarnya, ada banyak para sesepuh dusun Sekardangan yang dimakamkan di areal desa Gaprang Utara, sebab pada masa itu dusun Sekardangan belum memiliki areal makam tersendiri. Beberapa tokoh yang saya ketahui dan yang dimakamkan di desa Gaprang bagian Utara hanya tiga orang, di antaranya: (1) Mbah Kyai Raden Atmo Setro; (2) Mbah Kyai Abu Yamin; dan (3) Mbah Kyai Hasan Muhtar. Selain ketiga tokoh tersebut, saya tidak tahu dan belum mempelajarinya. Warga dusun Sekardangan hampir 70 persen rata-rata masih berkaitan nasab dengan tokoh di atas. Begitu pula warga Sekardangan berkaitan nasab dengan Mbah Kyai Raden Tirto Sentono, Mbah Kyai Bontani (makam di barat Masjid Baitul Makmur), Mbah Kyai Wongsopuro (makam di barat Masjid Baitul Makmur), Mbah Kyai Barnawi (saya belum tahu makamnya), Mbah Kyai Abu Bakar, Mbah Menthel, Mbah Mangun (makam ketiganya berada di barat mushalla Mbah Kyai Abu Bakar Sekardangan) dan tokoh tokoh masa lalu lainnya. Belum lagi terjadinya hubungan kekerabatan dan pernikahan dari generasi di bawah tokoh di atas lainnya. Makanya, para sesepuh dusun Sekardangan dulu sering mengatakan begini: “Wong sak Sekardangan kuwi jik dulur kabeh”, artinya semua warga Sekardangan itu masih saudara.

Sayang beritu sayang, tradisi menarik silsilah bukan merupakan sesuatu yang menarik di hati mereka yang tidak tertarik. Akhirnya, ibarat kata sesepuh Jawa “okeh sing kepaten obor”, artinya sudah tidak ada sesepuh yang bisa menjelaskan runtutan silsilah nasabnya ke atas. Mbah Kyai Zainuddin menyatakan bahwa Mbah Kyai Abu Yamin dan Mbah Kyai Hasan Muhtar merupakan santri pertama di dusun Sekardangan. Ayah Mbah Kyai Abu Yamin yang bernama Mbah Kyai Abdurrohim konon dimakamkan di “Pemakaman Karanglo” kota Blitar. Selanjutnya, makam ayah dari Mbah Abdurrohim yang namanya saya juga tidak tahu, konon berada di “Pemakaman Sentono Lodoyo” Blitar Selatan. Untuk kisah-kisah ke atasnya, saya tidak tahu-menahu. Sementara itu, untuk Mbah Kyai Hasan Muhtar saya juga tidak tahu-menahu jalur ke atasnya. Adapun Mbah Kyai Raden Atmo Setro mungkin pula juga berasal dari Lodoyo pada saat pemerintahan Pangeran Prabu yang terkenal dengan pasukan “Singo Lodoyo”-nya. Kalau saya pelajari dari generasi-ke generasi tokoh-tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa mereka hidup sezaman dengan Mbah Kyai Raden Gunondiko, Mbah Kyai Raden Conomo, dan Mbah Kyai Raden Marsidiq (tiga orang tokoh yang cikal-bakal desa Plosorejo, Kademangan, Blitar).

Tak jauh dari hal di atas, bila para keturunan dari Mbah Kyai Raden Atmo Setro tersebut hingga kini sampai generasi ke-6, 7, 8, dan 9, bisa disimpulkan pula bahwa beliau sezaman dengan Mbah Kyai Raden Muhammad Qosim (keturunan Sunan Tembayat), Mbah Raden Ndoro Tedjo yang makam keduanya berada di Puncak Gunung Pegat, Srengat, Blitar. Begitu pula, dapat disimpulkan pula bahwa Mbah Kyai Raden Atmo Setro sezaman dengan Mbah Raden Ngabehi Wirogati (cikal-bakal Jatimalang, kota Blitar dan keturunan Sunan Tembayat), Mbah Kyai Raden Rembang (cikal-bakal Rembang, Blitar dan termasuk keturunan Sunan Tembayat). Tokoh-tokoh yang saya sebutkan merupakan ulama-ulama yang rata-rata hijrah dari Mataram ke Jawa Timur karena rentetan dari perpolitikan Raja Amangkurat I Mataram yang bekerjasama dengan Belanda. Atau mungkin orang tua, kakek, atau kakek buyut para tokoh-tokoh yang saya sebutkan di atas menjadi korban perpolitikan peristiwa saat itu. Akhirnya, untuk menghindari akibat perpolitikan yang berlarut-larut mereka lalu hijrah dan bedol desa hingga menurunkan anak cucu, cicit, dan keturunan di tempat tersebut.

Kata sebagian sesepuh dusun Sekardangan dengan mengutip ungkapan “Man Lam Yasykurin Nass Lam Yasykurillah” (Barangsiapa tak bisa bersyukur kepada manusia, maka dia tak bisa bersyukur kepada Allah) menjelaskan rasa syukur kepada para leluhur. Kata mereka, jadi kita mendoakan kepada leluhur kita semua hanyalah sebagai rasa syukur terima kasih kita kepada para leluhur. Karena melalui proses yang panjang dari generasi ke generasi para leluhur inilah kita bisa terlahir di dunia dengan segala ragam suka dan derita. Hal inilah yang patut kita syukuri. Syukur atau terima kasih kita kepada para leluhur itu di antaranya dengan cara mendoakan mereka. Mendoakan agar para leluhur mendapatkan kebahagiaan dalam alam kehidupan yang sedang mereka alami. Kalau kita tahu hal ini, tak ada yang perbuatan syirik (menyekutukan Tuhan) dalam hal ini. Justru dengan hal tersebut, kita akan banyak mengetahui sejarah leluhur kita semua. Lanjut kata sebagian sesepuh Sekardangan bahwa hanya diri pribadi kita semua yang mengetahui syirik dan tidak syirik-nya diri kita. Bukan orang lain yang hanya sebagai pengamat luar dengan segala macam persepsinya.

Yah, inilah akhir dari cerita penelusuran saya bersama Paklik Nuruddin dan Mbah Jawoko mengenai sebagian sesepuh yang mbabat dusun Sekardangan. Sebagai akhir dari catatan harian (cahar) ini, saya berterima kasih kepada para sesepuh dusun Sekardangan yang telah memberikan beragam informasi yang saya butuhkan. Akhirnya, teriring doa, “Ya Tuhan berkahilah seluruh warga dusun Sekardangan. Berikan rizki yang melimpah barokah bagi semua warga dusun Sekardangan. Ya Tuhan, jadikanlah dusun Sekardangan sebagai tempat yang nyaman, tentram, dan damai sepanjang zaman. Ya Tuhan, mudah-mudahan Engkau mengabulkan doa-doa yang baik-baik dari warga dusun Sekardangan. Ya Tuhan, mudah-mudahan Engkau menolak doa-doa yang tidak baik dari warga dusun Sekardangan. Ya Tuhan, berikan kesejahteraan bagi warga dusun Sekardangan di dalam kehidupan kini dan mendatang.” Amin, amin, amin. Ya Rabbal Alamin.

“Sluman, slumun, slamet. Slameto lek ngemongi jiwa raga”

Paklik Nuruddin di belakang makam Mbah Kyai Raden Atmo Setro (salah satu dari beberapa sesepuh yang mbabat dusun Sekardangan) di Pemakaman Kuno desa Gaprang Utara
 
Mbah Jawoko berada di depan makam Mbah Kyai Abu Yamin (salah satu dari ulama yang mbabat dusun Sekardangan) berada di Pemakaman Kuno desa Gaprang Utara
 
Makam Mbah Kyai Raden Tirto Sentono (salah satu dari sesepuh yang mbabat dusun Sekardangan) berada di Makam Umum dusun Sekardangan
 
Mbah Jawoko sedang nyekar di salah satu sesepuh dusun Sekardangan tempo dulu


Tentang Penulis
Arif Muzayin Shofwan adalah salah satu peneliti situs makam kuno, petilasan, dan cikal-bakal di seputar kota dan kabupaten Blitar, Jawa Timur. Oleh karena pria tersebut sering meneliti berbagai situs makam kuno, petilasan, dan cikal-bakal, maka dia terkadang juga berbau kuburan, kijing, batu nisan, kembang telon, kembang ponco warno, kembang kenongo, kembang boreh, kembang melati, kembang kantil, cok bakal, minyak misik, minyak jakfaron, minyak malaikat subuh, minyak bunga sedap malam, minyak srimpi, dupa Kawi, dupa Cina, dupa Arab, dupa India, menyan Jawa, menyan Arab dan bermacam bau-bauan lainnya. Pria yang memiliki hobi membaca dan menulis tersebut beralamatkan di Jl. Masjid Baitul Makmur Sekardangan RT. 03 RW. 09 Papungan, Kanigoro, Blitar, Jawa Timur. HP. 085649706399.

3 komentar:

  1. saya atas nama BPK. SAMSUL dari MADURA ingin mengucapkan banyak terimah kasih kepada MBAH KARYO,kalau bukan karna bantuannya munkin sekaran saya sudah terlantar dan tidak pernaah terpikirkan oleh saya kalau saya sdh bisa sesukses ini dan saya tdk menyanka klau MBAH KARYO bisa sehebat ini menembuskan semua no,,jika anda ingin seperti saya silahkan hubungi MBAH KARYO no ini 082301536999 saya yakin anda tdk akan pernah menyesal klau sudah berhubungan dgn MBAH KARYO dan jgn percaya klau ada yg menggunakan pesan ini klau bukan nama BPK. SAMSUL dan bukan nama MBAH KARYO krna itu cuma palsu.m

    BalasHapus
  2. saya atas nama BPK. SAMSUL dari MADURA ingin mengucapkan banyak terimah kasih kepada MBAH KARYO,kalau bukan karna bantuannya munkin sekaran saya sudah terlantar dan tidak pernaah terpikirkan oleh saya kalau saya sdh bisa sesukses ini dan saya tdk menyanka klau MBAH KARYO bisa sehebat ini menembuskan semua no,,jika anda ingin seperti saya silahkan hubungi MBAH KARYO no ini 082301536999 saya yakin anda tdk akan pernah menyesal klau sudah berhubungan dgn MBAH KARYO dan jgn percaya klau ada yg menggunakan pesan ini klau bukan nama BPK. SAMSUL dan bukan nama MBAH KARYO krna itu cuma palsu.m

    BalasHapus
  3. Saya sedang mencari sejarah keturunan Raden Marto Diwirio Wirogarti , di jogja ,siapa tahu e-mel Sy ya : mgks67@gmail.com

    BalasHapus