Oleh:
Arif Muzayin Shofwan
“Tulislah
apapun yang bisa anda tulis, siapa tahu bermanfaat”
(Anonim)
Pertama
kali yang mengajak saya ke kediaman Mbah Kyai Masykur Muhammad adalah Mbah Kyai
Muhammad Sholeh Trebang, Sekardangan, Kanigoro, Blitar. Yakni, sekitar tahun
1993, saya diajak Mbah Kyai Muhammad Sholeh Sekardangan berguru “Shalawat
Trebang” ISHARI (Ikatan Seni Hadrah Republik Indonesia) di kediaman Mbah
Kyai Masykur Muhammad, Tawangsari, Garum, Blitar. Saya ingat, pertama kali saya
belajar “mbawak” muhud Tanaqolta, Wulidal Habib, dan lain sebagainya.
Pengajaran shalawat trebang ISHARI di kediaman Mbah Kyai Masykur Muhammad
tersebut dilakukan setiap malam Jum’at. Ada banyak kawan yang belajar dan
mondok di tempat beliau, di antaranya: Cak Muhtadi, Cak Ghoffar, dan lain
sebagainya yang saya juga sudah banyak yang lupa nama satu-persatu. Adapun
tharikah Mahabbah yang dikembangkan oleh Mbah Kyai Masykur Muhammad berasal
dari Mbah Kyai Abdurrahim yang merupakan kakek beliau. Berikut beberapa
filosofi tharikah Mahabbah yang dilakukan ISHARI dari Para Masyayih Tharikah
Mahabbah.
Tharikat Mahabbah Mbah Kyai Masykur Muhammad dan Masyayikh
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa metode dakwah
yang digunakan ISHARI adalah melalui “thariqah mahabbaturrasul” (metode
cinta Rasul). Di samping sebagai metode berdakwah, thariqah mahabbaturrasul
juga dipakai sebagai jalan atau cara yang sistematis untuk menuju ke hadhirat
Allah dan Rasul-Nya di lingkungan ISHARI. Thariqah mahabbah ini didasarkan pada
syair ISHARI yang berjudul “Anta Hadhir”, yang di dalamnya terdapat
ungkapan “al-mahabbah hiya diinii”
(cinta Allah & Rasulullah adalah jalanku).[1] Dalam hal ini penulis
pernah mendengar keterangan dari Mbah Kyai Masykur Muhammad (pemuka ISHARI
Blitar) pada tahun 2006, ketika shalawatan
hadrah(ISHARI) di masjid Baitul Makmur, Sekardangan, Kanigoro, Blitar,
bahwa thariqah mahabbah ini sebenarnya sudah banyak dilaksanakan oleh para ahli
tasawwuf seperti Rabi’ah al-Adawiyah, dan lain-lainnya.
Dalam pandangan tasawuf, mahabbah (cinta) merupakan pijakan bagi segenap kemuliaanhal, sama dengan taubat yang merupakan dasar bagi kemuliaan maqam, karena mahabbah
pada dasarnya adalah anugerah yang menjadi dasar pijakan bagi segenap hal, kaum sufi menyebutnya sebagai
“anugerah tertinggi”.[2]Rabi’ah al-Adawiyah
dianggap sebagai seorang sufi yang meletakkan dasar cinta (al-mahabbah) sebagai jalan menuju Tuhannya. Adapun di antara syair
Rabi’ah yang menunjukkan cinta kepada Allah adalah: “... bahwa saya menyembah-Nya karena rindu dan cinta kepada-Nya”.[3] Dalam hal ini, Hamka sebagaimana
dikutip Toriquddin pernah mengatakan: “Cinta
murni kepada Tuhan, inilah puncak tasawuf Rabi’ah. Pantun-pantun kecintaan pada
Ilahi, yang kemudian banyak keluar dari ucapan sufi yang besar sebagaimana
Fariduddin al-Athar, Ibnu Faridh, al-Hallaj, Jalaluddin Rumi, dan lain-lain,
telah dimulai lebih dahulu oleh Rabi’ah.”[4]
Dakwah ISHARI melalui thariqah mahabbah(cinta Rasul)
didasarkan pada hadist yang diriwayatkan Anas dari Rasulullah saw: “Ada tiga hal yang dengannya, seseorang akan
merasakan manisnya iman, yaitu 1) hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai
daripada selainnya; 2) hendaknya seseorang mencintai seseorang hanya karena
Allah; 3) hendaknya seseorang benci untuk kembali kepada kekafiran, sebagaimana
dia benci untuk dimasukkan ke dalam neraka.”[5]Thariqah mahabbah dalam
ISHARI mengajarkan cinta kepada Allah dan Rasulullah saw melalui bacaan Kitab Maulid Syaraf al-Anam dan
syair-syair shalawat yang ada di dalam Kitab
Diwan Hadrah.
Dalam amaliyah “thariqah mahabbaturrasul” organisasi
ISHARI, ada beberapa hal yang dilakukan para pengikutnya untuk mengekspresikan
cintanya kepada Allah dan Rasulullah.
Pertama, mengenai bacaan shalawat yang dilantunkan oleh organisasi ISHARI.
Hal ini ada dua kitab sebagai pegangan yaitu; 1) Kitab Maulid Syaraf al-Anam sebagai sumber bacaan utama; 2) Kitab Diwan Hadrah sebagai sumber bacaan
mengenai syair-syair yang digunakan untuk jawaban, sambil melakukan tarian raddat.[6]Sementara dalam Kitab Maulid Syaraf al-Anam berisi
bacaan yang berupa “syair” dan “natsar”. Pemimpin bacaan “syair” disebut Hadi
(Guru Hadi/Badal Hadi), sedangkan seorang yang membaca “natsar” disebut Rawi
(pembaca riwayat Nabi Muhammad saw).
Kedua,
mengenai irama bacaan syair dalam lingkungan ISHARI. Hal ini ada tiga jenis
yaitu; 1) Irama Juz, dimana syair mengikuti irama dua kali, dua ketukan tangan
dengan tempo agak lambat secara terus menerus sampai tuntas, “tak-dik,
tak-tak”. Penamaan “Juz” berati bagian, yang maksudnya bahwa dua kali, dua
ketukan ini mempunyai filosofi yang sangat unik. Yakni untuk mengingat dua kalimah
syahadat yang mana tidak boleh pisah dari seorang yang beriman.[7] 2) Irama Yahum, dimana
syair mengikuti irama tiga kali ketukan tangan dengan tempo lebih cepat dari
irama juz sampai tuntas, “tak-dik-tak”. Penyebutan “Yahum” mengandung filosofi
yang indah. Ia diambil dari kata “Ya Huwa” yang artinya “Dialah Tuhanku”.[8] 3) Irama Tareem, dimana
syair mengikuti irama tiga kali ketukan dengan tempo sangat cepat sampai
tuntas, “tak-dik-tak”. Penyebutan “Tareem” diambil dari kata “Tareem” yang
merupakan nama kota di Yaman. Irama Tareem ada tiga yaitu; a. Tareem Inat
(tak-tak-dik); b. Tareem Rojaz (dik-tak-tak-tak); dan c. Tareem Biasa
(tak-dik-tak).[9]
Ketiga,
posisi penabuh rebana (ad-duff) dalam
lingkungan ISHARI. Posisi ditengah adalah Guru Hadi, disamping kanan Guru Hadi
ada tiga orang penabuh rebana, dan di sampinh kiri Guru Hadi juga ada tiga
orang penabuh rebana. Hal ini dalam kalangan ISHARI mengandung filosofi yang
unik pula. Tiga penabuh rebana disamping kanan Guru Hadi menunjukkan “tiga
pokok ajaran Islam”, yaitu Iman-Islam-Ihsan.
Sementara tiga penabuh rebana disamping kiri Guru Hadi menunjukkan “tiga pokok
ilmu dalam Islam”, yaitu Ilmu Tauhid-Ilmu
Fiqih-Ilmu Tasawwuf.[10]
Keempat,
irama syair dalam lingkungan ISHARI. Irama pukulan/ketukan dalam ISHARI bukan
hanya sekedar irama pukulan/ketukan biasa. Akan tetapi irama pukulan/ketukan
dalam ISHARI mengandung makna filosofis yang berfungsi sebagai “thariqah
mahabbah” (metode/jalan cinta Allah & Rasulullah). Sehingga dalam hal ini,
untuk menguasainya harus melalui bimbingan Guru Hadi. Adapun penjelasan
filosofi ketukan tersebut adalah: 1) Irama pukulan Juz: berbunyi “tak-dik-tak”
selaras dengan notasi Hu-All-Loh atau lafadz Mu-Ham-Mad; 2) Irama pukulan
Yahum: merupakan simbol “Lailahaillallah” dan “Muhammadur-Rasulullah”. Dalam
irama Yahum ada tiga notasi yang dipadukan yaitu, a. krotokan (wedokan),
terdiri lima hentakan “taktak-taktak-dik” yang berarti pengamalan lima rukun
Islam, b. penyela (tengahan), terdiri dari empat hentakan “tak-tak-tak-dik”
yang bermakna sumber hukum Islam ada lima yaitu al-Qur’an, al-Hadist, al-Ijma, al-Qiyas, c. pengonteng (lanangan),
terdiri dari tiga hentakan “tak-dik-tak” yang bermakna pokok ajaran Islam yaitu
Tauhid, Fiqih, dan Tasawwuf. 3) Irama
pukulan Tareem: secara umum arti filosofisnya sama dengan Yahum.[11]
Kelima,
roddat. Istilah “roddat” berasal dari Bahasa Arab kata kerja rodda-yaruddu-roddan, yang berarti
mengembalikan, membalas, dan menolak.[12] Ada tiga hal yang
dilakukan oleh seorang yang sedang roddat, yaitu: 1) membalas lantunan shalawat
yang dikumandangkan oleh Guru Hadi; 2) melakukakan “raqs” (gerakan tarian
khusus ISHARI); 3) melakukan “tashfiq” (tepuk tangan khusus ISHARI); 4)
Melakukan “suluk” dalam istilah ahli tasawwuf, kalau dalam bahasa Jawa “sambat
maring Gusti Alloh”.
Adapun maksud dan tujuan raddat adalah: 1) gerakan dan
tarian dalam raddat merupakan tasbih dan zikir kepada Allah; 2) melahirkan rasa
senang dan gembira atas kelahiran Nabi Muhammad saw; 3) pada saat tepuk tangan
[tashfiq] dimaksudkan melahirkan rasa suka cita akan kehadiran Nabi Muhammad
saw di muka bumi ini; 4) Suluk kecil (sambat; Bahasa Jawa) dimaksudkan untuk
bermunajat dan mengadu kepada Allah serta memohon syafaat Rasulullah saw.[13] Sementara dalam raddat
menggunakan gerakan badan dibagi dua macam, yaitu: 1) raddat badan dengan
mengikutsertakan anggukan kepala diserasikan dengan notasi rebana,
mengilustrasikan penulisan lafadz “Allah”; 2) raddat badan dengan tarian
tangan, mengilustrasikan penulisan lafadz “Muhammad”.[14] Demikian sekilas tharikah
Mahabbah ISHARI yang sedikit saya pelajari dari Mbah Kyai Masykur Muhammad.
Wallahu A’lam Bisshawab.
A
healthy sense lies in a healthy body
(Akal
yang sehat itu terletak pada badan yang sehat)
“Sluman,
slumun, slamet. Selameto lek ngemongi jiwo rogo”
(Semoga
dalam situasi dan kondisi apapun mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan.
Yakni, selamat dalam mengasuh jiwa dan raga masing-masing)
Tentang
Penulis
Arif
Muzayin Shofwan, seorang pria yang berbau kuburan, kijing,
maesan, kembang boreh, kembang kanthil, kembang kenongo dan segala macam
bau-bauan ini beralamatkan di Jl. Masjid Baitul Makmur Sekardangan RT. 03 RW.
09 Papungan, Kanigoro, Blitar, Jawa Timur. Pria yang yang sering dipanggil oleh
Kyai Muhammad AP dengan sebutan “Ki
Gadhung Melathi” atau “Mbah Pasarean”
(karena seringnya berkunjung ke pesarean-pesarean untuk mengkaji sejarah tokoh
yang dimakamkan) tersebut dapat dihubungi di nomor HP. 085649706399.
[1] Miftahul Munir Abdullah, Raudhah al-Jannah, (Jombang: Lintas
Media), hal. 139.
[2] Moh. Toriquddin, Sekularitas Tasawuf: Membumikan Tasawuf
dalam Dunia Modern, (Malang: UIN Press, 2008), hal. 88
[3] Ibid, hal. 182
[4] Ibid, hal. 185. Lihat pula M. Jamil,
Cakrawala Tasawuf, (Jakarta: Gaung
Persada Press, 2007), hal. 92-96.
[5] HR. Bukhari
[6] Muhammad Nuruddin Al-Fasuruwani, Al-Iqdu Al-Durar ..., hal. 5
[7] Ibid, hal. 5-6
[8] Ibid, hal. 6
[9] Ibid, hal. 6
[10] Ibid, hal. 6
[11] Ibid, hal. 7-8
[12] Ibid, hal. 8
[13] Ibid, hal. 8-9
[14] Ibid, hal. 9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar