Oleh:
Arif Muzayin Shofwan
“Menulislah, siapa tahu bermanfaat bagi yang
membutuhkan.”
(Anonim)
Ziarah Ke Makam Mbah Nyai Tubinem
Hari Jumat, 10 Februari 2017, Mbah Jawoko Jatimalang datang
ke rumah saya kira-kira pukul 13.30 WIB (siang hari usai shalat Jumat). Dia
mengatakan baru saja menjenguk orang sakit di RS. Mardi Waluyo Blitar. Mbah
Jawoko berkata kepada saya: “Gus, ayo melu dolan ning Mbah Kyai Hasyim
Asyari Gandusari yuk!. Wis suwi ora mrono aku.” Jawab saya: “Waduh, yen
dino iki aku ora iso Mbah, sebab iki mengko jam 16.00 WIB wayahe ngisi
pendalaman kanggo bocah-bocah kelas 6 sing arep ujian.” Kata Mbah Jawoko: “Oalah,
yoo wis, tak kira iso lan ora enek acara. Yo lek ngono metu dolan-dolan ziarah
makame sesepuh sing cedhek-cedhek kene
wae.” Kata saya: “Yen makame sesepuh cedhek-cedhek kene, ayo ning
makame Mbah Nyai Tubinem, cikal-bakal dusun Papungan, desa Papungan, Kanigoro,
Blitar.” Jawab Mbah Jawoko: “Yo wis, ayoooo.”
Setelah kesepakatan tersebut, akhirnya saya dan Mbah Jawoko
berangkat menuju tempat yang akan dituju. Namun, sebelum ziarah ke makam Mbah
Nyai Tubinem, saya dan Mbah Jawoko lebih dulu sowan kepada Mbah Suwarno (ketua
RT. 03 RW. 06 dusun + desa Papungan). Sebab Mbah Suwarno inilah yang kira-kira
paham tentang sejarah dusun Papungan. Sesampai di rumah Mbah Suwarno, beliau
bercerita bahwa dusun Papungan itu dulu merupakan “kepungan”,
yakni tempat kepungan di mana ada seekor Gajah yang lari ke arah Selatan, dan
kemudian dikepung hingga bisa didapat (dicekel: Jw) ketika Gajah tersebut
kembali ke Utara. Makanya, utaranya dusun Papungan itu dinamakan dusun Gajah.
Dan ada Patung Gajah sebagai simbol dusun tersebut. Sementara, karena
daerah Selatan tempat untuk mengepung (kepungan) Gajah, maka dinamakan dusun Papungan
(artinya: papan kanggo kepungan/ngepung Gajah yang berlari-lari
kesana-kemari). Patung Gajah itu bukan untuk disembah lho kang, tapi untuk
simbol dusun seperti patung Ikan Suro dan patung Boyo di Surabaya.
Gitu lho. Hehehe.
Ah, banyak sekali yang kami perbincangkan di rumah Mbah
Suwarno. Oya, Mbah Suwarno juga bercerita bahwa Mbah Kyai Raden Saliman
merupakan cikal-bakal tempat ibadah pertama (dulu berupa mushalla/langgar) dan
tertua di dusun Papungan. Hingga kini, mushalla yang didirikan Mbah Kyai Raden Saliman
tersebut sudah tidak ada bekasnya. Dan Mbah Suwarna merupakan generasi
keturunan ke-5 dari Mbah Kyai Raden Saliman tersebut. Saat itu juga,
Mbah Suwarno menunjukkan “Silsilah Nasab Mbah Kyai Raden Saliman”
ke bawah pada pigora ukuran kira-kira 60 CM x 40 CM-an yang terpampang di dalam
tembok pojok rumah beliau. Konon, rata-rata warga dusun Papungan juga merupakan
keturunan dari Mbah Kyai Raden Saliman tersebut. Yah, selain berbincang-bincang
tentang Mbah Kyai Raden Saliman, kami bertiga berbincang-bincang pula tentang Mbah
Mudjair (penemu ikan Mujair yang makamnya juga di dusun + desa Papungan
yang sangat tersohor hingga mancanegara). Ganyeng lah pokoknya, disertai wedang
teh manis. Hehehe. Ah dalam bathin saya, alangkah indahnya bila dusun+desa
Papungan diberi atau dibanguni Patung Ikan Mudjair. Hehehehe.
Perlu diketahui ya, bahwa nama Papungan itu merupakan
sebuah dusun sekaligus desa yang berada di kecamatan Kanigoro, kabupaten
Blitar, dan memiliki lima (5) dusun. Dan masing-masing dusun tersebut memiliki
cikal-bakal (“dhanyang” dalam bahasa Jawa; kalau dalam bahasa
Madura adalah “Bujuk”) sendiri-sendiri. Lha, inilah keunikan desa
Papungan dibanding desa-desa yang lain. Desa yang lain itu kadang cumak memiliki
satu (1) cikal-bakal/dhanyang/bujuk saja. Namun, desa Papungan memang beda.
Makanya, setiap dusun di desa Papungan memiliki acara Bersih Dusun yang waktunya
berbeda-beda. Kalau istilah di lain desa disebut “Bersih Desa”, namun di daerah Papungan disebut “Bersih
Dusun”. Ya karena memang cikal-bakalnya berbeda-beda dari dusun per dusun.
Gitu lho kang. Ya, nggak masalah kan. Oya, bisa saya sebutkan di sini
masing-masing cikal-bakal dari dusun di desa Papungan tersebut, yaitu:
1. Dusun Papungan, cikal-bakal dusunnya
bernama Mbah Nyai Tubinem. Makamnya berada di pinggir Sungai Berut
paling Barat, dekat sumber mata air. Yah, biasanya orang jaman dulu membuat
rumah di dekat sumber mata air. Sumber mata air adalah kunci melestarikan
kehidupan dan bertahan hidup bagi orang-orang dulu. Sebab jaman dulu belum ada
sumur. Adanya sumur (termasuk kakus/WC) itu kan menurut penelitian ahli itu adanya
sejak Belanda menjajah negeri ini. Gituu. Adapun Mbah Kyai Raden Saliman termasuk
tokoh yang membuka mushalla/langgar pertama setelah adanya dusun Papungan
tersebut. Untuk tokoh-tokoh lainnya, saya belum mempelajari kang. Lahum Al-Fatikah...
2. Dusun Sekardangan, cikal-bakalnya bernama Ki
Kebo Kanigoro (Kyai Purwoto Siddiq Banyubiru), istrinya Nyai Gadhung Melati,
dan anaknya Rara Tenggok (Rara Sekar Rinonce). Warga Sekardangan sering
menyebut ketiga tokoh tersebut dengan sebutan “Mbah Sekardangan” atau “Eyang
Sekardangan” saja. Makam ketiganya berada di dusun Sarehan, desa
Jatingarang, kecamatan Weru, kabupaten Sukoharjo-Solo. Konon setelah berada di Kanigoro
(yakni di Petilasan Jatikurung, utara Pom Bensin Kanigoro) dan sempat
berada dan mendirikan dusun Sekardangan, ketiga tokoh ini pulang kembali ke
Sukoharjo-Solo, dan dimakamkan di sana. Adapun petilasan ketiga tokoh tersebut
berada di sebelah Barat Masjid Baitul Makmur Sekardangan -+ 150 Meter. Jauh
setelah ketiga tokoh di atas, ada beberapa tokoh Sekardangan yang bisa
disebutkan di sini, antara lain: Mbah Kyai Raden Atmo Setro, Mbah Kyai Raden
Kasan Muhtar, Mbah Kyai Raden Suwiryo Diningrat, Nyai Raden Tirto Sentono, Mbah
Kyai Abu Yamin Bin Abdurrohim (makamnya berada di pemakaman desa Gaprang,
sebab Sekardangan dulu belum memiliki pemakaman umum tersendiri). Mbah Kyai
Raden Tirto Sentono dan Mbah Kyai Raden Setro Kromo makamnya di
Sekardangan, dan lain sebagainya. Lahum Al-Fatikah...
3. Dusun Gajah, cikal-bakalnya bernama Mbah
Kyai Raden Setrojati, makamnya berada di areal makam umum dusun Gajah.
Konon, Mbah Kyai Raden Setrojati itu masih saudaranya Mbah Kyai Raden
Setro Kromo (menantu Mbah Kyai Raden Atmo Setro Sekardangan).
Makanya, warga dusun Gajah dan Sekardangan itu konon masih ada hubungan famili.
Ini kata para sesepuh lho. Sekarang nama Mbah Kyai Raden Setrojati
diabadikan menjadi “Nama Jalan”. Mantafff. Inilah contoh warga dusun yang
mau ngeleluri, menghormati dan menghargai jerih payah para leluhurnya. Salut
saya. Lahum Al-Fatikah...
4. Dusun Duwet, wah mohon maaf, kalau
cikal-bakal dusun Duwet saya belum mempelajarinya. Walau saya belum tahu nama
cikal-bakalnya, saya tetap mau kirim Fatikah kepada beliau-beliau. Lahum
Al-Fatikah...
5. Dusun Salam, lha ini juga, saya juga
belum mempelajari cikal-bakal dusun Salam. Walau saya belum tahu nama
cikal-bakalnya, saya tetap mau kirim Fatikah kepada beliau-beliau. Lahum
Al-Fatikah...
(Catatan: Oya, saya
dulu mendapat ijazah amalan Fatikah dari kakek saya, dan kakek saya mendapat
ijazah dari Mbah Kyai Abdul Hamid Pasuruan, Jatim. Saya diajari agar
sering kirim Fatikah kepada siapa saja. Ya itu. Makanya, saya selalu hadiah
Fatikah kepada para leluhur dan siapa saja. Itu saja. Ini ijazah dari kyai
agung lho. Kalau itu ijazah dari kyai agung ahli tirakat, yah kayak kata Gus
Dur “Saya ya sendiko dawuh saja. Dan dilakoni wae”. Yah, semoga saja berkah.
Amiin.)
Ziarah ke Makam Mbah Kyai
Raden Saliman
Setelah saya berziarah ke makam Mbah Nyai Tubinem, saya dan
Mbah Jawoko kemudian menuju makam Mbah Kyai Raden Saliman, yang konon
beliau dulu juga berasal dari Mataraman. Pada saat saya berada di kediaman Mbah
Suwarno, beliau menunjukkan silsilah nasab Mbah Kyai Raden Saliman ke-bawah.
Ah, sayang, tidak saya foto. Tapi saya masih ingat bahwa Mbah Kyai Raden
Saliman memiliki tiga (3) anak yang akhirnya mbrenah di dusun Papungan.
Maaf, saya mengatakan “dusun”, bukannya sebagai “desa”. Sebab dusun-dusun
di desa Papungan memiliki cikal-bakal dan tokoh sendiri-sendiri yang
saling menurunkan berbagai macam keturunan. Ada yang jadi kyai, polisi,
tentara, ustadz, petani, pedagang, guru, dosen, dan macam-macam profesi
lainnya. Yah, itulah manusia, semua punya jatah sendiri-sendiri dari Tuhan Yang
Maha Kuasa.
Makamnya Mbah Kyai Raden Saliman berada di pemakaman
dusun Papungan bagian Selatan (gandeng dengan pemakaman Gaprang). Saya dan Mbah
Jawoko menelusuri makam-makam kuno tersebut. Ah, banyak makam-makam kuno yang
sudah tidak terawat, morat-marit, dan lain sebagainya. Kalau sudah melihat hal
yang demikian, Mbah Jawoko bilang: “Wah, mesakne yoo makame poro leluhure
sing nggak ono sing ngrawat. Padahal wong-wong ngene iki ndisik yen berjuang
ning deso lan ning agomo yo tenanan.” Kalau Mbah Jawoko sudah ngomong
demikian, saya cumak bisa mendengarkan saja. Yah, kalau nggak diam, mau ngomong
apa saya ini. Waduhhhh. Biasanya, setelah berkata demikian Mbah Jawoko kemudian
kirim Fatikah kepada ahli kubur yang dimakamkan di tempat tersebut secara
keseluruhan dan terkhususkan. Yah, dalam tulisan ini saya juga kirim Fatikah,
mudah-mudahan para leluhur kita diberi kebahagiaan di sisi-Nya.
Ah, mungkin ini saja catatan harian (cahar) saya hari ini.
Mohon maaf, kalau dalam cahar ini saya hanya bisa memotret makam Mbah Nyai
Tubinem, Sumber Air di areal makam Mbah Nyai Tubinem, makam Mbah Kyai Raden
Saliman, itu saja. Teriring doa, mudah-mudahan dusun + desa Papungan selalu
diberkahi oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Mudah-mudahan dusun + desa Papungan
menjadi tempat yang aman, damai sepanjang zaman. Mudah-mudahan warga di dusun +
desa Papungan selalu mendapatkan kebahagiaan, ketentraman, kesantausaan dari
Tuhan Yang Maha Penyayang. Semoga para arwah cikah bakal dusun + desa Papungan
(yakni; Papungan, Sekardangan, Gajah, Duwet, dan Salam) selalu mendapat rahmat
dan tempat yang membahagiakan dari Tuhan Yang Maha Luas lagi Maha Lembut. Amin,
amin, amin, amin. Yaa Rabbal Alamin. Wallahu’alam.
“If
you can dream it you can do it”
(Jika
kamu dapat bermimpi, kamu dapat melakukannya)
“Sluman,
slumun, slamet. Selameto lek ngemongi jiwo rogo”
(Semoga
dalam situasi dan kondisi apapun mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan.
Yakni, selamat dalam mengasuh jiwa dan raga masing-masing)
Makam Mbah Nyai Tubinem di dekat Sungai Berut Papungan |
Tentang
Penulis
Arif
Muzayin Shofwan, seorang pria yang berbau kuburan, kijing,
maesan, kembang boreh, kembang kanthil, kembang kenongo dan segala macam
bau-bauan ini beralamatkan di Jl. Masjid Baitul Makmur Sekardangan RT. 03 RW.
09 Papungan, Kanigoro, Blitar, Jawa Timur. Pria yang yang sering dipanggil oleh
Kyai Muhammad AP dengan sebutan “Ki
Gadhung Melathi” atau “Mbah Pasarean”
(karena seringnya berkunjung ke pesarean-pesarean untuk mengkaji sejarah tokoh
yang dimakamkan) tersebut dapat dihubungi di nomor HP. 085649706399.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar