Oleh:
Arif Muzayin Shofwan
Kiai Imam Syafaat merupakan salah satu pendiri Masjid Al-Ikhlas (salah satu masjid
lama/kuno) yang berada di Kauman, Kesamben, Blitar. Beliau juga merupakan teman
seperjuangan Eyang Djoego/ Mbah Djoego (Kiai Ageng Zakariya)[1]
dalam mengembangkan ajaran agama Islam dan ilmu-ilmu lainnya di daerah
Kesamben-Blitar. Perlu diketahui bahwa Kiai Imam Syafaat merupakan menantu dari Kiai
Imam Moestari Blitar dan merupakan cucu dari Kiai Ageng Muhammad Qosim (Eyang Raden
Kasiman)[2]
yang makamnya berada di Puncak Gunung Pegat, sebelah Utara kecamatan
Srengat-Blitar yang silsilah nasabnya bersambung dengan Sunan Tembayat
Klaten-Jawa Tengah.
Sebagian riwayat menyatakan bahwa baik Kiai Imam Syafaat dan istrinya (Nyai Woeryan) masih ada hubungan famili
yang silsilah keduanya ke atas masih bersambung dengan Sunan Tembayat
Klaten-Jawa Tengah. Hal yang lazim pada zaman dulu bahwa pernikahan banyak
dilakukan dengan keluarga terdekat, misalnya: misanan, mindoan, turun kaping
telu (walau turun kaping telu ini jarang dilakukan karena bertentangan dengan
adat istiadat Jawa) dan semacamnya. Adapun makam Kiai Imam Syafaat dan
istrinya (Nyai Woeryan) dimakamnya dibelakang Masjid Al-Ikhlas peninggalannya.
Salah
satu generasi ke-3 saudara dari keturunan Kiai Imam Syafaat dan Nyai Woeryan yang bernama Kiai Kasan Munajat
merupakan guru spiritual Kiai Dimyati (Syaikh Dimyati Bin Hasbulloh Baran,
Selopuro, Blitar) yang merupakan keturunan Kiai Demang Ekomedjo Purwokerto,
Srengat, Blitar.[3]
Perlu diketahui bahwa Kiai Kasan Munajat inilah yang dahulu kala mengarahkan
spiritualitas Kiai Dimyati Baran, Selopuro, Blitar hingga mencapai derajat
kewalian (min ba’di Auliya’illah). Selain sebagai guru Kiai Dimyati, konon Kiai
Kasan Munajat juga merupakan guru Mbah Wali Papak (Eyang Papak Notoprojo atau
Kiai Ageng R.M. Djojopoernomo) yang makamnya berada di daerah Tojo, Temuguruh,
Banyuwangi.
Diceritakan
bahwa Eyang Djoego (Kiai Ageng Zakariya) dan Kiai Imam Syafaat pernah menanam
pohon Gebang di belakang Masjid Al-Ihklas, Kauman, Kesamben, Blitar sebagai
tanda persahabatan keduanya (agar persahabatan keduanya tersebut) nantinya
dikenang oleh anak cucu dan keturunan-keturunan setelahnya. Akan tetapi, karena
pohon semakin lama semakin membesar hingga akhirnya menyentuh kabel listrik
yang ada di dekatnya, kemudian pohon tersebut ditebang oleh warga sekitar. Menjadi
sesuatu yang lumrah bila jaman dahulu sebuah persahabatan didokumentasikan
dengan sarana-sarana sederhana seperti penanaman sebuah pohon yang diperkirakan
hidup lama hingga beberapa generasi seperti pohon Beringin, Sawo Kecik, dan
semacamnya.
Tanda-tanda
penanaman sebuah pohon yang diperkirakan hidup lama sampai beberapa generasi agar
menjadi tanda atau kenangan yang bisa dibuat sebagai peta sejarah tersebut juga
dilakukan oleh prajurit-prajurit Pangeran Diponegoro (Raden Mas Ontowiryo)
ketika melarikan diri ke berbagai daerah. Biasanya, prajurit-prajurit Pangeran
Diponegoro yang melarikan diri ke berbagai daerah tersebut menanam Pohon Sawo
Kecik di depan rumah sebagai pertanda bahwa mereka merupakan prajurit
Diponegoroan. Jadi, jangan salah sangka bahwa penanaman pohon tersebut
digunakan sebagai penyembahan dan musyrik-syirik sebagaiamana yang disangkakan
saudara-saudara kita yang tak pernah cermat dalam belajar sejarah
pendokumentasian sederhana masa lalu.[4]
Kembali
mengenai nama Kiai Kasan Munajat, konon famili-famili yang berada di
Mbrebesmili Santren, Bedali, Purwokerto, Srengat, Blitar sering menyebutnya
dengan “Kiai Kasan Munojo/ Mbah Kasan Munojo” (dengan logat Jawa).[5] Dikisahkan
pula bahwa pada zaman dahulu, Kiai Kasan Munojo juga sering bersilaturrahmi
dengan famili-famili yang ada di daerah Mbrebesmili Santren, Bedali,
Purwokerto, Srengat, Blitar. Begitu pula sebaliknya, famili-famili yang ada di
Mbrebesmili Santren, Bedali, Purwokerto, Srengat, Blitar juga sering
bersilaturrahmi kepada famili-famili di Kauman, Kesamben, Blitar.
Konon
di Mbrebesmili Santren, Bedali, Purwokerto, Srengat, Blitar tersebut Kiai Kasan
Munojo (Kiai Hasan Munajat) juga sering menyempatkan diri berziarah ke makam
Kiai Ageng Syakban Gembrang Serang (Kiai Ageng Syakban Tumbu), Kiai Muhammad
Asrori (Pendiri Masjid Al-Asror, Kedungcangkring, Pakisrejo, Srengat, Blitar),
Kiai Kasan Mujahid (Pendiri Masjid Baitul Hasanah, Bedali, Purwokerto, Srengat,
Blitar), dan Kiai Ponco Suwiryo/ Kiai Ageng Suwiryo Hadi Kesumo/ Sayyid Bukhori
Mukmin (ayah angkat Mbah Wali Papak/ Kiai Ageng R.M. Djojopoernomo, Tojo,
Temuguruh, Banyuwangi), Sayyid Abdullah, Kiai Kembang Arum yang berada di
“Makam Auliya’ Mbrebesmili Santren”, Bedali, Purwokerto, Srengat, Blitar.
Tak
jauh dari itu, Kiai Dimyati (Syaikh Dimyati bin Hasbulloh Baran, Selopuro,
Blitar), murid Kiai Kasan Munajat Kesamben semasa masih hidup konon juga sering
berziarah ke “Makam Auliya’Mbrebesmili Santren” Bedali, Purwokerto, Srengat,
Blitar. Hal ini diceritakan oleh Mbah Tugiman Darungan, Kademangan, Blitar. Di
antara kiai-kiai yang dahulu kala diceritakan pernah berziarah ke makam
tersebut, di antaranya: Kiai Hamim Jazuli (Gus Miek), Kiai Abdul Djalil
Mustaqim (Pengasuh Pondok PETA Kauman, Tulungagung), Kiai Ihsan (Pendiri Pondok
Pesantren Abul Faidh Wonodadi, Blitar), Kiai Muhammad Thohir (Pendiri Pondok
Pesantren Karang Aji, Kerjen, Srengat, Blitar) dan lain sebagainya. Selain itu,
Kiai Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga pernah berkunjung di makam tersebut pada
saat akan mencalonkan diri sebagai presiden Republik Indonesia.
Kembali
ke kisah ziarah antara keluarga “Mbrebesmili Santren” Bedali, Purwokerto,
Srengat, Blitar dan Kauman, Kesamben, Blitar. Ziarah tersebut juga sangat
beralasan sebab Kiai Ageng Syakban Gembrang Serang dan kiai-kiai yang
disebutkan itu masih memiliki pertalian darah yang kuat hingga ke atas bertemu
pada Kiai Ageng Muhammad Qosim (Eyang Kasiman), Srengat, Blitar. Ziarah yang
dilakukan tersebut juga digunakan sebagai sarana menyambung kasih sayang
(silaturrahmi) dengan famili-famili yang ada di Mbrebesmili Santren, Bedali,
Purwokerto, Srengat, Blitar. Begitu pula sebaliknya, apabila famili-famili yang
ada di Mbrebesmili Santren, Bedali, Purwokerto, Srengat, Blitar berziarah ke Makam
Kiai Imam Syafaat dan Nyai Woeryan di Kauman, Kesamben, Blitar juga menjadi tali silaturrahmi (kasih
sayang) pada masa tersebut.
Akhirnya,
mudah-mudahan pirukunan (patembayatan) yang telah diprakarsai oleh para
generasi masa lalu tersebut dapat langgeng diteruskan oleh cucu-cucu,
cicit-cicit, dan keturunan-keturunannya, baik secara lahir maupun bathin tanpa
halangan suatu apapun. Mudah-mudahan pula Tuhan Yang Maha Kuasa selalu
memberikan taufik, hidayah, dan inayah-Nya kepada semua manusia tanpa memandang
suku, budaya, agama, aliran, dan semacamnya dalam menuju kebaikan bersama. (Tentang
Penulis: Arif Muzayin Shofwan Jl. Masjid Baitul Makmur Sekardangan RT. 03 RW.
09 Papungan, Kanigoro, Blitar, Jawa Timur. Kode Pos: 66171. HP. 085649706399).
Masjid Al-Ikhlas Peninggalan Kiai Imam Syafaat dan Nyai Woeryan |
[1] Makam Kiai Ageng Zakariya (Eyang
Djoego) berada di Gunung Kawi, Malang. Sementara petilasan pesanggrahan beliau
berada di Djoego, Kesamben, Blitar.
[2] Eyang Raden Kasiman (Kiai
Muhammad Qosim) merupakan teman Ndoro Tedjo yang makamnya berada di Puncak
Gunung Pegat, Srengat, Blitar.
[3] Makam Kiai Demang Ekomedjo
berada di Pemakaman Umum Purwokerto, Srengat, Blitar.
[4] Cermati saja pendokumentasian
luas tanah, peninggalan masa lalu banyak didokumentasikan dengan penanaman
pohon yang usianya dipandang bisa bertahan lama sampai generasi ke generasi.
[5] Makam Kiai Kasan Munajat (Mbah
Kasan Munojo), guru Syaikh Dimyathi Baran, Selopuro, Blitar berada di Pemakaman
Umum Kauman, Kesamben, Blitar.
Secara keseluruhan kami sangat senang dan terima kasih telah meng-upload eyang kami Imam Syafaat (Supangat) dengan Eyang Woeryan. Pengenalan terhadap eyang kami cukup kental. Bahkan ada gambar masjid Kauman. Ditinjau dari peninggalan beliau “masjid memiliki ceritera sendiri, termasuk pohon gebang, bedug, nama kampung kauman, nama-nama penduduk (nama islam dilafalkan Jawa, misal Saerodji (Syairozi), Ekrom (Ihram), Hadi (hadi), Gapar (Ghofar), Kasan Ngali (Hasan ‘Ali) dll.
BalasHapusBeberapa hal yang ingin kami memberikan catatan atas naskan tersebut:
Saya ingin mengolah dari alinea ini:
"Salah satu generasi ke-5 keturunan Kiai Imam Syafaat dan Nyai Woeryan yang bernama Kiai Kasan Munajat merupakan guru spiritual Kiai Dimyati (Syaikh Dimyati Bin Hasbulloh Baran, Selopuro, Blitar) yang merupakan keturunan Kiai Demang Ekomedjo Purwokerto, Srengat, Blitar.[3] Perlu diketahui bahwa Kiai Kasan Munajat inilah yang dahulu kala mengarahkan spiritualitas Kiai Dimyati Baran, Selopuro, Blitar hingga mencapai derajat kewalian (min ba’di Auliya’illah). Selain sebagai guru Kiai Dimyati, konon Kiai Kasan Munajat juga merupakan guru Mbah Wali Papak (Eyang Papak Notoprojo atau Kiai Ageng R.M. Djojopoernomo) yang makamnya berada di daerah Tojo, Temuguruh, Banyuwangi."
Generasi ke 5 antara lain Kiai Kasan Munajat: berdasarkan pada: https://krmkasiman.wordpress.com/2010/09/25/keluarga-woerjan/#more-582 yakni memuat gererasi ke 3 dari eyang Sufaat dan Eyang Woeryan: melahirkan putera/i dan cucu sebagai berikut:
Sapoerah menikah dengan Imam Rachmad. Sapoerah dikaruniai 8 orang putra yaitu :
1. Abdul Mu’in
2. Marfu’atoen
3. Muspiratoen
4. Mutmainatoen
5. Siti Wasini
6. Imam Moedjeni
7. Safa’atoen
8. Chasiatoen
Imam Soedirdjo dikaruniai 7 orang putra
1. Banu Suratmi
2. Moh. Saerodji (saya cucu beliau/ generasi ke 5 dari eyang sufaat dan eyang wuryan)
3. Sri Djuweni
4. Sulastri
5. Siti Masamah
6. Siti Masriah
7. Djuwadi
Sringatoen menikah dengan Masjun Minoto. Sringatoen dikaruniai 2 orang putra yaitu :
1. Rustamadji
2. Siti Uminatoen
Kami masih mengadakan pertemuan keluarga. Namun jika Kyai Kasan Munajat adalah dzurriyat beliau maka penanggalan menjadi tidak sesuai, dan tidak sesuai pula dengan urutan dzurriyat dalam alamat blog di atas (http://arifmuzayinshofwan.blogspot.co.id/2016/08/sekelumit-kisah-kiai-ageng-woeryan.html) beberapa kisah yang lain memang sering diceritakan oleh para sesepuh kami. Termasuk bedug masjid kauman, yg bahannya/ pohon ditunjukkan oleh eyang Jugo.
Jika benar Kyai Kasan Munajat adalah dari Eyang Supangat/ Woeryan kami sangat senang memiliki keluarga beliau. Perlu penyesuaian waktu, urutan dzurriyyat baru. Sepengetahuan kami putera beliau hanya 3, dan jika generasi ke 5 maka Kyai Kasan Munajat juga sebaya kami (antara 50-65 tahun).
Alhamdulillah sisipan cerita yang lain itu, sering dikisahkan. Dan masih ada beberapa tentang kepedulian sosial beliau terhadap masyarakat sekitarnya. Misalnya setiap Jum'at Legi adang akeh mempersilakan warga makan bersama atau siapa saja boleh datang dan makan hidangan yang disediakan. Sebagian masih dilakukan oleh eyang buyut kami (Imam Sudirjo) untuk menyediakan sarapan nasi goreng.
Mohon penjelasan
Bachrul Ulum Zuhri
bach_buz@yahoo.com
Lha ini.... Itu saya hanya memperkirakan keturunan dari putra putri Mbah Kyai Kasiman dari istri pertama... Kalau cerita Mbah Kasan Munajat masih dulur iya... tapi saya kurang tahu dari mana jalurnya.... Saya dulu tanya ke Mas Aji Kesamben dari jalur istri Mbah Kasan Munajat.... Monggo sami-sami digali kemawon...
BalasHapusTanggal 19/Juni/2018 saya ziarah ibu dan pepunden dan sederek di makam masjid Kauman, Kesamben tersebut. Bertemu dengan mas Aji, putera pak dhe Mufid, beliau cucu Mbah Mujeni. Mbah Jeni/Mujeni sebaya dg kakek saya Moh Syairozi. Beliau memberikan skema silsilah eyang Woeryan/ Imam Soedirdjo. Alhamdulillah.
HapusMengenai urutan tersebut melengkapi sistematika data yang sudah ada. Kebetulan saya juga ambil dari blogspot penjenengan ini. Menarik jika dikembangkan dengan tata urut tahun, maka akan terjadi jalinan sejarah yang menarik. Bedhug itu ada tulisan kapan di buat. Jika tidak salah tahun 1825 (1930??). Saat terjadinya perang Diponegoro. Sayangnya bedhug telah dicat berulang kali hingga tulisan tersebut tertutup dengan cat baru.
Matur nuwun, saya juga dapat info baru dari njenengan tentang keturunan Mbah Kyai Imam Syafaat ke bawah...
BalasHapusalhamdulillah... Banyak tulisan njenengan yg cukup aksploratif.. Saya menyukainya. Terutama kemungkinan lahirnya telaah sejarah lokal ttg perkembangan Islam di daerah, serta konteks sosial budaya saat itu. Teruskan menulis mas Zayin...
Hapussaya atas nama BPK. SAMSUL dari MADURA ingin mengucapkan banyak terimah kasih kepada MBAH KARYO,kalau bukan karna bantuannya munkin sekaran saya sudah terlantar dan tidak pernaah terpikirkan oleh saya kalau saya sdh bisa sesukses ini dan saya tdk menyanka klau MBAH KARYO bisa sehebat ini menembuskan semua no,,jika anda ingin seperti saya silahkan hubungi MBAH KARYO no ini 082301536999 saya yakin anda tdk akan pernah menyesal klau sudah berhubungan dgn MBAH KARYO dan jgn percaya klau ada yg menggunakan pesan ini klau bukan nama BPK. SAMSUL dan bukan nama MBAH KARYO krna itu cuma palsu.m
BalasHapus