Arif Muzayin Shofwan
Peneliti di The Post Institute Blitar, Jawa Timur
Email: arifms78@yahoo.co.id
Abstrak: Artikel ini menjelaskan dakwah KH. Abdurrahman melalui
pendekatan sufistik kepada sasaran dakwahnya. Pendekatan sufistik merupakan
penyampaian ajaran Islam yang bersifat transendental dan hanya dapat dirasakan
oleh perasaan (dzauq). Dakwah sufistik KH. Abdurrahman dilakukan melalui
tharikah mahabbah yang kemudian diteruskan putranya KH. Abdul Hadi. Sepeninggal
KH. Abdul Hadi, tharikah mahabbah tersebut diteruskan oleh putranya KH.
Abdurrahim. Pada masa KH. Abdurrahim inilah, dakwah melalui tharikat mahabbah
tersebut telah berhasil membentuk sebuah jam’iyah yang diberi nama ISHARI
(Ikatan Seni Hadrah Republik Indonesia). Tulisan kualitatif ini menggunakan
studi kepustakaan dalam pengumpulan datanya. Sedangkan teknik analisa datanya
menggunakan content analisis, dimana peneliti akan memilah-milah data
selanjutnya mengelompokkan data yang sejenis dan menganalisis isinya sesuai
dengan tujuan penelitian. Tulisan ini menemukan bahwa; Pertama, sejarah dakwah
sufistik KH. Abdurrahim melalui tharikat mahabbah tidak bisa lepas dari peran
Habib Syaikh bin Ahmad Bafaqih Surabaya sebagai gurunya Kedua, dakwah sufistik melalui
tharikat mahabbah tersebut, ternyata mengandung tata cara baku serta berbagai filosofi
khusus bagi sasaran dakwahnya dalam mengekspresikan cinta kepada Allah dan
Rasulullah saw.
Kata kunci: Dakwah Sufistik, Thariqah
Mahabbah, dan ISHARI
Pendahuluan
Sejarah dakwah berasal dua kata berbahasa Arab “syajarah” yang berarti pohon dan “ad-dakwah” berati seruan, panggilan,
atau ajakan.[1]
Kata “sejarah” mempunyai persamaan dengan kata “history” dalam bahasa Inggris, dan “tarikh” dalam bahasa Arab. Ketiga kata tersebut mengandung arti
“masa lampau umat manusia”.[2]Dari kedua kata tersebut
bisa diartikan bahwa sejarah dakwah adalah peristiwa masa lampau umat manusia
dalam upaya mereka menyeru, memanggil dan mengajak umat manusia kepada Islam
serta bagaimana reaksi umat yang diseru dan perubahan-perubahan apa yang
terjadi setelah dakwah digulirkan, baik langsung maupun tidak langsung.[3]
Sementara kata “metode” yang dalam bahasa Arab
diistilahkan dengan “thariqah”dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia diartikan
sebagai cara sistematis dan berfikir sistematis untuk mencapai tujuan.[4] Sedangkan istilah “mahabbaturrasul” berasal dari dua kata
berbahasa Arab “mahabbah” berarti
cinta dan “rasul” artinya utusan
Allah, yakni Rasulullah Muhammad saw, sebagai nabi akhir zaman yang layak untuk
dicintai seluruh umatnya. Jadi, thariqah mahabbaturrasul secara umum bisa
diartikan sebagai cara atau metode sistematis dan berfikir sistematis untuk
mencapai tujuan dakwah berupa cinta kepada Rasullullah saw sebagai utusan Tuhan
yang membawa risalah agama Islam. Menurut ISHARI, bermula dengan cinta,
seseorang lambat laun tentu akan meniru segala yang ia cintai, dalam hal ini
meniru aqidah, ibadah, dan muamalah Rasulullah saw.
Metode dakwah ISHARI sangat menarik untuk dijadikan
sebagai fokus kajian. Alasannya adalah ISHARI yang disisi lain merupakan
kesenian, tetapi disisi lain juga merupakan sebuah metode (al-thariqah) menuju Allah dan Rasulullah saw. Pada tataran sebagai
seni, ISHARI mempunyai gerakan tarian (raddat)
yang sangat indah. Sementara pada tataran sebagai “thariqah mahabbaturrasul”,
di dalam raddat tersebut terkandung simbol-simbol yang unik seperti tarian
tangan membentuk tulisan “Muhammad” dan lain sebagainya, sebagai ekspresi diri
bagi seorang pecinta terhadap yang dicintai.
Dakwah Sufistik KH. Abdurrahman dan
Terbentuknya ISHARI
Dakwah sufistik KH. Abdurrahman melalui tharikat
mahabbah tidak bisa lepas dari peran gurunya yang bernama Habib Syaikh bin
Ahmad Bafaqih Surabaya. Habib Syaikh bin Ahmad Bafaqih yang biasa dikenal
dengan sebutan “Habib Syaikh Botoputih” tersebut merupakan seorang ulama
kelahiran kota Syihr, Yaman pada tahun 1212 H /1812 M yang datang ke Surabaya
pada tahun 1251 H/1830 M. Ketika Habib Syaikh bin Ahmad Bafaqih datang ke
Surabaya, saat itu beliau masih berusia 39 tahun. Di Surabaya, selain beliau
sebagai mursyid thariqah (guru thariqah), ahli fiqih, ahli ilmu tauhid, dan
tasawuf, beliau juga mengajar para santri dengan melalui “thariqah mahabbah”
(metode cinta Rasul) dalam dakwahnya.[5]
Tercatat dalam Kitab
Iqdat al-Farid Fi Jawahir al-Asanid karya Syaikh Yasin al-Fadani,
sebagaimana dikutip Nuruddin bahwa Habib Syaikh bin Ahmad Bafaqih merupakan
salah satu sanad ilmu fiqih & ilmu hadist di Indonesia. Ia juga guru
berbagai aliran thariqah seperti: al-Naqsyabandiyah, al-Qadiriyah,
al-Syadziliyah, al-Samaniyah, dan lain-lainnya.[6] Habib Syaikh bin Ahmad
Bafaqih wafat pada bulan Syawal 1289 H/ 1888 M, dalam usia 77 tahun dan
dimakamkan di Boto Putih, Surabaya. Sepeninggal beliau, maka tharikah mahabbah
tersebut dilestarikan para santrinya antara lain: (1) Habib Abdullah bin
Muhammad Bafaqih, wafat di Boto Putih, Surabaya; (2) Habib Ling Bang Nahsan,
wafat di Pegirian, Surabaya; (3) Habib Seqqaf as-Seqqaf, wafat di Pegirian,
Surabaya; 4) KH. Abdurrahman yang lahir di Pegadangan, Sidoarjo dan wafat di
Makkah; 5) Syaikh Ubaidah[7]; (6) Syaikh Abdul Aziz
al-Bimawi, Nusa Tenggara Barat; (7) Habib Umar bin Thoha, Sindang Laut,
Indramyu, Cirebon; dan (8) Syaikh Abdurrahman al-Baweani, Gresik.[8]
Bermula dari KH. Abdurrahman inilah, maka thariqah
mahabbah diturunkan kepada putranya yang bernama KH. Abdul Hadi. Selanjutnya,
KH. Abdul Hadi menurunkan “thariqah mahabbah” tersebut kepada putranya yang
bernama KH. Abdurrahim Pasuruan.[9] Pada masa KH. Abdurrahim
Pasuruhan inilah mulai dibentuk sebuah organisasi sebagai wadah para pengikut
tharikah mahabbah, yang diberi nama ISHARI (Ikatan Seni Hadrah Republik
Indonesia) tanggal 15 Rajab 1378/ 23 Januari 1959 M. Adapun tokoh ulama dari
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai pemrakarsa berdirinya ISHARI adalah; (1) KH. Abdul
Wahhab Hasbullah (Rais Am PBNU); (2) KH. Bisri Syamsuri (Rais PBNU); (3) KH.
Idham Khalid (Ketua Tanfidz PBNU); (4) KH. Saifuddin Zuhri; (5) KH. Ahmad
Syaiku; dan (6) KH. Muhammad (putra KH. Abdurrahim) Pasuruan.[10]
ISHARI (Ikatan Seni Hadrah Republik Indonesia) merupakan
organisasi sosial keagamaan yang menjalankan thariqah mahabbaturrasul atau biasa disingkat thariqah mahabbah saja, dengan melalui pembacaan Kitab Maulid Syaraf al-Anam[11] dengan tambahan shalawat
hadrah yang berfungsi sebagai jawaban yang saling bersahutan, diiringi rebana (ad-duff) dan dengan tarian roddat serta tepuk tangan (tashfiq) sebagai ekspresi rasa cinta dan bangga terhadap Rasulullah
saw.[12] Sementara kitab Maulid Syaraf al- Anam sendiri, menurut
keterangan dalam Kitab Fath al-Shomad
karya Syaikh Nawawi al-Bantani sebagaimana dinukil Muhammad Nuruddin
al-Fasuruwani merupakan karya Syaikh Ibnu Jauzi atau yang lebih dikenal dengan
al-Imam Ibnu Qasim al-Hariri.[13]
Sementara itu, makna “hadrah” yang terdapat dalam
singkatan ISHARI secara bahasa, menurut Nuruddin mempunyai dua makna yaitu: Pertama, hadrah dengan makna hadir atau
datang ke majelis hadrah dengan membaca shalawat Nabi Muhammad saw dan
bertujuan untuk menghadirkan secara maknawi sifat-sifat dan akhlak Rasulullah
saw, agar ia bisa melaksanakan sifat-sifat & akhlak Rasulullah tersebut
dalam kehidupan sehari-hari. Kedua,
hadrah dengan makna hadir atau datang ke majelis hadrah dengan membaca shalawat
Nabi dan bertujuan untuk merefleksikan diri sebagai rasa syukurnya menjadi umat
Muhammad (khaira ummah) di dunia dan
akhirat.[14]
Sedangkan secara istilah menurut Habib Taufiq bin Abdul Qadir as-Seqqaf
Pasuruan sebagaimana dinukil Nuruddin berarti kumpulan bait-bait syair yang
memuat pujian dan sanjungan terhadap Nabi Muhammad saw, dan kata “hadrah”
mempunyai kesinoniman dengan “Qasidah” dan “Nasyid”.[15]
Sejarah ISHARI tidak bisa lepas dari peran Habib Syaikh
bin Ahmad bin Abdullah bin Ali Bafaqih yang lebih terkenal dengan sebutan “Habib Syaikh Boto Putih Surabaya”.
Beliau adalah seorang ulama kelahiran kota Syihr, Yaman pada tahun 1212 H /1812
M yang datang ke Surabaya pada tahun 1251 H/1830 M. Ketika Habib Syaikh bin
Ahmad Bafaqih datang ke Surabaya, saat itu beliau masih berusia 39 tahun. Di
Surabaya, selain beliau sebagai mursyid thariqah (guru thariqah), ahli fiqih,
ahli ilmu tauhid, dan tasawuf, beliau juga mengajar para santri dengan melalui
“thariqah mahabbaturrasul” (metode cinta Rasul) dalam dakwahnya.[16]Tercatat dalam Kitab Iqdat al-Farid Fi Jawahir al-Asanid
karya Syaikh Yasin al-Fadani, sebagaimana dikutip Nuruddin bahwa Habib Syaikh
bin Ahmad Bafaqih merupakan salah satu sanad ilmu fiqih & ilmu hadist di
Indonesia. Ia juga guru berbagai aliran thariqah seperti: al-Naqsyabandiyah,
al-Qadiriyah, al-Syadziliyah, al-Samaniyah, dan lain-lainnya.[17]Habib Syaikh bin Ahmad
Bafaqih wafat pada bulan Syawal 1289 H/ 1888 M, dalam usia 77 tahun dan
dimakamkan di Boto Putih, Surabaya.
Secara khusus, dalam lingkungan ISHARI dikatakan bahwa
thariqah mahabbaturrasul adalah sebuah amalan bacaan shalawat yang bersifat
khusus dan dilaksanakan bersama-sama, serta tidak perlu berbaiat kepada seorang
guru mursyid sebagaimana lazimnya thariqah-thariqah yang ada.[18] Dalam hal ini, thariqah-thariqah
yang ada seperti; thariqah Qadiriyyah, thariqah Naqsyabandiyah, thariqah
Sadziliyyah, thariqah Satthariyah, thariqah Shiddiqiyah, dan lain-lainnya,
dimana untuk memasuki dan mengamalkan amalan thariqah tersebut harus berbaiat
terlebih dahulu kepada seorang guru mursyid dalam komunitas tersebut. Sementara
untuk memasuki dan mengamalkan amalan sebuah “thariqah mahabbah” yang dimaksud ISHARI, tidak memerlukan baiat terlebih dahulu kepada seorang
guru mursyid didalamnya.
Thariqah mahabbaturrasul (metode cinta Rasul) berupa
bacaan-bacaan shalawat yang diajarkan Habib Syaikh bin Ahmad Bafaqih, Boto
Putih, Surabaya tersebut, sepeninggal beliau tetap dilaksanakan dan
dilestarikan oleh santri-santrinya antara lain: 1) Habib Abdullah bin Muhammad
Bafaqih, yang wafat di Boto Putih, Surabaya; 2) Habib Ling Bang Nahsan yang
wafat di Pegirian, Surabaya; 3) Habib Seqqaf as-Seqqaf yang wafat di Pegirian,
Surabaya; 4) KH. Abdurrahman yang lahir di Pegadangan, Sidoarjo dan wafat di
Makkah; 5) Syaikh Ubaidah[19]; 6) Syaikh Abdul Aziz
al-Bimawi, Nusa Tenggara Barat; 7) Habib Umar bin Thoha, Sindang Laut,
Indramyu, Cirebon; 8) Syaikh Abdurrahman al-Baweani, Gresik.[20]
Bermula dari KH. Abdurrahman inilah, maka thariqah
mahabbah diturunkan kepada putranya yang bernama KH. Abdul Hadi. Selanjutnya,
KH. Abdul Hadi menurunkan “thariqah mahabbah” ini kepada putranya yang bernama
KH. Abdurrahim Pasuruan.[21] Pada masa KH. Abdurrahim Pasuruhan
inilah mulai dibentuk sebuah organisasi sebagai wadah para pengikut tharikah
mahabbah, yang diberi nama ISHARI (Ikatan Seni Hadrah Republik Indonesia)
tanggal 15 Rajab 1378/ 23 Januari 1959 M. Adapun tokoh ulama dari Nahdlatul
Ulama sebagai pemrakarsa berdirinya ISHARI adalah; 1) KH. Abdul Wahhab Hasbullah
(Rais Am PBNU); 2) KH. Bisri Syamsuri (Rais PBNU); 3) KH. Idham Khalid (Ketua
Tanfidz PBNU); 4) KH. Saifuddin Zuhri; 5) KH. Ahmad Syaiku; dan 6) KH. Muhammad
(putra KH. Abdurrahim) Pasuruan.[22]
Pada tanggal 09 September 1961 M, para tokoh Nahdlatul
Ulama dan ISHARI mengadakan rapat pembentukan struktur kepengurusan ISHARI di
Jl. Ronggolawe No. 23 Surabaya. Dalam rapat tersebut terbentuklah struktur
kepengurusan ISHARI sebagai ketua kehormatan ada tiga orang yaitu; 1) KH. Abdul
Wahab Hasbullah (Tambakberas, Jombang); 2) KH. Bisri Syamsuri (Denanyar,
Jombang); dan 3) KH. Idham Khalid (Jakarta). Selain sebagai ketua kehormatan,
KH. Abdul Wahab Hasbullah juga ditetapkan sebagai penasehat dan pelindung
bersama sembilan kiai yang lain. Sedangkan sebagai ketua umum ISHARI adalah KH.
Muhammad, putra KH. Abdurrahim, Pasuruan, Jawa Timur.[23]
Seiring berjalannya waktu, pada tanggal 28 Desember 1962
Pengurus Pusat ISHARI mengajukan permohonan kepada Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama, agar ISHARI dimasukkan ke dalam badan pembinaan NU, mengingat jumlah
jama’ah atau anggota ISHARI saat itu mencapai empat puluh ribu anggota yang
tersebar di dua puluh cabang seluruh Jawa Timur.[24] Permohonan tersebut
akhirnya direstui Nahdlatul Ulama, sehingga pada muktamar NU ke 23 di Solo Jawa
Tengah, ISHARI secara resmi diakui menjadi organisasi yang berada dibawah
pembinaan Pengurus Syuriah NU (AD/ART NU hasil Muktamar NU ke 23 Solo).[25]
Pada muktamar NU ke 29 tahun 1994 di Cipasung, Jawa
Barat, dihasilkan sebuah keputusan bahwa ISHARI dimasukkan ke dalam salah satu
badan otonom NU (AD/ART NU Hasil Muktamar NU ke 29 Cipasung, Jawa Barat).
Setelah menjadi badan otonom, maka pada tanggal 31 Agustus s/d 01 September
1995, ISHARI mengadakan MUNAS pertama, di Pondok Pesantren Sunan Drajat,
Paciran, Lamongan dan menghasilkan beberapa keputusan, yaitu: 1) menetapkan
PD/PRT ISHARI; 2) program kerja lima tahun; 3) menetapkan Pimpinan Pusat ISHARI
masa bhakti 1995-2000.[26] Adapun susunan pimpinan
pusat ISHARI masa bhakti 1995-2000 adalah; 1) sebagai mustasyar adalah Syuriah
PW. NU Jatim; 2) Rais Majlis Hadi I: KH. Agus Abdul Hadi, Majlis Hadi II: KH.
Agus Masykur, Majlis Hadi III: KH. M. Fadhil Syahuri, Majlis Hadi IV: H.M.
Muchlas, dan lain sebagainya.[27]
Pada muktamar NU ke 30 tahun 1999 di Lirboyo, Kediri, Jawa
Timur, dihasilkan sebuah keputusan bahwa ISHARI dimasukkan ke dalam Lembaga
Seni Budaya NU (LSB NU) berdasarkan AD/ART NU Hasil Muktamar NU ke 30 Lirboyo,
Kediri, Tahun 1999). Akan tetapi, keputusan tersebut banyak memunculkan protes
tidak setuju dari berbagai kalangan terutama tokoh ISHARI.[28] Kebanyakan mereka tidak
setuju, karena ISHARI yang didalamnya terkandung “thariqah mahabbaturrasul”
(metode cinta Rasul) merasa keberatan, bila sebagai “thariqah”, cara, metode
dakwah dan juga sebagai jalan menuju Tuhan dan Rasulullah dimasukkan ke dalam
Lembaga Seni Budaya NU (LSB NU).
Maka berdasarkan hal di atas, pada muktamar NU ke 31 di
asrama haji Boyolali, Jawa Tengah, dihasilkan sebuah keputusan bahwa ISHARI
dimasukkan ke dalam lembaga dibawah binaan Lembaga Thariqah Mu’tabarah
an-Nahdliyyah (LTMN) berdasarkan AD/ART NU Hasil Muktamar NU ke 31 Boyolali.
Dalam keputusan tersebut, sama halnya dengan hasil keputusan muktamar NU ke 30
di Lirboyo, yakni ada pro dan kontra.[29] Yang pro dengan keputusan
menyatakan bahwa ISHARI yang didalamnya terkandung “thariqah mahabbah” lebih
tepat dimasukkan dalam binaan LTMN. Sementara yang kontra berpendapat bahwa ada
beberapa kendala ketika ISHARI dimasukkan LTMN. Sebab tidak ada aturan yang
jelas dalam ISHARI bila dikaitkan dengan aturan-aturan yang ada pada organisasi
thariqah, seperti: thariqah Qadiriyah, tahriqah Naqsyabandiyah, thariqah
Syadziliyah, dan lain-lainya.
Semakin lama posisi ISHARI tidak semakin jelas, apakah
ia dibawah binaan LTMN ataukah yang lain. Bahkan pada muktamar NU ke 32 di
Makassar diputuskan bahwa LTMN sebagai badan otonom di NU yang diistilahkan
dengan Jam’iyah Thariqah Mu’tabarah an-Nahdliyah (JTMN). Maka dengan tidak
termaktubnya ISHARI pada tugas dan fungsi JTMN, maka pola ISHARI dengan
thariqah semakin tidak jelas.[30] Hal ini diperkuat lagi
pada keputusan muktamar JTMN ke XI, yang
diselenggarakan di Pondok Pesantren Al- Munawariyah, Bululawang, Malang, pada
tanggal 14 s/d 18 Desember 2011. Dalam muktamar JTMN tersebut, sama sekali tidak memasukkan ISHARI
kedalam lembaga binaan JTMN. Bahkan selanjutnya, ISHARI yang lahir dari NU sama
sekali tidak punya tempat di NU bahkan di JTMN.[31]
Ketidakjelasan ISHARI tersebut tetap menjadi sebuah
pemikiran tokoh-tokoh ISHARI untuk mencari sebuah solusi yang tepat. Program
kerja lima tahunan ISHARI hasil dari MUNAS ISHARI pertama, pada tanggal 31
Agustus s/d 01 September 1995, di Pondok Pesantren Sunan Drajat, Paciran,
Lamongan, diteruskan di wilayah dengan mengadakan MUSWIL ISHARI Jawa Timur pada
tahun 1995, yang menghasilkan keputusan: 1) penetapan PD/PRT ISHARI Hasil
Munas; 2) program kerja lima tahun; 3) penetapan PW ISHARI Jawa Timut masa
bhakti 1995-2000, dengan komposisi KH. Abdul Hadi sebagai Rais Majlis Hadi, KH.
Yusuf bin Muhadjir sebagai Khatib, dan H. Nur Fadhil sebagai ketua, serta KH.
Mukhsin sebagai sekretaris.[32]
Sementara sampai delapan tahun, struktur kepengurusan di
atas tetap berjalan dan juga tidak diadakan MUSWIL ISHARI lima tahunan. Maka
pada tanggal 13 Juni 2003 diadakan rapat oleh para pimpinan ISHARI Jawa Timur
di aula masjid Rahmat, Jl. Khairil Anwar No. 27 Kembangkuning, Surabaya, dan
menghasilkan keputusan resufle PW. ISHARI Jawa Timur masa bhakti 2003-2007.[33] Keputusan tersebut dalam
SK PW Jawa Timur dengan nomor: 547/PW/L.I/VII/2003 menjelaskan struktur
organisasi ISHARI sebagai berikut: 1) Rais Majlis Hadi: KH. Abdul Hadi; 2)
Katib I: KH. Mas Yusuf bin Muhadjir; 3) Ketua tanfidziyah: KH. M. Bachri
Ichsan; 4) Sekretaris I: H. Moh. Ali Muhsin.[34]
Pada tanggal 26 Oktober 2008, ISHARI mengadakan MUSWIL
Jawa Timur ke IV yang bertempat di aula PC NU Gresik dan menghasilkan dua
keputusan, yaitu: 1) penetapan program kerja lima tahunan; 2) memilih
kepemimpinan masa bhakti 2008-2013.[35] Struktur kepemimpinan
tersebut tertuang dalam SK PWNU Jawa Timur nomor 653/PW/L.I/IV/2009 tertanggal
23 April 2009, dengan komposisi: 1) Rais Majlis Hadi: KH. Abdul Hadi; 2) Katib:
KH. Mas Yusuf.[36]
Dalam kepengurusan 2008-2013 tersebut, ada dua tokoh ISHARI yang meninggal
dunia, yaitu KH. Abdul Hadi (Rais Majlis Hadi) pada tahun 2009, dan KH. Masykur
Muhammad (tokoh sentral ISHARI) pada tahun 2010. Dengan demikian, jabatan Rais
Majlis Hadi untuk kepengurusan periode tersebut digantikan oleh KH. Mahmud
Chusairi.
Sementara, hingga tahun 2012 status ISHARI, yang pada
masa lalu dimasukkan dalam Lembaga Thariqah Mu’tabarah an-Nahdliyah (LTMN) juga
tidak kunjung menjadi sebuah kejelasan. Maka pada tahun ini pula, para pimpinan
ISHARI Jawa Timur berinisiatif mendaftarkan organisasi ISHARI kepada
Kementerian Hukum & HAM Republik Indonesia. Akhirnya, inisiatif tersebut
berhasil hingga diterbitkan surat pengesahan dari Kementerian Hukum & HAM Republik
Indonesia kepada organisasi ISHARI dengan nomor keputusan ANU-138.AN.01.07
Tahun 2012, tertanggal 27 Juli 2012.[37] Berdasarkan pengesahan
tersebut, berarti secara legal-formal, ISHARI telah berdiri sendiri dan
melepaskan diri dari NU. Tetapi secara kultural, ISHARI merupakan organisasi
yang lahir dari rahim NU dan tetap menjadi binaan dan kebanggaan kaum NU.
Pada tanggal 24-25 Agustus 2013 diadakan MUSWIL ISHARI
Jawa Timur ke V di Pondok Pesantren Huffadz Darul Ulum, Sumurwaru, Nguling,
Pasuruan. Acara tersebut dihadiri oleh 25 cabang dari 32 cabang ISHARI yang ada
di Jawa Timur dan menghasilkan keputusan: 1) penetapan PD/PRT ISHARI Jawa
Timur; 2) program kerja lima tahunan; 3) memilih kepemimpinan masa bhakti
2013-2018. Struktur kepengurusan pada masa ini adalah: 1) Rais Am Majlis Hadi:
KH. Mahmud Chusairi; 2) Katib Am Majlis Hadi: Gus Taqdir Ali Syahbana; 3) Ketua
Umum: H. Yusuf Arif; 4) Sekretaris Umum: Ustadz M. Nuruddin. Pelantikan
kepengurusan tersebut dilaksanakan oleh PWNU Jawa Timur pada tanggal 26
November 2013 di komplek masjid at-Ta’ibiin Jl. Raya Rungkut Tengah, No. 49
Surabaya berdasarkan SK PWNU Jawa Timur nomor 195/PW/L.I/XI/2013.[38]
Pada kepengurusan masa bhakti 2013-2018 tersebut banyak
sekali perubahan dan perbaikan serta pembagian tugas. Di samping itu, mengambil
beberapa langkah yang strategis untuk organisasi ISHARI dimasa depan,
diantaranya: 1) melaksanakan MUSKERWIL I pada tanggal 24-25 Desember 2013; 2)
melaksanakan RAKORWIL I pada tanggal 4 Februari 2014 bertempat di Yayasan
Pondok Pesantren Ilmu al-Qur’an Qomaruddin, Bungah, Gresik; 3) melaksanakan
pembinaan di cabang dengan menginstruksikan kepada seluruh cabang agar
melaksanakan MUSCAB sesuai dengan hasil MUSWIL dan MUSKERWIL Jawa Tumur; 4)
bersilaturrahim kepada PW NU Jawa Timur agar ISHARI secara substantif tetap
dijadikan sebagai organisasi binaan langsung PWNU.[39]
Dakwah KH. Abdurrahim melalui Tharikat
Mahabbah
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa metode dakwah
yang digunakan ISHARI adalah melalui “thariqah mahabbaturrasul” (metode cinta
Rasul). Di samping sebagai metode berdakwah, thariqah mahabbaturrasul juga
dipakai sebagai jalan atau cara yang sistematis untuk menuju ke hadhirat Allah
dan Rasul-Nya di lingkungan ISHARI. Thariqah mahabbah ini didasarkan pada syair
ISHARI yang berjudul “Anta Hadhir”, yang di dalamnya terdapat ungkapan “al-mahabbah hiya diinii” (cinta Allah
& Rasulullah adalah jalanku).[40] Dalam hal ini penulis
pernah mendengar keterangan dari KH. Masykur Muhammad (pemuka ISHARI Blitar) pada
tahun 2006, ketika shalawatan hadrah(ISHARI)
di masjid Baitul Makmur, Sekardangan, Kanigoro, Blitar, bahwa thariqah mahabbah
ini sebenarnya sudah banyak dilaksanakan oleh para ahli tasawwuf seperti
Rabi’ah al-Adawiyah, dan lain-lainnya.
Dalam pandangan tasawuf, mahabbah (cinta) merupakan pijakan bagi segenap kemuliaanhal, sama dengan taubat yang merupakan dasar bagi kemuliaan maqam, karena mahabbah
pada dasarnya adalah anugerah yang menjadi dasar pijakan bagi segenap hal, kaum sufi menyebutnya sebagai
“anugerah tertinggi”.[41]Rabi’ah al-Adawiyah
dianggap sebagai seorang sufi yang meletakkan dasar cinta (al-mahabbah) sebagai jalan menuju Tuhannya. Adapun di antara syair
Rabi’ah yang menunjukkan cinta kepada Allah adalah: “... bahwa saya menyembah-Nya karena rindu dan cinta kepada-Nya”.[42] Dalam hal ini, Hamka sebagaimana
dikutip Toriquddin pernah mengatakan: “Cinta
murni kepada Tuhan, inilah puncak tasawuf Rabi’ah. Pantun-pantun kecintaan pada
Ilahi, yang kemudian banyak keluar dari ucapan sufi yang besar sebagaimana
Fariduddin al-Athar, Ibnu Faridh, al-Hallaj, Jalaluddin Rumi, dan lain-lain,
telah dimulai lebih dahulu oleh Rabi’ah.”[43]
Dakwah ISHARI melalui thariqah mahabbah(cinta Rasul)
didasarkan pada hadist yang diriwayatkan Anas dari Rasulullah saw: “Ada tiga hal yang dengannya, seseorang akan
merasakan manisnya iman, yaitu 1) hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai
daripada selainnya; 2) hendaknya seseorang mencintai seseorang hanya karena
Allah; 3) hendaknya seseorang benci untuk kembali kepada kekafiran, sebagaimana
dia benci untuk dimasukkan ke dalam neraka.”[44]Thariqah mahabbah dalam
ISHARI mengajarkan cinta kepada Allah dan Rasulullah saw melalui bacaan Kitab Maulid Syaraf al-Anam dan
syair-syair shalawat yang ada di dalam Kitab
Diwan Hadrah.
Dalam amaliyah “thariqah mahabbaturrasul” organisasi
ISHARI, ada beberapa hal yang dilakukan para pengikutnya untuk mengekspresikan
cintanya kepada Allah dan Rasulullah.
Pertama, mengenai bacaan shalawat yang dilantunkan oleh organisasi ISHARI.
Hal ini ada dua kitab sebagai pegangan yaitu; 1) Kitab Maulid Syaraf al-Anam sebagai sumber bacaan utama; 2) Kitab Diwan Hadrah sebagai sumber bacaan
mengenai syair-syair yang digunakan untuk jawaban, sambil melakukan tarian raddat.[45]Sementara dalam Kitab Maulid Syaraf al-Anam berisi
bacaan yang berupa “syair” dan “natsar”. Pemimpin bacaan “syair” disebut Hadi
(Guru Hadi/Badal Hadi), sedangkan seorang yang membaca “natsar” disebut Rawi
(pembaca riwayat Nabi Muhammad saw).
Kedua,
mengenai irama bacaan syair dalam lingkungan ISHARI. Hal ini ada tiga jenis
yaitu; 1) Irama Juz, dimana syair mengikuti irama dua kali, dua ketukan tangan
dengan tempo agak lambat secara terus menerus sampai tuntas, “tak-dik,
tak-tak”. Penamaan “Juz” berati bagian, yang maksudnya bahwa dua kali, dua
ketukan ini mempunyai filosofi yang sangat unik. Yakni untuk mengingat dua
kalimah syahadat yang mana tidak boleh pisah dari seorang yang beriman.[46] 2) Irama Yahum, dimana
syair mengikuti irama tiga kali ketukan tangan dengan tempo lebih cepat dari
irama juz sampai tuntas, “tak-dik-tak”. Penyebutan “Yahum” mengandung filosofi
yang indah. Ia diambil dari kata “Ya Huwa” yang artinya “Dialah Tuhanku”.[47] 3) Irama Tareem, dimana
syair mengikuti irama tiga kali ketukan dengan tempo sangat cepat sampai
tuntas, “tak-dik-tak”. Penyebutan “Tareem” diambil dari kata “Tareem” yang
merupakan nama kota di Yaman. Irama Tareem ada tiga yaitu; a. Tareem Inat
(tak-tak-dik); b. Tareem Rojaz (dik-tak-tak-tak); dan c. Tareem Biasa
(tak-dik-tak).[48]
Ketiga,
posisi penabuh rebana (ad-duff) dalam
lingkungan ISHARI. Posisi ditengah adalah Guru Hadi, disamping kanan Guru Hadi
ada tiga orang penabuh rebana, dan di sampinh kiri Guru Hadi juga ada tiga
orang penabuh rebana. Hal ini dalam kalangan ISHARI mengandung filosofi yang
unik pula. Tiga penabuh rebana disamping kanan Guru Hadi menunjukkan “tiga
pokok ajaran Islam”, yaitu Iman-Islam-Ihsan.
Sementara tiga penabuh rebana disamping kiri Guru Hadi menunjukkan “tiga pokok
ilmu dalam Islam”, yaitu Ilmu Tauhid-Ilmu
Fiqih-Ilmu Tasawwuf.[49]
Keempat,
irama syair dalam lingkungan ISHARI. Irama pukulan/ketukan dalam ISHARI bukan
hanya sekedar irama pukulan/ketukan biasa. Akan tetapi irama pukulan/ketukan
dalam ISHARI mengandung makna filosofis yang berfungsi sebagai “thariqah
mahabbah” (metode/jalan cinta Allah & Rasulullah). Sehingga dalam hal ini,
untuk menguasainya harus melalui bimbingan Guru Hadi. Adapun penjelasan
filosofi ketukan tersebut adalah: 1) Irama pukulan Juz: berbunyi “tak-dik-tak”
selaras dengan notasi Hu-All-Loh atau lafadz Mu-Ham-Mad; 2) Irama pukulan
Yahum: merupakan simbol “Lailahaillallah” dan “Muhammadur-Rasulullah”. Dalam
irama Yahum ada tiga notasi yang dipadukan yaitu, a. krotokan (wedokan),
terdiri lima hentakan “taktak-taktak-dik” yang berarti pengamalan lima rukun
Islam, b. penyela (tengahan), terdiri dari empat hentakan “tak-tak-tak-dik”
yang bermakna sumber hukum Islam ada lima yaitu al-Qur’an, al-Hadist, al-Ijma, al-Qiyas, c. pengonteng (lanangan),
terdiri dari tiga hentakan “tak-dik-tak” yang bermakna pokok ajaran Islam yaitu
Tauhid, Fiqih, dan Tasawwuf. 3) Irama
pukulan Tareem: secara umum arti filosofisnya sama dengan Yahum.[50]
Kelima,
roddat. Istilah “roddat” berasal dari Bahasa Arab kata kerja rodda-yaruddu-roddan, yang berarti
mengembalikan, membalas, dan menolak.[51] Ada tiga hal yang
dilakukan oleh seorang yang sedang roddat, yaitu: 1) membalas lantunan shalawat
yang dikumandangkan oleh Guru Hadi; 2) melakukakan “raqs” (gerakan tarian
khusus ISHARI); 3) melakukan “tashfiq” (tepuk tangan khusus ISHARI); 4)
Melakukan “suluk” dalam istilah ahli tasawwuf, kalau dalam bahasa Jawa “sambat
maring Gusti Alloh”.
Adapun maksud dan tujuan raddat adalah: 1) gerakan dan
tarian dalam raddat merupakan tasbih dan zikir kepada Allah; 2) melahirkan rasa
senang dan gembira atas kelahiran Nabi Muhammad saw; 3) pada saat tepuk tangan
[tashfiq] dimaksudkan melahirkan rasa suka cita akan kehadiran Nabi Muhammad
saw di muka bumi ini; 4) Suluk kecil (sambat; Bahasa Jawa) dimaksudkan untuk
bermunajat dan mengadu kepada Allah serta memohon syafaat Rasulullah saw.[52] Sementara dalam raddat
menggunakan gerakan badan dibagi dua macam, yaitu: 1) raddat badan dengan
mengikutsertakan anggukan kepala diserasikan dengan notasi rebana,
mengilustrasikan penulisan lafadz “Allah”; 2) raddat badan dengan tarian
tangan, mengilustrasikan penulisan lafadz “Muhammad”.[53]
Daftar Pustaka
Abdullah,
Miftahul Munir. Raudhah al-Jannah.
Jombang: Lintas Media, t.t.
Al-Fasuruwani,
Muhammad Nuruddin. Al-Iqdu Al-Durar Fii
Tarjamati al-Shalawati ala an-Nabi li al-Ishari. Surabaya: Pimpinan Wilayah
ISHARI Jawa Timur, 2015.
Ilaihi,
Wahyu & Harjani Hefni. Pengantar
Sejarah Dakwah. Jakarta: Kencana, 2007.
Muhammad,
Masykur bin. Durr al-Nafi’ alaa Shalawat
al-Duff. Blitar: ISHARI, t.t.
Nuruddin,
M. Hadroh Dalam Ishari, Seni Atau Ibadah:
Sebuah Refleksi yang Menyingkap Tirani Kejumudan Tradisi dalam Bingkai Religi.
Pasuruan: MuswiL Jatim, 2013.
Riwayadi,
Susilo & Suci Nur Anisyah. Kamus
Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Penerbit Sinar Terang, t.t.
Rahmatullah
(khat). Maj’muah Maulid wa Ad’iyyah.
Semarang: Maktabah Thoha Putra, t.t.
Shiddiqi,
Nourouzzaman.Menguak Sejarah Muslim.
Jakarta: PLP2M, 1984.
Toriquddin,
Moh. Sekularitas Tasawuf: Membumikan
Tasawuf dalam Dunia Modern. Malang: UIN Press, 2008.
Tentang Penulis
Arif Muzayin Shofwan merupakan pria kelahiran Blitar, Jawa Timur. Dia pernah berguru mbawak tanaqqalta, badadlana, dan muhud lainnya dalam tradisi ISHARI kepada Kyai Masykur Muhammad Tawangsari, Garum, Blitar. Selain itu, dia juga tercatat sebagai aktivis The Post Institute Blitar sebagai ketua Divisi Multikulturalisme. Pria tersebut saat ini bertempat tinggal di Jl. Masjid Baitul Makmur Sekardangan RT. 03 RW. 09 Papungan, Kanigoro, Blitar, Jawa Timur. HP. 085649706399.
[1] Lihat lebih lengkap Wahyu Ilaihi & Harjani Hefni, Pengantar Sejarah Dakwah, (Jakarta:
Kencana, 2007), hal. 1
[2] Ibid, hal. 1. Lihat pula
Nourouzzaman Shiddiqi, Menguak Sejarah
Muslim, (Jakarta: PLP2M, 1984), hal. 8-9.
[3] Ibid, hal. 2
[4] Susilo Riwayadi & Suci Nur
Anisyah, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia,
(Surabaya: Penerbit Sinar Terang, t.t), hal. 473
[5] Muhammad Nuruddin Al-Fasuruwani, Al-Iqdu Al-Durar ..., hal. 3
[6] M. Nuruddin, Hadrah Dalam Ishari..., hal. 5-6.
[7] Beliau adalah salah satu sanad thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyah
dari Habib Luthfi Pekalongan, dengan urutan Habib Luthfi dari Habib Malik, dari
Habib Ilyas, dari Syaikh Ubaidah.
[8] Muhammad Nuruddin Al-Fasuruwani, Al-Iqdu Al-Durar ..., hal. 3-4.
[9] Bermula dari KH. Abdurrahim ini,
selanjutnya “thariqah mahabbah” diteruskan dan disebarkan oleh putra-putri
beliau antara lain: KH. Muhammad (Pasuruan), KH. Abdurrahman (Malang), KH.
Abdul Madjid (Lumajang), KH. Sami’ (Gresik), KH. Abdul Hadi (Jombang), KH. Masykur
Muhammad (Blitar), KH. Abdussalam (Lumajang).
[10] Muhammad Nuruddin Al-Fasuruwani, Al-Iqdu Al-Durar ..., hal. 11
[11] Lihat tentang shalawat Maulid Syaraf al-Anam dalam Rahmatullah
(khat), Maj’muah Maulid wa Ad’iyyah,
(Semarang: Maktabah Thoha Putra, t.t), hal. 98-163.
[12] Muhammad Nuruddin Al-Fasuruwani, Al-Iqdu Al-Durar Fii Tarjamati al-Shalawati
ala an-Nabi li al-Ishari, (Surabaya: Pimpinan Wilayah ISHARI Jawa Timur,
2015), hal. 2
[13] Ibid, hal. 2
[14] Ibid hal. 2.
[15] M. Nuruddin, Hadrah Dalam Ishari, Seni Atau Ibadah: Sebuah Refleksi yang Menyingkap
Tirani Kejumudan Tradisi dalam Bingkai Religi, (Pasuruan: Muswil Jatim,
2013), hal. 2-3.
[16] Muhammad Nuruddin Al-Fasuruwani, Al-Iqdu Al-Durar ..., hal. 3
[17] M. Nuruddin, Hadrah Dalam Ishari..., hal. 5-6.
[18] Lihat Muhammad Nuruddin
Al-Fasuruwani, Al-Iqdu Al-Durar ...,
hal. 3
[19] Beliau adalah salah satu sanad thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyah
dari Habib Luthfi Pekalongan, dengan urutan Habib Luthfi dari Habib Malik, dari
Habib Ilyas, dari Syaikh Ubaidah.
[20] Muhammad Nuruddin Al-Fasuruwani, Al-Iqdu Al-Durar ..., hal. 3-4.
[21] Bermula dari KH. Abdurrahim ini,
selanjutnya “thariqah mahabbah” diteruskan dan disebarkan oleh putra-putri
beliau antara lain: KH. Muhammad (Pasuruan), KH. Abdurrahman (Malang), KH.
Abdul Madjid (Lumajang), KH. Sami’ (Gresik), KH. Abdul Hadi (Jombang), KH.
Masykur Muhammad (Blitar), KH. Abdussalam (Lumajang).
[22] Muhammad Nuruddin Al-Fasuruwani, Al-Iqdu Al-Durar ..., hal. 11
[23] Salinan Lembaran Putjuk Pimpinan
ISHARI, Surabaya 9 September 1961.
[24] Muhammad Nuruddin Al-Fasuruwani, Al-Iqdu Al-Durar ..., hal. 12
[25] Ibid, hal. 12
[26] Ibid, hal. 13
[27] Lebih lengkap lihat Salinan Susunan
Pengurus ISHARI Wilayah Jawa Timur Periode 1995-2000.
[28] Muhammad Nuruddin Al-Fasuruwani, Al-Iqdu Al-Durar ..., hal. 13
[29] Ibid, hal. 14
[30] Ibid, hal. 14
[31] Ibid, hal. 14
[32] Ibid, hal. 15
[33] Ibid, hal. 15-16
[34] Lihat Salinan Susunan Pengurus
Wilayah ISHARI Jawa Timur Periode 2003-2007.
[35] Muhammad Nuruddin Al-Fasuruwani, Al-Iqdu Al-Durar ..., hal. 16
[36] Salinan Susunan Pengurus Pimpinan
Wilayah ISHARI Jawa Timur Periode 2008-2013.
[37] Muhammad Nuruddin Al-Fasuruwani, Al-Iqdu Al-Durar ..., hal. 17
[38] Ibid, hal. 17
[39] Ibid, hal. 18
[40] Miftahul Munir Abdullah, Raudhah al-Jannah, (Jombang: Lintas
Media), hal. 139.
[41] Moh. Toriquddin, Sekularitas Tasawuf: Membumikan Tasawuf
dalam Dunia Modern, (Malang: UIN Press, 2008), hal. 88
[42] Ibid, hal. 182
[43] Ibid, hal. 185. Lihat pula M. Jamil,
Cakrawala Tasawuf, (Jakarta: Gaung
Persada Press, 2007), hal. 92-96.
[44] HR. Bukhari
[45] Muhammad Nuruddin Al-Fasuruwani, Al-Iqdu Al-Durar ..., hal. 5
[46] Ibid, hal. 5-6
[47] Ibid, hal. 6
[48] Ibid, hal. 6
[49] Ibid, hal. 6
[50] Ibid, hal. 7-8
[51] Ibid, hal. 8
[52] Ibid, hal. 8-9
[53] Ibid, hal. 9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar