Arif Muzayin Shofwan
Ketua
Divisi Multikulturalisme The Post Institute Blitar, Jawa Timur
Email:
arifms78@yahoo.co.id
Abstrak
Ada banyak metode yang ditawarkan
para ulama untuk beribadah menuju Tuhan, salah satunya adalah sebagaimana yang
ditawarkan al-Ghazali. Dalam salah satu kitabnya,al-Ghazali menawarkan beberapa
tahapan dalam rangka beribadah menuju Tuhan. Tulisan ini bertujuan menjelaskan beberapa
tahapan beribadah menuju Tuhan yang ditawarkan al-Ghazali tersebut. Cara
penulisan ini menggunakan riset perpustakaan dengan mengambil beberapa
literatur yang sesuai dengan kajian. Tulisan ini menghasilkan temuan bahwa
tahap-tahap beribadah menuju Tuhan dalam pandangan al-Ghazali ada tujuh macam yaitu:
(1) tahapan ilmu; (2) tahapan taubat; (3) tahapan godaan; (4) tahapan
rintangan; (5) tahapan pendorong; (6) tahapan celaan; dan (7) tahapan syukur.
Kata
Kunci: Aqabah, Ibadah,
al-Ghazali, dan Kitab Minhaj al-Abidin.
Pendahuluan
Tahap-tahap beribadah menuju Tuhan
merupakan perjalanan rumpil yang harus dilalui para penempuhnya. Dalam hal ini,
al-Ghazali menyatakan bahwa masalah ibadah cukup menjadi bahan pemikiran, dari
awal hingga tujuan akhirnya yang sangat dicita-citakan bagi penempuhnya.
Ternyata hal tersebut merupakan perjalanan yang amat sulit, penuh liku-liku,
banyak halangan dan rintangan yang harus dilalui, banyak musuh, sedikit kawan
dan orang yang mau menolong.[1]
Berbagai rintangan menghadang para penempuh jalan agar mereka tidak sampai
kepada tujuan ibadah tersebut.
Selain hal di atas, al-Ghazali
juga menyatakan bahwa kenyataan manusia merupakan makhluk lemah, sementara
zaman sulit, urusan agama mundur, kesempatan kurang, manusia disibukkan dengan
urusan dunia, dan umur relatif pendek, amal-amal yang dikerjakan masih sedikit,
sang penguji sangat teliti, kematian semakin dekat, perjalanan yang ditempuh
masih sangat panjang, maka dari itu semua satu-satunya bekal hanyalah taat.[2]Sementara
untuk melaksanakan ketaatan pun banyak sekali rintangan dan godaan yang harus
ditaklukkan. Begitu juga untuk menempuh jalan beribadah menuju Tuhan pun, ada
banyak tahapan yang harus dilalui penempuhnya.
Setelah melihat
pernyataan-pernyataan al-Ghazali sebagaimana tersebut di atas, maka penulis
terketuk hati untuk melakukan sebuah studi tentang pemikiran al-Ghazali. Ada
sesuatu hal yang sangat menarik ketika peneliti secara sekilas membacaKitab Minhaj al-Abidinkarya al-Ghazali.
Secara garis besar kitab tersebut berisi tentang tahapan-tahapan bagi ahli
ibadah dalam rangka menapaki jalan Tuhan yang sangat menarik untuk diteliti. Tersebut
dalam berbagai literatur bahwa kitab tersebut merupakan karya al-Ghazali yang
terakhir dari karya-karyanya. Sebab setelah menyusun kitab tersebut al-Ghazali
wafat pada waktu pagi setelah shalat Subuh di hari Senin 14 Jumadil Akhir
505H/1111 M dalam usia 55 tahun dan dimakamkan di Zhahir Tabiran, ibu kota
Thus, Kurasan, Iran.
Studi tentang pemikiran al-Ghazali
ini didahului dengan beberapa penelitian terdahulu. Pertama, penelitian Mustangin
berjudul Metode Tazkiyatun Nafs
(Penyucian Jiwa) melalui Ibadah Shalat dan Implikasinya terhadap Pendidikan
Akhlak: Telaah Pemikiran Imam Al-Ghazalimerupakan sebuah penelitian tentang
pemikiran al-Ghazali serta menitikberatkan pada aspek metode tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) melalui
ibadah shalat dan implikasinya terhadap pendidikan akhlak.[3]Kedua,
penelitian Batubara berjudul Konsep
Tafakkur Sufistik Menurut Imam Al-Ghazalimerupakan penelitian terhadap
al-Ghazali serta menitikberatkan pada aspek sebuah konsep tafakkur orang-orang
sufi.[4]Ketiga,
penelitian Masburiyah berjudul Konsep dan
Sistematika Pemikiran Fiqih Sufistik Al-Ghazalimerupakan penelitian
terhadap pemikiran al-Ghazali serta menitikberatkan pada aspek sebuah konsep
dan sistematika pemikiran fikih orang-orang sufi.[5]
Dari berbagai penelitian terdahulu
mengenai pemikiran al-Ghazali di atas tampak bahwa setiap penelitian memiliki
ciri khas tersendiri dari masing-masing peneliti. Namun beberapa penelitian
tersebut, tidak terdapat studi yang menitikberatkan pada aspek tahapan-tahapan
para ahli ibadah dalam menuju Tuhan dalam pemikiran al-Ghazali. Oleh karena
itu, tulisan ini merupakan langkah awal untuk mengaitkan hal tersebut. Dan
perlu diketahui bahwa penelitian yang mengaitkan pemikiran al-Ghazali dengan
tahapan-tahapan para ahli ibadah dalam rangka menuju Tuhan-nya tersebut
merupakan sebuah studi yang menelaah Kitab
Minhaj al-Abidin, yakni salah satu karya terakhir al-Ghazali sebagaimana
dikemukakan di atas.
Berdasarkan pemaparan masalah di
atas, maka rumusan masalah dalam studiini adalah sebagai berikut: (1) Siapakah
sebenarnya al-Ghazali dan bagaimanakah biografinya?; (2) Apa sajakah
tahapan-tahapan beribadah menuju Tuhan yang ditawarkan al-Ghazali dan bagaimana
penjelasan hal tersebut dalam Kitab
Minhaj al-Abidin yang merupakan bagian karya terakhirnya?. Dua hal inilah
yang dalam studi ini akandiungkap secara cermat,guna untuk mengetahui sejarah
biografial-Ghazalisertauntuk mengetahui tahapan-tahapan apa saja yang
ditawarkan al-Ghazali dalam beribadah menuju Tuhan sekaligus
penjelasan-penjelasan akan hal tersebut.
Pembahasan
Biografi
Singkat al-Ghazali
Nama lengkap al-Ghazali adalah Abu
Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali al-Thusi. Dia lahir pada
tahun 450H/1058M di desa Thus, Khurasan, Iran. Adapun istilah “al-Ghazali” dengan menbaca ringan (tahfif) huruf “za”-nya merupakan nisbat pada sebuah desa Ghazalah, yang merupakan
wilayah dari desaThus, Iran.[6]Sedangkan
istilah “al-Ghazzali” dengan membaca
berat (tadh’if) huruf “za”-nya, yang
kadang juga dinisbatkan padanya, merupakan nisbat terhadap pekerjaan ayahnya
sebagai pemintal wol.[7]Ada
banyak gelar yang disematkan kepada al-Ghazali antara lain: [1] Hujjatul Islam, yakni bukti kebenaran
agama Islam; [2] Zainuddin, yakni
hiasan agama; [3] Bahrul Mughriq,
yakni samudera yang menghanyutkan, dan lain-lain.
Ayah al-Ghazali adalah seorang
yang wara’ yang menafkahi keluarganya dengan hasil keringatnya sendiri. Di
waktu senggang ayah al-Ghazali selalu menyempatkan diri mendatangi tokoh agama
dan ahli fikih serta mendengarkan nasehat-nasehatnya. Sang ayah tersebut wafat
ketika al-Ghazali dan adiknya masih usia kanak-kanak. Menjelang wafat, ayah
al-Ghazali berwasiat kepada salah seorang temannya yang ahli sufi untuk
mendidik dan membesarkan kedua anak tersebut. Ayah al-Ghazali menitipkan pada
temannya yang ahli sufi tersebut dan menyerahkan harta yang dia tinggal untuk
mengurus kedua putra tersebut. Sang sufi tersebut memegang amanah ayah
al-Ghazali, sehingga sampai harta dari ayahnya tersebut habis, lalu sang sufi
menyarankan al-Ghazali dan adiknya agar pergi sekolah dan mencari biaya
sendiri.[8]
Setelah mendapat saran dari ahli
sufi kawan ayahnya di atas lalu al-Ghazali dan adiknya menuntut ilmu pada
sebuah madrasah di Thus serta memperoleh makanan dan pendidikan disana. Di
madrasah inilah awal mula perkembangan pemikiran dan spiritual al-Ghazali yang
penuh arti hingga akhir hayatnya.[9]
Menurut Zainuddin, di dalam madrasah tersebut al-Ghazali mempelajari ilmu fikih
kepada Ahmad bin Muhammad al-Razikani dan mempelajari tasawuf kepada Yusuf al-Nasaj
hingga usia 20 tahun.[10]Setelah
itu dia lalu belajar ilmu fiqih dan bahasa Arab di Jurjan kepada Abu Nasr
al-Ismaili, akan tetapi tidak diketahui berapa lama dia belajar disana.[11]Namun
karena ilmu yang dimiliki dari Thus dan Jurjan tidak mencukupi, dia lalu pindah
ke Naisabur belajar ilmu madzhab fikih, ilmu kalam, ilmu usul, filsafat dan
disiplin ilmu lain kepada Abu al-Ma’ali al-Juwaini, seorang tokoh teologi
Asyariyah paling terkenal dan guru besar di madrasah Nidzamiyah.[12]
Sejak kecil al-Ghazali dikenal
sebagai seorang anak pecinta ilmu pengetahuan dan sangat berhasrat mencari
kebenaran hakiki, walau selalu dilanda duka cita. Suatu hari di hari libur
madrasah, al-Ghazali pulang ke kampung halamannya. Di tengah perjalanan
al-Ghazali dihadang oleh segerombolan perampok yang mengambil semua kitab yang
dimilikinya.[13]
Dalam Ensiklopedi untuk Pelajar dijelaskan bahwa al-Ghazali pernah mengatakan
bahwa kebiasaan untuk mencari hakekat kebenaran sesuatu merupakan kebiasaan dan
favoritnya sejak kanak-kanak dan masa muda. Menurut al-Ghazali, hal tersebut
merupakan insting dan bakat yang dilimpahkan Allah swt pada dirinya dan bukan merupakan usaha
rekayasa.[14]
Sebelum Abu al-Ma’ali al-Juwaini
wafat, dia sempat memperkenalkan al-Ghazali kepada perdana menteri Nizam al-Mulk,
yang merupakan pendiri madrasah Nidzamiyah.[15]
Maka setelah Abu al-Ma’ali al-Juwaini wafat, al-Ghazali lalu berangkat ke
al-Asykar mengunjungi perdana menteri Nizam al-Mulk dari pemerintahan Bani
Saljuk tersebut. Dia disambut dengan penuh kehormatan sebagai ulama besar dan
dipertemukan dengan para ulama besar lainnya. Menurut Abdullah pada tahun
484H/1091M al-Ghazali diutus perdana menteri Nizam al-Mulk untuk menjadi guru
besar di madrasah Nidzamiyah yang didirikan di Baghdad. Dia menjadi salah satu orang
yang terkenal di Baghdad dan selama empat tahun memberi kuliah kepada lebih
dari 300 mahasiswa di sana. Pada saat yang sama al-Ghazali menekuni kajian
filsafat secara otodidak lewat bacaan buku pribadi serta menulis sejumlah buku.[16]
Atas prestasi yang diraih, maka al-Ghazali yang saat itu dalam usia 43 tahun diangkat
sebagai pimpinan madrasah Nidzamiyah. Ibnu Rusn menyatakan bahwa al-Ghazali
menjadi pemimpin madrasah Nidzamiyah sekitar empat tahun. Setelah itu
al-Ghazali mengalami krisis rohani, krisis keraguan (skeptis) yang meliputi
akidah dan segala jenis makrifat. Dia lalu meninggalkan Baghdad menuju Syam (Syiria)
secara diam-diam. Untuk mengelabuhi kawan-kawannya di madrasah Nidzamiyah,
al-Ghazali mengatakan kepada mereka pergi ke Makkah untuk melaksanakan ibadah
haji. Mulai dari sinilah al-Ghazali mulai meninggalkan pekerjaan sebagai
pengajar dan dia memulai hidup baru menjauh dari lingkungan manusia serta
menempuh kehidupan yang penuh zuhud.[17]
Jahya menyatakan bahwa al-Ghazali
di Syam selama kurang lebih dua tahun serta melakukan isolasi diri (uzlah), menyepi dengan ibadah (khalwat), dan melatih melawan hawa nafsu
(riyadhah).[18]
Pada saat ini al-Ghazali hanya mengisi jiwanya dengan dzikir kepada Allah swt
sesuai dengan pengetahuan yang dia ketahui sebelumnya melalui tulisan beberapa
ahli tasawuf besar.[19]
Setelah dua tahun di Syam, al-Ghazali
pergi ke Makkah selanjutnya menuju Damaskus untuk tetap melaksanakan kehidupan
zuhud atau sufi sebagaimana di atas.[20]
Setelah beberapa saat hidup di Damaskus, al-Ghazali lalu memutuskan diri pergi
ke Bait al-Maqdis, Palestina dan memulai menyusun sebuah kitab tasawuf berjudul
Ihya’ Ulumuddin. Di sini pula al-Ghazali terus melatih jiwanya melawan hawa
nahsu, merubah akhlak, memperbaiki watak dan menempa hidupnya.[21]
Namun menurut Jahya, pada tahun
499H/1106M al-Ghazali sempat keluar dari uzlah karena adanya dekadensi moral
dan amal dari kalangan umat awam bahkan hingga kalangan ulama dan umara.
Dorongan keluar dari uzlah tersebut juga diperkuat karena adanya permintaan
perdana menteri Fahr al-Mulk, putera Nizam al-Mulk agar dia kembali mengajar di
madrasah Nidzamiyah, Naisabur.[22]
Karena permintaan tersebut al-Ghazali lalu mengajar di sana. Akan tetapi dia
mengajar tidak begitu lama hingga kemudian hari dia mempunyai keputusan kembali
ke Thus tempat kelahirannya. Di tempat kelahirannya tersebut al-Ghazali
membangun sebuah madrasah untuk para ahli tasawuf disamping rumahnya.[23]
Setelah sekian lama al-Ghazali untuk
mengabdikan diri untuk ilmu pengetahuan dan mendapatkan kebenaran hakiki pada
akhir hayatnya, dia lalu meninggal dunia di Thus pada hari Senin, 14 Jumadil
Akhir 505H/1111M menjelang matahari terbit dan dimakamkan di Zhahir Tabiran,
ibu kota Thus, Iran.[24]
Menurut Zainuddin, al-Ghazali wafat dihadapan adiknya yang bernama Ahmad
Mujiduddin dan meninggalkan tiga anak perempuan, sedangkan anak laki-lakinya
yang bernama Hamid telah meninggal dunia sebelum al-Ghazali wafat. Oleh karena
al-Ghazali mempunyai anak laki-laki bernama Hamid inilah, maka al-Ghazali
diberi julukan “Abu Hamid, yang berarti ayah si Hamid.[25]
Tahapan
Menuju Tuhan menurut al-Ghazali
Al-Ghazali telah menjelaskan
tahap-tahap beribadah menuju Tuhan di dalam Kitab
Minhaj al-Abidin, sebuah karya terakhir beliau. Dalam mukaddimah kitab tersebut, al-Ghazali menjelaskan beberapa tahapan
yang harus dijalani para ahli ibadah dalam rangka beribadah menuju Tuhannya.
Berikut tujuh tahapan yang menjadi manhaj
atau minhaj (metode; cara) menuju Tuhan
dalam pandangan al-Ghazali:
Pertama:Tahapan Ilmu (aqabatu’l-ilmi)
Al-Ghazali menyatakan bahwa
orang-orang yang ingin terbebas dari mara bahaya dan ingin beribadah dengan
benar, maka dia harus membekali diri dengan ilmu. Sebab beribadah tanpa bekal
ilmu adalah sia-sia, karena ilmu merupakan pangkal dari segala perbuatan.
Menurutnya, ilmu dan ibadah merupakan dua mata rantain yang saling berkaitan.
Karena pada dasarnya segala sesuatu yang dilihat, didengar, dan dipelajari adalah
untuk ilmu dan ibadah. Untuk ilmu dan ibadah itulah al-Qur’an diturunkan, serta
para nabi dan rasul diutus Allah juga untuk ilmu dan beribadah.[26]
Untuk yang pertama yakni ilmu,
al-Ghazali mendasarkan hal tersebut pada firman Allah swt: “Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan
seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya agar kalian semua
mengetahui bahwasannya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya
ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu”.[27]
Untuk yang kedua yakni ibadah, al-Ghazali mendasarkan hal tersebut pada firman
Allah swt: “Dan Aku tidak menciptakan jin
dan manusia melainkan supaya mereka beribadah (menyembah)-Ku”.[28]
Sehubungan kaitan kedua hal tersebut, al-Ghazali mengutip pernyataan Hasan
al-Basri yang mengatakan: “Tuntutlah ilmu tanpa melalaikan ibadah, dan
beribadahlah dengan tidak lupa menuntut ilmu”.[29]
Menurut al-Ghazali, alasan bahwa
ilmu merupakan inti atau pokok yang harus didahulukan daripada ibadah ada dua
yaitu: Pertama, wajib mendahulukan
ilmu agar seseorang berhasil dan selamat dalam beribadah. Seseoang harus
terlebih dahulu mengetahui siapa yang harus disembah, baru kemudian dia
menyembahnya. Apa jadinya bila seseorang menyembah, sedangkan yang dia sembah
belum diketahui asma, sifat-sifat, dan zat-Nya, serta sifat wajib dan mustahil
bagi-Nya. Sebab terkadang seseorang mengiktikadkan sesuatu yang tidak layak
bagi-Nya. Maka ibadah yang demikian [tanpa dilandasi ilmu] tersebut akan
sia-sia.[30]Kedua, ilmu harus didahulukan karena
ilmu akan menimbulkan rasa takut kepada Allah. Firman Allah swt: “innama> yakhsya’l-llaha min
iba>dihi’l-ulama>”, (QS. Fathir: 28), artinya sesungguhnya yang takut
kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ahli ilmu. Tanda bahwa
ilmu dapat menimbulkan rasa takut adalah orang yang tidak mengenal Allah dengan
sebenar-benarnya pasti tidak takut dengan benar terhadap-Nya. Hanya dengan ilmu
seseorang bisa mengenal dan mengagungkan Allah dalam artian yang sebenarnya.[31]
Al-Ghazali menyatakan bahwa bagi
yang menginginkan akhirat, akan mendahulukan menuntut ilmu sebelum mengerjakan
urusan yang lain. Nabi saw bersabda: “thalabu’l-ilmi
fari>dhatun ala> kulli muslimin”, artinya menuntut ilmu wajib bagi
setiap muslim. Dan al-Ghazali menyebutkan bahwa ilmu yang wajib dipelajari bagi
setiap muslim ada tiga yaitu: [1] ilmu tauhid, yakni ilmu untuk mengesakan
Tuhan; [2] ilmu sirri, yakni ilmu yang berkaitan dengan hati beserta
kejelekan-kejelekannya; [4] ilmu syariat, yakni ilmu yang menjelaskan masalah-masalah
halal dan haram, thaharah (bersuci), shalat, puasa, dan semacamnya.[32]
Adapun batasan mempelajari ilmu
tauhid adalah mengetahui inti agama (ushulud’din)
bahwa seorang hamba harus mengetahui bahwa dia mempunyai Tuhan yang Maha
Mengetahui, Maha Kuasa, Maha Berkehendak, Maha Hidup, Maha Berfirman, Maha
Mendengar, Maha Melihat, Maha Esa dan tidak ada yang menyekutukan-Nya, serta
mempunyai sifat-sifat yang sempurna, Maha Suci dari segala sifat kekurangan,
berubah-ubah, kebaruan, dan Allah bersifat terdahulu. Selain itu, seorang hamba
harus mengetahui bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya yang selalu
benar dalam menjelaskan masalah-masalah akhirat.[33]
Sementara wajib mempelajari ilmu sirri agar seorang hamba berhasil
mengagungkan Allah dan ikhlas kepada-Nya, berhasil niatnya serta terhindar dari
hal-hal yang merusak amalnya.[34]
Dalam hal ini, seorang hamba harus mengatahui sifat-sifat hati, sabar, syukur, khauf, raja’, ridha, zuhud, qana’ah,
mengetahui kemurahan Allah, baik sangka kepad Allah dan manusia, ikhlas dan
sebagainya. Itu adalah sebagian sifat-sifat hati yang harus diketahui dan
diamalkan oleh setiap individu dalam rangka menjadi hamba Allah yang baik. Di
samping itu, harus diketahui pula sifat-sifat yang berlawanan dengan
sifat-sifat di atas.[35]
Selanjutnya, wajib mempelajari
ilmu syariat yaitu apabila jelas-jelas bagi seorang hamba diwajibkan
melaksanakannya, maka wajib baginya mengetahui ilmu-ilmu tersebut seperti
mengetahui thaharah (bersuci),
shalat, dan puasa. Adapun masalah haji, zakat, dan jihad, maka apabila hal
tersebut jelas-jelas dia mempunyai kewajiban melaksanakannya, maka wajib
baginya mempelajari hal tersebut, dan apabila belum berkewajiban maka tidak
wajib untuk mempelajarinya.[36]
Sementara seorang hamba tidak diwajibkan mempelajari semua hukum fikih seperti
bab jual beli, ijarah, nikah, thalaq, jinazat, karena hal tersebut
merupakan fardhu kifayah.[37]
Kedua: Tahapan Taubat (aqabatu’t-taubah)
Al-Ghazali menyatakan bahwa wajib
bagi seorang pelaku ibadah untuk melaksanakan taubat. Menurutnya, taubat
diwajibkan karena dua hal: Pertama,
taubat dilakukan agar seorang hamba berhasil dalam menjalankan ketaatan. Sebab
perbuatan dosa menghalangi perbuatan taat dan menghilangkan ketauhidan,
berkhidmat kepada Allah dan menghalangi seseorang untuk berbuat kebaikan.[38]Kedua, taubat dilakukan agar ibadah
seorang hamba diterima oleh Allah swt. Karena taubat merupakan inti dasar untuk
diterimanya ibadah, dan kedudukan ibadah seolah-olah hanya sebagai tambahan.[39]
Al-Ghazali menukil pendapat
gurunya yang menyatakan bahwa taubat adalah meninggalkan dosa yang telah
diperbuat dan dosa-dosa yang sederajat dengan itu, karena mengagungkan Allah
swt dan takut akan murka-Nya.[40]
Adapun syarat-syarat taubat ada empat yaitu: [1] berusaha meninggalkan dosa
dengan sekuat hati dan cita-cita. Bila kemungkinan ingin melakukan dosa lagi,
maka tidak dinamakan taubat; [2] bertaubat dengan tidak mengulangi dosa-dosa yang
pernah dilakukan sebelumnya. Misalnya taubatnya Umar bin Khattab karena
meninggalkan perbuatan jahiliyah; [3] bertaubat meninggalkan dosa yang setimpal
yang pernah dilakukan di masa lalu, walau dia masih bisa melakukan sekarang.
Misalnya, seorang kakek pernah berzina di masa mudanya, maka dia harus
bertaubat meninggalkan hal tersebut, walau saat sekarang masih bisa
melakukannya; [4] meninggalkan dosa semata-mata untuk mengagungkan Allah swt,
bukan karena yang lain. Yakni tidak ada maksud keduniawian, tidak karena takut
pada orang lain.[41]
Adapun pendahuluan taubat ada tiga
yaitu: [1] mengingat puncak kejelekan dosa-dosa; [2] mengingat kerasnya hukuman
dan murka Allah; [3] mengingat kelemahan dan sedikitnya tenaga untuk menahan
hal tersebut.
Al-Ghazali membagi dosa menjadi
tiga macam yaitu: [1] dosa meninggalkan segala sesuatu yang diwajibkan Allah,
seperti meninggalkan shalat, puasa, zakat, kafarat dan lain sebagainya; [2]
dosa antara seorang hamba dan Allah swt, seperti meminum minuman keras, makan
riba dan lain sebagainya; [3] dosa antara seorang hamba dengan sesama, hal ini
merupakan dosa yang sukar dan berat. Dosa ini timbul dari lima perkara yaitu
(1) menyangkut urusan harta, seperti ghasab, memalsukan barang, mengurangi
takaran, memeras buruh, dan semacamnya; (2) masalah pribadi, seperti membunuh,
memfitnah dan semacamnya; (3) masalah perasaan, seperti menggunjing, menuduh
dan semacamnya; (4) masalah kehormatan, seperti menghianati kehormatan anak
istrinya, kerabatnya dan semacamnya; (5) masalah agama, seperti mengkafirkan
orang lain, membid’ahkan orang lain, menuduh sesat orang lain dan semacamnya.
Untuk megatasi dosa-dosa terhadap
sesama di atas al-Ghazali menyatakan bahwa apabila seorang hamba dapat meminta
maaf langsung kepada yang bersangkutan, maka sebaiknya dia lakukan hal
tersebut. Akan tetapi, bila hal tersebut tidak memungkinkan, maka seorang hamba
hendaknya memohon kepada Allah swt dengan merendahkan diri, serta memperbanyak
sedekah kepada fakir miskin dengan harta yang halal, agar dengan hal tersebut
Allah swt menjadikan yang bersangkutan memaafkan.
Ketiga: Tahapan Godaan (aqabatu’l-awa>’iq)
Adapun tahapan godaan dalam
beribadah menuju Tuhan menurut al-Ghazali ada empat macam yaitu:
Pertama, dunia
dan isinya; untuk menyelamatkan diri dari segala godaan, seorang hamba harus
menjauhi dan berpaling dari dunia tersebut. Hal tersebut harus dilakukan
seorang hamba karena dua hal yaitu; [1] agar ibadat seseorang istiqamah dan
banyak dan [2] agar seseorang hamba menghargai amal ibadahnya, memuliakan
derajatnya dan kemuliaannya.
Kedua, makhluk;
adapun makhluk menjadi godaan untuk menuju Tuhan berdasarkan dua alasan yaitu:
[1] sebab kebanyakan makhluk akan memalingkan seorang hamba dari ibadah kepada
Allah swt; dan [2] sebab kebanyakan manusia dapat merusak ibadah yang telah
dilaksanakan seorang hamba. Yakni, dengan ajakan mereka yang menjurus kepada
perbuatan pamer (riya’), penuh penghiasan (tazayyun) bila tidak mendapat
perlindungan Allah swt.
Ketiga, syaitan;
sedangkan syaitan menjadi godaan beribadah menuju Tuhan berdasarkan dua alasan
yaitu: [1] syaitan adalah nyata-nyata musuh yang menyesatkan. Maka tidak dapat
diharapkan darinya adanya kebaikan dan perdamaian, sebab mereka baru puas bila
mampu membinasakan manusia;[42]
[2] sebab sudah menjadi tabiat syaitan untuk selalu memusuhi cucu Adam. Mereka
akan memerangi seorang hamba siang dan malam, sedangkan seorang hamba akan lupa
akan hal tersebut.
Keempat, hawa
nafsu; hawa nafsu merupakan musuh yang mencelakakan, menimbulkan mala petaka
yang amat besar dan sukar dihindari. Seorang hamba yang beribadah menuju Tuhan
hendaknya waspada kepada hawa nafsu karena dua hal yaitu: [1] karena hawa nafsu
merupakan musuh dari dalam, bukan musuh dari luar; [2] karena hawa nafsu
merupakan musuh yang disukai, maka manusia yang mencintainya akan menutup mata
terhadap segala aibnya.
Keempat: Tahapan Rintangan (aqabatu’l-awa>rid)
Adapun
rintangan yang merintangi seorang hamba dalam beribadah menuju Tuhan menurut
al-Ghazali ada empat macam yaitu:
Pertama, rezeki dan tuntutan hawa nafsu;
kedua hal ini bisa diatasi dengan berpasrah diri kepada Allah swt (tawakkal).
Untuk itu, sudah seharusnya bagi seorang hamba menggantungkan kepada Allah swt
dalam urusan rezeki, hajat, dan segala masalah. Hal tersebut dikarenakan agar
tenteram beribadah. Sebab orang yang tidak menggantungkan diri kepada Allah swt
tidak akan beribadat dengan baik, sebab pikirannya selalu terpusat pada rezeki,
kebutuhan dan urusan-urusan lainnya.
Kedua, kekwatiran-kekwatiran dan
kehendak-kehendaknya. Untuk mengatasi hal tersebut adalah menyerahkan diri
kepada Allah swt (tafwidz).
Menyerahkan diri kepada Allah swt disebabkan oleh dua hal yaitu: [1] agar hati
menjadi tenteram dan tidak gelisah. Sebab kekhawatiran-kekhawatiran akan
membingungkan, manakah yang baik dan manakah yang buruk. Tetapi bila berserah
diri kepada Allah swt dan berkeyakinan akan jatuh dalam kebaikan, maka dia akan
merasa aman dan tidak khawatir akan bahaya dan musibah serta kesalahan; [2] akan
mendatangkan kemaslahatan dan kebaikan. Sebab segala sesuatu jika diamat-amati
akan samar, banyak keburukannya tetapi sebenarnya baik. Banyak yang
menguntungkan, sedangkan pada kenyataannya merugikan. Banyak yang berupa racun,
tetapi tampak seperti madu, sementara manusia tidak mengetahui segala akibat
dan rahasia-rahasia.
Ketiga, ketentuan (qadha) Allah dan
macam-macamnya. Sebagai hamba Allah swt, seorang hamba hendaknya ikhlas
menerima ketentuan Allah bagaimanapun keadaannya. Hal tersebut dilakukan karena
dua sebab yaitu; [1] agar seorang hamba dapat memusatkan segala perhatian untuk
beribadat. Sebab seorang hamba yang tidak ikhlas menerima ketentuan Allah swt,
hatinya selalu diliputi kesedihan. Sehingga dia senantiasa berkeluh-kesah dan
mengeluh. Akibatnya dia tidak bisa berkonsentrasi untuk beribadah kepada Allah
swt. Dia tidak sempat berzikir kepad Allah swt, dan tidak ada waktu lagi untuk
memikirkan akhirat; [2] agar seorang hamba dapat ikhlas menerima ketentuan
Allah swt. Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa seorang nabi mengadu
penderitaannya kepad Allah swt. Maka Allah swt menjawab pengaduan tersebut
dengan firman-Nya, “Engkau mengadu pada-Ku?. Aku tidak layak dicela, dan Aku
tidak layak menjadi tempat pengaduan. Sebab pengetahuan ghaib-Ku yang akan
menilai urusanmu. Mengapa engkau tidak ikhlas menerima ketentuan-Ku?. Apakah
engkau menghendaki Aku merubah seluruh dunia untukmu?. Ataukah Aku harus
mengganti semua catatan Lauhul Mahfudz?. Dengan demikian, Aku harus menentukan
menurut keinginanmu, bukan kehendak-Ku?. Menurut yang kau sukai, bukan yang Aku
sukai?. Demi kemuliaan dan kebesaran-Ku, Aku sumpahi engkau. Jika pikiran
seperti itu terlintas dalam benakmu, akan Aku tanggalkan kenabianmu. Akan Aku
masukkan engkau dalam neraka”. Begitulah Allah mendidik para nabi-Nya.
Keempat, kesulitan-kesulitan dan
musibah-musibah. Adapun untuk mengatasi kesulitan dan musibah diperlukan sebuah
kesabaran (as-sabru). Kesabaran diperlukan oleh seorang hamba dikarenakan dua
hal yaitu; [1] agar sampai kepada tujuan ibadat. Sebab dasar dari ibadah adalah
bersabar dan sanggup menanggung penderitaan serta kesulitan. Orang yang tidak
sabar, tidak akan tahan uji, tidak akan sampai ke tujuan. Sebab seorang yang
sudah berniat hendak beribadah pasti akan menghadapi berbagai ujian dan
kesukaran dari berbagai segi; [2] agar membawa keberuntungan baik selama di
dunia maupun di akhirat. Hal ini didasarkan pada firman Allah swt: “Barangsiapa
yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar,
dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka”.
Kelima: Tahapan Pendorong (aqabatu’l-bawa>ist)
Al-Ghazali kemudian menjelaskan
tahapan berikutnya yaitu tahapan pendorong. Artinya bahwa ada dua hal yang
mendorong seorang hamba untuk beribadah menuju kepada Allah swt, yaitu rasa
takut (khauf) dan harapan (raja’). Rasa takut (khauf) harus dipegang seorang
hamba karena dua alasan yaitu: [1] mencegah perbuatan maksiat, sebab hawa nafsu
senantiasa memerintahkan perbuatan kejahatan, selalu menggoda atau menjadikan
fitnah. Hal tersebut bisa tuntas kecuali dengan takhwif (menjadikan dia takut)
dan tahdid (sebuah ancaman);[43]
[2] agar tidak menyombongkan diri dengan ketaatan yang pernah dilakukan. Bila
seorang hamba menyombongkan diri, maka rusaklah segala amalnya.
Sedangkan harapan (raja’) harus
dipegang seorang hamba dalam perjalanan beribadah menuju Tuhan karena dua sebab
yaitu: [1] untuk membangkitkan keinginan taat. Sebab mengerjakan kebaikan itu
berat dan syaitan selalu berusaha mencegahnya. Begitu pula hawa nafsu
senantiasa mendorong kepada perbuatan jahat. Sementara pahala karena
mengerjakan ketaatan tidak terlihat oleh mata. [2] agar tidak merasakan
kepayahan, kesusahan serta kelelahan dalam beribadah. Perlu diketahui bahwa
barangsiapa telah mengetahui kebaikan sesuatu yang menjadi tujuan, maka dalam
memperjuangkannya akan terasa ringan. Selain itu, dia akan sanggup menanggung
kepayahan dalam mencapainya serta tidak peduli adanya berbagai rintangan.
Al-Ghazali menyatakan bahwa urusan ibadah berkisar pada dua hal yaitu
melaksanakan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan.
Adapun pendahuluan (mukaddimah)
dari pengharapan (khauf) terdiri atas empat hal yaitu: [1] mengingat banyaknya
dosa yang telah dilakukan, serta mengingat banyaknya musuh yang membawa kepada
kedzaliman, sementara seorang hamba tidak dapat lepas darinya; [2] mengingat beratnya
siksa Allah swt yang mana seorang hamba tidak akan kuat menanggungnya; [3]
selalu ingat akan kelemahan dirinya dalam menanggung beratnya siksa; [4] selalu
ingat akan kekuasaan Allah swt terhadap seorang hamba, dan Dia bisa berbuat apa
saja dan kapan saja sesuai kehendak-Nya.
Al-Ghazali juga menyebutkan
pendahuluan (mukaddimah) tentang rasa takut (raja’) terdiri atas empat hal
yaitu: [1] senantiasa mengingat karunia Allah swt yang telah dirasakan seorang
hamba dengan tanpa didahului kehendak hamba dan tanpa bantuan hamba; [2]
senantiasa mengingat janji Allah swt mengenai pahala yang berlipat, kasih
sayang-Nya, yang besar menurut karunia dan kemurahan-Nya, bukan karena amalan
yang seorang hamba kerjakan. Sebab bila amalan diukur dari amalan seorang hamba,
maka hal tersebut sangat kecil; [3] senantiasa mengingat banyaknya pemberian
Allah swt, baik dalam urusan agama maupun urusan dunia; [4] senantiasa
mengingat keluasan dan kebesaran kasih sayang Allah swt, serta mendahulukan
kasih sayang-Nya daripada kemurkaan-Nya.
Keenam: Tahapan Celaan (aqabatu’l-qowa>dih)
Setelah seorang hamba berjalan
lurus dan melalui tahapan pendorong, dia harus berjalan lurus. Seorang hamba
wajib membedakan mana yang lebih baik dan mana yang kurang baik, serta membuang
segala sesuatu yang sekiranya dapat merusak dan merugikan ibadahnya. Kewajiban
membedakan hal di atas menurut al-Ghazali disebabkan antara lain sebab bila
seorang hamba bisa ikhlas dan senantiasa mengingat karunia Allah swt, maka hal
tersebut akan mendatangkan banyak manfaat yang besar baginya, yakni amalan
seorang hamba tersebut akan diterima di sisi Allah swt, serta mendapatkan
pahala dari amal tersebut.[44]
Ketujuh: Belum bisa meneruskan.
Mohon
maaf lahir dan bathin. Terima kasih.
Daftar
Pustaka
Abdullah, M. Amin, Antara
al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, terj. Hamzah, (Bandung: Penerbit
Mizan, 2002).
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad, Syarah
Minhaj al-Abidin, (Semarang: Maktabah wa Mathba’ah Karya Toha Putra, tt).
--------, Kegelisahan al-Ghazali,
terj. Ahmad Khudori Sholeh, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998).
--------, Mutiara Ihya’ Ulumiddin,
terj. Irwan Kurniawan, (Bandung: Penerbit Mizan, 1997).
--------, Pembuka
Pintu Hati, (Bandung: MQ Publishing, 2004).
--------, Syarah
Minhaj al-Abidin, (Semarang: Maktabah wa Mathba’ah Karya Toha Putra, tt).
--------, Terjemah Minhajul Abidin,
Petunjuk Ahli Ibadah, terj. Abul Hiyadh, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 2009).
Al-Jawi, Syaikh Muhammad Nawawi, Syarah
Muraq al-Ubudiyyah alaa Matni Bidayah al-Hidayah, (Semarang: Maktabah wa
Mathbaah Karya Toha Putra, tt).
Batubara, Mulyadi, “Konsep Tafakkur Sufistik Menurut Imam Al-Ghazali”, Skripsi, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah,
2010).
Dewan Redaksi Ensiklopedi Pelajar, Ensiklopedi
untuk Pelajar, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeven, 2001).
Hafidhuddin, Didin, Dakwah Aktual,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1998).
Himawijaya, Mengenal al-Ghazali,
Keraguan adalah Awal Keyakinan, (Bandung: Mizan Media Utama, 2004).
Jahya, Dr. H.M. Zurkani, Teologi
al-Ghazali, Pendekatan Metodologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1990).
Masburiyah, “Konsep dan Sistematika Pemikiran Fiqih Sufistik Al-Ghazali”,
dalam Nalar Fiqh: Jurnal Kajian Ekonomi
Islam dan Kemasyarakatan, Vol. 3, No. 1, Juni 2011.
Mustangin, Khoirul, “Metode Tazkiyatun Nafs (Penyucian Jiwa) melalui
Ibadah Shalat dan Implikasinya terhadap Pendidikan Akhlak: Telaah Pemikiran
Imam Al-Ghazali”, Skripsi,
(Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2014).
Rusn, Abidin Ibnu, Pemikiran
al-Ghazali tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998).
Schash, B. Leuis, CH Pellat. J. (eds), The Encyclopedis of Islam, New Edition, Vol II, (Heider: E.J.
Brill, 1965).
Quasem, H. Abdul, M.A., & Kamil, Ph.D, Etika al-Ghazali, (Bandung: Pustaka, 1988).
Tain, Sabaruddin, Imam Al-Ghazali
Mercusuar Islam, (Jakarta: An-Najah Press, 2005).
Zainuddin, Drs., Seluk Beluk
Pendidikan dari al-Ghazali, (Semarang: Bumi Aksara, 1990).
Arif Muzayin Shofwan |
Tentang Penulis
Arif Muzayin Shofwan merupakan pria kelahiran Blitar, Jawa Timur. Pria yang menjadi peneliti di The Post Institute Blitar tersebut beralamatkan di Jl. Masjid Baitul Makmur Sekardangan RT. 03 RW. 09 Papungan, Kanigoro, Blitar, Jawa Timur. HP. 085649706399.
[1] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Syarah Minhaj al-Abidin, (Semarang: Maktabah wa Mathba’ah Karya
Toha Putra, tt), hal. 2.
[2] Ibid, hal. 2.
[3] Khoirul Mustangin, “Metode
Tazkiyatun Nafs (Penyucian Jiwa) melalui Ibadah Shalat dan Implikasinya
terhadap Pendidikan Akhlak: Telaah Pemikiran Imam Al-Ghazali”, Skripsi, (Yogyakarta: UIN Sunan
Kalijaga, 2014).
[4]Mulyadi
Batubara, “Konsep Tafakkur Sufistik Menurut Imam Al-Ghazali”, Skripsi, (Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah, 2010).
[5] Masburiyah, “Konsep dan Sistematika
Pemikiran Fiqih Sufistik Al-Ghazali”, dalam Nalar
Fiqh: Jurnal Kajian Ekonomi Islam dan Kemasyarakatan, Vol. 3, No. 1, Juni
2011.
[6] Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, Syarah Muraq al-Ubudiyyah alaa Matni Bidayah
al-Hidayah, (Semarang: Maktabah wa Mathbaah Karya Toha Putra, tt), hal. 3.
[7] B. Leuis, CH Pellat. J. Schach
(eds), The Encyclopedis of Islam, New
Edition, Vol II, (Heider: E.J. Brill, 1965), hal. 1038.
[8] Masburiyah, “Konsep dan
Sistematika”, hal. 112-113.
[9] Dr. H.M. Zurkani Jahya, Teologi al-Ghazali, Pendekatan Metodologi,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1990), hal. 64.
[10] Drs. Zainuddin, Seluk Beluk Pendidikan dari al-Ghazali, (Semarang: Bumi Aksara,
1990), hal. 8.
[11] Lihat Imam al-Ghazali, Kegelisahan al-Ghazali, terj. Ahmad
Khudori Sholeh, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), hal. 7.
[12] Masburiyah, “Konsep dan
Sistematika”, hal. 113.
[13] Sabaruddin Tain, Imam Al-Ghazali Mercusuar Islam,
(Jakarta: An-Najah Press, 2005), hal. 11.
[14] Dewan Redaksi Ensiklopedi Pelajar, Ensiklopedi untuk Pelajar, (Jakarta: PT.
Ichtiar Baru Van Hoeven, 2001), hal. 57.
[15] Himawijaya, Mengenal al-Ghazali, Keraguan adalah Awal Keyakinan, (Bandung:
Mizan Media Utama, 2004), hal. 15.
[16] M. Amin Abdullah, Antara al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika
Islam, terj. Hamzah, (Bandung: Penerbit Mizan, 2002), hal. 29.
[17] Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hal. 12.
[18] Dr. H.M. Zurkani Jahya, Teologi al-Ghazali, hal. 78.
[19] H. Abdul Quasem, M.A., & Kamil,
Ph.D, Etika al-Ghazali, (Bandung:
Pustaka, 1988), hal. 8.
[20] Didin Hafidhuddin, Dakwah Aktual, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1998), hal. 34.
[21] Imam al-Ghazali, Mutiara Ihya’ Ulumiddin, terj. Irwan
Kurniawan, (Bandung: Penerbit Mizan, 1997), hal. 10.
[22] Dr. H.M. Zurkani Jahya, Teologi al-Ghazali, hal. 79.
[23] Ibid, hal. 79-80.
[24] Imam al-Ghazali, Pembuka Pintu Hati, (Bandung: MQ
Publishing, 2004), hal. 266.
[25] Drs. Zainuddin, Seluk Beluk, hal. 10.
[26]Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Syarah Minhaj al-Abidin, (Semarang:
Maktabah wa Mathba’ah Karya Toha Putra, tt), hal. 6.
[27] QS. al-Thalaq: 12.
[28] QS. al-Zariyat: 56.
[29]Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Syarah Minhaj, hal. 6.
[30]Ibid, hal. 6.
[31] Ibid, hal. 7.
[32] Ibid, hal. 7.
[33] Ibid, hal. 7-8.
[34] Ibid, hal. 8.
[35] Imam al-Ghazali, Terjemah Minhajul Abidin, Petunjuk Ahli
Ibadah, terj. Abul Hiyalh, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 2009), hal. 40.
[36]Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Syarah Minhaj, hal. 8.
[37] Ibid, hal. 8.
[38]Ibid, hal. 9.
[39] Imam al-Ghazali, Terjemah Minhajul, hal. 48.
[40]Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Syarah Minhaj, hal. 10.
[41] Ibid, hal. 10.
[42] Ibid, hal. 21.
[43] Ibid, hal. 62.
[44]Ibid, hal. 71.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar