Sabtu,
24 Desember 2016 s/d Senin, 26 Desember 2016
Oleh:
Arif Muzayin Shofwan
“Tulislah
apapun yang bisa anda tulis, siapa tahu bermanfaat”
(Anonim)
Pada
Sabtu malam, 24 Desember 2016 usai shalat Maghrib, saya ikut berziarah ke makam
Sunan Tembayat, Klaten, Jawa Tengah bersama Laskar Wirogaten Jatimalang,
Sentul, Blitar. Saya ikut hal tersebut bermula dari Mas Putu Ari Sudana (Trah
dari Kyai Soeroredjo Kauman Blitar) yang telah mensponsori dana untuk satu
mobil ELP bagi trah keluarga Kyai Raden Muhammad Qosim dan lain sebagainya.
Sementara satu mobil ELP lagi didanai oleh Mas Ilham Rofii dan kawan-kawan dari
Laskar Wirogaten yang dia pimpin. Kurang lebih ada 30 orang yang ikut ziarah
makam Sunan Tembayat tersebut. Mas Putu Ari Sudana mewakili trah dari Kyai
Raden Muhammad Yahya. Saya, Mas Hariyanto, Mbah Eka Kesamben (cucu Mbah Kyai
Kasan Munajat) mewakili trah dari Kyai Raden Muhammad Qosim, dan Mas Ilham
Rofii mewakili dari trah Kyai Raden Ngabehi Wirogati Jatimalang.
Saya dan kawan-kawan sampai di lokasi makam
Sunan Tembayat pagi-pagi sebelum subuh sebab ada hambatan mobil yang ditumpangi
sempat mogok beberapa kali. Saya dan kawan-kawan lalu mandi, shalat Subuh dan
ritual minum “wedang kopi” dan “wedang teh” sebentar. Usai itu, saya dan
kawan-kawan lalu naik menuju makam Sunan Tembayat yang berada di Gunung Cokro
Kembang. Sebagian ada yang ngojek untuk menuju ke sana. Saya, Mas Hariyanto,
Mas Ilham Rofii, dan beberapa kawan yang lain berjalan kaki untuk menuju makam
Sunan Tembayat tersebut. Sesampai kami semua di depan pintu gerbang menuju
makam Sunan Tembayat yang atas, kami semua sempat berfoto-foto bersama sebagai
kenangan kami nanti ketika sudah kembali ke rumah masing-masing. (Foto
terlampir).
Setelah
kami semua melakukan ritual di makam Sunan Tembayat, kemudian sebagian dari
kami ada yang kembali turun dari gunung, dan sebagian lagi ada yang terus napak
tilas menuju puncak Gunung Jabalkat tempat petilasan Sunan Tembayat dalam
memberikan wejangan ilmu kepada para wali-wali. Ada salah satu ajaran menarik
yang tertulis di batu petilasan Jabalkat tersebut, di antaranya yang sempat
saya foto bertuliskan “PADEPOKAN JABALKAT” dan “PETILASAN SUNAN KALIJOGO DAN
SUNAN PADANGARAN.” Ada lagi tulisan yang berupa ajaran dari Sunan Kalijogo dan
Sunan Tembayat yang yang berbunyi: “PETILASAN TEMPAT BAEAT WEJANGAN PARA
WALI. OJO RUMONGSO BISO, BISO-A RUMONGSO, JOWO DIGOWO, ARAB DIGARAB”, yang
menurut pemahaman saya berarti bahwa ini adalah tempat baiat ajaran para
Waliyullah, janganlah kalian merasa bisa segala macam ilmu, akan tetapi jadilah kalian orang
yang bisa merasa akan kekurangannya. Ajaran Jawa hendaknya tetap dipakai oleh
orang Jawa, sedangkan ajaran Arab yang datang belakangan hendaknya tidak
diterima secara keseluruhan. Sebab ajaran Jawa belum tentu semuanya salah.
Sementara ajaran Arab belum tentu semuanya benar.
Kami
semua di puncak Jabalkat tersebut melakukan zikir, meditasi, dan ritual
lainnya. Sementara ada satu orang yaitu Mbak Eka (cucu Mbah Kyai Kasan Munajat
Kesamben, Blitar) yang sudah tidak kuat melakukan perjalanan ke puncak Gunung
Jabalkat akhirnya berhenti di pos terakhir jalan menuju puncak. Dia sudah lemas
dan tak bisa melanjutkan perjalanan. Saya, Mas Putu Ari Sudana, dan Mas
Hariyanto menyarankan kepada Mbak Eka agar berhenti di tempat pos tersebut
saja. Kemudian kami bertiga (saya, Mas Putu Ari Sudana, dan Mas Hariyanto)
melanjutkan perjalanan menyusul kawan-kawan yang sudah berada di puncak Gunung
Jabalkat. Seperti biasa, sesampai di puncak kami semua berfoto-foto menggunakan
kamera HP masing-masing. (Foto terlampir).
Setelah
kami turun dari puncak Jabalkat, kemudian kami semua melakukan perjalanan
menuju Candi Prambanan, yakni sebuah candi Hindu yang tidak jauh dari makam
Sunan Tembayat. Sesampai ke tempat tersebut, kami semua melakukan ritual makan
pagi. Setelah makan semua Laskar Wirogaten langsung menuju lokasi candi
Prambanan. Sementara itu, kami yang berasal dari trah keturunan Kyai Raden
Muhammad Qosim (Eyang Kasiman) jalan-jalan menuju Malioboro untuk berbelanja
jajan-jajan, kaos, dan semacamnya. Sore hari, kami rombongan trah keturunan
Kyai Raden Muhammad Qosim, setelah usai berbelanja macam-macam di Malioboro,
lalu kembali menuju candi Prambanan lagi menemui teman-teman Laskar Wirogaten
yang telah menunggu cukup lama. Sesampainya di lokasi parkir candi Prambanan,
sebagian kami langsung ikut makan sore dengan Laskar Wirogaten, dan sebagian
lagi jalan-jalan untuk mendapatkan tempat shalat Ashar.
Wal-khasil,
usai dari ziarah makam Sunan Tembayat tersebut saya berdoa mudah-mudahan para
generasi keturunan Sunan Tembayat diberi kekuatan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa
dalam melaksanakan ajaran “PATEMBAYATAN” atau “PIRUKUNAN”
terhadap semua manusia tanpa membedakan agama, suku, budaya, etnis, tradisi, dan
semacamnya. Semoga kita semua khususnya orang Jawa, tetap melestarikan ajaran
leluhur Jawa yang mulia-mulia dengan sesanti “JOWO TETEP DIGOWO, ARAB KUDU
DIGARAB”, artinya piwulang Jawa yang adiluhung harus tetap dijaga kelestariannya,
sedangkan piwulang Arab harus dipilah-pilah. Sebab tidak semua piwulang Arab
cocok digunakan di Jawa (baca; Nusantara). Dan tidak semua piwulang Jawa
merupakan hal yang salah dan harus diberantas. Mudah-mudahan patembayatan
(pirukunan) terhadap sesama manusia menebar ke segala penjuru. Amin, amin,
amin. Yaa Rabbal Alamin.
“Today’s
egg is better that the chicken of tomorrow”
(Telur
hari ini lebih baik daripada ayam esok hari)
“Sluman,
slumun, slamet. Selameto lek ngemongi jiwo rogo”
(Semoga
dalam situasi dan kondisi apapun mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan.
Yakni, selamat dalam mengasuh jiwa dan raga masing-masing)
Saya, Mas Hariyanto (Kauman), Mbak Eka (Kesamben), Mas Ari (Garum) |
Mbak Eka (Kesamben), Mas Ilham (Jatimalang), Saya (Sekardangan), Mas Ari (Garum), dan Mas Hariyanto (Kauman) |
Trah Sunan Tembayat Blitar dari jalur: (1) Kyai Raden Muhammad Qosim, (2) Kyai Raden Muhammad Yahya, dan (3) Kyai Raden Ngabehi Wirogati |
Saya dan Mas Ari (Garum) |
Puncak Jabalkat sebuah tempat pertemuan Sunan Kalijogo dan Sunan Tembayat: "PETILASAN TEMPAT BAEAT WEJANGAN PARA WALI. OJO RUMONGSO BISO, BISOHO RUMONGSO, JOWO DIGOWO, ARAB DIGARAB." |
Padepokan Jabalkat (tempat pertemuan Sunan Kalijogo dan Sunan Tembayat) |
Arif Muzayin Shofwan dan Putu Ari Sudana |
Hariyanto dan Arif Muzayin Shofwan |
Ilham Rofii, Arif Muzayin Shofwan, dan Hariyanto |
Mas Hariyanto di Puncak Jabalkat |
Tentang
Penulis
Arif
Muzayin Shofwan, seorang pria yang berbau kuburan, kijing,
maesan, kembang boreh, kembang kanthil, kembang kenongo dan segala macam
bau-bauan ini beralamatkan di Jl. Masjid Baitul Makmur Sekardangan RT. 03 RW.
09 Papungan, Kanigoro, Blitar, Jawa Timur. Pria yang yang sering dipanggil oleh
Kyai Muhammad AP dengan sebutan “Ki
Gadhung Melathi” atau “Mbah Pasarean”
tersebut dapat dihubungi di nomor HP. 085649706399.
Sugeng Injing Pak Arif ( Selamat Pagi ) Salam Sejahtera, Assalamu alaikum Wr Wb, Rahayu rahayu rahayu.
BalasHapus"Mari kita Lestarikan Budaya Jowo yang Adiluhung di Zaman yang Digital ini apapun generasinya serba komputer generasi kita yang harus diwriskan nilai nilai luhur budaya jowo jangan sampi seperti pepatah Wong Jowo ilang Jowone jangan sampe Hilang Kita sebagai Generasi Penerus Bangsa Harus Melestarikannya Amin. Amin Amin.
(jowo digowo Arab digarab. Manunggaling Kawula Marang Gusti.
Salam dari Sutarjo Jl. Tembus Tugu, Cawas, Klaten ( Putra Panji Indonesia Mulia Sang Saka Merah Putih )HP. 085 866 502 116