Oleh:
Arif Muzayin Shofwan
Kata
guru saya:
“Menulislah!
Sesederhana apapun tulisan itu.”
(Prof.
Dr. Syamsul Arifin, M.Si.)
Pada
hari Rabo, 11 Januari 2017 usai rapat di kantor Universitas Nahdlatul Ulama
(UNU) Blitar, tiba-tiba HP saya berdering. Ternyata ada SMS dari Mbah Jawoko
Jatimalang yang menuliskan begini: “Sing mbabat desa Mojo kuwi Mbah
Sonojoyo. Enek tandane patung Sapi lan wit Jenar. Koyok-e keturunane Mahesa
Jenar.” SMS dari Mbah Jawoko Jatimalang hanya saya balas
singkat: “Ok”. Saya tak juga secepatnya ingin tahu siapakah Eyang
Sonojoyo tersebut. Selain itu, Mbah Jawoko Jatimalang melalui WA juga
mengirimkan foto makam Eyang Sonojoyo dan istrinya yang bernama Mbah Nyai Putri
Ponirah/ Mbah Nyai Putri Semi. Doa saya dalam hati, semoga keduanya berbahagia
di alam-alam yang dilaluinya dalam kehidupan kini dan mendatang. Amin Ya Rabbal
Alamin.
Banyak
sesepuh yang menyatakan bahwa para tokoh nenek moyang terdahulu terkadang dapat
dilihatatau ditelusuri dari “SIMBOL (TANDA/ TETENGER)” maupun “SANDI”
yang mereka gunakan. Misalnya, sandi berupa Pohon Sawo biasanya dipakai
oleh trah keturunan Panembahan Sawo Ing Kajoran, dan termasuk Pangeran Diponegoro
dari pihak ibunya berasal dari trah keturunan ini. Simbol atau sandi berupa Pohon
Jati biasanya dipakai oleh Ki Kebo Kanigoro (Kyai Purwoto Siddiq
Banyubiru), Nyai Gadhung Melati (istrinya), dan Rara Sekar Rinonce/ Rara
Tenggok/ Endang Widuri (anaknya) dan beberapa trah keturunan mereka serta para
murid Syaikh Siti Jenar (Sayyid Hasan Ali/ Syaikh Lemah Abang) yang terkenal
dengan ajaran “Manunggaling Kawula Gusti”-nya.
Begitu
pula, simbol berupa Patung Singa atau Macan Putih biasanya
digunakan oleh para trah keturunan dan wadyabala seperjuangan Eyang Singo
Lodoyo Blitar Selatan dan Pangeran Prabu yang membawa Gong Pradah ke tempat
tersebut. Bila ditarik jauh ke belakang, bahwa simbol Pohon Boddhi juga
digunakan oleh para siswa Sang Buddha Gautama India. Banyak lagi “SIMBOL”
atau “SANDI” berupa pusaka, keris, gaman, dan semacamnya yang bisa
dipakai untuk menelusuri trah keturunan siapakah mereka para tokoh tersebut.
Begitu pula, panji-panji yang mereka gunakan di zamannya juga dapat dipakai
menelusuri trah keturunan siapakah mereka para tokoh tersebut.
Berdasarkan
hal di atas, maka tak heran bila Mbah Jawoko Jatimalang sedikit menyimpulkan
bahwa Eyang Sonojoyo merupakan trah keturunan Eyang Mahesa Jenar yang
sangat terkenal di zamannya. Hal tersebut dapat dilihat dari “SIMBOL”
atau “SANDI” atau “TETENGER” berupa POHON JENAR dan PATUNG
SAPI yang berada di samping makamnya. Dan hal semacam ini sangat lazim
digunakan sebagai simbol (tanda/ tetenger) bagi para tokoh masa lalu. Ada yang
menyatakan bahwa Eyang Mahesa Jenar sendiri merupakan seorang tokoh
Islam yang berguru kepada Syaikh Siti Jenar (Sayyid Hasan Ali/ Syaikh Lemah
Abang) dan Prabu Handayaningrat (Ki Ageng Pengging Sepuh) yang terkenal dengan AJARAN TAUHID “Manuggaling Kawula
Gusti”-nya. Eyang Mahesa Jenar berasal dari Pandanaran (Semarang) dan merupakan sahabat dari Sunan Tembayat. Saya juga tak begitu mendalami apa yang dikatakan Mbah
Jawoko Jatimalang hingga menuangkan dalam tulisan ini. Mudah-mudahan tulisan
ini bermanfaat dunia dan akhirat. Kata Mbah Jawoko Jatimalang yang terakhir melalui WA: "Kira-kira ki ngono."
Selanjutnya,
Syaikh Siti Jenar sendiri juga merupakan guru dari Ki Kebo Kanigoro, Ki Kebo
Kenongo, dan Jaka Tingkir (pendiri kerajaan Islam Pajang). Dan perlu diketahui
bahwa Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid) Tebuireng, Jombang, Jawa Timur merupakan
trah keturunan Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) tersebut. Maka tak heran bila
Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid) jiwa memiliki jiwa yang multikulturalis seperti
para nenek moyang pendahulunya. Yakni Gus Dur mampu menghargai segala perbedaan
agama, kepercayaan, suku, budaya, dan semacamnya. Akhir kata, mudah-mudahan
dusun Mojo, desa Plosoarang, kecamatan Sanankulon, kabupaten Blitar menjadi
tempat yang nyaman, damai, tentram sepanjang zaman yang tiada tertandingi. Amin
3X Ya Rabbal Alamin.
“The
Will springs the knowledge”
(Kemauan
menjadi sumber pengetahuan)
Semoga
welas asih Tuhan menebar ke seluruh alam semesta.
“Sluman,
slumun, slamet. Selameto lek ngemongi jiwo rogo”
(Semoga
dalam situasi dan kondisi apapun mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan.
Yakni, selamat dalam mengasuh jiwa dan raga masing-masing)
Makam Eyang Sonojoyo Mojo, Sanankulon, Blitar (Mbah Jawoko Jatimalang, 2017) |
Tulisan Maesan Mbah Nyai Ponirah/ Nyai Semi, yakni istri Eyang Sonojoyo (Mbah Jawoko Jatimalang, 2017) |
Patung Sapi sebagai simbol dari Eyang Sonojoyo yang diduga dari trah keturunan dari Eyang Mahesa Jenar (Mbah Jawoko Jatimalang, 2017) |
Lokasi Makam Eyang Sonojoyo tampak dari depan terasa nyaman, tenteram dan damai untuk bermeditasi (Mbah Jawoko Jatimalang, 2017) |
Tentang
Penulis
Arif
Muzayin Shofwan, seorang pria yang memiliki hobi
perpetualang dalam samudra dan benua ilmu pengetahuan ini beralamatkan di Jl.
Masjid Baitul Makmur Sekardangan RT. 03 RW. 09 Papungan, Kanigoro, Blitar, Jawa
Timur. Pria yang kesehariannya belajar, mengajar, diskusi, mengaji, meneliti,
menulis, membaca, menyadari, mengamati, mewaspadai, dan berbagai pekerjaan lain
yang tak bisa dijelaskan tersebut dapat dihubungi di nomor HP. 085649706399.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar