Rabu, 18 Desember 2013

INTEGRASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM & PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI SEKOLAH



Arif Muzayin Shofwan
Abstrak
Hingga saat ini pendidikan agama Islam khususnya, baik di madrasah dan sekolah cenderung diajarkan sekedar untuk memperkuat keimanan dalam beragama tanpa dibarengi dengan kesadaran berdialog dengan komunitas, madzhab atau agama-agama lain. Hal ini menyebabkan pendidikan agama hanya menciptakan sikap eksklusif dan tidak toleran. Padahal seharusnya pendidikan agama perlu membangun nilai-nilai yang menciptakan peserta didik menjadi lebih bersikap inklusif, multicultural dan aktif dalam social kemasyarakatan yang penuh keberagaman. Pendidikan agama yang semacam ini perlu diintegrasikan dengan sebuah pendidikan yang dinamakan pendidikan multicultural. Walau pendidikan agama Islam di madrasah dan sekolah sudah mencantumkan nilai-nilai tersebut diatas dalam kurikulumnya. Namun pencantuman ini terasa belum cukup untuk menjadikan peserta didik bersikap inklusif dan toleran. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya lulusan baik dari sekolah maupun madrasah yang masih mengedepankan sikap tidak toleran, dan eksklusif dalam beragama. Kasus pertikaian di Sampang, Madura antara Sunni dan Syiah merupakan bukti tersebut. Sebab jika diamati merekapun juga pernah merasakan pendidikan di sekolah maupun madrasah yang mengajarkan nilai-nilai toleransi dalam hidup social bermasyarakat. Sehingga timbul sebuah pertanyaan, apa yang salah dengan pendidikan agama Islam. Jawaban sementara adalah dengan pengintegrasian sebagaimana tersebut diatas, pendidikan agama Islam akan mampu membangun peradaban yang lebih substantive, kontekstual, positif dan lebih aktif social di masyarakat yang multikultural dalam segi apapun.
Kata Kunci:
Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Multikultural, Inklusif, Toleran

Latar Belakang Masalah
Pendidikan agama Islam yang diajarkan di madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah dirasa belum berhasil seratus persen dalam mendidik anak didiknya bersikap secara toleran terhadap komunitas lain diluar dirinya. Hal ini terbukti masih banyak lulusan-lulusan madrasah maupun sekolah yang tentu sudah pernah diajarkan pendidikan agama Islam, namun tetap terlibat dalam konflik-konflik dalam beragama. Persoalan agama Islam beberapa tahun terakhir ini seperti kasus di Sampang, Madura (antara Sunni dan Syiah), pengrusakan-pengrusakan warung-warung kecil yang dilakukan ormas Islam tertentu saat bulan Ramadhan merupakan sesuatu yang harus dipecahkan bersama dalam dunia pendidikan Islam.
Pertanyaannya adalah  apakah mereka yang melakukan hal tersebut di madrasah atau sekolah tidak pernah diajarkan tentang nilai-nilai hidup damai, saling menghargai, saling menghormati keragaman. Tentu jawabannya pasti sudah pernah diajarkan hal-hal tersebut diatas. Sebab nilai-nilai tersebut sudah banyak tercecer cukup banyak didalam kurikulum pendidikan agama Islam yang ada di Indonesia. Lalu pertanyaannya lagi, lalu bagaimana untuk mengatasi hal tersebut. Tentu jawabannya sangat beragam menurut disiplin ilmu masing-masing. Jawaban ahli ekonomi tentu berbeda dengan ahli social. Jawaban ahli manajemen tentu berbeda dengan ahli agraria. Begitu juga, jawaban ahli pendidikan agama Islam berbeda pula dengan jawaban yang lainnya.
Namun dari keberagaman jawaban tersebut, setidaknya penulis mempunyai jawaban sementara (hipotesis) dalam hal tersebut. Jawaban sementara itu adalah perlunya integrasi antara pendidikan agama Islam dan pendidikan multicultural. Walau jawaban ini belum tentu benar dan belum tentu juga salah, tetapi jawaban sementara ini penulis rasa sesuai dengan kondisi Indonesia yang penuh keragaman suku, budaya, agama dan lainnya. Menurut penulis pula, integrasi ini harus segera dirumuskan, sebab dunia pendidikan agama Islam di Indonesia masih mengalami kesenjangan antara harapan dan realita. Sebagaimana diungkapkan  Muzayyin Arifin[1] yang menyatakan bahwa kebutuhan pendidikan biasanya diukur dari adanya kesenjangan das sein dan das sollen dari hasil yang dicapai dengan hasil yang seharusnya dicapai.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Dari berbagai paparan tersebut diatas, dapat dirumuskan bahwa tujuan penelitian ini untuk mengetahui “integrasi antara pendidikan agama Islam dan pendidikan multicultural”. Sedangkan kegunaan penelitian ini bagi guru pendidikan agama Islam adalah untuk melihat kesenjangan pendidikan agama Islam yang selama ini diajarkan di madrasah atau sekolah. Kesenjangan itu dalam tataran das sollen-nya (harapan) pada kurikulum pendidikan agama Islam di Indonesia telah diajarkan berbagai nilai-nilai toleransi dalam keragaman dengan harapan peserta didik bisa bersikap toleran pada komunitas lain. Tetapi dalam tataran das sein-nya (realita) masih banyak peserta didik yang lulus dari madrasah atau sekolah ternyata masih melakukan tindakan tidak toleran. Sehingga dengan melihat kesenjangan tersebut, guru pendidikan agama Islam bisa berkemas diri untuk menerima integrasi pendidikan agama Islam dan pendidikan multicultural yang sampai saat ini masih menjadi hal penting yang perlu segera dirumuskan.
Penelitian Terdahulu
Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan penelitian terdahulu mengenai pendidikan agama Islam berkaitan dengan pendidikan multicultural yang dilakukan oleh Erlan Muliadi seorang guru di Madrasah Aliyah Nurul Yaqin Praya Lombok Tengah. Penelitian itu berjudul “Urgensi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Multikultural di Sekolah” [2]yang diterbitkan dalam Jurnal Pendidikan Islam (JPI) Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijogo. Penelitian tersebut menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa pendidikan multicultural kian mendesak untuk dilaksanakan di sekolah. Dengan pendidikan multicultural, sekolah menjadi lahan untuk menghapus prasangka dan sekaligus untuk melatih serta membangun karakter siswa agar mampu bersikap demokratis, humanis dan pluralis. Menurut simpulan Muliadi, ada dua hal yang perlu dilakukan dalam pembangunan multicultural di sekolah, yaitu; Pertama, melakukan dialog dengan menempatkan setiap peradaban dan kebudayaan yang ada pada posisi sejajar. Kedua, mengembangkan toleransi untuk memberikan kesempatan masing-masing kebudayaan saling memahami. Toleransi tersebut tidak hanya pada tataran konseptual, melainkan juga pada teknik operasionalnya.
Metodologi Penelitian
Adapun metodologi penelitian ini menggunakan beberapa metode yaitu; Metode Deduksi, metode deduksi adalah cara berfikir yang berangkat dari hal-hal yang umum menuju kesimpulan khusus. Dengan deduksi ini kita berangkat dari pengetahuan yang sifatnya umum, dengan bertitik pada pengetahuan yang umum itu hendak memulai suatu keadaan yang khusus.[3] Metode Induksi, berfikir Induksi adalah berfikir yang berangkat dari fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa yang khusus menuju kesimpulan umum. [4] Metode Komparasi, metode komparasi  adalah suatu metode yang dapat digunakan untuk menemukan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan terhadap suatu yang dijadikan obyek penelitian/pembahasan.[5]

Pembahasan
Makna Pendidikan Islam dan Pendidikan Multikultural
Seorang guru besar IAIN Sunan Gunung Jati, Ahmad Tafsir menyatakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap seseorang agar berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.[6] Abdurrahman al- Nahlawy menyimpulkan bahwa pendidikan Islam terdiri dari empat unsur, yaitu; Pertama, menjaga dan memelihara dan memelihara fitrah anak menjelang baligh; Kedua, mengembangkan seluruh potensi; Ketiga, mengarahkan seluruh fitrah dan potensi menuju kesempurnaan; Keempat, dilaksanakan secara bertahap.[7]
Pengertian pendidikan Islam menurut Zarkowi Soejoeti yang dikutip Ngainun Naim dan Achmad Sauqi terperinci sebagai berikut; Pertama, jenis pendidikan yang pendirian dan penyelenggaraannya didorong oleh hasrat dan semangat cita-cita untuk mengejawantahkan nilai-nilai Islam, baik yang tercermin dalam lembaganya maupun dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakannya. Kedua, jenis pendidikan yang memberikan perhatian dan sekaligus menjadikan ajaran Islam sebagai pengetahuan untuk program studi yang diselenggarakannya. Di sini, kata Islam ditempatkan sebagai bidang studi, sebagai ilmu dan diperlakukan seperti ilmu yang lain. Ketiga, jenis pendidikan yang mencakup kedua pengertian di atas. Dalam hal ini, kata Islam ditempatkan dalam sumber nilai dan sebagai bidang studi yang ditawarkan melalui program studi yang diselenggarakannya.[8]
Sedangkan pendidikan multicultural dapat dibahas bahwa, kata “multicultural” menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia berasal dari dua akar kata yaitu “multi” berarti lebih dari satu, banyak, berlipat ganda [9], dan “kultur” berarti kebudayaan, cara pembudidayaan, cara pemeliharaan [10]. Dalam M. Ainul Yaqin,[11] ada banyak ilmuwan dunia yang memberikan definisi kultur. Mereka antara lain: Elizabet B. Taylor (1832-1917) dan L.H. Morgan yang mengartikan kultur sebagai sebuah budaya yang universal bagi manusia dalam berbagai macam tingkatan yang dianut oleh seluruh anggota masyarakat. Emile Durkheim (1858-1917) dan Marcel Maus (1872-1950) menjelaskan bahwa kultur adalah sekelompok masyarakat yang menganut sekumpulan simbol-simbol yang mengikat di dalam sebuah masyarakat yang diterapkan. Franz Boas (1858-1942) dan A.L. Kroeber (1876-1960) mendifinisikan bahwa kultur adalah hasil hasil dari sebuah sejarah-sejarah khusus untuk umat manusia yang melewatinya secara bersama-sama di dalam kelompoknya. A.R. Radcliffe Brown (1881-1955) dan Bronislaw Malinowski (1884-1942) menggambarkan kultur sebagai sebuah praktik social yang memberi support terhadap struktur social untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan individunya dan lain-lainnya.
Dari pengertian multikultural di atas, maka para ahli pun beragam pula dalam mendefinisikan tentang “Pendidikan Multikultural”. Keberagaman difinisi itu diantaranya, Choirul Mahfud, mengutip pendapat para pakar, yaitu:  Anderson dan Chusher (1994)  yang menyatakan bahwa pendidikan multicultural dapat diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. James Bank (1993) mendifinisikan pendidikan multicultural sebagai pendidikan untuk people for color. Artinya, pendidikan multicultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah tuhan/sunatullah). Kemudian bagaimana kita mampu mensikapi perbedaan tersebut dengan penuh toleran dan semangat egaliter. Sejalan dengan pemikiran di atas, Muhaemin el- Ma’hady berpendapat bahwa secara sederhana pendidikan multicultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan cultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan (global). Hilda Hernandez mengartikan pendidikan multicultural sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, social, dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuanmanusia yang kompleks dan beragam secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas, dan gender, etnisitas, agama, status social, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan.[12]
Akar Sejarah dan Fokus Pendidikan Multikultural
Akar pendidikan multikultural, berasal dari perhatian seorang pakar pendidikan Amerika Serikat Prudence Crandall (18-3-1890) yang secara intensif menyebarkan pandangan tentang arti penting latar belakang peserta didik, baik ditinjau dari aspek budaya, etnis, dan agamanya. Pendidikan yang memperhatikan secara sungguh-sungguh latar belakang peserta didik merupakan cikal bakal bagi munculnya pendidikan multikultural.[13]
Sedangkan di Indonesia, menurut Choirul Mahfud sejak jatuhnya Presiden Soeharto dari kekuasaannya yang kemudian diikuti dengan masa yang disebut sebagai “era reformasi”, kebudayaan Indonesia cenderung mengalami disintegrasi.[14] Masih menurut Mahfud, dalam sebagian pendapat, terdapat ruang wacana tentang multikulturalisme dan pendidikan multicultural sebagai sarana membangun toleransi atas keragaman. Wacana ini mulai ramai dibicarakan dikalangan akademisi, praktisi budaya dan aktifis di awal tahun 2000 di Indonesia.[15] Dengan demikian, wacana pendidikan multicultural di Indonesia merupakan hal baru yang harus terus-menerus digali substansinya.
Mengenai fokus pendidikan multikultural, Tilaar mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural domain atau mainstream. Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap “peduli” dan mau mengerti (difference), atau “politics of recognition” politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas.[16]
            Adapun focus            pendidikan multicultural merupakan pendidikan yang bertujuan menghargai segala keragaman, menciptakan perdamaian, melindungi hak-hak asasi manusia dan mengembangkan demokrasi. Untuk itu ada beberapa pembelajaran yang harus di fokuskan guru agama pada peserta didik sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Ihat Hatimah, dkk[17] berikut:
            Pembelajaran Perdamaian[18]. Javier Perez (Tilaar: 2000) mengungkapkan bahwa perdamaian harus dimulai dari diri kita masing-masing. Melalui pemikiran yang tenang dan sungguh-sungguh tentang maknanya, maka cara-cara baru dan kreatif dapat ditemukan untuk mengembangkan pengertian, persahabatan dan kerja sama antara semua manusia. Suatu kebudayaan perdamaian di perlukan untuk kehidupan bersama yang bermakna. Di dalam kehidupan yang beragam dalam tata cara pribadi, social dan budaya tentang keberadaan dan kehidupan, maka pemikiran nilai-nilai manusia yang penting dapat mengatasi perbedaan-perbedaan untuk menjamin perdamaian dan solidaritas.
            Strategi yang dapat digunakan dalam pembelajaran perdamaian di dalam kelas adalah “strategi introspeksi” dan “interaksi yang positif”. Strategi introspektif yaitu cara untuk menumbuhkan kesadaran bagi peserta didik untuk berani mengoreksi dirinya sendiri tentang kegiatan/perbuatan yang sudah dilakukan. Melalui introspeksi, peserta didik diharapkan berani untuk menilai dirinya sendiri sehingga dapat memilih kegiatan-kegiatan apa saja yang dapat menumbuhkan perdamaian diantara peserta didik dan kegiatan apa saja yang menimbulkan konflik di antara peserta didik. Interaksi social yang positif yaitu cara untuk menumbuhkan hubungan yang harmonis di antara peserta didik, dan antara peserta didik dengan lingkungan lainnya. Dengan terciptanya interaksi social yang harmonis, diharapkan dapat menumbuhkan saling menghargai, saling toleran di antara peserta didik, sekalipun di antara mereka mempunyai keanekaragaman budaya.
            Pembelajaran Hak Asasi Manusia[19]. Semua hak manusia adalah universal, tak terbagi, interdependen dan saling terkait. Pendidikan adalah alat yang paling efektif untuk pengembangan nilai-nilai yang berhubungan dengan hak-hak asasi manusia. Pendidikan hak-hak asasi manusia haruslah mengembangkan kemampuan untuk menilai kebebasan pemikiran, kata hati dan keyakinan, kemampuan untuk menilai kesamaan, keadilan dan cinta, dan suatu kemauan untuk mengasuh dan melindungi hak-hak anak, kaum wanita, kaum pekerja, minoritas etnik, kelompok-kelompok yang tidak beruntung.
            Di dalam mengembangkan pengertian dan mewujudkan nilai-nilai terkait hak-hak asasi manusia adalah membelajarkan peserta didik tentang apa hak-hak dan kebebasan yang dimiliki bersama sehingga hak-hak itu dihormati dan kemauan untuk melindungi hak-hak orang lain dipromosikan. Kegiatan dalam pembelajaran harus difokuskan pada nilai-nilai untuk melestarikan kehidupan dan memelihara martabat manusia. Setiap peserta didik harus diberi kesempatan yang memadai untuk menilai perwujudan dari nilai-nilai inti yang terkait dengan hak-hak asasi manusia di dalam kehidupannya.
            Pembelajaran Demokrasi[20]. Pembelajaran untuk demokrasi pada hakekatnya adalah untuk mengembangkan eksistensi manusia dengan jalan mengilhaminya dalam pengertian martabat dan persamaan, saling mempercayai, toleransi, penghargaan pada kepercayaan dan kebudayaan orang lain, penghormatan pada individu, peran serta aktif dalam semua aspek kehidupan social, kebebasan berekspresi, kepercayaan dan beribadat. Apabila hal-hal tersebut sudah ada, maka dapat digunakan untuk mengembangkan pengambilan keputusan yang efektif, demokratis pada semua tingkatan yang akan mengarah pada kewajaran, keadilan dan perdamaian.
            Untuk menciptakan demokrasi, dapat digunakan berbagai strategi, yaitu: [1]. Etos demokrasi harus berlaku di tempat pembelajaran, baik di sekolah maupun di luar sekolah. [2]. Pembelajaran untuk demokrasi berlangsung secara berlanjut, secara tepat harus diperkenalkan di semua jenjang dan bentuk pendidikan melalui pendekatan terpadu. [3]. Penafsiran demokrasi harus sesuai dengan berbagai konteks sosio budaya, ekonomis, dan evolusinya.
Nilai-Nilai Pendidikan Multikultural dalam Islam
            Istilah “Nilai” dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia dapat diartikan: “sifat-sifat yang penting bagi kemanusiaan”. [21] Sehingga, yang dimaksud nilai disini adalah sifat-sifat yang penting bagi kemanusiaan dalam Islam yang perlu dikembangkan pada peserta didik guna mencapai derajat manusia berbudaya dan masyarakat beradab sesuai tujuan pendidikan multikultural yang dimaksud. Nilai-nilai pendidikan multicultural dalam Islam diantaranya:
            Pertama, Islam mengajarkan nilai kebersamaan, saling mengenal (ta’aruf) dalam perbedaan suku, bangsa, bahasa, warna kulit dan jenis kelamin pada peserta didiknya, serta mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban antar sesama manusia. Hal ini tercermin dalam firman Allah swt : “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antar kamu dis sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu”[22] Ayat lain menyatakan: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang yang mengetahui”[23]
            Kedua, Islam mengajarkan untuk bersikap lemah lembut kepada orang lain yang berlainan agama, berlainan bangsa, berlainan suku dan lain-lainnya. Serta memaafkan mereka ketika bersalah, memohonkan ampunan bagi mereka, dan bermusyawarah dengan mereka demi tegaknya kehidupan demokrasi. Ayat itu berbunyi: “Maka disebabkan rahmat Allah, kamu berlaku lemah lembut kepada mereka. Sekiranya kamu bersikap keras, tentu mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”.[24]
            Ketiga, Islam mengajarkan bahwa semua manusia adalah makhluk yang mempunyai “kesatuan social”, yang dalam ayat al-Qur’an disebutkan : “Sesungguhnya umat ini adalah umatmu, umat yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku”[25] . Dalam ayat lain: “Sesungguhnya seluruh manusia adalah umat yang satu”[26] . Sebagai makhluk yang mempunyai kesatuan social, maka diharapkan selalu bekerjasama social, melakukan kegiatan-kegiatan kemanusiaan, saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa, serta tidak saling tolong menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran. Dijelaskan dalam firman Allah swt: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran, dan bertaqwalah kamu sekalian kepada Allah”[27]
            Keempat, Islam mengajarkan sikap toleransi dan kebebasan berfikir, tidak ada pemaksaan terhadap memilih salah satu agama. Firman Allah swt: “Tidak ada paksaan untuk memasuki agama. Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah”.[28] Begitu juga dalam firman Allah swt disebutkan: “Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku”[29]. Dalam ayat lain: “Apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semua?”[30]
            Kelima, Islam mengajarkan agar umat manusia saling menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dan penganut kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa, sehingga terbina kerukunan dan perdamaian yang hakiki. Islam  tidak membenarkan adanya perselisihan apalagi pertengkaran antara pemeluk agama yang berbeda. Penegasan ini terdapat dalam firman Allah swt: “Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami, amal-amal kami dan bagi kamu, amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran kami dan kamu. Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nya lah (kita) kembali”[31]
            Keenam, Islam mengajarkan untuk bergerak maju (progresif), serta memberantas kebekuan/kejumudan (statis) dan selalu mengembangkan sikap kelenturan (dinamis). Mengenai hal ini, Allah swt telah berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”[32]. Tentang pemberantasan sikap kebekuan (statis) tercermin dalam firman Allah swt yang berbunyi: “Apakah dikatakan kepada mereka, marilah mengikuti kepada apa yang diturunkan Allah kepada Rasul. Mereka menjawab, cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengajarkannya. Apakah mereka mengikuti nenek moyang mereka, walau nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak pula mendapat petunjuk”[33]
            Ketujuh, Islam mengajarkan persaudaraan anggota masyarakat yang beriman dengan segala keragaman. Baik persaudaraan internal umat beragama, maupun eksternal umat beragama. Tentang persaudaraan ini tercermin dalam firman Allah swt: “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara” [34]. Ayat lain menyatakan: “… Sebagian kamu adalah keturunan dari sebagian yang lain…”[35]. Begitu juga dalam sabda Nabi Muhammad saw:  “…Orang Islam adalah saudara orang Islam yang lain[36] dan hadist yang berbunyi: “…Jadilah kamu hamba Allah yang bersaudara” [37]
            Kedelapan, Islam mengajarkan  nilai-nilai kemanusiaan, tidak memperbolehkan berbuat aniaya,  semena-mena, menindas dan bersikap diskriminatif terhadap manusia, agama, suku, bangsa atau kaum lainnya. Hal ini ditegaskan dala firman Allah swt: “…Kamu (tidak) boleh menganiaya, dan tidak pula dianiaya” [38]. Tidak pula membolehkan menghina dan memandang rendah suatu kaum yang tidak berkeyakinan seperti kita, yang dijelaskan dalam firman-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah satu kaum menghina kaum yang lain (karena) boleh jadi, mereka (yang dihina) lebih baik daripada mereka (yang menghina) dan janganlah pula wanita-wanita (menghina) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang dihina) lebih baik daripada wanita-wanita (yang menghina)” [39]
            Kesembilan, Islam mengajarkan sikap mengedepankan musyawarah dalam mengambil sebuah keputusan untuk kepentingan bersama, berbangsa, bernegara atau urusan duniawi lainnya. Sehingga dengan demikian, akan timbul sikap inklusif (terbuka) yang menjadi bagian dari cita-cita pendidikan multicultural di masyarakat yang plural. Hal ini dipertegas dalam firman Allah swt: “…. Dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka (sebelum melaksanakan kehendak)” [40]. Dalam ayat lain disebutkan: “… dan bermusyawarahlah dalam urusan itu (duniawi)”.[41]. Dengan mengedepankan musyawarah, peserta didik akan belajar bersikap terbuka (inklusif) dalam segala bentuk keragaman yang ada.
            Kesepuluh, Islam mengajarkan apabila ada persoalan agama dengan agama lain, atau semacamnya, agar berdebat dengan cara yang baik (mujadalah bil ahsan). Islam tidak memperkenankan perdebatan dengan cara yang ekstrim, curang atau yang semacamnya, sehingga dapat mengakibatkan renggangnya keberagaman antar sesama. Hal ini tercermin dalam firman Allah swt: “Dan janganlah berdebat dengan ahli kitab melainkan dengan cara yang paling baik” [42]. Dalam ayat lain disebutkan: “…. Dan debatlah mereka dengan cara yang paling baik… ”[43].
            Kesebelas, Islam mengajarkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat) baik internal umat beragama, atau eksternal umat beragama. Islam tidak mengajarkan sikap ekstrim, jika suatu misal pada perlombaan di era global tersebut kalah dalam hal teknologi dengan umat lain. Kesadaran rendah hati dan selalu belajar dari internal, maupun eksternal umat beragama harus ditanamkan, agar dalam perlombaan di era global ini meraih kemenangan secara wajar. Dasar perlombaan ini disebutkan dalam firman Allah swt: “Bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kalian (dalam membuat) kebaikan. Dimana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”[44]
Kedua belas, Islam mengajarkan agar selalu selalu menciptakan perbaikan-perbaikan pada negerinya (nilai-nilai luhur sebuah bangsa). Perbaikan itu bisa dilakukan dengan jalan menggalang perdamaian lintas agama, suku, etnis dan budaya. Sebab binasanya sebuah negeri merupakan tanggung jawab penduduk negeri itu sendiri dalam berbuat kebaikan dalam negeri tersebut. Firman Allah swt: “Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduk-penduduknya berbuat kebaikan”[45]
Ketiga belas, Islam mengajarkan manusia untuk menjadi penegak keadilan. Menegakkan keadilan (kebenaran)  terhadap dirinya  sendiri maupun orang lain, mulai dari sanak kerabat hingga orang lain yang berbeda suku, bangsa, agama, budaya, dan lainnya tanpa pandang bulu. Firman Allah swt: ”Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan (kebenaran)...[46]
Sebenarnya nilai-nilai selain diatas masih sangat banyak sekali dan tidak terbatas. Namun ketiga belas nilai-nilai dari al-Qur’an diatas kiranya sudah mewakili bahwa Islam mengajarkan sikap toleran, bersikap inklusif terhadap komunitas sesama Islam sendiri maupun selain Islam. Artinya, sikap-sikap dalam multicultural adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari oleh semua manusia yang ada di bumi ini, tak terkecuali bagi umat Islam sendiri. Keberagaman adalah sebuah keniscayaan Sunnah Allah yang seharusnya bisa disikapi dengan arif bijaksana.

Integrasi Pendidikan Islam & Multikultural
Pendidikan Islam tidak mengenal adanya pemisahan pendidikan Islam dengan pendidikan-pendidikan lain. Dalam konsep Islam, Allah adalah pencipta langit bumi dan segala isinya untuk dikelola dan dipelihara hamba-Nya dengan sebaik-baiknya dan penuh tanggung jawab. Ramayulis menyatakan bahwa hukum-hukum mengenai alam fisik dinamakan sunnah Allah. Sedangkan pedoman hidup dan hukum-hukum untuk manusia telah ditentukan pula dalam ajaran agama yang dinamakan din Allah, yang mencakup akidah dan syariah.[47] Dengan demikian, integrasi pendidikan Islam yang merupakan din Allah dengan pendidikan multicultural yang merupakan sunnah Allah merupakan hal yang patut diperhatikan.
            Adapun integrasi antara pendidikan Islam dan pendidikan multicultural di sekolah dan madrasah bisa dicapai dengan jalan harus memperhatikan dasar kurikulum pendidikan agama Islam sebagaimana yang dikemukakan Ramayulis[48] dengan mengutip Herman H. Horne ada 3 macam yaitu:
1.      Dasar Psikologis, yang digunakan untuk memenuhi dan mengetahui kemampuan yang diperoleh dari pelajar dan kebutuhan anak didik (the ability and need of children)
2.      Dasar Sosiologis, yang digunakan untuk mengetahui tuntutan yang sah dari masyarakat (the legitimate demand of society).
3.      Dasar Filosofis, yang digunakan untuk mengetahui keadaan alam semesta tempat kita hidup (the kind of universe in which we live).
            Begitu pula dalam mengembangkan kurikulum integral antara pendidikan agama Islam dan pendidikan multikultural di sekolah maupun madrasah, harus memperhatikan prinsip-prinsip yang menjadi acuan kurikulum pendidikan Islam yang menurut al- Syaibany[49] adalah:
1.      Berorientasi pada Islam, termasuk ajaran-ajaran dan nilai-nilainya.[50] Maka setiap yang berkaitan dengan kurikulum, termasuk falsafah, tujuan-tujuan, kandungan-kandungan, metode mengajar, cara-cara perlakuan dan hubungan-hubungan yang berlaku dalam lembaga-lembaga pendidikan yang berdasarkan pada agama dan akhlak Islam.
2.      Prinsip menyeluruh (universal) pada tujuan-tujuan dan kandungan-kandungan kurikulum.
3.      Prinsip keseimbangan yang relative antara tujuan-tujuan dan kandungan-kandungan kurikulum.
4.      Prinsip interaksi antara kebutuhan siswa dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
5.      Prinsip pemeliharaan perbedaan-perbedaan individual diantara peserta didik, baik perbedaan dari segi bakat, minat, kemampuan, kebutuhan dan sebagainya.
6.      Prinsip perkembangan dan perubahan sesuai dengan tuntutan yang ada dengan tidak mengabaikan nilai-nilai absolute.
7.      Prinsip pertautan (integritas) antara mata pelajaran, pengalaman-pengalaman dan aktifiti yang terkandung didalam kurikulum, begitu pula dengan pertautan antara kandungan kurikulum dengan kebutuhan murid juga kebutuhan masyarakat.
Zakiah Daradjat[51] menawarkan prinsip-prinsip pendidikan Islam sebagai berikut:
1.      Prinsip Relevansi: dalam arti kesesuaian pendidikan dalam lingkungan hidup murid, relevansi dengan kehidupan masa sekarang dan akan datang, relevansi dengan tuntutan pekerjaan.
2.      Prinsip Efektifitas: baik efektifitas mengajar guru, ataupun efektifitas belajar murid.
3.      Prinsip Efisiensi: baik dalam segi waktu, tenaga dan biaya.
4.      Prinsip Fleksibilitas: artinya ada semacam ruang gerak yang memberikan sedikit kebebasan dalam bertindak, baik yang berorientasi pada fleksibilitas pemilihan program pendidikan maupun dalam mengembangkan program pengajaran.
            Sedangkan Muhammad Zuhaili menyatakan bahwa kurikulum yang digunakan harus serius dan membangun, benar serta bertujuan untuk menyuntikkan kedalam akal para pemuda (baca; anak didik) hal-hal yang bermanfaat dalam agama dan dunia mereka. Karena kurikulum pendidikan haruslah berasal dari al-Qur’an dan Sunnah Rasul, tradisi orang-orang terdahulu yang shalih, serta cendekiawan muslim yang membawa cahaya terang selama berabad-abad.[52] Sehingga dari prinsip-prinsip di atas, menjadi sesuatu yang harus segera di rumuskan mengenai integralitas pendidikan agama Islam dan pendidikan multicultural.
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam & Multikultural
            Dari dasar-dasar dan prinsip-prinsip tersebut, maka dalam rangka membangun keberagaman yang inklusif, toleran di madrasah atau sekolah ada beberapa materi pendiikan Islam yang hendak di integasikan dengan pendidikan multicultural, yang menurut Erlan Muliadi antara lain:
Pertama, materi al-Qur’an, dalam menentukan ayat-ayat pilihan, selain ayat-ayat tentang keimanan juga perlu ditambah dengan ayat-ayat yang dapat memberikan pemahaman dan penanaman sikap ketika berinteraksi dengan orang yang berlainan agama, sehingga sedini mungkin sudah tertanam sikap toleran, inklusif pada peserta didik, yaitu: [1] Materi yang berhubungan dengan pengakuan al-Qur’an akan adanya pluralitas dan berlomba dalam kebaikan (Q.S. al-Baqarah [2]: 148). [2] Materi yang berhubungan dengan pengakuan koeksistensi damai dalam hubungan antar umat beragama (Q.S. al-Mumtahanah [60]: 8-9). [ 3] Materi yang berhubungan dengan keadilan dan persamaan (Q.S. an-Nisa [4]: 135).
Kedua, materi fikih, bisa diperluas dengan kajian  fikih siyasah (pemerintahan). Dari fikih siyasah inilah terkandung konsep-konsep kebangsaan yang telah dicontohkan pada zaman nabi, sahabat ataupun khalifah-khalifah sesudahnya. Pada zaman nabi misalnya, bagaimana Nabi Muhammad mengelola dan memimpin masyarakat Madinah yang multi-etnis, multi-kultur, dan multi-agama. Keadaan masyarakat Madinah pada masa itu tidak jauh beda dengan masyarakat Indonesia, yang juga multi-etnis,  multi-kultur, dan multi-agama.
Ketiga, materi akhlak yang memfokuskan kajiannya pada prilaku baik-buruk terhadap Allah, Rasul, sesama manusia, diri sendiri, serta lingkungan, penting artinya bagi peletakan dasar-dasar kebangsaan. Sebab, kelanggengan suatu bangsa tergantung pada akhlak, bila suatu bangsa meremehkan akhlak, maka punahlah bangsa itu. Dalam al-Qur’an telah diceritakan tentang kehancuran kaum Nabi Luth, disebabkan runtuhnya sendi-sendi moral. Agar pendidikan agama bernuansa multikultural ini bisa efektif, peran guru agama Islam memang sangat menentukan. Selain selalu mengembangkan metode mengajar yang variatif, tidak monoton. Dan yang lebih penting, guru agama Islam juga perlu memberi keteladanan.
Keempat, materi Sejarah Kebudayaan Islam, materi yang bersumber pada fakta dan realitas historis dapat dicontohkan praktik praktik interaksi social yang diterapkan Nabi Muhammad ketika membangun masyarakat Madinah. Dari sisi historis proses pembangunan Madinah yang dilakukan Nabi Muhammad ditemukan fakta tentang pengakuan dan penghargaan atas nilai pluralisme dan toleranasi.[53]
Selanjutnya, agar pemahaman pluralisme dan toleransi dapat tertanam dengan baik pada peserta didik, maka perlu ditambahkan uraian tentang proses pembangunan masyarakat Madinah dalam materi “Keadaan Masyarakat Madinah Sesudah Hijrah”, dalam hal ini dapat ditelusuri dari Piagam Madinah. Sebagai salah satu produk sejarah umat Islam, Piagam Madinah merupakan bukti bahwa Nabi Muhammad berhasil memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan, penegakan hukum, jaminan kesejahteraan bagi semua warga serta perlindungan terhadap kelompok minoritas.[54]
Dari pengembangan materi tersebut dapat terus dikembangkan menjadi sebuah kurikulum yang penulis beri nama “MALANG” (Multikultural, Agamis, Leluasa, Aktif, Nasionalis, Gembira). Pengembangan kurikulum MALANG tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.      Multikultural: agar peserta didik dapat menghargai bentuk keragaman dan tidak tercerabut dari akar budayanya.
2.      Agamis: agar peserta didik tetap dalam ketentuan dan ajaran-ajaran agama yang telah diyakini kebenarannya.
3.      Leluasa: agar peserta didik dapat leluasa mengeluarkan segala pendapatnya dalam keberagaman yang ada.
4.      Aktif: agar peserta didik selalu aktif terlibat dalam social kemasyarakatan dan bentuk-bentuk dialog, toleransi dalam masyarakat yang multi kultur dari segi apapun.
5.      Nasionalis: agar peserta didik selalu mempunyai jiwa cinta tanah air dan bangsa berdasarkan ungkapan; “cinta tanah air sebagian daripada iman” (hubbul wathan minal iman)
6.      Gembira: agar dengan perpaduan keempat hal diatas, peserta didik selalu gembira, menyenangkan tanpa diskriminasi dari pihak yang lain. Kegembiraan yang setara dalam eksistensinya masing-masing keberagaman yang ada.

Dengan demikian, menuju pendidikan yang “MALANG” (Multikultural, Agamis, Leluasa, Aktif, Nasionalis, Gembira) akan menjadi tataran ideal bagi  setiap manusia Indonesia yang mendambakan persatuan dan kesatuan dalam “Bhinekka Tunggal Eka” yang adi luhung. Kebhinekaan ini hendaknya dipegang erat oleh manusia Indonesia dengan berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Berbhinekka yang berdasar nilai-nilai keragaman dan kebersamaan yang sepenuhnya, utuh dan tidak parsial.

Kesimpulan & Saran
Kesimpulan:
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa: [1]. jika dalam penelitian Erlan Muliadi berkesimpulan bahwa pendidikan multicultural kian mendesak untuk dilaksanakan di sekolah, maka kesimpulan penulis juga sependapat dengan Erlan Muliadi. Akan tetapi, dalam penelitian penulis ini ada temuan baru bahwa “integrasi pendidikan agama Islam dan pendidikan multicultural” perlu segera dirumuskan juga. Hal ini mengingat akhir-akhir ini banyak sekali masyarakat yang memandang bahwa agama Islam tidak toleran, statis, bersifat eksklusif dan tidak bisa bersanding dengan selain Islam [2]. Dengan memperhatikan tiga belas nilai-nilai multicultural dalam Islam seyogyanya kita harus yakin bahwa Islam adalah agama yang “rahmatan lil alamin” (menjadi rahmat bagi semesta alam), dan bukan menjadi agama yang selalu mendiskriminasi dan menindas yang lain. [3]. Dialog dan toleransi antar komunitas agama hendaknya selalu terus dikembangkan guna mencapai hidup yang damai, saling memahami, sejajar sehingga dapat bersama membangun peradaban dunia dalam proses selanjutnya. [4]. Agar pendidikan multicultural bisa berjalan secara maksimal, maka peran guru agama sangat penting. Sebab agama dan guru agama selalu berkaitan dan tak dapat dipisahkan. [5]. Dalam integrasi pendidikan agama Islam dan pendidikan multicultural, bisa dikembangkan lewat pengembangan kurikulum yang disebut “MALANG” (Multikultural, Agamis, Leluasa, Aktif, Nasionalis, Gembira). Menuju pendidikan yang “MALANG” adalah dambaan setiap manusia yang mendambakan persatuan dan kesatuan serta keutuhan bangsa, negara dan agama.
Saran:
Adapun saran-saran penulis adalah: [1]. Integrasi pendidikan agama Islam dan pendidikan multicultural hendaknya terus menerus difikirkan, digali secara cermat, khususnya bagi filosof-filosof pendidikan agama Islam yang peduli dengan eksistensi Islam yang rahmatan lil alamin (merahmati eksistensi yang lainnya tanpa pandang bulu) [2]. Sebaiknya teori pengembangan kurikulum yang penulis beri nama “MALANG” bisa diterapkan. Sebab kurikulum MALANG yang penulis kembangkan akan bisa menyatukan keberagaman yang ada.











Daftar Pustaka
Al-Syaibany, 1979. Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, (Jakarta: Cet.I, Bulan Bintang)
Al- Nahlawy, Abdurrahman, 1989. Ushul at- Tarbiyah Islamiyah wa Ushuliha, (Beirut: Darul Fikr)
Arifin, Muzayyin, 2008. Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara)
Arwani, Sujud. 1993. “Beberapa Pemikiran Tentang Penelitian Komparasi”, dalam Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta)
Daradjat, Zakiah, 1992.  Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Angkasa)
Hadi, Sutrisno. 1989. Metodologi Research Jilid 1,  (Yogyakarta: Andi Offset)
Hatimah, Ihat, dkk, 2007. Pendidikan Berwawasan Kemasyarakatan, (Jakarta: Universitas Terbuka)
Mahfud, Choirul, 2012. Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
Muliadi, Erlan, 2012. Urgensi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Multikultural di Sekolah, dalam Jurnal Pendidikan Islam Volume 1, Nomor 1, Jun 2012/1433 (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijogo)
Naim, Ngainun dan Achmad Sauqi, 2008. Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi, (Jogjakarta: Ar- Ruzz Media Group)
Nata, Abudin, 2009. Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner, (Jakarta: Raja Grafindo Persada)
Ramayulis, 2002. Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia)
Riwayadi, Susilo dan Suci Nur Anisyah, 2009. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Sinar Terang)
Tafsir, Ahmad, 1991. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarda)
Tilaar, H.A.R, 2002. Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, (Jakarta: Grasindo)
Tim Penterjemah Al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia, 1995. Al-Qur’an dan Terjemahan, (Jakarta: Depag RI)
Yaqin, M. Ainul, 2005. Pendidikan Multikultural, Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, (Yogyakarta: Pilar Media)
Zuhaili, Muhammad, 1999. Pentingnya Pendidikan Islam Sejak Dini, terj. Arum Titisari, (Jakarta: A.H. Ba’adillah Press)



















DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA PERSONAL
Nama Lengkap             : ARIF MUZAYIN SHOFWAN
Tempat, tangaal lahir   : Blitar, 09 Juni 1978
Jenis Kelamin                : Laki-laki
Agama                           : Islam
Alamat Rumah             : Sekardangan RT.03 RW.09 Papungan, Kanigoro, Blitar, Jawa Timur
Telepon/HP                   : 085649706399
RIWAYAT PENDIDIKAN
Formal:
1.      Pendidikan Pra Sekolah : Taman Kanak Kanak Al- Hidayah Papungan 01, lulus tahun 1984
2.      Pendidikan Dasar :  Madrasah Ibtidaiyah Miftahul Huda Papungan 01, lulus tahun 1990
3.      Pendidikan Menengah : Madrasah Tsanawiyah Negeri Kunir, Wonodadi, Blitar, lulus tahun 1993
4.      Pendidikan Atas : Madrasah Aliyah Negeri Tlogo, Kanigoro, Blitar, lulus tahun 1996
5.      Pendidikan Sarjana (S1) : Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Al- Muslihuun Blitar, jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI), lulus tahun 2004
6.      Pendidikan Sarjana (S1) : Universitas Terbuka dibawah binaan Universitas Negeri Malang, jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), lulus tahun 2009
7.      Pendidikan Pascasarjana (S2) : Universitas Kanjuruhan Malang (UNIKAMA), jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS), lulus tahun 2009
8.      Pendidikan Pascasarjana Program Doktor PAI (S3): Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), masuk tahun 2013 s.d sekarang.
Nonformal:
1.      Pondok Pesantren Terpadu Al-Kamal, Kunir, Wonodadi, Blitar, asuhan KH. Zen Masrur
2.      Pondok Pesantren Manba’ul Hidayah, Tlogo, Kanigoro, Blitar, asuhan KH. M. Hafidz Syafi’i
3.      Pondok Pesantren Al-Fattah, Mangunsari, Tulungagung, asuhan KH. Abdul Khabir Siroj al-Hafidz
4.      Pondok Pesantren Al-Falah, Trenceng, Sumbergempol, Tulungagung, asuhan KH. M. Arsyad Bushoiri
RIWAYAT PENGABDIAN
  1. Guru SDN Gaprang 03, Kanigoro, Blitar, mulai tahun 2005 s.d 2009
  2. Ketua Dewan Kepesantrenan Hidayatullah Blitar, mulai tahun 2006 s.d 2010  
  3. Ketua Divisi Multikultural The Post Institute Blitar, mulai tahun 2011 s.d sekarang
  4. Pengurus Lembaga Pendidikan Dakwah Masjid Agung (LPDMA) Blitar, mulai tahun 2011 s.d sekarang
  5. Associate Tim Inti Pusat Studi Agama dan Multikultural (PUSAM) Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang, mulai 10 Desember 2012 s.d sekarang
  6. Guru MI Miftahul Huda Papungan 01, Kanigoro, Blitar, mulai tahun 2001 s.d sekarang.





[1] Muzayyin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hal. 12.
[2] Erlan Muliadi, Urgensi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Multikultural di Sekolah, dalam Jurnal Pendidikan Islam Volume 1, Nomor 1, Jun 2012/1433 (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijogo, 2012), hal. 55
[3]  Sutrisno Hadi, Metodologi Research Jilid 1,  (Yogyakarta: Andi Offset, 1989), hal. 42
[4] Sutrisno Hadi, Metodologi Research....., hal. 42
[5] Sujud Arwani, Beberapa Pemikiran Tentang Penelitian Komparasi, dalam Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hal. 128
[6] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarda, 1991), hal. 32
[7] Abdurrahman al- Nahlawy, Ushul at- Tarbiyah Islamiyah wa Ushuliha, (Beirut: Darul Fikr, 1989), hal. 32
[8] Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi, (Jogjakarta: Ar- Ruzz Media Group, 2008), hal. 32-33
[9] Susilo Riwayadi dan Suci Nur Anisyah, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Sinar Terang, 2009), hal. 487.
[10] Susilo Riwayadi dan Suci nur Anisyah, Kamus Lengkap……. , hal. 413
[11] M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hal. 27-28. Lihat pula dalam  Ngainun Naim & Achmad  Sauqi, Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hal. 121-122.
[12] Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hal. 175-176.
[13] Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), hal. 21
[14] Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural…., hal. 81
[15] Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural…., hal. 90
[16] H.A.R, Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2002), hal. 59
[17] Lebih jelas lihat, Ihat Hatimah, dkk, Pendidikan Berwawasan Kemasyarakatan, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), hal. 7.19-7.22
[18] Lihat, QS. Ali Imran: 103, QS. al-Anbiya: 92, QS. al-Maidah: 2.
[19] Lihat QS. al-Baqarah: 256, QS. al-Kafirun: 6, QS. Yunus: 99.
[20] Lihat QS. asy-Syura: 38, QS. Ali Imran: 159. Lihat pula dalam  QS. al-Hujurat: 13 dan  QS. ar-Rum: 22 diatas.
[21] Susilo Riwayadi dan Suci Nur Anisyah, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Sinar Terang, 2009), hal. 497
[22] QS. al-Hujurat: 13
[23] QS. ar-Rum: 22
[24] QS. Ali Imran: 159
[25] QS. al-Anbiya: 92
[26] QS. al-Baqarah: 213
[27] QS. al-Maidah: 2
[28] QS. al-Baqarah: 256
[29] QS. al-Kafirun: 6
[30] QS. Yunus: 99
[31] QS. asy-Syura: 15
[32] QS. ar-Ra’du: 11
[33] QS. al-Maidah: 104
[34] QS. al-Hujurat: 10
[35] QS. Ali Imran: 195
[36] HR. Bukhari Muslim
[37] HR. Bukhari Muslim
[38] QS. al-Baqarah: 279
[39] QS. al-Hujurat: 11
[40] QS. Asy-Syura: 38
[41] QS. Ali Imran: 159
[42] QS. Al-Ankabut: 46
[43] QS. An-Nahl: 125
[44] QS. al-Baqarah: 148
[45] QS. Hud: 117
[46] QS. an-Nisa: 135
[47] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hal. 11
[48] Ramayulis, Ilmu Pendidikan ….., hal. 131.
[49] Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, (Jakarta: Cet.I, Bulan Bintang, 1979), hal. 485. Lihat pula dalam Ramayulis, Ilmu Pendidikan…., hal. 132-133.
[50] Termasuk nilai-nilai dalam Islam adalah menghargai keragaman (multikultur). Lihat QS. al-Hujurat: 13, QS. Ar-Rum: 22.
[51] Zakiah Daradjat,  Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Angkasa, 1992), hal. 125-127.
[52] Muhammad Zuhaili, Pentingnya Pendidikan Islam Sejak Dini, terj. Arum Titisari, (Jakarta: A.H. Ba’adillah Press, 1999), hal. 104.
[53] Erlan Muliadi, Urgensi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Multikultural ….., hal. 55
[54] Darwis Sadir, Piagam Madinah (Al-Qanun: Jurnal Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Islam, Volume 5, Nomor 1, Juni 2003), hal. 250-257. Lihat pula dalam Erlan Muliadi, Urgensi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Multikultural ….., hal. 65