Rabu, 04 November 2015

MERAJUT KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN SERTA PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA



Arif Muzayin Shofwan
Arif atau Muzayin begitu dia biasa disapa. Dia merupakan salah satu aktivis The Post Institute, sebuah NGO ternama di Kota Blitar dan dipercaya sebagai ketua divisi multikultural. Selain sebagai aktivis, dia juga menjadi pengajar di MI Miftahul Huda Papungan 01 Sekardangan, Kanigoro, Blitar. Saat ini dia tercatat sebagai mahasiswa aktif pada Program Studi Doktor Pendidikan Agama Islam di Universitas Muhammadiyah Malang. Dalam penelitian tugas akhir doktoralnya, dia sedang meneliti tentang isu pendidikan keagamaan Islam multikultural pada sebuah pesantren di kota Blitar. Selain itu, dia juga tercatat sebagai anggota Tim Inti Pusat Studi Agama dan Multikulturalisme (PUSAM) Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang yang diketuai oleh Prof. Dr. Syamsul Arifin, M.Si. Kepada profesor yang disebut inilah, Arif ingin terus belajar terkait dengan isu multikulturalisme dan pendidikan multikultural.
Sebagai ketua divisi multikultural di The Post Institute Blitar, Arif sering berinteraksi dan berdialog mengenai kebebasan beragama dengan para tokoh agama. Dia juga sering berinteraksi dan berdialog dengan berbagai tokoh aliran kepercayaan di Blitar, misalnya Purwa Ayu Mardi Utama (PAMU), Sapto Dharmo, dan penghayat kepercayaan lain yang tidak memiliki label tertentu. Menurutnya, seseorang tidak akan mudah fanatik buta terhadap kebenaran keyakinannya apabila dia memiliki wawasan yang luas. Orang yang memiliki wawasan yang luas tidak akan mudah memberikan stigma negatif terhadap orang yang berbeda keyakinan. Lebih-lebih memberikan label kafir, musyrik, fasik terhadap mereka yang berbeda keyakinan. Dan tentu hal tersebut merupakan sebuah pantangan bagi orang-orang yang berwawasan luas. Orang yang berwawasan luas akan selalu meneliti “kekafiran”-nya sendiri yang berada di dalam hatinya. Sementara orang yang kurang luas wawasan pengetahuannya, akan selalu mengkafirkan (men-takfir-kan) orang yang berbeda keyakinan dengannya. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan Gus Dur “kafire dhewe nggak digatekne, yen isih kotor budi akale”, ujarnya.
Arif pernah mengikuti pelatihan LVE di MI Miftahul Huda Papungan 01, Kanigoro, Blitar pada tanggal 19-20 Mei 2012 yang dibimbing oleh Dr. Muqowwim, M.Ag, seorang trainer LVE dan dosen tetap di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ketertarikannya dengan pelatihan LVE menghantarkan Arif kenal dengan Mohammad Shofan dan Budhy Munawar-Rachman, yang keduanya merupakan trainer LVE pula. Dia sempat beberapa kali bertemu dengan Budhy Munawar-Rachman yang biasa disapa “Mas Budhy” tersebut di Universitas Muhammadiyah Malang. Dalam salah satu pertemuan tersebut, Mas Budhy pernah memberikan buku berjudul “Living Values Activities for Young Adults” karya Diane Tillman kepada Arif. Sementara dengan Mohammad Shofan, dia belum pernah bertemu dan bertatap muka kecuali hanya di media sosial facebook. Namun walau demikian, dia menganggap “Mas Shofan” panggilan akrab Mohammad Shofan tersebut sebagai guru inspiratif dalam beberapa hal di antaranya terkait dengan isu kebebasan beragama dan kajian pluralismenya.
Setelah mengikuti pelatihan LVE tersebut, Arif menilai bahwa pelatihan LVE sangat penting untuk dikembangkan dalam negara seperti Indonesia. Menurutnya, untuk merajut keberanekaragam suku, budaya, ras dan agama di Indonesia perlu diadakan pelatihan LVE. Mengapa?. Sebab LVE benar-benar menawarkan sesuatu yang benar-benar berasal dari pikiran (mind), jiwa (soul) dan diimplementasikan melalui perilaku, bukan hanya sekedar wacana belaka. Dia berharap pelatihan LVE tersebut akan merambah ke daerah-daerah pinggiran, bukan hanya di dalam kampus semata. Sebab di daerah pinggiran sana tentu masih banyak perilaku intoleran yang harus diatasi. Menurutnya, melalui pelatihan LVE, seseorang akan memiliki pikiran dan jiwa positif yang benar-benar akan berguna di kehidupan kini dan mendatang.
Di dalam merajut kebebasan beragama dan berkeyakinan, Arif pernah berkunjung di Puthuk Ayem, sebuah tempat retret meditasi di lingkungan Vihara Buddha Sasana Buneng, Selorejo, Blitar dan bertemu dengan Bhikku Jayaratano yang saat itu sedang menghabiskan masa vassa-nya. Dalam pertemuan tersebut dia berdiskusi tentang kebebasan beragama dan keyakinan dengannya. Dalam diskusi tersebut, Bhikku Jayaratano mengatakan bahwa perbedaan beragama dan keyakinan itu indah bila seseorang bisa merawatnya. Bangsa Indonesia akan menjadi kuat bila masyarakatnya bisa mengelola semua perbedaan yang ada. Menurutnya, memasuki agama merupakan sebuah pilihan yang tidak bisa dipaksakan. Dia menganalogikan agama bagaikan sebuah makanan kesukaan. Seseorang bisa memilih makanan yang dia suka tanpa harus membenci makanan lain yang tidak disukainya. Menanggapi pernyataan Bhikku Jayaratano di atas, Arif juga mengatakan bahwa dalam Islam disebutkan “laa ikraha fi al-dinn”, tidak ada paksaan dalam memasuki agama.
Arif juga seringkali bertemu dengan Bhikku Sukhito Thera di Vihara Samaggi Jaya Kota Blitar yang tak jauh dari Makam Bung Karno, sang proklamator Republik Indonesia. Dalam pertemuan tersebut, Arif sempat berkali-kali diskusi terkait kebebasan beragama dan keyakinan dengan Bhikku Sukhito Thera dan tokoh Buddha lainnya. Bhikku Sukhito Thera menyatakan bahwa seseorang yang tidak bisa menghormati agama lain sama halnya tidak bisa menghormati agamanya sendiri. Sementara dalam pertemuan lain, Arif pernah bertanya bagaimana cara bermeditasi yang baik dan benar. Menurut Bhikku Sukhito Thera, kalau seseorang beragama Islam, maka cara meditasi yang baik dan benar bisa dilakukan dengan mengucapkan lafadz “Allah-Allah-Allah” dalam pikiran dan hatinya. Menurutnya, dengan berkonsentrasi pada lafadz “Allah-Allah-Allah” tersebut, maka hati seorang muslim akan menjadi tenang/tenteram. Dengan demikian hal tersebut bisa dinamakan meditasi “samatha bhavana” dalam tradisi agama Buddha.
Di dalam diskusi dengan Bhikku Sukhito Thera tersebut banyak sekali yang Arif ungkapkan pula, di antaranya: Arif menyatakan bahwa melafadzkan “Allah-Allah-Allah” dalam hati bisa menjadikan seseorang tenang/tenteram sesuai dengan firman Allah swt “alaa bi zikri Allah tadz’main al-quluub”, artinya ingatlah, dengan mengingat Allah hati menjadi tenang. Arif juga membicarakan persamaan kegiatan meditasi dengan tafakur dalam Islam. Tafakur yang merupakan kegiatan merenung memang mirip dengan meditasi, yang didalamnya terdapat aktivitas perenungan pula. Bahkan Arif juga menyatakan bahwa dalam sebuah kitab tasawuf Bidayah al-Hidayah karya Imam al-Ghazali disebutkan bahwa tafakur (merenung) sesaat lebih baik daripada beribadah selama 80 tahun dengan tanpa sebuah perenungan. Pada kesempatan lain, Arif juga pernah bertemu dengan Bhikku Jayamedho, Bhikku Uttamo Mahathera, Bhikku Sri Pannavaro Mahathera dan lainnya di Vihara Samaggi Jaya Kota Blitar tersebut. Selain itu, Arif juga pernah berinteraksi dengan kelompok umat Buddha Maitreya yang juga berada di Blitar.
Selanjutnya, dalam merajut kebebasan berkeyakinan, Arif telah beberapa kali berinteraksi dan berdiskusi dengan para penghayat aliran kepercayaan. Dia pernah berdiskusi dengan Eyang Romo Marsudi Tomo, seorang wakil wirid sebuah aliran kepercayaan Purwa Ayu Mardi Utama (PAMU) di Dermojayan, Srengat, Blitar. Dalam pertemuan tersebut, Eyang Romo Marsudi Tomo menyatakan bahwa PAMU merupakan kelompok kerukunan yang didirikan oleh RM. Djojopoernomo yang makamnya berada di Tojo, Temuguruh, Banyuwangi. Menurutnya, kelompok kerukunan tersebut diikuti oleh berbagai macam agama, ada yang Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha dan lain sebagainya. Dalam ajaran PAMU disebutkan bahwa seorang yang ingin hidup tenteram harus bisa rukun dengan tiga tetangga, yaitu; [1] tetangga wisma; yakni tetangga yang bersebelahan rumah; [2] tetangga desa; yakni tetangga yang bersebelahan desa hingga kecamatan, kabupaten dan seterusnya; dan [3] tetangga negara; yakni tetangga yang bersebelahan negara.
Pada kesempatan lain, Arif pernah berinteraksi dan berdiskusi dengan penghayat aliran kepercayaan yang meyakini ajarannya berasal dari Sunan Kalijaga. Eyang Romo Paniran (alm), selaku pimpinan aliran kepercayaan tersebut pernah menyatakan tentang bagaimana bisa saling hidup rukun dengan sesama tanpa merendahkan agama lainnya. Dalam aliran kepercayaan ini diajarkan tentang bagaimana menata tiga bait (artinya; rumah) yang ada dalam diri manusia sebagaimana yang terdapat dalam Kitab Serat Hidayat Jati karya Raden Ngabehi Ronggowarsita, yaitu: [1] bait al-makmur; yakni rumah tempat keramaian yang berada di otak atau pikiran manusia; [2] bait al-muharram; yakni rumah tempat rahasia yang berada dalam hati manusia; dan [3] bait al-muqaddas; yakni rumah tempat yang harus disucikan dan berada pada kelamin manusia. Seseorang akan bisa menuju Tuhan bila dia bisa menata ketiga bait tersebut. Sebagaiamana aliran PAMU di atas, aliran ini juga diikuti oleh berbagai macam agama.
Sementara pengalaman Arif berinteraksi dengan para pelestari budaya “nyadran” komunitas orang Jawa dilaluinya diberbagai tempat di antaranya; di Sandranan Eyang Wirogati Jatimalang, Kota Blitar; di makam cikal bakal desa Plosorejo, Kademangan, Blitar yakni Makam Eyang Sonomo pada saat kirab pusaka; di Sandranan Eyang Sutojoyo, pendiri desa Sutojayan, Lodoyo, Blitar; di Sandranan Eyang Kusumo Yudho [Mbah Imam Sopingi], pendiri desa Sananwetan Kota Blitar; di Sadranan Nyi Ageng Sekardangan, pendiri dusun Sekardangan, Kanigoro, Blitar; di Sadranan Eyang Sri Tanjung, pendiri desa Tanjungsari, Blitar dan lain-lainnya.
Dalam petualangannya tersebut, Arif sempat bertanya kepada Bapak Jawoko, salah satu juru kunci Sadranan Eyang Wirogati, Jatimalang, Kota Blitar mengenai: mengapa orang Jawa memiliki tradisi “nyadran” di bawah pohon besar yang biasanya sudah berusia ratusan tahun?. Terus apakah mereka itu menyembah pohon dan berbuat musyrik?. Bapak Jawoko kemudian menjelaskan bahwa sebenarnya pohon rindang yang dipakai “nyadran” orang Jawa itu bukan untuk disembah. Sejarahnya adalah bahwa tradisi para leluhur jaman dulu ketika sudah selesai mbabat desa/dusun, dia lalu menanami tempat itu dengan pohon yang usianya bisa bertahan lama agar para keturunan dan orang sesudahnya nanti bisa mengingatnya melalui simbol pohon yang dia tanam tersebut. Setelah itu, biasanya sesepuh Jawa itu meninggalkan desa tersebut dan kemudian mbabat desa/dusun di daerah lainnya. Menurutnya, maka tak heran bila petilasan sesepuh Jawa pada zaman dahulu berada di berbagai daerah dan biasanya terdapat pohon rindang, misalnya petilasan Nyi Ageng Gadhung Melati di seputar Blitar dapat ditemukan di desa Kademangan, Blitar; Genjong, Wlingi, Blitar; Selokajang, Srengat, Blitar; dan lain sebagainya. Bahkan petilasan Sunan Kalijaga juga berada di berbagai daerah.
Masih menurut Bapak Jawoko yang mengatakan bahwa orang-orang Jawa berdoa di bawah pohon tersebut bukan untuk menyembah pohon, akan tetapi mereka melakukan itu untuk mendoakan tokoh yang “mbabat” desa/dusun tersebut. Pohon rindang untuk “nyadran” orang Jawa ibarat prasasti atau monumen untuk mengenang jasa-jasa para sesepuh yang mbabat dusun/desanya. Menurutnya, simbol sebuah pohon merupakan sesuatu yang paling sederhana dan banyak dipakai oleh para sesepuh Jawa pada zaman dahulu. Biasanya tokoh-tokoh atau para sesepuh Jawa yang memiliki kelas sosial tingkat atas/tinggi pada jaman dahulu tentu menggunakan simbol/tanda yang lebih berkelas pula, misalnya simbol prasasti, monumen, patung dan semacamnya. Sementara mereka yang kurang memiliki kelas tertentu, maka cara yang mereka gunakan juga sangat sederhana yakni dengan menanam sebuah pohon yang diperkirakan usianya bisa bertahan lama agar para keturunan dan generasi selanjutnya bisa mengenang lewat simbol/tanda sebuah pohon yang dia tanam tersebut.
Bapak Jawoko juga menyatakan bahwa biasanya sandranan-sadranan itu berada di dekat sumber mata air atau sungai dikarenakan jaman dahulu itu tidak ada sumur. Jadi untuk mendapatkan air yang bisa digunakan untuk memasak dan minum, mereka lalu mencari tempat-tempat seperti dekat sungai dan sumber mata air sebagai tempat kediamannya. Bapak Jawoko, seorang yang ahli sandranan di Blitar tersebut memberikan banyak contoh sadranan yang berada di dekat sungai atau sumber mata air antara lain; Sadranan Eyang Wirogati, Nyi Gadhung Melati, Eyang Sutojoyo, Eyang Kusumo Yudho (Mbah Imam Sopingi), Eyang Suromenggolo, Eyang Sri Tanjung dan lain sebagainya.
Menurut Bapak Jawoko, simbol/tanda sebuah pohon tersebut juga dipakai oleh pasukan Pangeran Diponegoro ketika melarikan diri ke arah Timur. Biasanya pasukan Pangeran Diponegoro menanam pohon Sawo atau Manggis di depan rumahnya atau masjidnya sebagai “tetenger” (tanda/simbol) bahwa mereka merupakan salah satu pasukan Pangeran Diponegoro. Bapak Jawoko juga menyatakan bahwa setiap zaman, para tokoh memiliki tradisi penanaman pohon sebagai tetenger. Dan pohon yang ditanam selalu berganti-ganti antara zaman yang satu dengan satunya tidak sama. Pada masa tertentu, pohon yang ditanam adalah pohon bunga Kanthil, pohon Beringin, dan pohon-pohon lain yang bisa bertahan lama hingga generasi berikutnya. Dalam hal ini, Arif merenungkan bahwa tradisi menanam pohon yang dilakukan oleh orang Jawa sebagai simbol/tanda (tetenger; Jw) tersebut tentu tidak lepas dari tradisi umat Buddha yakni ketika menanam pohon Boddhi guna untuk mengenang Sang Buddha Gautama dalam mendapatkan pencerahan dibawah pohon tersebut. Hal tersebut tentu bukan untuk disembah seperti yang pernah dijelaskan oleh para guru agama Islam saat di MI, MTs, MA, bahkan di perguruan tinggi sekalipun masih ada yang mempunyai perspektif yang kurang luas akan tradisi tersebut. Sehingga terkadang para guru agama sering memberi label “musyrik” kepada orang yang berdoa dibawah pohon rindang sebagai “tetenger” dari para pendahulu tersebut.
Di sisi lain, setelah mendengar penjelasan dari Bapak Jawoko tersebut, Arif lalu ingat kata kawannya yang pernah kuliah di Universitas Gajah Mada Yogyakarta bahwa seorang teman kawannya tersebut pernah mengadakan sebuah penelitian. Dalam penelitian tersebut dia menemukan bahwa sumur dan kakus merupakan warisan penjajah Belanda, sehingga sebelum penjajah Belanda datang di Indonesia, maka orang-orang Jawa biasanya menggunakan sungai dan sumber mata air untuk keperluan sehari-hari. Artinya penjajah Belanda inilah yang mewariskan sumur dan kakus/WC yang sampai saat ini masih tetap eksis. Dan mungkin akan terus eksis dan tak akan kembali lagi ke sungai untuk keperluan sehari-hari serta sebagai tempat buang air besar. Dengan demikian, sadranan-sadranan yang berada di dekat sumber mata air atau sungai tersebut kemungkinan telah ada sejak sebelum penjajah Belanda datang ke Indonesia atau kemungkinan pula terjadi pada zaman Mataram ke belakang, karena keterbatasan alat untuk membuat sumur dan lain sebagainya.
Lain dari pada hal di atas, Arif juga pernah bergabung dengan komunitas di Lembaga Pecinta dan Pelestari Budaya Nusantara (LP2BN) yang diketuai oleh Drs. Aris Sugito, SH dari desa Jiwut, Nglegok, Blitar. Lembaga tersebut mengadakan kegiatan rutin setiap malam bulan Purnama di Candi Palah Penataran, Nglegok, Blitar yang dihadiri oleh berbagai macam agama dan keyakinan. Ada umat Islam, Kristen, Hindu, Buddha dan aliran kepercayaan seperti Sapto Dharmo, aliran Roso Sejati dan lain-lainnya yang hadir pada setiap bulan Purnama di Candi Palah Penataran tersebut. Menurut Drs. Aris Sugito, SH., kegiatan tersebut disamping untuk melestarikan budaya nusantara juga untuk merajut kebebasan beragama dan berkeyakinan. Sehingga dengan hadirnya berbagai macam agama dan aliran kepercayaan tersebut akan terwujud Indonesia yang berbhinneka tunggal ika.
Arif juga mempunyai pengalaman mengisi kultum dan doa dalam acara buka bersama puasa bulan Ramadhan pada tanggal 10 Agustus 2012 di Gereja Katolik Paroki Santo Yusuf Kota Blitar atas undangan Romo I Made Agustinus Hadi Prasetyo. Di gereja tersebut dia bertemu dengan beberapa tokoh agama antara lain; JB. Sudrajat selaku Ketua Bidang Sosial Paroki Santo Yusuf, Pendeta Henry S. Chandra, M.Th., Th.D selaku Ketua Sekolah Teologi Patria Blitar, Romo Pandita Padma Sujata selaku perwakilan dari Majelis Agama Buddha Theravada (Maghabudhi) Kota Blitar dan lain sebagainya. Dalam acara tersebut, Arif bersama Mawan Mahyuddin selaku Direktur The Post Institute Blitar sempat berbincang-bincang dengan Pendeta Henry S. Chandra, M.Th., Th.D terkait bagaiamana merajut toleransi antarumat beragama di Kota Blitar dan sekitarnya.
Pengalaman diskusi agama secara intensif juga Arif lakukan dengan Vincentyus Charollus, seorang pemuda Kristen yang sering datang ke The Post Institute Kota Blitar. Saat ini Charollus sedang menempuh program pascasarjana S2 jurusan Magister Ilmu Administrasi Publik di Universitas Merdeka Malang. Setiap kali Charollus datang ke The Post Institute Blitar, dia selalu mengucapkan salam Islami “assalamualaikum”, Arif pun juga menjawab salamnya dengan “waalaikumussalam”. Walau tentang menjawab salam ini ada perbedaan pendapat para ulama, yang satu membolehkan dan satunya lagi mengharamkan, namun Arif lebih memilih pendapat ulama yang memperbolehkan dengan alasan toleransi. Menurutnya, seorang yang didoakan baik oleh orang lain entah yang mendoakan itu orang muslim maupun non-muslim, hendaknya dibalas dengan doa kebaikan pula. Ucapan salam merupakan doa kesejahteraan, sehingga harus dibalas dengan doa yang baik pula.
Diskusi untuk merajut kebebasan beragama dan berkeyakinan dengan kelompok Kristen Saksi Yehuwa juga Arif lakukan dengan Mbak Naning, seorang penginjil saksi Yehuwa yang berdomisili di Sentul, Kota Blitar. Arif sering berdiskusi mengenai konsep ketuhanan dalam kelompok Kristen Saksi Yehuwa tersebut. Dalam diskusi tersebut, Arif dan Mbak Naning mencari berbagai persamaan konsep ketuhanan dan kerasulan Nabi Isa (Yesus). Mbak Naning menyatakan bahwa Yesus adalah utusan Tuhan sebagaimana yang ada dalam konsep Islam. Sementara perbedaan nama Tuhan Kristen Saksi Yehuwa dan Islam adalah bila Kristen Saksi Yehuwa menyebut nama Tuhan dengan sebutan “Yahweh”, tetapi umat Islam menyebut Tuhan dengan sebutan “Allah”. Walau dalam hal-hal tertentu Arif dan Mbak Naning berbeda pendapat, akan tetapi hal tersebut tidak membuat keduanya bermusuhan. Sebab bagi keduanya perbedaan pendapat itu indah bila seseorang bisa merawatnya.
Usaha merajut kebebasan beragama dan berkeyakinan, dilakukan Arif  ketikan berinteraksi dengan tokoh umat Hindu, yakni Bapak Mursalim, M.Pd., seorang guru agama Hindu yang berdomisili di Gaprang, Kanigoro, Blitar. Beliau merupakan salah satu teman Arif ketika menempuh program pascasarjana S2 jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial di Universitas Kanjuruhan Malang. Arif dan Bapak Mursalim selalu berboncengan montor bersama ketika kuliah di perguruan tinggi tersebut. Arif juga sering diskusi masalah agama dengan Bapak Mursalim. Keduanya membahas persamaan dan perbedaan konsep ketuhanan Islam dan Hindu. Begitu juga, Arif sering meminjam kitab suci agama Hindu, salah satunya adalah Kitab Suci Sarasamuccaya dan beberapa kitab lainnya. Selain itu, Arif juga sering diskusi mengenai agama Hindu dan Islam dengan Mas Anto, Jatilengger, Ponggok, Blitar. Mas Anto juga merupakan salah satu umat Hindu yang taat. Dia banyak memberikan buku-buku agama Hindu kepada Arif untuk perbandingan dengan ajaran agama Islam, dintaranya buku Pancha Crada, karya Drs. I. B. Oka Punyatmadja, Kitab Saracamuccaya, Kitab Bhagawadgita dan lainnya.
Diskusi tentang ajaran agama Hindu juga Arif lalui di Kantor The Post Institute bersama kolega-koleganya. Beberapa kali The Post Institute Blitar kedatangan kawan sesama aktifvis bernama Selwa Kumaar yang beragama Hindu dari Medan, Sumatera Utara. Kumaar merupakan pemuda Hindu yang taat keturunan India. Tak pelak kedatangan Kumaar yang biasanya menginap selama satu minggu di The Post Institute Blitar tersebut Arif gunakan bertukar pikiran (diskusi) mengenai persamaan dan perbedaan Hindu-Islam. Dalam  diskusi tersebut, Kumaar sering menjelaskan ajaran “ahimsa” yang dipraktekkan secara nyata oleh Mahatma Gandhi dalam perjuangannya. Sebagaimana Charollus yang Kristen, Kumaar yang Hindu pun setiap datang ke The Post Institute Blitar juga mengucapkan salam Islami “assalamualaikum”. Para kolega-kolega di The Post Institute Blitar termasuk Arif lalu menjawab salam tersebut dengan “wa’alaikumussalam” kepada Kumaar dengan alasan toleransi. Terkadang pula, Arif yang Islam, Charollus yang Kristen, dan Kumaar yang Hindu bertemu di The Post Institute Blitar dan mengadakan diskusi tentang perbedaan dan persamaan agama masing-masing. Diskusi-diskusi kecil ini sering dilakukan Arif bersama kolega-koleganya di The Post Institute Blitar, baik dengan sesama agama maupun yang tidak sama agamanya.
Di sisi lain, aktifis The Post Institute tersebut juga sering berinteraksi dengan berbagai kelompok tharikah. Di dalam tradisi NU, Arif sering melihat pertikaian sejumlah kelompok tharikah satu dengan kelompok tharikah yang lain. Kelompok tharikah yang satu merasa bahwa ajaran tharikat yang dia ikutilah yang paling benar. Begitu juga dalam beberapa kelompok tharikah yang lain, terkadang mereka saling mengolok-olok satu sama yang lainnya. Dengan adanya hal tersebut, Arif merasa resah untuk segera menemukan jawaban tentang mengapa fenomena pertikaian kelompok tharikah tersebut harus terjadi. Mengapa kelompok tharikah yang satu mengolok-olok tharikah yang lain. Bukankah kelompok-kelompok tharikah tersebut sebenarnya ingin beribadah menuju Tuhan dan mengharap ridha-Nya?. Inilah yang menyebabkan Arif akhirnya banyak bersinggungan dengan berbagai kelompok tharikah. Walaupun jawaban dari fenomena di atas belum sepenuhnya memuaskan, akan tetapi semua proses bersinggungan dengan kelompok tharikah tersebut memiliki makna tersendiri bagi Arif, terutama ketika dia dipercaya direktur The Post Insitute sebagai ketua divisi multikultural.
Dalam kelompok tharikah Naqsyabandiyah, sebuah organisasi tharikah yang dinisbatkan kepada Syaikh Muhammad Baha’uddin al-Naqsyabandi, Arif sering diskusi masalah tharikah tersebut dengan Kiai Muhammad Makki, seorang mursyid tharikah Naqsyabandiyah di Bandung, Tlogo, Kanigoro, Blitar. Dalam diskusi tersebut Kiai Muhammad Makki pernah menunjukkan sebuah sertifikat dari seorang syaikh di Mekah yang telah mengijazahkan amalan tharikah Naqsyabandiyah kepada ayahnya pada saat menunaikan ibadah haji. Sertifikat tersebut sebagai tanda bahwa ayah Kiai Muhammad Makki telah diberi kewenangan menyebarkan ajaran tharikah Naqsyabandiyah setelah nanti pulang dari menunaikan ibadah haji. Selanjutnya, atas petunjuk ayahnya tersebut Kiai Muhammad Makki ditunjuk sebagai penerus ajaran tharikah Naqsyabandiyah.
Di dalam tharikah Sathariyah, sebuah kelompok tharikah yang dinisbatkan kepada Syaikh Abdullah al-Sathari dari India, Arif juga sering berdiskusi dengan Kiai Mahrosin, seorang mursyid tharikah Sathariyah di desa Jajar, Selopuro, Blitar. Dalam pertemuan tersebut Kiai Mahrosin mengatakan bahwa tharikah yang dia jalankan itu merupakan warisan ayahnya yang bernama Kiai Syahri Dhuhan, Gentor, Ponggok, Blitar. Menurut Arif, tharikah Sathariyah ini memang unik. Bila dalam tharikah-tharikah lain ada sebuah wirid khusus yang harus dilakukan penganut tharikah, maka dalam tharikah Sathariyah ini tidak ada wirid tertentu yang harus diamalkan oleh pengikutnya. Setelah murid dibaiat oleh guru mursyid, dia diperkenankan mengamalkan wirid-wirid umum yang biasa diamalkan oleh orang-orang Islam. Tak ada wirid khusus yang harus diamalkan oleh pengikut tharikat ini.
Selanjutnya keterlibatan Arif dengan kelompok tharikah Wahidiyah Kedunglo, Kediri juga dilakukannya. Keterlibatan tersebut Arif lalui ketika mempelajari Kitab Syarh al-Hikam karya Syaikh Ahmad ibnu Atha’illah al-Sakandari secara privat kepada Kiai Nasruddin, seorang tokoh tharikah Wahidiyah di desa Sekardangan, Kanigoro, Blitar. Kiai Nasruddin seringkali mengajak Arif untuk melakukan “Mujahadah Wahidiyah Kubra” ke Kedunglo, Kediri. Mujahadah tersebut biasanya diikuti oleh pengikut tharikat Wahidiyah dari seluruh pelosok tanah air. Tharikat Wahidiyah merupakan organisasi tharikah lokal yang didirikan oleh Kiai Abdul Madjid Ma’roef, pengasuh Pondok Pesantren Kedunglo, Kediri. Banyak pelajaran yang Arif temui dalam tharikah Wahidiyah tersebut di antaranya; [1] li-Allah; semua ibadah harus diniati semata-mata karena Allah; [2] bi-Allah; semua ibadah terlaksana hanya dengan pertolongan Allah; [3] li al-Rasul; semua ibadah harus diniati karena mengikuti Rasulullah saw; [4] bi al-Rasul; semua ibadah yang kita lakukan merupakan jasa dari Rasulullah saw; dan lain sebagainya.
Pengalaman yang diperoleh Arif terkait keterlibatannya dengan tharikat Shiddiqiyah dilalui bersama Bapak Nur Fadli Tlogo, Kanigoro, Blitar, seorang penganut tharikah tersebut. Perlu diketahui bahwa tharikah Shiddiqiyah juga merupakan organisasi tharikah lokal yang didirikan oleh Kiai Muhammad Mukhtar Mu’thi dari Ploso, Jombang. Dalam hal ini, Arif beberapa kali bertemu dengan wakil/khalifah tharikat Shiddiqiyah bernama Kiai Munirul Muhtar di Blitar. Sebagaimana tharikah Naqsyabandiyah, tharikah ini juga mengajarkan dua dzikir khusus yaitu; [1] dzikir sirri; yakni sebuah dzikir yang harus dilakukan secara rahasia hanya dalam hati; dan [2] dzikir jahri; yakni sebuah dzikir yang harus dilakukan dengan terang-terangan melalui lisan. Bila lafadz dzikir yang pertama menggunakan “Dzikir Ismu Dzat” [Allah-Allah-Allah] dalam hati seiring keluar masuknya nafas, maka lafadz dzikir yang kedua menggunakan “Dzikir Nafi Isbat” [Laailahaillallah] yang diamalkan secara lisan bersama-sama atau sendirian.
Keterlibatan Arif dengan kelompok penganut tharikah Akmaliyah dilaluinya bersama Kiai Muhammad Agung Priyokusumo, Sananwetan, Kota Blitar. Menurut Kiai Muhammad Agung Priyokusumo, tharikah Akmaliyah berisi tentang ajaran “manunggaling kawula gusti” sebagaimana ajaran Syaikh Siti Jennar yang masyhur di tanah Jawa. Menurutnya pula, tharikah Akmaliyah inilah yang dianut Syaikh Siti Jennar jaman dulu. Tidak ada dzikir secara khusus yang harus diamalkan oleh penganut tharikah Akmaliyah, sebab tharikah ini lebih banyak menggali filosofis dari ajaran “manunggaling kawulo gusti” tersebut. Selain mengembangkan tharikah ini, Kiai Muhammad Agung Priyokusumo juga mengembangkan “Tarian Sufi Whirling”, yakni sebuah tarian sufi yang sering dinisbatkan kepada Syaikh Jalaluddin al-Rumi, seorang tokoh pendiri tharikah Maulawiyah. Pada saat melakukan tarian tersebut, tangan kanan selalu menghadap ke atas untuk menarik energi ilahi dari langit dan tangan kiri selalu menghadap ke bawah untuk menyalurkan energi ilahi ke bumi. Menurut Kiai Muhammad Agung Priyokusumo, tarian sufi Whirling hampir mirip dengan seni Taichi dalam tradisi Cina.
Arif juga pernah ikut “tirakatan” dalam komunitas tharikah Naqsyabandiyah Uluwiyah Khalidiyah selama dua minggu di Pesantren Baiturrahmah Blimbing Malang dibawah asuhan Kiai Muhammad Sholeh Hudi Muhyiddin al-Amin. Selama dua minggu itu pula Arif dan beberapa jamaah yang lain harus puasa dan tidak boleh keluar dari dalam pesantren. Menurut Arif, pengalaman tersebut merupakan salah satu latihan untuk mengendalikan diri. Sebab dalam dua minggu itu pula tidak ada makan untuk sahur dan yang ada hanya makan untuk berbuka. Itu saja dibatasi hanya satu piring kecil, walau mungkin kalau tidak kuat, seseorang  boleh membeli makanan di kantin yang ada di dalam pesantren tersebut. Di sisi lain, seorang yang melakukan “tirakatan” di situ dianjurkan tidak berbicara sama sekali walau dengan teman dekatnya. Mungkin dalam istilah Jawa adalah “poso mbisu” (puasa atau menahan untuk tidak berbicara). Dalam kegiatan tersebut dianjurkan bahwa hati selalu berdzikir “Allah-Allah-Allah” tanpa henti dua puluh empat jam. Dzikir tersebut bisa disesuaikan dengan keluar-masuknya nafas atau detak jantung.
Keterlibatan Arif dalam tharikah Jazuliyah, sebuah organisasai tharikah yang dinisbatkan kepada Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Sulaiman al-Jazuli dilalui dengan gurunya yang bernama Kiai Imam Mahdi (alm), seorang mursyid tharikah Jazuliyah dan pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Huda Sekardangan, Kanigoro, Blitar. Tharikah ini lebih mengedepankan bacaan shalawat dalam Kitab Dala’il al-Khairat yang disusun oleh Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Sulaiman al-Jazuli tersebut. Dalam tradisi tharikah, ormas Nahdhatul Ulama memandang bahwa tharikah Jazuliyah juga merupakan organisasai tharikah yang mu’tabarah (silsilahnya bersambung sampai Rasulullah saw). Setiap tahun di pesantren Kiai Imam Mahdi (alm) tersebut selalu diadakan “Haul Muallif Shalawat Dala’il al-Khairat: Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Sulaiman al-Jazuli”, kemudian dilakukan ijazahan/baiat dan Arif telah beberapa kali mengikuti acara tersebut.
Keterlibatan Arif dalam kelompok tharikat Syadziliyah, sebuah organisasi tharikah yang dinisbatkan pada Syaikh Abu al-Hasan Ali al-Syadzili dia lalui ketika mengikuti suluk di Pondok Pesantren Pesulukan Tharikah Agung (PETA), Kauman, Tulungagung pimpinan Kiai Abdul Jalil Mustaqim. Di pesantren tersebut, Arif mondok selama dua minggu dan terlibat mengamalkan ajaran tharikah Syadziliyah. Pengalaman yang Arif dapatkan di tempat tersebut di antaranya; Arif mendapatkan informasi bahwa Kiai Abdul Jalil Mustaqim, sang mursyid tharikah Syadziliyah sebenarnya tidak hanya menempuh satu aliran tharikah saja, akan tetapi dia menempuh tujuh tharikah. Beberapa tharikah yang ditempuh Kiai Abdul Jalil Mustaqim antara lain; tharikah Syadiliyah, Sathariyah, Qadiriyah, Naqsyabandiyah dan lainnya.
Di dalam kelompok alirah tharikah Tijaniyah, sebuah organisasi tharikah yang dinisbatkan kepada Syaikh Abu al-Abbas Ahmad al-Tijani, Arif memiliki pengalaman dengan Kiai Hadin Mahdi, seorang mursyid tharikah Tijaniyah yang berada di Tulungsari, Garum, Blitar. Ketika ada acara-acara Haul Syaikh Abu al-Abbas Ahmad al-Tijani di Tulungsari, Garum, Blitar, Arif sering diundang dalam acara tersebut. Begitu juga, keterlibatan Arif dalam tharikah Qadiriyah, sebuah tharikah yang dinisbatkan kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, dia lalui bersama Kiai Irfan Mashadi Sekardangan, Kanigoro, Blitar. Kiai Irfan Mashadi merupakan penganut tharikah Qadiriyah murid dari Kiai Ahmad Asrori Ustman, pengasuh Pondok Pesantren al-Fitrah, Kedinding, Surabaya. Dari berbagai keterlibatan dengan kelompok tharikah di atas, Arif banyak menemukan beberapa penganut tharikah belum bisa bersikap toleran dengan kelompok tharikah lainnya.  Menurut Arif, nilai-nilai pelatihan LVE yang dia dapatkan apabila ditularkan kepada para penganut kelompok tharikah di atas kemungkinan besar akan bisa merangkai berbagai perilaku yang tidak toleran dari berbagai kelompok tharikah satu terhadap yang lainnya, sehingga menjadi lebih toleran.
Sementara dalam merajut kebebasan beragama dan berkeyakinan dengan kelompok spiritualis juga Arif lakukan. Di dalam hal tersebut antara lain, Arif pernah bergabung dengan Master Aquandro Lutfi, seorang pelatih Reiki Usui yang telah mendirikan Indonesian Holistic Healing Center (IHHC) dan sering melatih reiki Usui di Bali. Arif juga pernah bersinggungan dengan pelatih Reiki Tummo bersama Master Agung Budi Samana Blitar. Ada banyak pengetahuan yang Arif dapatkan ketika bertemu dengan spiritualis-spiritualis di atas, hingga dia juga membaca buku-buku tentang reiki yang disusun oleh Anand Khrishna, sang master reiki di Indonesia. Begitu juga, Arif juga banyak membaca buku-buku reiki yang disusun oleh Firmansah Efenddy, M.Sc., seorang master Reiki Kundalini yang pernah kuliah di Amerika Serikat.
Berdasarkan beberapa pengalaman Arif dalam berinteraksi dengan berbagai kelompok agama, keyakinan, tharikah dan komunitas spiritualis di atas, membuat dia lebih bisa bersikap toleran kepada kelompok-kelompok tersebut. Lebih-lebih setelah Arif mengikuti pelatihan LVE yang diadakan di MI Miftahul Huda Papungan 01, Kanigoro, Blitar sebagaimana yang pernah diceritakan di atas, dia merasa bahwa pelatihan-pelatihan LVE seyogiyanya terus dilakukan dan dikembangkan tidak hanya di kampus saja, tetapi pelatihan tersebut hendaknya merambah ke pelosok-pelosok desa seluruh tanah air. Nilai-nilai yang ada di dalam pelatihan LVE, terutama nilai toleransi, cinta damai harus terus diperjuangkan dan ditebarkan ke segala penjuru.
Di sisi lain, pengalaman merajut kebebasan beragama dan berkeyakinan juga Arif dapatkan bersama jaringan Gus Durian ketika mengadakan diskusi lintas iman di Maha Vihara Mojopahit, Trowulan, Mojokerto bersama Mawan Mahyuddin, direktur The Post Institute Blitar. Begitu pula, Arif pun pernah menjadi penulis notulen dalam acara diskusi lintas iman yang diadakan oleh jaringan Gus Durian di Vihara Samaggi Jaya Kota Blitar. Dalam diskusi lintas iman yang diadakan di Vihara Samaggi Jaya Blitar, para peserta berasal dari berbagai agama, bahkan ada yang berasal dari aliran kepercayaan adat Bali. Semua peserta mengapresiasi kegiatan semacam itu. Wakil dari aliran kepercayaan adat Bali tersebut memberikan saran agar kegiatan lintas iman tersebut hendaknya tidak berhenti dalam wacana belaka, tetapi hendaknya diwujudkan secara nyata misalnya dengan mengadakan kerja bhakti di tempat ibadah semua agama secara bergantian. Sementara wakil dari agama Buddha mengusulkan bahwa seyogianya kegiatan ini ditulis hingga menjadi sebuah buku yang kemungkinan akan menginspirasi para generasi berikutnya.
Sementara pengalaman Arif terkait penegakan HAM diperoleh ketika berinteraksi dengan korban peristiwa G30S di Blitar Selatan, terutama di desa Pasiraman, Lorejo, Ngrejo, dan Tambakrejo. Pada saat itu The Post Institute (TPI) Blitar mendapatkan program pelanggaran HAM berat bermitra dengan Indonesia untuk Kemanusiaan (IKA) Jakarta dibawah The Asia Foundation melalui PNPM Peduli dibawah pengawasan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan dan Arif ditunjuk oleh direktur TPI sebagai manager program. Namun karena dia masih sibuk mengadakan penelitian tugas akhir doktoralnya di Universitas Muhammadiyah Malang, maka posisi manager program tersebut dia serahkan kepada koleganya di TPI yang bernama Denny Syahputra. Memang mengenai hal di atas, masih ada beberapa pandangan berbeda apakah layak eks-tapol dan napol PKI dianggap sebagai “korban” pelanggaran HAM berat. Namun dalam hal ini, Arif lebih memilih pendapat Komnas HAM yang menyatakan bahwa mereka tergolong korban pelanggaran HAM berat.
Pada dua bulan awal pelaksanaan program PNPM Peduli tersebut di atas, Arif beberapa kali berinteraksi dan berdiskusi dengan eks-tapol dan napol PKI di Blitar Selatan di empat desa di atas serta mengadakan beberapa kali pertemuan di Kantor The Post Institute Blitar dengan mereka. Melalui interaksi tersebut Arif sulit membayangkan bagaimana guru-guru di MI, MTs, MA bahkan di PT mengatakan bahwa PKI semuanya jahat dan anti Tuhan. Sebab apa yang Arif temui ketika berinteraksi dengan para eks tapol dan napol PKI di Blitar Selatan tersebut berbeda jauh dengan yang dikatakan para gurunya selama sekolah dan bahkan sewaktu kuliah. Apa yang dikatakan para guru bahwa para PKI adalah “anti Tuhan” tidak terbukti. Bahkan seorang eks-tapol PKI yang bernama Bapak Suyatman merupakan orang yang tekun beribadah dan menjadi takmir di sebuah masjid di desa tersebut. Beliau sering menjadi imam dalam membaca Kitab Ambiyo, sebuah kitab yang berisi kisah para nabi dengan lagu tembang macapat. Kebanyakan mereka juga beragama Islam dan melaksanakan shalat lima waktu sebagaimana umat Islam yang lain. Dan masih banyak lagi orang-orang yang terlibat PKI tersebut ternyata rajin beribadah seperti Ibu Patmuinah putra Kiai Abdurrahman Kedungcangkring, Pakisrejo, Srengat, Blitar.
Berdasarkan hal di atas, tentu saja stigma negatif yang dilekatkan masyarakat bahwa mereka “anti Tuhan” harus digali lagi secara mendalam. Artinya apakah mereka benar-benar anti Tuhan ataukah hanya menjadi korban elite politik pada masa lalu, tentu harus terus digali. Menurut Arif, pengalaman kelam masa lampau seperti peristiwa 65 hendaknya dijadikan pelajaran bagi anak bangsa agar hal tersebut tidak terulang kembali. Dengan demikian, kehadiran LVE untuk memberikan pelatihan-pelatihan sangat dibutuhkan. Melalui LVE, seseorang akan mendapatkan pembelajaran bicara dari hati ke hati, bukan berdasarkan kepentingan belaka. Dengan demikian, Arif sangat yakin bila pelatihan LVE tersebut dikembangkan ke berbagai penjuru akan bangsa ini lebih berperikemanusian, dan tidak akan mudah terprovokasi dengan hal-hal yang negatif. Para generasi bangsa akan lebih memiliki kesadaran mendalam akan nilai-nilai kemanusiaan yang harus dijaga bersama, bukan malah dihancurkan.
Berdasarkan pengalaman berinteraksi dengan berbagai kultur di atas, Arif merasakan bahwa berwarna-warni itu indah, dan pelangi itu indah karena mempunyai warna-warni yang seimbang. Dengan demikian, pandangan yang seimbang atas warna-warni kehidupan akan menjadikan dunia ini seimbang pula. Arif mengharapkan harmonisasi semua warna-warni kehidupan di muka bumi ini selalu terwujud di setiap saat. Dia berharap pula, pelatihan-pelatihan LVE, akan menjadi penyeimbang berbagai warna-warni kehidupan manusia di bumi ini.