Kamis, 24 Juli 2014

MUHAMMAD NAUFAL AZ-ZAMZAMI MENJELANG IDUL FITRI 2014

Oleh: Arif Muzayin Shofwan
Pada hari Rabo, 23 Juli 2014 Muhammad Naufal Az-Zamzami kumpul bersama saudara-saudara di Mbah Uti (Siti Rofi'ah) Sekardangan. Hal itu sempat diabadikan oleh Muttaqin Malang melalui foto-foto yang ia berikan kepadaku:

MUHAMMAD NAUFAL AZ-ZAMZAMI KUMPUL KELUARGA

Oleh: Arif Muzayin Shofwan
Muhammad Naufal Az-Zamzami kumpul di rumah Mbah Uti (Siti Rofi'ah) bersama misanan-misanan. Foto ini diambil oleh Muttaqin Malang pada hari Rabo, 23 Juli 2014, yakni menjelang hari raya Idul Fitri 2014:

MUHAMMAD NAUFAL AZ-ZAMZAMI 2014

Oleh: Arif Muzayin Shofwan
Ini adalah foto-foto Muhammad Naufal Az-Zamzami yang diambil oleh Muttaqin Malang pada hari Rabo, 23 Juli 2014 dirumah Mbah Uti (Siti Rofi'ah) saat kumpul keluarga menjelang Idul Fitri tahun 2014:

Kamis, 17 Juli 2014

PETILASAN NYAI AGENG SEKARDANGAN



Oleh: Mbah Ageng Sekardangan
Petilasan Nyai Ageng Sekardangan atau yang kadang disebut petilasan Nyai Gadung Melati/Nyai Dewi Sekartaji merupakan sebuah “monumen” yang dibangun warga dusun Sekardangan untuk mengenang jasa para cikal bakal di dusun Sekardangan. Diceritakan bahwa pada zaman dulu, ditempat inilah Nyai Ageng Sekardangan mendirikan rumah kediaman yang menjadi awal mula berdirinya dusun Sekardangan. Menurut para sesepuh, ada beberapa orang yang mula-mula membabat dusun Sekardangan ini, diantaranya: 1. Nyai Ageng Gadung Melati, merupakan tokoh yang paling banyak membabat dusun didaerah Blitar, antara lain: di Sekardangan, Selokajang, Kademangan, Maliran, Genjong, Bendelonje, Kanigoro dan lain-lain. Beliau belum diketahui dimana makamnya berada. Menurut sebagian sesepuh, makam suaminya berada di desa Sumberagung, Talun. 2. Kyai Ageng Raden Tirto Sentono, makam beliau berada di tengah-tengah makam umum dusun Sekardangan, sedangkan makam istri beliau berada di makam umum dusun Gaprang. Sebab saat itu, dusun Sekardangan belum mempunyai makam sendiri. 3. Kyai Ageng Abu Yamin, makam beliau berada di dusun Gaprang. Menurut para sesepuh, beliau merupakan kyai (ulama) pertama di dusun Sekardangan. 4. Kyai Ageng Hasan Muhtar, makam beliau berada di dusun Gaprang. 5. Kyai Ageng Barnawi, makam beliau berada di makam umum dusun Sekardangan. Beliau merupakan menantu dari Kyai Ageng Abu Yamin. Beliau merupakan ulama (kyai) pertama yang telah membangun sebuah mushalla/langgar di dusun Sekardangan. Hingga kini, mushalla tersebut sudah tidak ada lagi bekasnya. 6. Kyai Ageng Abu Bakar, merupakan ulama yang mendirikan mushalla kedua di dusun Sekardangan. Mushalla/langgar yang beliau dirikan, hingga kini masih ada. Tepat di tembok sebelah Barat pengimaman mushalla/langgar yang beliau dirikan, masih terlihat logo kraton Mataraman. 
Mushalla/Langgar Kyai Ageng Abu Bakar Sekardangan
 Petilasan Nyai Ageng Sekardangan


Monumen atau Petilasan Nyai Ageng Sekardangan dibangun sebagai “Simbol Kerukunan” antara sesama warga dusun Sekardangan. Dalam falsafah Jawa telah disebutkan bahwa: “Rukun Agawe Santosa, Crah Agawe Bubrah” yang artinya kerukunan akan menjadikan warga hidup sentaosa. Sedangkan pertengkaran akan menjadikan warga hidup dalam perpecahan. Dengan demikian, warga dusun Sekardangan yang berbeda-beda cara pandang kepercayaan atau keyakinan akan dapat hidup rukun dan damai tanpa pandang bulu. Monumen atau Petilasan ini memang sudah ada sejak dulu. Kemudian sekitar tahun 2000, monumen atau petilasan ini dibangun oleh warga dusun Sekardangan. Ketika ada acara “Bersih Dusun”, petilasan ini digunakan warga Sekardangan untuk kirim do’a kepada para leluhur yang telah berjasa membabat dusun Sekardangan. Biasanya, ada beberapa acara “Bersih Dusun” yang diadakan di dusun Sekardangan, diantaranya:
1.      Tahlilan: kirim do’a yang dipimpin oleh kyai/ulama bagi para pendahulu yang cikal bakal dusun Sekardangan, dan biasanya diadakan di rumah Kamituwo, mungkin bisa juga dilaksanakan di mushalla atau masjid.
2.      Nyekar dan Tahlil Singkat: yang diadakan di “Petilasan Nyai Ageng Sekardangan” ini. Nyekar berarti: membawa bunga, dupa wangi, air dan semacamnya sebagai media ritual. Bunga adalah lambang  ketidakkekalan, sekarang kita petik, esok pagi sudah layu, tidak ada yang kekal di dunia ini. Dupa wangi adalah lambang agar ucapan, pikiran, perbuatan kita bisa semerbak wangi menebar ke segala arah seperti bau dupa yang dibakar tersebut. Air adalah lambang bahwa kehidupan ini berasal dari air.
3.      Seni Jaranan dan Seni Wayang Kulit: dua hal ini biasanya tergantung dengan anggaran. Seni Jaranan & Wayang Kulit ini adalah kesenian yang dipakai oleh Sunan Kalijogo dan Sunan Tembayat dalam syiar agama.
4.      Seni Hiburan Orkes: ini merupakan hiburan kesenian moderen bagi kaum muda-mudi yang ingin merayakan “Bersih Dusun” di Sekardangan. Ini juga tergantung anggaran.
5.      Dan lain-lain.
Dari berbagai kegiatan yang ada ini, menjadi simbol bahwa warga dusun Sekardangan telah memasukkan berbagai aspek budaya dalam “Ritual Bersih Dusun”. Tentu hal ini tidak hanya berhenti dalam ritual saja. Demikian seputar keterangan yang singkat ini. Wallahua’lam.
Warga Sekardangan Memahami dan Menghormati Segala Keragaman Budaya, Agama, dan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
Seni Jaranan Senterewe (Acara Bersih Dusun Sekardangan)


Kamis, 03 Juli 2014

SEJARAH KYAI AGENG TUNGGUL WULUNG HINGGA KYAI AGENG PONCO SUWIRYO MBREBESMILI SANTREN BEDALI SRENGAT BLITAR



Oleh: Arif Muzayin Shofwan
Kyai Ageng Tunggul Wulung
Kota Pacitan terletak 524 km sebelah timur dari ibukota Jakarta dan 209 arah barat daya dari kota Surabaya, Jawa Timur, Indonesia. Kabupaten yang terkenal dengan Gunung Limo ini mempunyai tradisi yang unik. Karena menganut penanggalan Jawa, yaitu tepat pada 1 Syuro. Seperti daerah Jawa lainnya, untuk memperingati bulan baru Hijriyah diadakan beberapa kegiatan. Beberapa diantaranya adalah pengajian, melekan, tirakatan, perajahan, larung sesaji dan napak tilas sejarah. Sedangkan di Gunung Limo bemerapa orang melakukan teteki atau bertapa di bulan itu, selanjutnya para pertapa tersebut disambut oleh masyarakat dalam bentuk perayaan “TETAKEN” yang diadakan setiap tanggal 15 bulan Syuro.
Tetaken berasal dari kata “tetekian”, “teteki” mendapat imbuhan “an” (tetekian) yang berarti pertapa-an, bermakna tempat pertapaan. Karena karakter bahasa setempat untuk mempermudah penyebutan maka kata “tetekian” berubah pengucapannya menjadi “tetaken” tanpa mengurangi makna sesungguhnya. Tradisi tersebut diadakan untuk mengingat kembali proses datangnya Kyai Ageng Tunggul Wulung dan Mbah Brayut (Sunan Bayat) ke Gunung Limo dan menetap di lereng Gunung Limo.
Digambarkan dalam ritual ini, sang juru kunci Gunung Lima turun gunung. Bersama para cantriknya yang sekaligus murid-muridnya.­ Mereka baru selesai menjalani tapa di puncak gunung dan akan kembali ke tengah masyarakat. Bersamaan turunnya para pertapa dari puncak gunung, iring-iringan besar warga muncul menyambut para pertapa memasuki areal upacara. Masyarakat mengenakan pakaian adat Jawa. Barisan paling depan adalah pembawa panji dan pusaka Tunggul Wulung (Panji Tunggul Wulung, Keris Hanacaraka, Tombak Kyai Slamet, dan Kotang Ontokusumo/­Jubah Hitam pertapa).
Kyai Ageng Tunggul Wulung adalah orang pertama yang melakukan babat alas (hutan) di lereng Gunung Limo kemudian menjadi Desa Mantren. Beliau juga diyakini sebagai orang yang melakukan penyebaran agama Islam di Tanah Jawa yang sebelumnya lebih banyak menganut agama Hindu dan Budha. Kedatangannya di lereng Gunung Limo diiringi seorang asisten yang bernama Mbah Brayut (Sunan Bayat) yang akhirnya menjadi cikal bakal dan menetap di Sidomulyo.
Sejarah Kyai Ageng Tunggul Wulung bermula dari kedatangan prajurit “Soreng” seiring Kasultanan Demak Bintoro yang berdiri di abad 15 M. Seorang prajurit “Soreng Pati” sebutan prajurit kerajaan Demak Bintoro (berasal dari kata “sura ing pati” yang berarti rela berkorban/­mengabdi sampai mati) berpangkat “Mantri Tamtama”, yang kemudian lazim disebut Kyai Ageng Tunggul Wulung generasi pertama, bagi masyarakat Pacitan mungkin bukan sekedar figur sejarah semata. Hal ini terutama terjadi di kalangan masyarakat lereng Gunung Limo yang meyakini bahwa Kyai Ageng Tunggul Wulung penguasa pertama Gunung Limo, sekaligus pelopor penyebaran agama Islam di Desa Mantren dan sekitarnya. Sedangkan nama Desa Matren berasal dari kata “mantri” yang berati penguasa yang memiliki kebijakan. Berdasar urutan pangkat dari atas: (1) Raja/Sultan; (2) Adipati/­Bupati; (3) Demang/Camat; (4) Mantri/Lurah; (5) Punggawa/­Pegawai kerajaan atau pangkat dalam kerajaan; (6) Tamtama/­prajurit; (7) Soreng Pati prajurit khusus berani mati. Hal ini menunjukkan bahwa Kyai Ageng Tunggul Tunggul Wulung adalah penguasa daerah tersebut.
Kyai Ageng Tunggul Wulung, tidak lain adalah salah seorang prajurit yang mendapat perintah Raden Patah (Raja Kasultanan Demak Bintoro) menjaga pusaka bendera panji hitam yang disebut panji “Kyai Tunggul Wulung” untuk dikibarkan di puncak-puncak gunung di tanah Jawa sebagai tanda syiar Islam secara turun-temurun. Karena mendapat tugas untuk menjaga panji Tunggul Wulung, soreng pati yang berpangkat mantri tamtama tersebut diberi gelar Kyai Ageng Tunggul Wulung sesuai dengan nama pusaka yang dijaganya. Hal serupa juga terjadi pada pengangkatan Kyai Jayaniman pada masa Diponegoro sebagai Bupati Pacitan yang bergelar “Kanjeng Jimat” setelah mengabdikan diri sebagai juru pusaka di gedong Jimatan (1812-1826).
Ketenaran nama Kyai Ageng Tunggul Wulung sebagai simbol syiar Islam tidak hanya di Gunung Limo. Di Kadipaten Wengke­r (sekarang bernama Ponorogo) pada era Demak, Raden Katong (Betara Katong) yang bernama asli Lembu Kanigoro putra raja Majapahit Brawijaya V dari ibu yang berasal dari Bagelen, selaku adipati beliau memiliki pusaka tombak pengibar panji kejayaan yang bernama “Tunggul Wulung”. Tombak Tunggul Wulung milik Betara Katong tersebut sebagai pusaka simbol peradaban Islam di Ponorogo. Sampai saat ini tombak Tunggul Wulung bersama dengan pusaka Payung Tunggul Naga dan ikat pinggang Cinde Puspito masih rutin setiap tahun diarak dalam tradisi kirab “Napak Tilas” pada 1 Syuro dari komplek makam Betara Katong menuju pusat kota.
Sejarah Kyai Ageng Tunggul Wulung ini berawal dari senjakala Majapahit yang ditandai mulai redupnya pengaruh kekuasaan Raja Brawijaya V, saat kakak tertuanya Raden Jaka Purba yang berganti nama sebagai Raden Fatah, mendirikan Kasultanan Demak Bintoro. Lembu Kanigoro mengikuti jejaknya, untuk berguru di bawah bimbingan Wali Songo di Demak. Dengan tujuan memperluas kekuasaan dan syiar Islam, Raja Demak mengirimkan santri-santri sekaligus mantri tamtama pilihan menuju Wengker. Salah satu yang terbaik adalah Raden Katong lalu kemudian memilih tempat yang memenuhi syarat untuk pemukiman, yaitu di Dusun Plampitan, Kelurahan Setono, Kecamatan Jenangan (Purwowijoyo. Babad Ponorogo Jilid I. Ponorogo : CV. Nirbita, 1978: 22).
Pada tahun 1486 M, hutan dibabat atas perintah Batara Katong, tentu bukannya tanpa rintangan. Banyak gangguan dari berbagai pihak-pihak yang tidak berkenan dengan kedatangan Batara Kathong di Bumi Wengker, termasuk makhluk halus yang datang. Namun, karena bantuan warok dan para prajurit Wengker, akhirnya pekerjaan membabat hutan itu lancar. Para punggawa dan anak cucu Batara Katong inilah yang kemudian mendirikan pesantren-pesan­tren sebagai pusat pengembangan agama Islam. Beliau kemudian dikenal sebagai Adipati Sri Batara Katong (gelar yang diberikan oleh Sunan Kalijaga) yang membawa kejayaan bagi Ponorogo pada saat itu. Hal ini ditandai dengan adanya prasasti berupa sepasang batu gilang yang terdapat di depan gapura kelima di kompleks makam Batara Katong di mana pada batu gilang tersebut tertulis candrasengkala memet berupa gambar manusia, pohon, burung ( Garuda ) dan gajah yang melambangkan angka 1418 saka atau tahun 1496 M (Purwowijoyo. Babad Ponorogo Jilid I, 49-50).
Batu gilang itu berfungsi sebagai prasasti "Penobatan" yang dianggap suci. Atas dasar bukti peninggalan benda-benda purbakala tersebut dapat ditemukan hari wisuda Batara Katong sebagai Adipati Kadipaten Ponorogo, yakni pada hari Ahad Pon Tanggal 1 Bulan Besar, Tahun 1418 saka bertepatan dengan Tanggal 11 Agustus 1496 M atau 1 Dzulhijjah 901 H (Prasasti Batu di Komplek Makam Batara Katong).
Pada masa Demak daerah Wengker Kidul sudah banyak dijelajahi oleh para mubaligh. Beberapa diantaranya:
1.      Ki Ageng Jaiman (sekitar Arjosari). Seorang murid Sunan Kalijaga jang pandai membuat terbang/rebana dan bedug. Memiliki peninggalan pusaka “tatah panjang” yang masih tersimpan di Desa Gembuk (rumah Bapak Imam).
2.      Ki Ageng Klomoh di Desa Gembuk. Adalah utusan Raden Patah untuk bahan tali ijuk di sekitar Gunung Limo untuk pembangunan masjid Demak di tahun 1477 M.
3.      Syeih Maulana Maghribi seorang ulama dari tanah Maghrib (Maroko) untuk mengajar agama Islam, menetap di Dusun Duduhan (Desa Mentoro) bersamaan babat alas Wengker tahun 1486 M.
4.      Sunan Siti Geseng/R. Jaka Deleg/Ki Ageng Petung bersamaan babat alas Wengker tahun 1486 M.
5.      Ki Ageng Posong/Ki Ageng Ampok Boyo setelah penobatan Adipati Betara Katong tahun 1496 M.
6.      Ki Ageng Menak Sopal/R. Juwono/Mantri Tamtama/­Seorang Soreng Pati/Eyang Tunggul Wulung di Lereng Gunung Limo.
7.      Kyai Brayut/Sunan Bayat/Pangeran Mangkubumi, Susuhunan Tembayat, Sunan Pandanaran (II), atau Wahyu Widayat, Syaikh Ihsan Nawawi cucu Sunan Ampel Surabaya.
Syeih Maulana Maghribi memiliki peran terhadap sejarah babad di Pacitan sebagai mubaligh Islam pertama kali yang dikirim oleh Raden Patah (Kadipaten Demak Bintoro) ke tanah Wengker Kidul untuk menidik ilmu tauhid. Kedatangan beliau dikawal oleh Ki Ageng Petung (Raden Jaka Deleg /Kyai Geseng). Dalam versi lain Kyai Geseng memiliki sebutan Sunan Siti Geseng murid Sunan Kalijaga (Raden Mas Sahid). Hal ini diperkuat dengan adanya jubah Sunan Siti Geseng yang masih disimpan di Masjid Nurul Huda Desa Tanjungpuro, Kecamatan Ngadirojo, Pacitan lengkap dengan seperangkat alat pertukangan yang digunakan membangun masjid. Benda sejarah yang tersimpan di dalam kotak masih ada sampai sekarang dan diletakkan di atas cungkup masjid. Kedatangan Sunan Siti Geseng di Wengker Kidul ditandai dengan penanaman bambu petung, yang kemudian bergelar Ki Ageng Petung (sisa-sisa peninggalan berupa pusaka dan alat-alat pertukangan masih tersimpan di Desa Kembang dan Sirnoboyo Kecamatan Pacitan).
Dari arah utara Ki Ageng Petung memiliki tugas mengawal Syeih Maulana Maghribi di daerah duduh (daerah dakwah). Karena masa itu Syeih Maghribi dikenal dengan sebutan yang dakwah atau duduh dari Demak Bintoro, maka lidah Jawa menyebutnya “Duduhan Bintoro” sehingga sekarang bernama Dusun Duduhan di Desa Mentoro. Pada masa pemerintahan Kadipaten Ponorogo demi ekspansi kekuasaan Adipati Batara Katong mengutus Ki Ageng Posong (Ki Ageng Ampokboyo) ke Wengker Kidul. Ki Ageng Posong mendapat perintah berkoalisi dengan Ki Ageng Petung menakhlukkan Buwana Keling penguasa Wengker Kidul, sehingga terjadilah perselisihan di Wengker Kidul akibat niat mempersatukan wilayah Wengker Lor dan Wengker Kidul dibawah pemerintahan Batara Katong (+ 1496 M).
Negeri Buwana Keling terletak di (Jati Kec. Kebonagung) ± 7 km dari ibukota Pacitan. Buwana Keling seorang penguasa Wengker Kidul, masih beragama Budha Siwa berasal dari Pajajaran, menikahi putri Brawijaya V yang bernama Ni Toh Gati yang tidak lain adalah saudari tua Raden Patah maupun Raden Katong sendiri. Ajakan Betara Katong mempersatukan seluruh wilayah Wengker melalui utusannya tidak ditanggapi oleh Buwana Keling yang tak lain adalah iparnya sendiri karena strata penguasa Wengker Kidul lebih tua dari Betara Katong, hal ini menjadi pemicu peperangan sengit yang cukup panjang antara kedua belah pihak.
Dalam sebuah legenda Ki Ageng Posong bersama Ki Ageng Petung dibantu Ki Ageng Menak Sopal (kelak menjadi cikal bakal Kabupaten Trenggalek), mereka bertiga kewalahan menghadapi pertahanan Buwana Keling, sehingga ketiganya meminta saran kepada Syeh Maulana Maghribi agar dapat memenangkan peperangan. Setelah mengetahui rahasia kelemahan Buwono Keling atas saran Syeh Maulana Maghribi, ketiganya berhasil memenggal tubuh Buwono Keling menjadi tiga bagian dan memakamkannya di tiga tempat.
Sementara dari arah barat datang rombongan Sunan Bayat melakukan syiar Islam di daerah Kalak (Kecamatan Donorojo). Beliau dikenal dalam ragam sejarah lisan masyarakat setempat sebagai ulama yang telah menakhlukkan hati Raden Kalak memeluk agama Islam. Raden Kalak adalah anak Brawijaya V yang mengawini adiknya sendiri (anak Brawijaya V putri dari ibu yang berbeda). Huru hara Majapahit, menyebabkan ia bersama istrinya melarikan diri di sekitar hutan Donorojo (yang kemudian dikenal sebagai Desa Kalak). Atas nasehat Sunan Bayat serta merta Raden Kalak bersedia menceraikan istrinya dan menikahi salah seorang putri Sunan. Raden Kalak bergelar Kyai Cengkris, sedangkan janda yang tak lain adiknya sendiri dinikahkan dengan Kyai Sujendro pengikut setianya.
Sampai sekarang terdapat mitos dari pekuburan kedua tokoh tersebut tumbuh pohon pucang (jambe/pinang) yang memiliki keajaiban apabila potongan kayunya dibawa dapat kebal terhadap semua jenis senjata. Dari mitos tersebut terdapat kisah pada tahun 1965 saat pergolakan G30S/PKI, beberapa anggota tentara Siliwangi yang melakukan pemberantasan tokoh-tokoh PKI menyita beberapa potongan kayu tersebut kepada masyarakat. Cerita ini dibenarkan oleh masyarakat setempat. Kemahsyuran Raden Kalak ditandai dengan masih banyak pengunjung yang datang ziarah di Gua Kalak. Bahkan Presiden Suharto di tahun 1972 pernah ziarah di sana diikuti petinggi negara (Mbah Morejo:1980 melalui Juru Kunci Gua Kalak)
Usai menyampaikan syiar kepada Raden Kalak dan pengikutnya, Sunan Bayat melanjutkan perjalanan ke Timur sampai di Dusun Bleber (Kecamatan Kebonagung). Disana beliau dikenal dengan sebutan Mbah Brayat/Brayut sebagai tokoh yang babad alas di daerah Gayam dan Sidomulyo. Sebutan Brayat diambil dari bahasa Jawa “sak brayat” yaitu boyong dalam jumlah banyak pengikutnya, sedangkan Brayut dari kata “brayut” yang berarti membawa beban perbekalan yang banyak. Menurut legenda setempat Sunan Kalijaga menemui Sunan Geseng dan Mbah Brayut (Sunan Bayat) dalam rangka membuka lokasi nelayan, sempat melakukan sholat berjamaah di tepi pantai Kaliwuluh. Peninggalan mereka yang kemudian dikenal sebagai “Batu Pesalatan Kalijaga” masih ada sampai saat ini.
Pada masa peralihan Wengker Kidul dari Buwana Keling yang berkiblat pada Majapahit jatuh ke tangan utusan Demak dibawah koordinasi betara Katong tahun +1500 M, beberapa tokoh ulama dan tokoh masyarakat berkumpul di puncak Gunung Limo. Tokoh-tokoh tersebut adalah Kyai Jaiman (Arjosari), Ki Ageng Komoh (Gembuk), Syeh Maulana Maghribi (duduhan Bintaro), Ki Ageng Petung, Ki Ageng Posong, Ki Ageng Menak Sopal, Mbah Brayut, Mantri Tamtama beserta para soreng pati (pasukan Demak). Sebagai tanda masuknya Islam di bumi Wengker Kidul mereka memberi tanda berupa penancapan panji hitam di puncak Gunung Limo yang diberi nama Pusaka Kyai Tunggul Wulung.
Usai pertemuan tokoh-tokoh tersebut sebagian melanjutkan dakwah ke daerah lain dan sebagian tinggal di Wengker Kidul. Beberapa tokoh yang meninggalkan daerah Wengker Kidul antara lain:
1.      Ki Ageng Menak Sopal pergi ke daerah Trenggalek
2.      Sunan Geseng (Cakrajaya) ke daerah Jolosutro, Piyungan, Bantul Yogyakarta.
3.      Sunan Bayat/Mbah Brayut ke daerah Klaten (Jawa Tengah).
4.      Syeih Maulana Maghribi ke Kasultanan dikawal sebagian prajurit Soreng Demak Bintoro
Pusaka panji hitam Tunggul Wulung atas perintah Raden Patah dijaga oleh seorang prajurit soreng pati berpangkat Mantri Tamtama yang kemudian disebut Eyang Mantren tokoh cikal bakal Desa Mantren. Tunggul Wulung adalah simbol kegemilangan Islam di Wengker Kidul, dijaga turun temurun oleh keturunan para soreng sekaligus ulama, sehingga dari generasi ke generasi silih berganti para penjaga Gunung Limo tersebut dipercaya sebagai keturunan Kyai Ageng Tunggul Wulung. Beberapa peninggalan Kyai Ageng Tunggul Wulung di Dusun Juwono Desa Mantren yang masih ada antara lain masjid, keris bethok, kotang ontokusumo, pusaka cakra munasatru dan petilasan pertapaan Gunung Limo, termasuk tradisi masyarakat yang disebut upaca adat TETAKEN.
Sementara itu Mbah Brayut (Sunan Bayat) memiliki peninggalan berupa cungkup yang mirip makam, namun bukan jasad yang dikuburkan melainkan perabot dan alat-alat pertukangan miliknya yang telah usang. Maksud dikuburkan benda-benda tersebut untuk menghindari syirik dan pengkultusan, Mbah Brayut kembali ke daerah barat setelah menyelesaikan tugasnya babad alas dan mendidik warganya (wawancara Kyai Fathkhurrozi. Pimpinan Ponpes Bleber). Di era Mataram di abad XVII yang dipimpin oleh Sultan Agung panji hitam Tunggul Wulung digunakan sebagai simbol kekuasaan Kasultanan Islam Mataram. Kyai (Pusaka) Tunggul Wulung diikatkan pada sebatang Tombak Slamet dengan ukuran 4 X 2 meter. Sampai saai ini masih tersimpan dalam gedong pusaka keraton Yogyakarta.
Sultan Agung Hanyokrokusumo raja Mataram termasyur alias Raden Mas Rangsang alias Raden Jatmika (memerintah 1613-1646). Beliau raja terbesar dari Mataram, menggantikan ayahandanya, Panembahan Seda (ing) Krapyak, setelah ayahandanya ini wafat pada tahun 1613. Versi lain mengatakan naik tahta pada tahun 1613 dalam usia 20 tahun menggantikan kakaknya Adipati Martapura, yang hanya menjadi Sultan Mataram selama satu hari. Sebenarnya secara teknis Raden Mas Rangsang adalah Sultan ke-empat Kasultanan Mataram, namun secara umum dianggap sebagai Sultan ke-tiga karena kakaknya yang menderita tuna grahita diangkat hanya sebagai pemenuhan janji ayahnya, Panembahan Hanyokrowati kepada istrinya, Ratu Tulung Ayu.
Sultan Agung memiliki banyak peninggalan pusaka yang disimpan di gedong pusaka, salah satu pusaka yang terkenal keampuhannya adalah Kyai Tunggul Wulung. Berwujud bendera hitam dengan ukuran 2 meter x 4 meter. Merupakan Hadiah dari seorang mufti Masjidil Haram Makkah Almukaromah, berasal dari kiswah (kain penutup Kakbah). Di tengah-tengah bendera terdapat tulisan Al-Qur’an Surat Al Kautsar, Asma’ul Husna, dan Syahadat. Menurut perkiraan umur Panji Hitam Tunggul Wulung lebih tua dari keraton Yogyakarta yang didirikan pada tahun tahun 1755M. Hadirnya Kyai Tunggul Wulung ini atas jasa Sultan Agung sebelum Hamengku Buwono I, artinya sudah ada sebelum keraton Yogyakarta berdiri. Dan Mataram masih berada di Kotagede.
Dalam sejarah, Sultan Agung mempunyai wilayah kekuasaan yang sangat luas, antara lain meliputi seluruh wilayah pantai utara yang membentang dari Karawang, di sebelah barat sampai Pasuruhan di sebelah timur. Ditambah dengan Mancanegara meliputi Priangan Timur, Banyumas, Pacitan, Madiun, Jipan (sebalah barat daya Surabaya), Jipang (sebelah tenggara Rembang), dan Grobogan. Pada masa pemerintahan Sultan Agung, Pacitan dikenal sebagai wilayah pandean dan pendadaran prajurit Tunggul Wulung. Disinilah pasokan senjata borongan prajurit seperti tumbak, keris, pedang, perisai baja diproduksi. Saat penyerangan Batavia, Tuban, Surabaya, Madura, Wirasaba, Malang sampai Banyuwangi, Begenen Pacitan memproduksi lebih dari 500 juta suku cadang senjata (majalah Soeratan edisi VI Maret 2013 hal 16).
Selain senjata, di Pacitan terdapat lokasi pendadaran (pelatihan kanuragan dan kebatinan) yang berpusat di Gunung Limo. Pendadaran prajurit kemudian lazim disebut sebagai “wisudan Tunggul Wulung” (wisuda yang dilakukan oleh Kyai Ageng Tunggul Wulung). Prajurit Mataram melakukan pendadaran olah kanuragan dan kebatinan kepada pemuda-pemuda di desa-desa dengan tujuan memperkuat pertahanan kerajaan apabila sewaktu-waktu ada peperangan. Pembekalan yang dilakukan oleh prajurit Mataram dibawah Panji Tunggul Wulung tidak hanya olah fisik saja kepada generasi muda, melainkan mengajarkan ilmu kasepuhan kepada masyarakat. Memantabkan ajaran Islam secara esketik dikombinasi dengan penanaman prinsip-prinsip­ pengabdian kepada negara. Mendekatkan hubungan kerajaan dengan masyarakat sekaligus mempereratnya. Kegiatan penanaman mental bela negara, olah kaprajuritan, kepatuhan kepada raja dan kerajaan, nilai nilai moral, spiritual lahir dan bathin oleh prajurit Mataram Tunggul Wulung ini di kemudian hari menjadi sebuah tradisi dari generasi ke generasi yang disebut dengan “TETAKEN”.
Pada tahun 1825-1830, ketika Perang Sabil berkobar sampai di tlatah Pacitan, Diponegoro memakai jubah putih dan berpakaian wulung, turut serta dalam pasukannya mengibarkan “Panji Hitam Tunggul Wulung” dipimpin Kyai Yahudo Lorok (Ngadirojo Pacitan). Keturunan Kyai Yahudo bernama Kyai Hasan Besari di Tegalsari Ponorogo (Guru Muhammad Burham/­R.Ngabehi Ronggowarsito/­Abdul Manan Kyai Tremas).(wawanc­ara KH. Fuad Dimyathi). Ucapan Pangeran Diponegoro kepada Jendral De Kock pada saat penangkapannya.­ “Namaningsun Kangjeng Sultan Ngabdulkamid. Wong Islam kang padha mukir arsa ingsun tata. Jumeneng ingsun Ratu Islam Tanah Jawi” (Nama saya adalah Kanjeng Sultan Ngabdulkhamid, yang bertugas untuk menata orang Islam yang tidak setia, sebab saya adalah Ratu Islam Tanah Jawa). (P. Swantoro, Dari Buku ke Buku, Sambung Menyambung Menjadi Satu, 2002).
Dalam konteks inilah, sejarah syiar Islam sebagai sebuah ajaran, kemudian bersilang simpang siur dengan kekuasaan politik dan nasionalisme. Penyebaran agama Islam, membawa dampak secara langsung terhadap perluasan pengaruh, berarti juga kekuasaan dan perjuangan. Di masa peralihan Islam Raden Patah telah menjadi figur yang diidealkan, penguasa sekaligus ulama. Bagi kalangan tokoh-tokoh muslim tradisional di daerah Wengker, Raden Patah melalui saudaranya Batara Katong sebagai peletak dasar kekuasaan politik di Wengker (Ponorogo), dan lebih dari itu dalam ekspansi kekuasaan pengaruh politiknya sampai di Wengker Kidul (Pacitan).
Senjakala Majapahit menguatkan tekad Raden Patah menyatukan saudara-saudara­nya yang merupakan keturunan langsung dari ayahanda Brawijaya V di Wengker Kidul dibawah panji kebesaran Kasultanan Demak yang bercorak Islam, ragam peristiwa terekam dalam ragam sejarah lisan, cerita dan legenda masyarakat Pacitan. Kegemilangan peradaban Islam di Wengker Kidul ditandai dengan berkibarnya Panji Hitam Tunggul Wulung di puncak Gunung Limo. Berlanjut pada peristiwa pendadaran Prajurit Mataram di bawah Panji Tunggul Wulung sebagai wujud nasionalisme, pertahanan dan perlawanan masyarakat pada masa Sultan Agung, Gunung Limo telah menjadi simbol kebesaran masyarakat Pacitan. Fenomena Panji Hitam Tunggul Wulung di tangan Kyai Yahudo berkibar mengiringi Pangeran Diponegoro dalam perang Sabil melawan penjajah Belanda, memberikan isyarat bahwa Tunggul Wulung adalah SEJARAH.
Posisi itulah yang menjadi menarik untuk dilacak lebih jauh, terutama dalam kaitan membaca wilayah alam bawah sadar yang menggerakkan kultur Islami masyarakat, khususnya elit-elitnya (tokoh besar nasional, ulama, kyai dan para sesepuh) yang terlahir di Pacitan. Hal inilah yang kemudian membuat penulis tertarik untuk membahasnya dalam bentuk karya tulis dengan judul “Tunggul Wulung Sebagai Simbol Masuk dan Berkembangnya Islam di Gunung Limo Pacitan Abad 15 - 19 (Tinjauan Historis)”.[1]
Kyai Ageng Ponco Suwiryo
Tersebutlah seorang kyai yang waskita dan ahli kebatinan yang dimakamkan di komplek “Makam Auliya’ Mbrebesmili Santren” Bedali Purwokerto- Srengat- Blitar- Jawa Timur. Ia bernama Kyai Ageng Ponco Suwiryo atau yang juga disebut Kyai Ageng Suwiryo Hadi Kesumo atau disebut pula Sayyid Bukhori Mukmin. Berikut silsilah beliau hingga bertautan dengan Kyai Ageng Tunggul Wulung:
1.      Kyai Jamas Mashuri (Kyai Tunggul Wulung/ Ki Ageng Kebo Dhungkul) beristrikan Roro Ayu Surti Kanti, mempunyai dua putra, yaitu: 1. Kyai Nurhidayatullah 2. Nyai Ageng Genter Nur Aini.
2.      Kyai Nurhidayatullah, mempunyai putra yang bernama Kyai Sumo Nurhidayatullah.
3.      Kyai Sumo Nurhidayatullah, mempunyai tiga putra yaitu: 1. Kyai Sambi Nurhidayatullah 2. Kyai Mujang Nurhidayatullah 3. Kyai Puspo Nurhidayatullah.
4.      Kyai Puspo Nurhidayatullah, mempunyai putra Kyai Ageng Jimat (Kyai Ageng Ronggo).
5.      Kyai Ageng Ronggo (Kyai Jimat) mempunyai putra yaitu: 1. Kyai Ageng Atmo Wulung 2. Kyai Ageng Guno Suwiryo.
6.      Kyai Ageng Atmo Wulung mempunyai putra: 1. Kyai Mojo 2. Kyai Majasto.
7.      Kyai Mojo mempunyai putra: 1. Kyai Tojo Diningrat 2. Kyai Kunto Diningrat.
8.      Kyai Tojo Diningrat mempunyai putra: 1. Kyai Jayeng Katon (Kyai Kendhil Wesi) 2. Kyai Hadi Kesumo (Kyai Cokro Wesi).
9.      Kyai Jayeng Katon (Kyai Kendil Wesi) mempunyai putra: 1. Kyai Niti Rejo 2. Nyai Ageng Sumiyati.
10.  Kyai Nitirejo mempunyai putra: 1. Kyai Ageng Ponco Suwiryo (Kyai Suwiryo Hadi Kesumo) atau Sayyid Bukhori Mukmin yang dimakamkan di komplek “Makam Auliya Mbrebesmili Santren” Bedali-Purwokerto-Srengat-Blitar-Jawa Timur. 2. Kyai Ageng Suryo Hadi Kesumo (Kyai Senari Wadad) atau Sayyid Marzuki.
11.  Kyai Ageng Ponco Suwiryo (Sayyid Bukhori Mukmin) mempunyai sembilan putra-putri. Salah satu putra angkat beliau bernama RM. Djojopoernomo yang dimakamkan di Tojo-Temuguruh-Genteng-Banyuwangi.
RM. Djojopoernomo adalah pendiri Pirukunan Purwa Ayu Mardi Utama (PAMU). Beliau sering pula disebut dengan “Mbah Wali Papak” atau “Mbah Imam Sopingi”. Disebut “Wali Papak” sebab jari-jarinya sama rata. Disebut “Imam Sopingi” sebab ia sangat suka dengan madzhab Syafi’i. Dalam silsilahnya, RM. Djojopoernomo (Mbah Wali Papak atau Mbah Imam Sopingi) masih bertautan dengan Sunan Kalijogo dan Sunan Gunung Jati, seorang wali yang sangat santun dan bijaksana. Ia adalah cucu Nyi Ageng Serang, seorang pahlawan nasional Indonesia. Disebutkan Sunan Gunung Jati mempunyai putri yang dinikahi Sunan Kalijogo. Silsilahnya sebagai berikut:
1.      Sunan Kalijogo, berputra;
2.      Sunan Hadi Kusumo, berputra:
3.      Kanjeng Panembahan Semarang, berputra:
4.      Kanjeng Panembahan Pinatih, berputra:
5.      Kanjeng Panembahan Rangga Seda Sepuh, berputra:
6.      Kanjeng Panembahan Natapraja, berputra:
7.      Kanjeng Panembahan Wijil, berputra:
8.      Kanjeng Panembahan Rangga Natapraja, berputra:
9.      Raden Ajeng Kustinah Wulaningsih Retno Edi (Nyi Ageng Serang [Pahlawan Nasional]) bersuamikan Kanjeng Pangeran Kusumo Wijoyo, berputra:
10.  Raden Ajeng Kustinah, bersuamikan Kanjeng Mangkudiningrat (putra Sultan Hamengku Buwono II), berputra:
11.  Pangeran Papak Natapraja (RM. Djojopoernomo atau Mbah Wali Papak atau Mbah Imam Sopingi).
(Diambil dari buku “Nyi Ageng Serang” karya Moshoed Haka yang diterbitkan PT. Kinta dan masih tersimpan di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat)