Selasa, 30 Juni 2015

SYAIKH HASAN GHOZALI & MASJID TIBAN ISTIMRAR KALANGBRET TULUNGAGUNG



Oleh: Arif Muzayin Shofwan

Nama lain Syaikh Hasan Ghozali Kalangbret, Tulungagung adalah Kiai Ageng Witono atau Kiai Naib Witono atau Kiai Mangun Witono. Disebut “Syaikh” atau “Kiai”, karena beliau seorang ahli ilmu agama Islam. Disebut “Naib” karena beliau dulu merupakan seorang naib atau penghulu pada zaman Kraton Surakarta. Salah satu adik beliau yang menjadi “naib” (penghulu) adalah Kiai Raden Taklim yang dimakamkan di lereng Gunung Pegat, Srengat, Blitar. Kiai Raden Taklim adalah salah satu ulama yang menurunkan para penghulu di Blitar. Salah satu putranya yang bernama Kiai Raden Muhammad Kasiman merupakan nenek moyang pendiri Masjid Agung Kota Blitar (sebelah Barat alon-alon Kota Blitar).
Disebut “Mbah Witono” karena Syaikh Hasan Ghozali merupakan seorang yang pertama kali mengadakan kajian-kajian Islam (wiwitane ono; Jawa) di daerah Kalangbret, Tulungagung.
Syaikh Hasan Ghozali merupakan generasi kesembilan dari Sunan Tembayat (Syaikh Hasan Nawawi), Klaten, Jawa Tengah.  Berikut silsilah Syaikh Hasan Ghozali (Kiai Ageng Witono):
1.      Sunan Tembayat (Sayyid Hasan Nawawi), berputra:
2.      Panembahan Jiwo (Sayyid Ishaq), berputra:
3.      Panembahan Masjid Wetan, berputra:
4.      Pangeran Sumendi I (Bayat), berputra:
5.      Pangeran Sumendi II (Setono, Jetis, Ponorogo), berputra:
6.      Pangeran Kabo, berputra:
7.      Raden Ratmojo, berputra:
8.      Kiai Ageng Donopuro (guru Kiai Hasan Besari I), berputra:
9.      Kiai Ageng Witono (Syaikh Hasan Ghozali), Kalangbret, Tulungagung.
Sebagai seorang ulama (ahli ilmu agama Islam), apalagi juga sebagai “naib” (penghulu), maka Syaikh Hasan Ghozali juga menikah melakukan sunnah Rasulullah saw dengan Nyai Jarakan. Dari hasil pernikahan tersebut, maka Syaikh Hasan Ghozali (Kiai Ageng Witono) dan Nyai Jarakan mempunyai beberapa putra-putri. Adapun putra-putri Syaikh Hasan Ghozali antara lain:
1.      Kiai Imam Jauhari, Gondang, Tulungagung
2.      Kiai Imam Muntaha (Mbah Muntoho), merupakan seorang yang disebut sebagai cikal-bakal desa Jarakan, Gondang, Tulungagung.
3.      Kiai Gembrang Serang, merupakan salah satu tokoh yang disebut-sebut sakti mandraguna. Ada yang menyebutkan bahwa beliau bernama asli Kiai Ageng Nur Rahmatullah.
4.      Nyai Robi’ah, merupakan salah satu puteri Syaikh Hasan Ghozali
Pada zaman tersebut, Syaikh Hasan Ghozali (Kiai Ageng Witono) juga masih sambung “saling silaturrahmi” dengan keluarga-keluarga dari Raden Setro Manggolo dan Raden Ragil Siddiq (keturunan Sunan Tembayat yang berada di Lodoyo, Blitar Selatan), sehingga hubungan tersebut menjadi hubungan kekerabatan yang sangat dekat. Adapun silsilah Raden Setro Manggolo (Syaikh Abu Naim Fathullah) dan Raden Ragil Siddiq (Eyang Siddiq) adalah sebagaimana berikut:
1.      Sunan Tembayat, berputra:
2.      Panembahan Jiwo, berputra:
3.      Panembahan Minangkabo, berputra:
4.      Panembahan Masjid Wetan, berputra:
5.      Pangeran Wuragil, berputra:
6.      Raden Ragil Sedo Komuk, berputra:
7.      Raden Setro Manggolo atau Sutro Manggolo (Syaikh Abu Naim Fathullah), berada di arah Barat “Makam Sentono”, Lodoyo, Blitar [tepatnya berada pada arah Selatan sungai sebelah Barat Makam Sentono, Lodoyo] dan Raden Ragil Siddiq (Eyang Siddiq).
Kisah Masjid Tiban Al-Istimrar
KH. Muhammad Isa Karangsono, Kerjen, Srengat, Blitar sering menceritakan bahwa ketika kecil dulu sering diajak ibunya yang bernama Nyai Salamah pergi di desa Jarakan, Gondang, Tulungagung di petilasan rumah Kiai Muhammad Sya’ban (salah satu cucu Kiai Imam Muntoho, Jarakan, Gondang, Tulungagung). Kemudian diajak ibunya ke Makam Syaikh Hasan Ghozali (Kiai Ageng Witono) yang merupakan nenek moyang keluarganya. Beliau juga menceritakan bahwa pada waktu dulu “Masjid Tiban Al-Istimrar” hanya berupa petilasan saja. Bahkan di lokasi berdirinya Masjid Al-Istimrar tersebut masih banyak berupa pepohonan yang besar-besar dan pohon-pohon bambu, sementara dibaratnya ada banyak makam, termasuk Makam Kiai Ageng Witono dan Kiai Hasan Mimbar [yang sampai hari ini dianggap keramat oleh para warga masyarakat Kalangbret, Tulungagung].
Pada waktu itu, Masjid Al-Istimrar Kalangbret nyaris belum bisa dikatakan berbentuk sebuah masjid yang layak dipakai. Bahkan “Makam Kiai Ageng Witono” sendiri masih belum ada bangunan cungkup seperti sekarang. Hal ini pun juga banyak diceritakan oleh KH. Drs. Miftahul Huda, Dermojayan, Srengat, Blitar yang juga merupakan salah satu orang yang sejak kecil sering diajak ayahnya untuk “nyekar” di Makam Kiai Ageng Witono, leluhurnya. Hal ini pula, juga sering diceritakan oleh KH. Sulaiman (pengasuh Pesantren Al-Asrar, Kedungcangkring, Pakisrejo, Srengat, Blitar) kepada Bapak Tamam Thahir.
Sehingga bisa dikatakan bahwa Masjid Tiban Al-Istimrar yang sekarang berdiri merupakan buatan orang-orang yang berpautan jauh dengan masa Kiai Ageng Witono (Syaikh Hasan Ghozali). Dikatakan “Masjid Tiban” memang dahulu tiba-tiba ada [tetapi dibuat secara gotong royong] dan dipakai untuk beribadah. Artinya, masjid “yang terjadi secara tiba-tiba” (tiban) tersebut masih dalam bentuk sederhana, yang intinya hanya sekedar untuk berjamaah warga masyarakat. Sampai sekarang cerita masjid tiban, seakan-akan dibesar-besarkan hingga pembangunannya di bantu jin muslim dan dibumbui cerita-cerita tahayul dan mistik lainnya. Dan dibumbui serta dikaitkan dengan hal-hal yang membodohkan dan bahkan dibumbui hal-hal yang tidak masuk akal dan menyesatkan umat awam.
Persahabatan Kiai Ageng Witono dan Kiai Hasan Mimbar
Dalam perjuangan mengajarkan ajaran agama Islam, Syaikh Hasan Ghozali (Kiai Ageng Witono) memiliki sahabat karib yang bernama Syaikh Hasan Mimbar, Tawangsari, Tlungagung. Sementara ada beberapa kisah dari beberapa orang yang tidak mengetahui silsilah kedua ulama tersebut mengatakan bahwa Syaikh Hasan Ghozali (Kiai Ageng Witono) dan Syaikh Hasan Mimbar tidak pernah menikah sepanjang hayat adalah sebuah kesalahan. Perlu diketahui bahwa kedua ulama tersebut melakukan “sunnah Rasulullah saw” dan menurunkan beberapa putra-putri di wilayah Tulungagung, Kediri, Blitar, Malang, dan lain-lainnya. Terbengkelainya masjid Tiban Al-Istimrar karena tidak ada yang meneruskan perjuangan beliau dari putra-putrinya bukan berarti bahwa Syaikh Hasan Ghozali tidak menikah dan tidak mempunyai keturunan sama sekali. Sebab tempat yang sekarang berdiri bangunan Masjid Tiban Al-Istimrar tersebut dahulu memang tidak ada, bahkan hanya ada pohon-pohon besar dan area pemakaman, sebagaimana yang penulis ceritakan di atas. [Lihat pula, makam Mbah Sholeh Sumendi, Pasuruan yang juga keturunan Sunan Tembayat, pun tidak dimakamkan berdampingan bersama istrinya. Hal tersebut bukan berarti beliau tidak memiliki istri dan keturunan].
Perlu diketahui bahwa Masjid Tiban Al-Istimrar dibangun layaknya menjadi sebuah masjid [dengan tembok dan bangunan indah seperti sekarang] dilakukan oleh orang-orang setelah Syaikh Hasan Ghozali. Sebagaimana tradisi-tradisi di Jawa, ketika ada makam-makam yang dianggap keramat, lalu dibanguni ditempat tersebut sebuah masjid atau musholla. Akhirnya, di kemudian hari banyak orang yang menyatakan bahwa masjid atau musholla tersebut adalah bangunan yang didirikan oleh orang yang dianggap keramat tersebut. Hingga untuk meyakinkan kepada khalayak masyarakat, dibumbui pula dengan cerita-cerita tahayyul dan mistik untuk meng-“keramat”-kan hal-hal tersebut. Misalnya, masjid tersebut “Tiban” yang diartikan “terjadi tiba-tiba dan tidak dibangun oleh manusia, tetapi dibangun oleh para jin milik wali keramat tersebut”. Bahkan mengatakan bahwa para orang saleh mempunyai banyak jin yang bisa menolong, bahkan jin tersebut bisa berbuat apa saja kepada orang yang tidak disukainya serta dibumbui kisah keramat mistis lainnya, justru malah merendahkan orang-orang saleh [wali; pen] tersebut.
Perlu diketahui bahwa dahulu di lokasi areal makam Syaikh Hasan Ghozali, Kalangbret, Tulungagung tidaklah ada bangunan berupa “masjid” seperti yang dikatakan masyarakat saat sekarang ini. Di situ dahulu adalah hanya berupa pepohonan besar-besar dan areal pemakaman, layaknya areal makam-makam pada umumnya. Pembuatan masjid dengan nama “tiban” merupakan karya orang-orang setelah Syaikh Hasan Ghozali meninggal dunia dengan jarak yang agak cukup lama. Apalagi perlu diketahui pula bahwa Syaikh Hasan Ghozali dan Syaikh Hasan Mimbar dahulu juga tidak bertempat tinggal di dekat masjid yang dianggap “tiban” tersebut, karena memang masjid tersebut ketika keduanya masih hidup tidak ada atau belum ada dalam bentuk bangunan yang seperti sekarang. Memang disebut masjid (tempat sujud), tetapi dulu hanyalah “Tiban” (tiba-tiba ada), namun bukan bersifat tahayul seperti yang dipahami orang-orang bodoh atau masyarakat awam. Tiba-tiba ada yang dimaksud adalah masih dalam bentuk sederhana dan pokoknya hanya bisa dipakai untuk melakukan jamaah bersama, bahkan nyaris tidak bercirikan sebagai layaknya masjid. Ini adalah kisah nyata yang benar-benar disertai data-data. Bukan kisah “nggladrah” yang diinformasikan orang yang tidak berpengetahuan.
Dzuriyah Syaikh Hasan Ghozali (Kiai Ageng Witono)
Para putra-putri dan keturunan Syaikh Hasan Ghozali (Kiai Ageng Witono) banyak yang berada di daerah Tulungagung, Blitar, Malang, Kediri, dan lain sebagainya. Mereka semua memperoleh silsilah yang runtut hingga Syaikh Hasan Ghozali dari para kakek buyutnya yang juga menjadi ulama di wilayah masing-masing. Begitu pula para putra-putri dan keturunan sahabat karib beliau yang bernama Syaikh Hasan Mimbar juga banyak bertebaran di Tulungagung, Blitar, Kediri, dan lain sebagainya.
Berikut beberapa silsilah Syaikh Hasan Ghozali dari generasi ke generasi yang sempat penulis dapatkan baik dari Tulungagung, Blitar, Malang dan lain sebagainya:
1.      Kiai Ageng Witono, berputra:
2.      Kiai Ageng Gembrang Serang, berputra:
3.      Kiai Hasan Rifa’i, berputra:
4.      Kiai RH. M. Sholeh, berputra:
5.      Mbah Hasan Sanadi [+ Nyai Muntoqinah], berputra:
6.      Mbah Mangunasri [+ Maijah], berputra:
7.      Mbah Sukadi [+ Suyati], berputra:
8.      Nyai Endang Maryati Pujiningsih, berputra:
9.      Darojati Bintoro
Silsilah yang saya temukan dan ditulis pada tanggal 15 Juli 1984 pada saat Haul Akbar Kiai Muhammad Asrori Kedungcangkring, Pakisrejo, Srengat, Blitar, sebagai berikut:
1.      Kiai Ageng Witono, berputra:
2.      Kiai Nur Rahmatullah, berputra:
3.      Kiai Ali Muntoho, berputra:
4.      Kiai Syakban, Mbrebesmili Santren, Bedali, Purwokerto, Srengat, Blitar, berputra:
5.      Kiai Muhammad Asrori (Pendiri Masjid Al-Asrar Kedungcangkring, Pakisrejo, Srengat, Blitar), berputra:
6.      Nyai Tsamaniyah [+ Kiai Imam Muhtar], Kerjen, Srengat, Blitar, berputra:
7.      Kiai Mulkan Dermojayan, Srengat, Blitar berputra:
8.      KH. Drs. Miftahul Huda (alm), Dermojayan, Srengat, Blitar, berputra;
9.      Arifuddin Nurwijaya.
Dan banyak lagi silsilah lain yang tersebar di Tulungaung, Blitar, Malang, dan lainnya yang dibawa oleh generasi pergenerasi.
Catatan:
Bahkan di Blitar, keturunan Syaikh Hasan Ghozali (Kiai Ageng Witono/Kiai Naib Witono), Kalangbret, Tulungagung banyak yang bertemu dalam “sebuah pernikahan” dengan keturunan Kiai Raden Taklim (Kiai Naib Taklim [adik Kiai Naib Witono]) Srengat, Blitar. Misalnya: Kiai Muhammad Asrori (Pendiri Masjid Al-Asrar), Kedungcangkring, Pakisrejo, Srengat, Blitar yang merupakan keturunan Kiai Naib Witono (Syaikh Hasan Ghozali), dalam catatan data yang penulis temukan, pada tahun 1850 Masehi menikah dengan Nyai Haditsah putra Kiai Muhammad Yunus (yang menjabat sebagai “naib” [penghulu] Srengat), bahkan adiknya yang bernama Kiai Ali Muntoho juga menjadi “naib” [penghulu] pula di daerah Srengat dan sekitarnya. Perlu diketahui bahwa Nyai Haditsah tersebut merupakan keturunan Kiai Naib Taklim (Raden Taklim) yang merupakan adik Kiai Ageng Witono, Kalangbret, Tulungagung.
Dan masih banyak lagi kisah pertemuan dalam “sebuah pernikahan” dzurriyah Kiai Naib Witono, Kalangbret, Tulungagung dengan Kiai Naib Taklim, Srengat, Blitar.
Kesimpulan & Pesan
Kesimpulannya adalah tidak dibenarkan bahwa informasi yang menyatakan bahwa Syaikh Hasan Ghozali dan Syaikh Hasan Mimbar dalam sepanjang hidupnya tidak menikah. Apalagi Syaikh Hasan Ghozali menjadi seorang “naib” (penghulu), yang pada masanya berprofesi menikahkan orang lain atau masyarakat pada waktu itu. Bahkan adik Syaikh Hasan Ghozali yang bernama Kiai Raden Taklim juga menjadi “naib” (penghulu) di daerah Srengat, Blitar. Bahkan keturunan-keturunan Kiai Naib Witono (Syaikh Hasan Ghozali) di Blitar pun juga banyak yang menjadi “naib” (penghulu).
Penulis berpesan pada orang-orang yang tidak mengetahui sejarah di atas, agar tidak memberikan informasi yang tidak benar bahkan menjadikan kontroversi yang meresahkan. Seseorang yang tidak tahu-menahu data-data sejarah atau silsilah, tidak perlu mengatakan bahwa Syaikh Hasan Ghozali dan Syaikh Hasan Mimbar tidak pernah menikah sepanjang hayat dan tidak mempunyai keturunan. Penulis memberikan informasi ini apa adanya dengan berbagai data yang penulis dapatkan, dan tidak berniat untuk hal-hal yang tidak baik kepada mereka yang berniat tidak baik. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi keluarga dan keturunan Sunan Tembayat pada umumnya, dan khususnya keluarga besar Syaikh Hasan Ghozali dan Syaikh Hasan Mimbar dimanapun mereka berada dan dimanapun mereka melakukan perjuangan agama Islam.
Alamat Penulis:
Arif Muzayin Shofwan
Jl. Masjid Baitul Makmur Sekardangan RT. 03 RW. 09
Papungan Kanigoro Blitar Jawa Timur. Kode Pos 66171
HP. 085649706399.

Makam Kiai Raden Donopuro (ayah Kiai Ageng Witono)
 
Masjid Baiturrahman Sentono, Jetis, Ponorogo (orang tua Syaikh Hasan Ghozali)

SYAIKH ABU NAIM FATHULLAH DAN MAKAM SENTONO LODOYO BLITAR



Oleh: Arif Muzayin Shofwan

Nama lain dari Syaikh Abu Naim Fathullah yang dimakamkan di Lodoyo, Blitar, Jawa Timur adalah “Raden Setro Manggolo” [memakai huruf “e”] atau kadang disebut “Raden Sutro Manggolo” [memakai huruf “u”]. Beliau merupakan keturunan ketujuh dari Sunan Tembayat (Syaikh Hasan Nawawi) yang dimakamkan di Gunung Jabalkat, Klaten, Jawa Tengah. Berikut silsilah Syaikh Abu Naim Fathullah (Raden Setro Manggolo/Raden Sutro Manggolo):
1.      Sunan Tembayat, berputra:
2.      Panembahan Jiwo, berputra:
3.      Panembahan Minangkabo, berputra:
4.      Panembahan Masjid Wetan, berputra:
5.      Pangeran Wuragil, berputra:
6.      Raden Ragil Sedo Komuk, berputra:
7.      Raden Setro Manggolo (Syaikh Abu Naim Fathullah), berada di arah Barat “Makam Sentono”, Lodoyo, Blitar [tepatnya berada pada arah Selatan sungai sebelah Barat Makam Sentono, Lodoyo]
Raden Setro Manggolo/Sutro Manggolo (Syaikh Abu Naim Fathullah) mempunyai kakak yang bernama Raden Ragil Siddiq (Eyang Siddiq) dimakamkan dalam area “Makam Sentono” Lodoyo, Blitar. Jadi, silsilah Raden Ragil Siddiq (Eyang Siddiq) bisa disebutkan sebagai berikut:
1.      Sunan Tembayat, berputra:
2.      Panembahan Jiwo, berputra:
3.      Panembahan Minangkabo, berputra:
4.      Panembahan Masjid Wetan, berputra:
5.      Pangeran Wuragil, berputra:
6.      Raden Ragil Sedo Komuk, berputra:
7.      Raden Ragil Siddiq (Eyang Siddiq), “Makam Sentono”, Lodoyo, Blitar.
Dan banyak lagi keturunan Sunan Tembayat yang dimakamkan di area makam tersebut, diantaranya: Mbok Boinem (wali putri dzuriyah Sunan Tembayat yang jasadnya masih utuh ketika makamnya dibongkar), Kiai Kasan Besari (Mbah Bontar/Eyang Bontar), dan lain-lain. Adapun keturunan-keturunan Syaikh Abu Naim Fathullah (Raden Setro Manggolo/Sutro Manggolo) dan Raden Ragil Siddiq (Eyang Siddiq) banyak berada di wilayah Blitar dan Tulungagung serta wilayah lainnya.
Di area “Makam Sentono” Lodoyo, Blitar, Jawa Timur, juga dimakamkan beberapa orang agung diantaranya:
1.      Habib Al-Kamal (Kiai Ageng Imam Sampurno), seorang ulama penasehat Kraton Surakarta.
2.      Pangeran Prabu (Prabu Joko), seorang putra Kraton Surakarta pembawa Gong Kiai Pradah.
3.      Ki Ageng Ronggo Lodoyo (Kiai Muhammad Badri), wedono Lodoyo.
4.      Raden Sutojoyo (Ki Ageng Sutojoyo), cikal bakal dusun Sutojayan, Lodoyo.
5.      Dzurriyah Sultan Abdul Hamid (putra wayah Pangeran Diponegoro), keluarga Mataram.
6.      Raden Suryo
7.      Kiai Mahfud Ali (Abdul Manab)
8.      Dan lain-lainnya, yang tak bisa disebutkan satu persatu disini.
Alamat Penulis:
Arif Muzayin Shofwan
Jl. Masjid Baitul Makmur Sekardangan RT. 03 RW. 09
Papungan Kanigoro Blitar Jawa Timur. Kode Pos 66171.
HP. 085649706399

Makam Raden Setro Manggolo (Syaikh Abu Naim Fathullah) di Lodoyo, Blitar.
Raden Ragil Siddiq (Eyang Siddiq) kakak Raden Setro Manggolo di Lodoyo, Blitar
Daftar Nama Auliya di Makam Sentono Lodoyo Blitar
Makam Pangeran Prabu (Prabu Joko)
Makam Ki Ageng Ronggo Lodoyo
Makam Kiai Mahfudz Ali (Abdul Manab)
Makam Mbah Bontar (Kiai Kasan Besari)
Makam Mbok Boinem (wali putri) di Lodoyo, Blitar


Makam Eyang Sorya