Sabtu, 07 Desember 2013

MAINTREAMING MADRASAH



Oleh: Tobroni[1]
Pada tanggal 3-5 September 2013, Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Balitbang Kementerian Agama menyelenggarakan The Second International Symposium on Empowering Madrasah in the Global Context. Acara yang dibuka Wakil Presiden Budiono Menghadirkan pakar dan pemerhati pendidikan Islam dari berbagai negara: Mesir, Amerika Serikat, Turki, India dan Indonesia. Simposium internasional ini menjadi ajang bursa ide untuk mengkritisi lembaga pendidikan madrasah dan menggali ide-ide segar untuk pemberdayaan madrasah dalam menghadapi tantangan global. Diantara tantangan global madrasah adalah isu radikalisme dan terorisme, demokrasi dan multikulturalisme. Sedangkan tantangan internal madrasah meliputi persoalan kualitas, dikhotomi keilmuan, dan problem politik dan budaya di masing-masing Negara. Tulisan ini tidak bermaksud akan menguraikan berbagai tantangan tersebut, melainkan lebih memfokuskan pada dua hal yaitu transformasi umat Islam dan implikasinya terhadap pengarus-utamaan (mainstreaming) madrasah.
Maintreaming Madrasah.
Pembangunan di berbagai Negara muslim telah berjaya melahirkan tumbuhnya kelas menengah muslim (the rising muslim middle class). Di Indonesia fenonena ini ditandai dengan adanya “santrinisasi priyayi” dan “priyayisasi santri”. Kelas menengah santri yang semakin berkembang dan mampu melakukan transformasi sosial dan mobilitas vertikal, membutuhkan lembaga pendidikan madrasah yang berkualitas di satu sisi dan kemampuan yang semakin baik untuk mengembangkan madrasah yang semakin berkualitas.
Perkembangan selanjutnya melahirkan adanya pengarusutamaan madrasah (madrasah mainstreaming) dimana lembaga pendidikan madrasah yang berkualitas mampu bersanding, berbanding dan bertanding dengan lembaga persekolahan. Bahkan di berbagai tempat terjadi fenomena madrasah kebanjiran murid dan sekolah kekurangan siswa. Banyak Madrasah Ibtidaiyah (MI) baru didirikan di sisi lain banyak Sekolah Dasar yang gulung tikar atau di merger. Fenomena pengarus-utamaan madrasah juga ditandai oleh alumni madrasah yang tidak hanya mampu melahirkan tokoh agama, melainkan juga tokoh dan pakar di berbagai bidang kehidupan, menjadi pejabat publik hampir di semua lini. Semakin banyak alumni madrasah yang menjadi menteri, senator, pengusaha, musisi, wartawan dan lain sebagainya. Mainstreaming madrasah juga ditandai dengan perluasan basis sosial madrasah. Basis sosial madrasah telah melampaui varian budaya masyarakat Indonesia yaitu abangan, santri dan priyayi. Madrasah juga telah melampaui stratifikasi sosial dan orientasi partai politik. 
 Lembaga pendidikan madrasah yang berkualitas  memiliki peluang yang sangat besar karena dianggap lebih mampu membentuk anak didik memiliki iman taqwa (imtaq) dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Karakter religiusitas murid madrasah dianggap mampu menjadi landasan moral, motivasional dan spiritual untuk berprestasi dan dalam pembentukan karakter tangguh. Anggapan bahwa madrasah berperan dalam menyuburkan paham radikalisme dan terorisme serta miskin toleransi dan anti modernism adalah salah alamat. Radikalisme justru tumbuh pada seseorang yang tidak memiliki basis keilmuan agama yang luas dan kokoh.
Penguatan Madrasah.
Dalam berbagai even internasional seperti olimpiade sain dan kompetisi sekolah sehat, madrasah telah mampu ikut ambil bagian dan sering tampil sebagai juara. Di berbagai daerah telah muncul madrasah unggul yang sangat diminati oleh masyarakat. Fenomena madrasah unggul atau madrasah model ini merupakan hasil dari berbagai upaya penguatan madrasah antara lain dalam bentuk penguatan filosofis dan konseptual, kurikulum, kelembagaan, sistem pendidikan dan model-model pembelajaran. Penguatan ini mampu menghapuskan dikhotomi keilmuan dalam pendidikan madrasah, memperluas bidang keilmuan atau kurikulum, merubah persepsi publik kearah yang lebih positif,  munculnya variasi model kelembagaan dan pebelajaran di madrasah.
Penguatan madrasah juga dilakukan pada aspek yuridis dan politis, walaupun hasinya belum bisa maksimal. Madrasah yang pada masa Orde Baru dianggap sebagai forgotten  and peripheral community (komunitas yang terlupakan dan termarjinalkan) setahap demi setahap diakui eksistensinya dan semakin diperlakukan sebagai warga bangsa dengan segala hak dan kewajibannya, walaupun belum sepenuhnya. Peng-anaktirian terhadap madrasah sampai sekarang masih terjadi bahkan menurut UNESCO murid madrasah hanya menikmati APBN kurang dari 10 % dibandingkan dengan siswa sekolah negeri. Keterbatasan akses APBN bagi murid madrasah terus diperjuangkan melalui Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan perjuangan melalui anggota dewan di senayan. Perjuangan menuntut persamaan hak bagi murid dan penyelenggara madrasah  masih panjang, karena sampai sekarang hanya 10% madrasah yang berstatus negeri, dan menurut edaran Menteri Dalam Negeri madrasah tidak berhak mendapatkan APBD. Semua ini berarti walaupun secara yuridis kedudukan madrasah sama dengan sekolah, akan tetapi secara politis masih banyak yang harus diperjuangkan.
Namun, fenomena yang ada sekang ini, walaupun secara politis madrasah masih diperlakukan sebagai anak tiri atau the second class, namun karena semangat keagamaan yang tinggi yang dimiliki para penyelenggara madrasah dan etos murid madrasah, telah bermunculan madrasah-madrasah unggul atau madrasah model baik yang berstatus negeri maupun swasta. Yang berstatus swasta biasanya dikembangkan oleh pondok pesantren, ormas-ormas Islam maupun yayasan-yayasan dakwah dan sosial.
Masa Depan Madrasah
Madrasah di Indonesia termasuk yang paling dinamis dan kreatif dibandingkan dengan yang ada di Negara-negara muslim lainnya khususnya di Asia Tenggara, Asia Selatan dan Negara-negara muslim di wilayah Balkan. Di Negara-negara tersebut, yang disebut madrasah masih sebatas pada madrasah diniyah (keagamaan), bersifat eksklusif dan memiliki visi politik oposisi terhadap pemerintah. Sedangkan di Indonesia yang disebut madrasah (kecuali disebut secara khusus sebagai madrasah diniyah) adalah sekolah umum yang mengembangkan kurikulum, memiliki tujuan  dan sifat inklusifitas yang sama dengan lembaga persekolahan. Di Indonesia, insan madrasah memiliki jasa yang besar dalam perjuangan maupun dalam mengisi kemerdekaan republik ini maupun dalam membayar pajak. Karena itu pada era reformasi dan demokrasi ini tidak ada lagi alasan untuk meng-anaktirikan madrasah atau kecurigaan politis terhadap madrasah. Sikap bijak dan adil para elit politik ini sangat berperan penting dalam menentukan masa depan madrasah.
Dengan trasformasi politik kea rah yang lebih berkeadaban di satu sisi dan transformasi serta mobilitas vertikal umat Islam akan membawa implikasi positif bagi pengarus-utamaan madrasah dalam berbagai dimensinya. Sekarang ini demokrasi dan toleransi serta modernisasi bangsa Indonesia sudah dapat dijadikan contoh bagi negeri muslim lain, niscaya ke depan madrasah di Indonesia juga akan menjadi model yang dapat menginspirasi dan dijadikan contoh bagi neger-negeri musim lainnya.






[1] Thobroni adalah seorang guru besar Universitas Muhammadiyah Malang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar