Selasa, 13 Desember 2016

MENGKAJI DAKWAH SUFISTIK KH. ABDURRAHMAN MELALUI THARIKAT MAHABBAH



Arif Muzayin Shofwan
Peneliti di The Post Institute Blitar, Jawa Timur
Email: arifms78@yahoo.co.id


Abstrak: Artikel ini menjelaskan dakwah KH. Abdurrahman melalui pendekatan sufistik kepada sasaran dakwahnya. Pendekatan sufistik merupakan penyampaian ajaran Islam yang bersifat transendental dan hanya dapat dirasakan oleh perasaan (dzauq). Dakwah sufistik KH. Abdurrahman dilakukan melalui tharikah mahabbah yang kemudian diteruskan putranya KH. Abdul Hadi. Sepeninggal KH. Abdul Hadi, tharikah mahabbah tersebut diteruskan oleh putranya KH. Abdurrahim. Pada masa KH. Abdurrahim inilah, dakwah melalui tharikat mahabbah tersebut telah berhasil membentuk sebuah jam’iyah yang diberi nama ISHARI (Ikatan Seni Hadrah Republik Indonesia). Tulisan kualitatif ini menggunakan studi kepustakaan dalam pengumpulan datanya. Sedangkan teknik analisa datanya menggunakan content analisis, dimana peneliti akan memilah-milah data selanjutnya mengelompokkan data yang sejenis dan menganalisis isinya sesuai dengan tujuan penelitian. Tulisan ini menemukan bahwa; Pertama, sejarah dakwah sufistik KH. Abdurrahim melalui tharikat mahabbah tidak bisa lepas dari peran Habib Syaikh bin Ahmad Bafaqih Surabaya sebagai gurunya Kedua, dakwah sufistik melalui tharikat mahabbah tersebut, ternyata mengandung tata cara baku serta berbagai filosofi khusus bagi sasaran dakwahnya dalam mengekspresikan cinta kepada Allah dan Rasulullah saw.

Kata kunci: Dakwah Sufistik, Thariqah Mahabbah, dan ISHARI



Pendahuluan
Sejarah dakwah berasal dua kata berbahasa Arab “syajarah” yang berarti pohon dan “ad-dakwah” berati seruan, panggilan, atau ajakan.[1] Kata “sejarah” mempunyai persamaan dengan kata “history” dalam bahasa Inggris, dan “tarikh” dalam bahasa Arab. Ketiga kata tersebut mengandung arti “masa lampau umat manusia”.[2]Dari kedua kata tersebut bisa diartikan bahwa sejarah dakwah adalah peristiwa masa lampau umat manusia dalam upaya mereka menyeru, memanggil dan mengajak umat manusia kepada Islam serta bagaimana reaksi umat yang diseru dan perubahan-perubahan apa yang terjadi setelah dakwah digulirkan, baik langsung maupun tidak langsung.[3]

Sementara kata “metode” yang dalam bahasa Arab diistilahkan dengan “thariqah”dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia diartikan sebagai cara sistematis dan berfikir sistematis untuk mencapai tujuan.[4] Sedangkan istilah “mahabbaturrasul” berasal dari dua kata berbahasa Arab “mahabbah” berarti cinta dan “rasul” artinya utusan Allah, yakni Rasulullah Muhammad saw, sebagai nabi akhir zaman yang layak untuk dicintai seluruh umatnya. Jadi, thariqah mahabbaturrasul secara umum bisa diartikan sebagai cara atau metode sistematis dan berfikir sistematis untuk mencapai tujuan dakwah berupa cinta kepada Rasullullah saw sebagai utusan Tuhan yang membawa risalah agama Islam. Menurut ISHARI, bermula dengan cinta, seseorang lambat laun tentu akan meniru segala yang ia cintai, dalam hal ini meniru aqidah, ibadah, dan muamalah Rasulullah saw.

Metode dakwah ISHARI sangat menarik untuk dijadikan sebagai fokus kajian. Alasannya adalah ISHARI yang disisi lain merupakan kesenian, tetapi disisi lain juga merupakan sebuah metode (al-thariqah) menuju Allah dan Rasulullah saw. Pada tataran sebagai seni, ISHARI mempunyai gerakan tarian (raddat) yang sangat indah. Sementara pada tataran sebagai “thariqah mahabbaturrasul”, di dalam raddat tersebut terkandung simbol-simbol yang unik seperti tarian tangan membentuk tulisan “Muhammad” dan lain sebagainya, sebagai ekspresi diri bagi seorang pecinta terhadap yang dicintai.

Dakwah Sufistik KH. Abdurrahman dan Terbentuknya ISHARI
Dakwah sufistik KH. Abdurrahman melalui tharikat mahabbah tidak bisa lepas dari peran gurunya yang bernama Habib Syaikh bin Ahmad Bafaqih Surabaya. Habib Syaikh bin Ahmad Bafaqih yang biasa dikenal dengan sebutan “Habib Syaikh Botoputih” tersebut merupakan seorang ulama kelahiran kota Syihr, Yaman pada tahun 1212 H /1812 M yang datang ke Surabaya pada tahun 1251 H/1830 M. Ketika Habib Syaikh bin Ahmad Bafaqih datang ke Surabaya, saat itu beliau masih berusia 39 tahun. Di Surabaya, selain beliau sebagai mursyid thariqah (guru thariqah), ahli fiqih, ahli ilmu tauhid, dan tasawuf, beliau juga mengajar para santri dengan melalui “thariqah mahabbah” (metode cinta Rasul) dalam dakwahnya.[5]
 
Tercatat dalam Kitab Iqdat al-Farid Fi Jawahir al-Asanid karya Syaikh Yasin al-Fadani, sebagaimana dikutip Nuruddin bahwa Habib Syaikh bin Ahmad Bafaqih merupakan salah satu sanad ilmu fiqih & ilmu hadist di Indonesia. Ia juga guru berbagai aliran thariqah seperti: al-Naqsyabandiyah, al-Qadiriyah, al-Syadziliyah, al-Samaniyah, dan lain-lainnya.[6] Habib Syaikh bin Ahmad Bafaqih wafat pada bulan Syawal 1289 H/ 1888 M, dalam usia 77 tahun dan dimakamkan di Boto Putih, Surabaya. Sepeninggal beliau, maka tharikah mahabbah tersebut dilestarikan para santrinya antara lain: (1) Habib Abdullah bin Muhammad Bafaqih, wafat di Boto Putih, Surabaya; (2) Habib Ling Bang Nahsan, wafat di Pegirian, Surabaya; (3) Habib Seqqaf as-Seqqaf, wafat di Pegirian, Surabaya; 4) KH. Abdurrahman yang lahir di Pegadangan, Sidoarjo dan wafat di Makkah; 5) Syaikh Ubaidah[7]; (6) Syaikh Abdul Aziz al-Bimawi, Nusa Tenggara Barat; (7) Habib Umar bin Thoha, Sindang Laut, Indramyu, Cirebon; dan (8) Syaikh Abdurrahman al-Baweani, Gresik.[8]

Bermula dari KH. Abdurrahman inilah, maka thariqah mahabbah diturunkan kepada putranya yang bernama KH. Abdul Hadi. Selanjutnya, KH. Abdul Hadi menurunkan “thariqah mahabbah” tersebut kepada putranya yang bernama KH. Abdurrahim Pasuruan.[9] Pada masa KH. Abdurrahim Pasuruhan inilah mulai dibentuk sebuah organisasi sebagai wadah para pengikut tharikah mahabbah, yang diberi nama ISHARI (Ikatan Seni Hadrah Republik Indonesia) tanggal 15 Rajab 1378/ 23 Januari 1959 M. Adapun tokoh ulama dari Nahdlatul Ulama (NU) sebagai pemrakarsa berdirinya ISHARI adalah; (1) KH. Abdul Wahhab Hasbullah (Rais Am PBNU); (2) KH. Bisri Syamsuri (Rais PBNU); (3) KH. Idham Khalid (Ketua Tanfidz PBNU); (4) KH. Saifuddin Zuhri; (5) KH. Ahmad Syaiku; dan (6) KH. Muhammad (putra KH. Abdurrahim) Pasuruan.[10]

ISHARI (Ikatan Seni Hadrah Republik Indonesia) merupakan organisasi sosial keagamaan yang menjalankan thariqah mahabbaturrasul atau biasa disingkat thariqah mahabbah saja, dengan melalui pembacaan Kitab Maulid Syaraf al-Anam[11] dengan tambahan shalawat hadrah yang berfungsi sebagai jawaban yang saling bersahutan, diiringi rebana (ad-duff) dan dengan tarian roddat serta tepuk tangan (tashfiq) sebagai ekspresi rasa cinta dan bangga terhadap Rasulullah saw.[12] Sementara kitab Maulid Syaraf al- Anam sendiri, menurut keterangan dalam Kitab Fath al-Shomad karya Syaikh Nawawi al-Bantani sebagaimana dinukil Muhammad Nuruddin al-Fasuruwani merupakan karya Syaikh Ibnu Jauzi atau yang lebih dikenal dengan al-Imam Ibnu Qasim al-Hariri.[13]

Sementara itu, makna “hadrah” yang terdapat dalam singkatan ISHARI secara bahasa, menurut Nuruddin mempunyai dua makna yaitu: Pertama, hadrah dengan makna hadir atau datang ke majelis hadrah dengan membaca shalawat Nabi Muhammad saw dan bertujuan untuk menghadirkan secara maknawi sifat-sifat dan akhlak Rasulullah saw, agar ia bisa melaksanakan sifat-sifat & akhlak Rasulullah tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, hadrah dengan makna hadir atau datang ke majelis hadrah dengan membaca shalawat Nabi dan bertujuan untuk merefleksikan diri sebagai rasa syukurnya menjadi umat Muhammad (khaira ummah) di dunia dan akhirat.[14] Sedangkan secara istilah menurut Habib Taufiq bin Abdul Qadir as-Seqqaf Pasuruan sebagaimana dinukil Nuruddin berarti kumpulan bait-bait syair yang memuat pujian dan sanjungan terhadap Nabi Muhammad saw, dan kata “hadrah” mempunyai kesinoniman dengan “Qasidah” dan “Nasyid”.[15]

Sejarah ISHARI tidak bisa lepas dari peran Habib Syaikh bin Ahmad bin Abdullah bin Ali Bafaqih yang lebih terkenal dengan sebutan “Habib Syaikh Boto Putih Surabaya”. Beliau adalah seorang ulama kelahiran kota Syihr, Yaman pada tahun 1212 H /1812 M yang datang ke Surabaya pada tahun 1251 H/1830 M. Ketika Habib Syaikh bin Ahmad Bafaqih datang ke Surabaya, saat itu beliau masih berusia 39 tahun. Di Surabaya, selain beliau sebagai mursyid thariqah (guru thariqah), ahli fiqih, ahli ilmu tauhid, dan tasawuf, beliau juga mengajar para santri dengan melalui “thariqah mahabbaturrasul” (metode cinta Rasul) dalam dakwahnya.[16]Tercatat dalam Kitab Iqdat al-Farid Fi Jawahir al-Asanid karya Syaikh Yasin al-Fadani, sebagaimana dikutip Nuruddin bahwa Habib Syaikh bin Ahmad Bafaqih merupakan salah satu sanad ilmu fiqih & ilmu hadist di Indonesia. Ia juga guru berbagai aliran thariqah seperti: al-Naqsyabandiyah, al-Qadiriyah, al-Syadziliyah, al-Samaniyah, dan lain-lainnya.[17]Habib Syaikh bin Ahmad Bafaqih wafat pada bulan Syawal 1289 H/ 1888 M, dalam usia 77 tahun dan dimakamkan di Boto Putih, Surabaya.

Secara khusus, dalam lingkungan ISHARI dikatakan bahwa thariqah mahabbaturrasul adalah sebuah amalan bacaan shalawat yang bersifat khusus dan dilaksanakan bersama-sama, serta tidak perlu berbaiat kepada seorang guru mursyid sebagaimana lazimnya thariqah-thariqah yang ada.[18] Dalam hal ini, thariqah-thariqah yang ada seperti; thariqah Qadiriyyah, thariqah Naqsyabandiyah, thariqah Sadziliyyah, thariqah Satthariyah, thariqah Shiddiqiyah, dan lain-lainnya, dimana untuk memasuki dan mengamalkan amalan thariqah tersebut harus berbaiat terlebih dahulu kepada seorang guru mursyid dalam komunitas tersebut. Sementara untuk memasuki dan mengamalkan amalan sebuah “thariqah mahabbah” yang dimaksud ISHARI, tidak memerlukan baiat terlebih dahulu kepada seorang guru mursyid didalamnya.

Thariqah mahabbaturrasul (metode cinta Rasul) berupa bacaan-bacaan shalawat yang diajarkan Habib Syaikh bin Ahmad Bafaqih, Boto Putih, Surabaya tersebut, sepeninggal beliau tetap dilaksanakan dan dilestarikan oleh santri-santrinya antara lain: 1) Habib Abdullah bin Muhammad Bafaqih, yang wafat di Boto Putih, Surabaya; 2) Habib Ling Bang Nahsan yang wafat di Pegirian, Surabaya; 3) Habib Seqqaf as-Seqqaf yang wafat di Pegirian, Surabaya; 4) KH. Abdurrahman yang lahir di Pegadangan, Sidoarjo dan wafat di Makkah; 5) Syaikh Ubaidah[19]; 6) Syaikh Abdul Aziz al-Bimawi, Nusa Tenggara Barat; 7) Habib Umar bin Thoha, Sindang Laut, Indramyu, Cirebon; 8) Syaikh Abdurrahman al-Baweani, Gresik.[20]

Bermula dari KH. Abdurrahman inilah, maka thariqah mahabbah diturunkan kepada putranya yang bernama KH. Abdul Hadi. Selanjutnya, KH. Abdul Hadi menurunkan “thariqah mahabbah” ini kepada putranya yang bernama KH. Abdurrahim Pasuruan.[21] Pada masa KH. Abdurrahim Pasuruhan inilah mulai dibentuk sebuah organisasi sebagai wadah para pengikut tharikah mahabbah, yang diberi nama ISHARI (Ikatan Seni Hadrah Republik Indonesia) tanggal 15 Rajab 1378/ 23 Januari 1959 M. Adapun tokoh ulama dari Nahdlatul Ulama sebagai pemrakarsa berdirinya ISHARI adalah; 1) KH. Abdul Wahhab Hasbullah (Rais Am PBNU); 2) KH. Bisri Syamsuri (Rais PBNU); 3) KH. Idham Khalid (Ketua Tanfidz PBNU); 4) KH. Saifuddin Zuhri; 5) KH. Ahmad Syaiku; dan 6) KH. Muhammad (putra KH. Abdurrahim) Pasuruan.[22]

Pada tanggal 09 September 1961 M, para tokoh Nahdlatul Ulama dan ISHARI mengadakan rapat pembentukan struktur kepengurusan ISHARI di Jl. Ronggolawe No. 23 Surabaya. Dalam rapat tersebut terbentuklah struktur kepengurusan ISHARI sebagai ketua kehormatan ada tiga orang yaitu; 1) KH. Abdul Wahab Hasbullah (Tambakberas, Jombang); 2) KH. Bisri Syamsuri (Denanyar, Jombang); dan 3) KH. Idham Khalid (Jakarta). Selain sebagai ketua kehormatan, KH. Abdul Wahab Hasbullah juga ditetapkan sebagai penasehat dan pelindung bersama sembilan kiai yang lain. Sedangkan sebagai ketua umum ISHARI adalah KH. Muhammad, putra KH. Abdurrahim, Pasuruan, Jawa Timur.[23]

Seiring berjalannya waktu, pada tanggal 28 Desember 1962 Pengurus Pusat ISHARI mengajukan permohonan kepada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, agar ISHARI dimasukkan ke dalam badan pembinaan NU, mengingat jumlah jama’ah atau anggota ISHARI saat itu mencapai empat puluh ribu anggota yang tersebar di dua puluh cabang seluruh Jawa Timur.[24] Permohonan tersebut akhirnya direstui Nahdlatul Ulama, sehingga pada muktamar NU ke 23 di Solo Jawa Tengah, ISHARI secara resmi diakui menjadi organisasi yang berada dibawah pembinaan Pengurus Syuriah NU (AD/ART NU hasil Muktamar NU ke 23 Solo).[25]

Pada muktamar NU ke 29 tahun 1994 di Cipasung, Jawa Barat, dihasilkan sebuah keputusan bahwa ISHARI dimasukkan ke dalam salah satu badan otonom NU (AD/ART NU Hasil Muktamar NU ke 29 Cipasung, Jawa Barat). Setelah menjadi badan otonom, maka pada tanggal 31 Agustus s/d 01 September 1995, ISHARI mengadakan MUNAS pertama, di Pondok Pesantren Sunan Drajat, Paciran, Lamongan dan menghasilkan beberapa keputusan, yaitu: 1) menetapkan PD/PRT ISHARI; 2) program kerja lima tahun; 3) menetapkan Pimpinan Pusat ISHARI masa bhakti 1995-2000.[26] Adapun susunan pimpinan pusat ISHARI masa bhakti 1995-2000 adalah; 1) sebagai mustasyar adalah Syuriah PW. NU Jatim; 2) Rais Majlis Hadi I: KH. Agus Abdul Hadi, Majlis Hadi II: KH. Agus Masykur, Majlis Hadi III: KH. M. Fadhil Syahuri, Majlis Hadi IV: H.M. Muchlas, dan lain sebagainya.[27]

Pada muktamar NU ke 30 tahun 1999 di Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, dihasilkan sebuah keputusan bahwa ISHARI dimasukkan ke dalam Lembaga Seni Budaya NU (LSB NU) berdasarkan AD/ART NU Hasil Muktamar NU ke 30 Lirboyo, Kediri, Tahun 1999). Akan tetapi, keputusan tersebut banyak memunculkan protes tidak setuju dari berbagai kalangan terutama tokoh ISHARI.[28] Kebanyakan mereka tidak setuju, karena ISHARI yang didalamnya terkandung “thariqah mahabbaturrasul” (metode cinta Rasul) merasa keberatan, bila sebagai “thariqah”, cara, metode dakwah dan juga sebagai jalan menuju Tuhan dan Rasulullah dimasukkan ke dalam Lembaga Seni Budaya NU (LSB NU).

Maka berdasarkan hal di atas, pada muktamar NU ke 31 di asrama haji Boyolali, Jawa Tengah, dihasilkan sebuah keputusan bahwa ISHARI dimasukkan ke dalam lembaga dibawah binaan Lembaga Thariqah Mu’tabarah an-Nahdliyyah (LTMN) berdasarkan AD/ART NU Hasil Muktamar NU ke 31 Boyolali. Dalam keputusan tersebut, sama halnya dengan hasil keputusan muktamar NU ke 30 di Lirboyo, yakni ada pro dan kontra.[29] Yang pro dengan keputusan menyatakan bahwa ISHARI yang didalamnya terkandung “thariqah mahabbah” lebih tepat dimasukkan dalam binaan LTMN. Sementara yang kontra berpendapat bahwa ada beberapa kendala ketika ISHARI dimasukkan LTMN. Sebab tidak ada aturan yang jelas dalam ISHARI bila dikaitkan dengan aturan-aturan yang ada pada organisasi thariqah, seperti: thariqah Qadiriyah, tahriqah Naqsyabandiyah, thariqah Syadziliyah, dan lain-lainya.

Semakin lama posisi ISHARI tidak semakin jelas, apakah ia dibawah binaan LTMN ataukah yang lain. Bahkan pada muktamar NU ke 32 di Makassar diputuskan bahwa LTMN sebagai badan otonom di NU yang diistilahkan dengan Jam’iyah Thariqah Mu’tabarah an-Nahdliyah (JTMN). Maka dengan tidak termaktubnya ISHARI pada tugas dan fungsi JTMN, maka pola ISHARI dengan thariqah semakin tidak jelas.[30] Hal ini diperkuat lagi pada keputusan muktamar  JTMN ke XI, yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Al- Munawariyah, Bululawang, Malang, pada tanggal 14 s/d 18 Desember 2011. Dalam muktamar JTMN  tersebut, sama sekali tidak memasukkan ISHARI kedalam lembaga binaan JTMN. Bahkan selanjutnya, ISHARI yang lahir dari NU sama sekali tidak punya tempat di NU bahkan di JTMN.[31]

Ketidakjelasan ISHARI tersebut tetap menjadi sebuah pemikiran tokoh-tokoh ISHARI untuk mencari sebuah solusi yang tepat. Program kerja lima tahunan ISHARI hasil dari MUNAS ISHARI pertama, pada tanggal 31 Agustus s/d 01 September 1995, di Pondok Pesantren Sunan Drajat, Paciran, Lamongan, diteruskan di wilayah dengan mengadakan MUSWIL ISHARI Jawa Timur pada tahun 1995, yang menghasilkan keputusan: 1) penetapan PD/PRT ISHARI Hasil Munas; 2) program kerja lima tahun; 3) penetapan PW ISHARI Jawa Timut masa bhakti 1995-2000, dengan komposisi KH. Abdul Hadi sebagai Rais Majlis Hadi, KH. Yusuf bin Muhadjir sebagai Khatib, dan H. Nur Fadhil sebagai ketua, serta KH. Mukhsin sebagai sekretaris.[32]

Sementara sampai delapan tahun, struktur kepengurusan di atas tetap berjalan dan juga tidak diadakan MUSWIL ISHARI lima tahunan. Maka pada tanggal 13 Juni 2003 diadakan rapat oleh para pimpinan ISHARI Jawa Timur di aula masjid Rahmat, Jl. Khairil Anwar No. 27 Kembangkuning, Surabaya, dan menghasilkan keputusan resufle PW. ISHARI Jawa Timur masa bhakti 2003-2007.[33] Keputusan tersebut dalam SK PW Jawa Timur dengan nomor: 547/PW/L.I/VII/2003 menjelaskan struktur organisasi ISHARI sebagai berikut: 1) Rais Majlis Hadi: KH. Abdul Hadi; 2) Katib I: KH. Mas Yusuf bin Muhadjir; 3) Ketua tanfidziyah: KH. M. Bachri Ichsan; 4) Sekretaris I: H. Moh. Ali Muhsin.[34]

Pada tanggal 26 Oktober 2008, ISHARI mengadakan MUSWIL Jawa Timur ke IV yang bertempat di aula PC NU Gresik dan menghasilkan dua keputusan, yaitu: 1) penetapan program kerja lima tahunan; 2) memilih kepemimpinan masa bhakti 2008-2013.[35] Struktur kepemimpinan tersebut tertuang dalam SK PWNU Jawa Timur nomor 653/PW/L.I/IV/2009 tertanggal 23 April 2009, dengan komposisi: 1) Rais Majlis Hadi: KH. Abdul Hadi; 2) Katib: KH. Mas Yusuf.[36] Dalam kepengurusan 2008-2013 tersebut, ada dua tokoh ISHARI yang meninggal dunia, yaitu KH. Abdul Hadi (Rais Majlis Hadi) pada tahun 2009, dan KH. Masykur Muhammad (tokoh sentral ISHARI) pada tahun 2010. Dengan demikian, jabatan Rais Majlis Hadi untuk kepengurusan periode tersebut digantikan oleh KH. Mahmud Chusairi.

Sementara, hingga tahun 2012 status ISHARI, yang pada masa lalu dimasukkan dalam Lembaga Thariqah Mu’tabarah an-Nahdliyah (LTMN) juga tidak kunjung menjadi sebuah kejelasan. Maka pada tahun ini pula, para pimpinan ISHARI Jawa Timur berinisiatif mendaftarkan organisasi ISHARI kepada Kementerian Hukum & HAM Republik Indonesia. Akhirnya, inisiatif tersebut berhasil hingga diterbitkan surat pengesahan dari Kementerian Hukum & HAM Republik Indonesia kepada organisasi ISHARI dengan nomor keputusan ANU-138.AN.01.07 Tahun 2012, tertanggal 27 Juli 2012.[37] Berdasarkan pengesahan tersebut, berarti secara legal-formal, ISHARI telah berdiri sendiri dan melepaskan diri dari NU. Tetapi secara kultural, ISHARI merupakan organisasi yang lahir dari rahim NU dan tetap menjadi binaan dan kebanggaan kaum NU.

Pada tanggal 24-25 Agustus 2013 diadakan MUSWIL ISHARI Jawa Timur ke V di Pondok Pesantren Huffadz Darul Ulum, Sumurwaru, Nguling, Pasuruan. Acara tersebut dihadiri oleh 25 cabang dari 32 cabang ISHARI yang ada di Jawa Timur dan menghasilkan keputusan: 1) penetapan PD/PRT ISHARI Jawa Timur; 2) program kerja lima tahunan; 3) memilih kepemimpinan masa bhakti 2013-2018. Struktur kepengurusan pada masa ini adalah: 1) Rais Am Majlis Hadi: KH. Mahmud Chusairi; 2) Katib Am Majlis Hadi: Gus Taqdir Ali Syahbana; 3) Ketua Umum: H. Yusuf Arif; 4) Sekretaris Umum: Ustadz M. Nuruddin. Pelantikan kepengurusan tersebut dilaksanakan oleh PWNU Jawa Timur pada tanggal 26 November 2013 di komplek masjid at-Ta’ibiin Jl. Raya Rungkut Tengah, No. 49 Surabaya berdasarkan SK PWNU Jawa Timur nomor 195/PW/L.I/XI/2013.[38]

Pada kepengurusan masa bhakti 2013-2018 tersebut banyak sekali perubahan dan perbaikan serta pembagian tugas. Di samping itu, mengambil beberapa langkah yang strategis untuk organisasi ISHARI dimasa depan, diantaranya: 1) melaksanakan MUSKERWIL I pada tanggal 24-25 Desember 2013; 2) melaksanakan RAKORWIL I pada tanggal 4 Februari 2014 bertempat di Yayasan Pondok Pesantren Ilmu al-Qur’an Qomaruddin, Bungah, Gresik; 3) melaksanakan pembinaan di cabang dengan menginstruksikan kepada seluruh cabang agar melaksanakan MUSCAB sesuai dengan hasil MUSWIL dan MUSKERWIL Jawa Tumur; 4) bersilaturrahim kepada PW NU Jawa Timur agar ISHARI secara substantif tetap dijadikan sebagai organisasi binaan langsung PWNU.[39]

Dakwah KH. Abdurrahim melalui Tharikat Mahabbah
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa metode dakwah yang digunakan ISHARI adalah melalui “thariqah mahabbaturrasul” (metode cinta Rasul). Di samping sebagai metode berdakwah, thariqah mahabbaturrasul juga dipakai sebagai jalan atau cara yang sistematis untuk menuju ke hadhirat Allah dan Rasul-Nya di lingkungan ISHARI. Thariqah mahabbah ini didasarkan pada syair ISHARI yang berjudul “Anta Hadhir”, yang di dalamnya terdapat ungkapan “al-mahabbah hiya diinii” (cinta Allah & Rasulullah adalah jalanku).[40] Dalam hal ini penulis pernah mendengar keterangan dari KH. Masykur Muhammad (pemuka ISHARI Blitar) pada tahun 2006, ketika shalawatan hadrah(ISHARI) di masjid Baitul Makmur, Sekardangan, Kanigoro, Blitar, bahwa thariqah mahabbah ini sebenarnya sudah banyak dilaksanakan oleh para ahli tasawwuf seperti Rabi’ah al-Adawiyah, dan lain-lainnya.

Dalam pandangan tasawuf, mahabbah (cinta) merupakan pijakan bagi segenap kemuliaanhal, sama dengan taubat yang merupakan dasar bagi kemuliaan maqam, karena mahabbah pada dasarnya adalah anugerah yang menjadi dasar pijakan bagi segenap hal, kaum sufi menyebutnya sebagai “anugerah tertinggi”.[41]Rabi’ah al-Adawiyah dianggap sebagai seorang sufi yang meletakkan dasar cinta (al-mahabbah) sebagai jalan menuju Tuhannya. Adapun di antara syair Rabi’ah yang menunjukkan cinta kepada Allah adalah: “... bahwa saya menyembah-Nya karena rindu dan cinta kepada-Nya”.[42] Dalam hal ini, Hamka sebagaimana dikutip Toriquddin pernah mengatakan: “Cinta murni kepada Tuhan, inilah puncak tasawuf Rabi’ah. Pantun-pantun kecintaan pada Ilahi, yang kemudian banyak keluar dari ucapan sufi yang besar sebagaimana Fariduddin al-Athar, Ibnu Faridh, al-Hallaj, Jalaluddin Rumi, dan lain-lain, telah dimulai lebih dahulu oleh Rabi’ah.”[43]

Dakwah ISHARI melalui thariqah mahabbah(cinta Rasul) didasarkan pada hadist yang diriwayatkan Anas dari Rasulullah saw: “Ada tiga hal yang dengannya, seseorang akan merasakan manisnya iman, yaitu 1) hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai daripada selainnya; 2) hendaknya seseorang mencintai seseorang hanya karena Allah; 3) hendaknya seseorang benci untuk kembali kepada kekafiran, sebagaimana dia benci untuk dimasukkan ke dalam neraka.”[44]Thariqah mahabbah dalam ISHARI mengajarkan cinta kepada Allah dan Rasulullah saw melalui bacaan Kitab Maulid Syaraf al-Anam dan syair-syair shalawat yang ada di dalam Kitab Diwan Hadrah.

Dalam amaliyah “thariqah mahabbaturrasul” organisasi ISHARI, ada beberapa hal yang dilakukan para pengikutnya untuk mengekspresikan cintanya kepada Allah dan Rasulullah. Pertama, mengenai bacaan shalawat yang dilantunkan oleh organisasi ISHARI. Hal ini ada dua kitab sebagai pegangan yaitu; 1) Kitab Maulid Syaraf al-Anam sebagai sumber bacaan utama; 2) Kitab Diwan Hadrah sebagai sumber bacaan mengenai syair-syair yang digunakan untuk jawaban, sambil melakukan tarian raddat.[45]Sementara dalam Kitab Maulid Syaraf al-Anam berisi bacaan yang berupa “syair” dan “natsar”. Pemimpin bacaan “syair” disebut Hadi (Guru Hadi/Badal Hadi), sedangkan seorang yang membaca “natsar” disebut Rawi (pembaca riwayat Nabi Muhammad saw).

Kedua, mengenai irama bacaan syair dalam lingkungan ISHARI. Hal ini ada tiga jenis yaitu; 1) Irama Juz, dimana syair mengikuti irama dua kali, dua ketukan tangan dengan tempo agak lambat secara terus menerus sampai tuntas, “tak-dik, tak-tak”. Penamaan “Juz” berati bagian, yang maksudnya bahwa dua kali, dua ketukan ini mempunyai filosofi yang sangat unik. Yakni untuk mengingat dua kalimah syahadat yang mana tidak boleh pisah dari seorang yang beriman.[46] 2) Irama Yahum, dimana syair mengikuti irama tiga kali ketukan tangan dengan tempo lebih cepat dari irama juz sampai tuntas, “tak-dik-tak”. Penyebutan “Yahum” mengandung filosofi yang indah. Ia diambil dari kata “Ya Huwa” yang artinya “Dialah Tuhanku”.[47] 3) Irama Tareem, dimana syair mengikuti irama tiga kali ketukan dengan tempo sangat cepat sampai tuntas, “tak-dik-tak”. Penyebutan “Tareem” diambil dari kata “Tareem” yang merupakan nama kota di Yaman. Irama Tareem ada tiga yaitu; a. Tareem Inat (tak-tak-dik); b. Tareem Rojaz (dik-tak-tak-tak); dan c. Tareem Biasa (tak-dik-tak).[48]

Ketiga, posisi penabuh rebana (ad-duff) dalam lingkungan ISHARI. Posisi ditengah adalah Guru Hadi, disamping kanan Guru Hadi ada tiga orang penabuh rebana, dan di sampinh kiri Guru Hadi juga ada tiga orang penabuh rebana. Hal ini dalam kalangan ISHARI mengandung filosofi yang unik pula. Tiga penabuh rebana disamping kanan Guru Hadi menunjukkan “tiga pokok ajaran Islam”, yaitu Iman-Islam-Ihsan. Sementara tiga penabuh rebana disamping kiri Guru Hadi menunjukkan “tiga pokok ilmu dalam Islam”, yaitu Ilmu Tauhid-Ilmu Fiqih-Ilmu Tasawwuf.[49]

Keempat, irama syair dalam lingkungan ISHARI. Irama pukulan/ketukan dalam ISHARI bukan hanya sekedar irama pukulan/ketukan biasa. Akan tetapi irama pukulan/ketukan dalam ISHARI mengandung makna filosofis yang berfungsi sebagai “thariqah mahabbah” (metode/jalan cinta Allah & Rasulullah). Sehingga dalam hal ini, untuk menguasainya harus melalui bimbingan Guru Hadi. Adapun penjelasan filosofi ketukan tersebut adalah: 1) Irama pukulan Juz: berbunyi “tak-dik-tak” selaras dengan notasi Hu-All-Loh atau lafadz Mu-Ham-Mad; 2) Irama pukulan Yahum: merupakan simbol “Lailahaillallah” dan “Muhammadur-Rasulullah”. Dalam irama Yahum ada tiga notasi yang dipadukan yaitu, a. krotokan (wedokan), terdiri lima hentakan “taktak-taktak-dik” yang berarti pengamalan lima rukun Islam, b. penyela (tengahan), terdiri dari empat hentakan “tak-tak-tak-dik” yang bermakna sumber hukum Islam ada lima yaitu al-Qur’an, al-Hadist, al-Ijma, al-Qiyas, c. pengonteng (lanangan), terdiri dari tiga hentakan “tak-dik-tak” yang bermakna pokok ajaran Islam yaitu Tauhid, Fiqih, dan Tasawwuf. 3) Irama pukulan Tareem: secara umum arti filosofisnya sama dengan Yahum.[50]

Kelima, roddat. Istilah “roddat” berasal dari Bahasa Arab kata kerja rodda-yaruddu-roddan, yang berarti mengembalikan, membalas, dan menolak.[51] Ada tiga hal yang dilakukan oleh seorang yang sedang roddat, yaitu: 1) membalas lantunan shalawat yang dikumandangkan oleh Guru Hadi; 2) melakukakan “raqs” (gerakan tarian khusus ISHARI); 3) melakukan “tashfiq” (tepuk tangan khusus ISHARI); 4) Melakukan “suluk” dalam istilah ahli tasawwuf, kalau dalam bahasa Jawa “sambat maring Gusti Alloh”. 

Adapun maksud dan tujuan raddat adalah: 1) gerakan dan tarian dalam raddat merupakan tasbih dan zikir kepada Allah; 2) melahirkan rasa senang dan gembira atas kelahiran Nabi Muhammad saw; 3) pada saat tepuk tangan [tashfiq] dimaksudkan melahirkan rasa suka cita akan kehadiran Nabi Muhammad saw di muka bumi ini; 4) Suluk kecil (sambat; Bahasa Jawa) dimaksudkan untuk bermunajat dan mengadu kepada Allah serta memohon syafaat Rasulullah saw.[52] Sementara dalam raddat menggunakan gerakan badan dibagi dua macam, yaitu: 1) raddat badan dengan mengikutsertakan anggukan kepala diserasikan dengan notasi rebana, mengilustrasikan penulisan lafadz “Allah”; 2) raddat badan dengan tarian tangan, mengilustrasikan penulisan lafadz “Muhammad”.[53]




Daftar Pustaka

Abdullah, Miftahul Munir. Raudhah al-Jannah. Jombang: Lintas Media, t.t.
Al-Fasuruwani, Muhammad Nuruddin. Al-Iqdu Al-Durar Fii Tarjamati al-Shalawati ala an-Nabi li al-Ishari. Surabaya: Pimpinan Wilayah ISHARI Jawa Timur, 2015.
Ilaihi, Wahyu & Harjani Hefni. Pengantar Sejarah Dakwah. Jakarta: Kencana, 2007.
Muhammad, Masykur bin. Durr al-Nafi’ alaa Shalawat al-Duff. Blitar: ISHARI, t.t.
Nuruddin, M. Hadroh Dalam Ishari, Seni Atau Ibadah: Sebuah Refleksi yang Menyingkap Tirani Kejumudan Tradisi dalam Bingkai Religi. Pasuruan: MuswiL Jatim, 2013.
Riwayadi, Susilo & Suci Nur Anisyah. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Penerbit Sinar Terang, t.t.
Rahmatullah (khat). Maj’muah Maulid wa Ad’iyyah. Semarang: Maktabah Thoha Putra, t.t.
Shiddiqi, Nourouzzaman.Menguak Sejarah Muslim. Jakarta: PLP2M, 1984.
Toriquddin, Moh. Sekularitas Tasawuf: Membumikan Tasawuf dalam Dunia Modern. Malang: UIN Press, 2008.
 
Arif Muzayin Shofwan (1)
 
Arif Muzayin Shofwan (2)

 
Arif Muzayin Shofwan (3)


Tentang Penulis
 Arif Muzayin Shofwan merupakan pria kelahiran Blitar, Jawa Timur. Dia pernah berguru mbawak tanaqqalta, badadlana, dan muhud lainnya dalam tradisi ISHARI kepada Kyai Masykur Muhammad Tawangsari, Garum, Blitar.  Selain itu, dia juga tercatat sebagai aktivis The Post Institute Blitar sebagai ketua Divisi Multikulturalisme. Pria tersebut saat ini bertempat tinggal di Jl. Masjid Baitul Makmur Sekardangan RT. 03 RW. 09 Papungan, Kanigoro, Blitar, Jawa Timur. HP. 085649706399.


[1] Lihat lebih lengkap Wahyu Ilaihi & Harjani Hefni, Pengantar Sejarah Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 1
[2] Ibid, hal. 1. Lihat pula Nourouzzaman Shiddiqi, Menguak Sejarah Muslim, (Jakarta: PLP2M, 1984), hal. 8-9.
[3] Ibid, hal. 2
[4] Susilo Riwayadi & Suci Nur Anisyah, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Penerbit Sinar Terang, t.t), hal. 473
[5] Muhammad Nuruddin Al-Fasuruwani, Al-Iqdu Al-Durar ..., hal. 3
[6] M. Nuruddin, Hadrah Dalam Ishari..., hal. 5-6.
[7] Beliau adalah salah satu sanad thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyah dari Habib Luthfi Pekalongan, dengan urutan Habib Luthfi dari Habib Malik, dari Habib Ilyas, dari Syaikh Ubaidah.
[8] Muhammad Nuruddin Al-Fasuruwani, Al-Iqdu Al-Durar ..., hal. 3-4.
[9] Bermula dari KH. Abdurrahim ini, selanjutnya “thariqah mahabbah” diteruskan dan disebarkan oleh putra-putri beliau antara lain: KH. Muhammad (Pasuruan), KH. Abdurrahman (Malang), KH. Abdul Madjid (Lumajang), KH. Sami’ (Gresik), KH. Abdul Hadi (Jombang), KH. Masykur Muhammad (Blitar), KH. Abdussalam (Lumajang).
[10] Muhammad Nuruddin Al-Fasuruwani, Al-Iqdu Al-Durar ..., hal. 11
[11] Lihat tentang shalawat Maulid Syaraf al-Anam dalam Rahmatullah (khat), Maj’muah Maulid wa Ad’iyyah, (Semarang: Maktabah Thoha Putra, t.t), hal. 98-163.
[12] Muhammad Nuruddin Al-Fasuruwani, Al-Iqdu Al-Durar Fii Tarjamati al-Shalawati ala an-Nabi li al-Ishari, (Surabaya: Pimpinan Wilayah ISHARI Jawa Timur, 2015), hal. 2
[13] Ibid, hal. 2
[14] Ibid hal. 2.
[15] M. Nuruddin, Hadrah Dalam Ishari, Seni Atau Ibadah: Sebuah Refleksi yang Menyingkap Tirani Kejumudan Tradisi dalam Bingkai Religi, (Pasuruan: Muswil Jatim, 2013), hal. 2-3.
[16] Muhammad Nuruddin Al-Fasuruwani, Al-Iqdu Al-Durar ..., hal. 3
[17] M. Nuruddin, Hadrah Dalam Ishari..., hal. 5-6.
[18] Lihat Muhammad Nuruddin Al-Fasuruwani, Al-Iqdu Al-Durar ..., hal. 3
[19] Beliau adalah salah satu sanad thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyah dari Habib Luthfi Pekalongan, dengan urutan Habib Luthfi dari Habib Malik, dari Habib Ilyas, dari Syaikh Ubaidah.
[20] Muhammad Nuruddin Al-Fasuruwani, Al-Iqdu Al-Durar ..., hal. 3-4.
[21] Bermula dari KH. Abdurrahim ini, selanjutnya “thariqah mahabbah” diteruskan dan disebarkan oleh putra-putri beliau antara lain: KH. Muhammad (Pasuruan), KH. Abdurrahman (Malang), KH. Abdul Madjid (Lumajang), KH. Sami’ (Gresik), KH. Abdul Hadi (Jombang), KH. Masykur Muhammad (Blitar), KH. Abdussalam (Lumajang).
[22] Muhammad Nuruddin Al-Fasuruwani, Al-Iqdu Al-Durar ..., hal. 11
[23] Salinan Lembaran Putjuk Pimpinan ISHARI, Surabaya 9 September 1961.
[24] Muhammad Nuruddin Al-Fasuruwani, Al-Iqdu Al-Durar ..., hal. 12
[25] Ibid, hal. 12
[26] Ibid, hal. 13
[27] Lebih lengkap lihat Salinan Susunan Pengurus ISHARI Wilayah Jawa Timur Periode 1995-2000.
[28] Muhammad Nuruddin Al-Fasuruwani, Al-Iqdu Al-Durar ..., hal. 13
[29] Ibid, hal. 14
[30] Ibid, hal. 14
[31] Ibid, hal. 14
[32] Ibid, hal. 15
[33] Ibid, hal. 15-16
[34] Lihat Salinan Susunan Pengurus Wilayah ISHARI Jawa Timur Periode 2003-2007.
[35] Muhammad Nuruddin Al-Fasuruwani, Al-Iqdu Al-Durar ..., hal. 16
[36] Salinan Susunan Pengurus Pimpinan Wilayah ISHARI Jawa Timur Periode 2008-2013.
[37] Muhammad Nuruddin Al-Fasuruwani, Al-Iqdu Al-Durar ..., hal. 17
[38] Ibid, hal. 17
[39] Ibid, hal. 18
[40] Miftahul Munir Abdullah, Raudhah al-Jannah, (Jombang: Lintas Media), hal. 139.
[41] Moh. Toriquddin, Sekularitas Tasawuf: Membumikan Tasawuf dalam Dunia Modern, (Malang: UIN Press, 2008), hal. 88
[42] Ibid, hal. 182
[43] Ibid, hal. 185. Lihat pula M. Jamil, Cakrawala Tasawuf, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), hal. 92-96.
[44] HR. Bukhari
[45] Muhammad Nuruddin Al-Fasuruwani, Al-Iqdu Al-Durar ..., hal. 5
[46] Ibid, hal. 5-6
[47] Ibid, hal. 6
[48] Ibid, hal. 6
[49] Ibid, hal. 6
[50] Ibid, hal. 7-8
[51] Ibid, hal. 8
[52] Ibid, hal. 8-9
[53] Ibid, hal. 9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar