Oleh: Arif Muzayin Shofwan
Pada abad 17
masehi, jauh sebelum berdirinya Masjid
Baitul Makmur yang diprakarsai oleh Mbah Kyai Imam Fakih pada tahun 1900
masehi, Sekardangan merupakan sebuah dusun yang di babat oleh beberapa
tokoh agung, diantaranya: Mbah Kyai
Raden Tirto Sentono (makam istrinya
di Gaprang), Mbah Kyai Abu Yamin
(makam di Gaprang), Mbah Kyai Hasan Muhtar (makam di Gaprang), Mbah Kyai Abu Bakar, Mbah Kyai Barnawi, Mbah Kyai Sopuro (makam terlama di Barat Masjid Baitul Makmur),
Mbah Menthel dan lain-lain. Lebih
jauh dari masa ini pula (yakni, zaman
peralihan Dinasti Kerajaan Islam Pajang-Mataram seputar tahun 1580 masehi),
Sekardangan merupakan sebuah dusun yang didirikan oleh Nyai Gadhung Melati (Mbah Sekar)
yang makamnya berada di dusun Sarehan
(berada di sebelah Selatan Kota Solo, Jawa
Tengah). Setelah Nyai Gadhung Melati mendirikan dusun Sekardangan (Kec. Kanigoro Kab. Blitar), lalu sekitar
tahun 1621 masehi beliau kembali pulang
ke daerah asalnya yaitu dusun Banyubiru (sekarang
Sarehan) yang berada di Selatan Kota Solo, Jawa Tengah. Perlu diketahui
bahwa Nyai Gadhung Melati adalah istri Kyai
Ageng Purwoto Sidik (Kyai Ageng Banyubiru) yang merupakan
guru spiritual Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya (Pendiri Kerajaan Islam Pajang). Di dusun Sekardangan, maka
ditempat pendirian “Monumen Petilasan”
inilah, Nyai Gadhung Melati dulu mendirikan sebuah Sanggar/Langgar (Gasebo) dari
kayu dan bambu.
Menurut
sesepuh, seputar abad 17 masehi, seorang tokoh yang pertama kali mendirikan
tempat ibadah di dusun Sekardangan adalah Mbah
Kyai Barnawi. Tempat ibadah yang disebut “Langgar” ini dahulu berada ditengah-tengah dusun Sekardangan, yang
di tempat itu dulu ada “Sumber Mata Air”-nya.
Namun langgar itu hingga kini sudah
tidak ada bekasnya sama sekali. Tokoh kedua yang mendirikan sebuah “Langgar” adalah Mbah Kyai Abu Bakar (penerus
langgar Mbah Kyai Hasan Muhtar). Langgar Mbah Kyai Abu Bakar ini, hingga
kini masih berdiri sesuai dengan ciri khas “Langgar Zaman Mataraman”, yakni masih terlihat “Logo Mataraman” berada di tembok
pengimaman langgar sebelah Barat. Langgar
ini juga masih berhiaskan simbol-simbol
bunga di atas setiap pintu ataupun jendela sebagai akulturasi budaya Jawa.
Konon, langgar Mbah Kyai Abu Bakar ini dahulu dipakai sebagai sarana “Shalat Jum’at” warga dusun Sekardangan.
Di era ini pula, menyusul berdirinya langgar
yang diprakarsai oleh Mbah Kyai Abdurrahman,
Mbah Kyai Zainuddin, Mbah Kyai Murasyid dan beberapa langgar yang lain.
Pada era
selanjutnya, seputar abad 18 masehi datanglah seorang dari Bagelenan, Jawa
Tengah yang bernama Mbah Kyai Imam
Fakih, menantu dari Mbah Kyai Abu Mansyur Kuningan. Beliau membeli tanah yang
luas tepat berada di pojok dusun Sekardangan bagian Selatan, paling Timur.
Sebagian tanah itu pada tahun 1900 masehi dijual pada Kompeni Belanda untuk
jalan trem kereta api pengangkut tebu. Dari hasil penjualan itulah, digunakan
sebagai modal untuk mendirikan sebuah pesantren
dan masjid yang sekarang diberi nama
“Masjid Baitul Makmur”. Ide
pendirian pesantren dan masjid tersebut disokong warga Sekardangan dengan
berbagai bantuan yang berupa batu bata, pasir, kayu bangunan, tenaga, pikiran
dan lain-lainnya. Tersebut pula pada seputar era ini diantaranya Mbah Kyai
Hasan Thohiran (sahabat perjuangan Mbah
Kyai Imam Fakih), Mbah Kyai Ahmad Dasuqi, Mbah Kyai Hasyim, Mbah Kyai
Sadzali, Mbah Kyai Shobiri dan lain-lain. Era-era selanjutnya, seputar abad
19-20 masehi telah muncul beberapa tokoh kyai diantaranya; Mbah Kyai Romli, Mbah
Kyai Abbas Fakih, Mbah Kyai Mahfudz (pejuang
syahid), Mbah Kyai Imam Mahdi, Mbah Kyai Hamzah, Mbah Kyai Mahrus Yunus,
Mbah Kyai Nasruddin, Mbah Kyai Zainuddin, Mbah Kyai Muhtar Fauzi, Mbah Kyai
Maulan, dan seterusnya.
Bung Karno mengatakan: “Jas Merah,
Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah!”
(Dikeluarkan
Oleh: PUSAT STUDI SEJARAH SEKARDANGAN
(PUSKAR)
Sekardangan)
Monumen Petilasan Nyi Ageng Sekardangan |
Monumen Petilasan Nyi Ageng Sekardangan |
Denah Seputar Petilasan Nyi Ageng Sekardangan |
Tanda Arah Menuju Kolam Petilasan Nyi Ageng Sekardangan |
Makam Kyai Purwoto Sidik (Ki Kebo Kanigoro) dan istrinya Nyai Gadhung Melati dan anaknya Roro Tenggok |
Ijin share
BalasHapusOkeee
BalasHapusIzin nyimak Mas Arief,ini nartikel yang bagus ,oh ya saya jg pernah mondok di PP Alfalah Trenceng,walau 1 thn tabarukan .Ni saya juga masih keturunan Mbah Kiai Romli Sekardangan dari jalur Putri beliau Nyai Asmuni di Pojok Grum Blitar,namun saya dari keturunan nya di SUKADANA Lampung timur.Sepertinya Mas Arif faham ulamam ulama SEKARDANGAN,nah sya kehilangan jejak silsilah MBAH kiai Romli bin Hasan Juhari,keturunan siapakah Yai Hasan Juhari Sekardangan,karena dulu beliau adalah murid Ky As'ary ayah KH.Hasiem As'ary Jombang Jatim.Suwun mas yo.
BalasHapusApakah yg dimaksud dg mbah hasan banyubiru itu ada kaitannya diatas ya?
BalasHapussaya atas nama BPK. SAMSUL dari MADURA ingin mengucapkan banyak terimah kasih kepada MBAH KARYO,kalau bukan karna bantuannya munkin sekaran saya sudah terlantar dan tidak pernaah terpikirkan oleh saya kalau saya sdh bisa sesukses ini dan saya tdk menyanka klau MBAH KARYO bisa sehebat ini menembuskan semua no,,jika anda ingin seperti saya silahkan hubungi MBAH KARYO no ini 082301536999 saya yakin anda tdk akan pernah menyesal klau sudah berhubungan dgn MBAH KARYO dan jgn percaya klau ada yg menggunakan pesan ini klau bukan nama BPK. SAMSUL dan bukan nama MBAH KARYO krna itu cuma palsu.m
BalasHapus