Sabtu, 04 Juli 2015

KIAI AGENG WITONO DAN MASJID TIBAN AL-ISTIMRAR KALANGBRET TULUNGAGUNG



Oleh: Arif Muzayin Shofwan

Kiai Ageng Witono atau yang kadang disebut Syaikh Hasan Ghozali atau Mbah Hasan Ghozali merupakan ulama yang hidup pada abad 17 masehi dan berdakwah Islam di Kalangbret, Kauman, Tulungagung. Kiai Ageng Witono diberi gelar “Syaikh” atau “Kiai” karena beliau merupakan seorang ulama yang mengajarkan ajaran agama Islam. Disebut “Mbah” berarti orang yang sudah tua umurnya atau orang yang lebih tua ilmunya. Dikatakan atau disebut “Witono” karena beliau merupakan orang yang menjadi “wiwitane ono” (awalnya ada) diskusi-diskusi ajaran agama Islam di Kalangbret, Kauman, Tulungagung pada zamannya. Ada pula yang menyebut “Kiai Mangun Witono”, sebab dialah orang yang pertama kali membangun [mangun; mbangun] tradisi kajian-kajian agama Islam di daerah Kalangbret, Kauman, Tulungagung. Dalam literatur-literatur lain, dia biasanya juga disebut “Kiai Naib Witono”, sebab dia pada jaman dahulu berprofesi sebagai “Naib” (penghulu), yang biasa menikahkan masyarakat Kalangbret, Kauman, Tulungagung pada zamannya. Dalam hal ini, perlu diketahui bahwa keturunan-keturunan beliau pada akhirnya juga banyak yang berprofesi sebagai “Naib” (penghulu). Kiai Ageng Witono merupakan putra dari Kiai Ageng Donopuro (guru dari Kiai Ageng Besari I) yang masih keturunan Sunan Tembayat, Klaten, Jawa Tengah. Berikut silsilah Syaikh Hasan Ghozali (Kiai Ageng Witono):
1.      Sunan Tembayat (Sayyid Hasan Nawawi), berputra:
2.      Panembahan Jiwo (Sayyid Ishaq), berputra:
3.      Panembahan Masjid Wetan, berputra:
4.      Pangeran Sumendi I (Bayat), berputra:
5.      Pangeran Sumendi II (Setono, Jetis, Ponorogo), berputra:
6.      Pangeran Kabo, berputra:
7.      Raden Ratmojo, berputra:
8.      Kiai Ageng Donopuro (guru Kiai Hasan Besari I), berputra:
9.      Kiai Ageng Witono (Syaikh Hasan Ghozali), Kalangbret, Tulungagung.
Pada jaman dahulu, Kiai Ageng Witono berprofesi sebagai “naib” (penghulu) di daerah Kalangbret, Kauman, Tulungagung. Maka tak heran bila keturunan-keturunan beliau banyak yang menjadi “naib” (penghulu). Kiai Ageng Witono mempunyai adik yang bernama Kiai Raden Taklim yang berprofesi sebagai “naib” (penghulu) pula di Srengat, Blitar. Bahkan Kiai Raden Taklim juga menurunkan keturunan yang banyak berprofesi sebagai “naib” (penghulu) pula di daerah Blitar. Perlu diketahui bahwa Kiai Raden Taklim merupakan ayah dari Kiai Raden Muhammad Kasiman yang rumahnya berada di Utara “Masjid Agung Kota Blitar” [barat alon-alon kota Blitar]. Kiai Raden Muhammad Kasiman inilah seorang yang menurunkan para pendiri masjid agung kota Blitar yang sangat megah tersebut. Perlu diketahui bahwa di areal makam Kiai Ageng Witono, Kalangbret, Kauman, Tulungagung, juga dimakamkan pula “para naib” (penghulu) yang merupakan keturunan dari beliau [Kiai Ageng Witono] tersebut.
Sementara Kiai Hasan Mimbar merupakan teman karib Kiai Ageng Witono dalam perjuangan menegakkan ajaran agama Islam.  Dalam berbagai kajian, Kiai Hasan Mimbar merupakan ulama keturunan Sunan Ampel, Surabaya bisa dibenarkan. Seorang penulis di Kompasiana pada10 Desember 2011 [saya tidak perlu sebutkan namanya] menulis “asal-asalan” dan tidak konsisten dalam menulis sejarah Kiai Ageng Witono. Dia [si penulis] menyebutkan bahwa Ki Ageng Witono berasal dari “Klaten Jawa Tengah”. Berikut tulisannya: “Mbah Hasan Ghazali sendiri berasal dari daerah Klaten, Jawa Tengah.”. Tentu ini juga bisa disalahkan dan bisa dianggap bahwa dia [si penulis] tidak mengetahui data-data atau tidak berdasarkan data-data tertulis. Kalau dia menuliskan bahwa Kiai Hasan Ghozali adalah putra Kiai Ageng Donopuro (Sentono, Jetis, Ponorogo) dan keturunan Sunan Tembayat, Klaten, Jawa Tengah, maka ini baru bisa dianggap betul [sesuai dengan data].
Begitu pula, di sisi lain si penulis di Kompasiana tersebut mengatakan bahwa Kiai Ageng Witono adalah saudara kandung Kiai Hasan Mimbar, yang tentu berasal dari “Tawangsari, Tulungagung”. Salah satu keturunan Kiai Hasan Mimbar menyatakan dan tabayun kepada saya bahwa Kiai Hasan Mimbar berada di Majan, Tulungagung, bukan Tawangsari. Dengan demikian apa yang ada di Kompasiana tersebut layak dipertanyakan keakuratan datanya. Bahkan si penulis juga mengeluarkan silsilah Kiai Ageng Witono yang layak dipertanyakan. Sebelumnya penulis Kompasiana tersebut mengatakan bahwa Kiai Ageng Witono berasal dari “Klaten, Jawa Tengah”. Tetapi kalau membaca silsilah dibawah ini, kita agak sedikit geli membacanya. Apa yang membuat geli?. Jawabnya, awalnya dia katakan dari “Klaten, Jawa Tengah”, tetapi disisi lain dia katakan bahwa Kiai Ageng Witono dari “Tawangsari, Tulungagung”. Berikut yang dia tuliskan: “Beliau bertiga [Kiai Ageng Witono, Kiai Hasan Mimbar, Kiai Abdul Qohar; pen] adalah putra Mbah Madali (Tawangsari ) bin Mursyidin (Mojoagung) bin Siti Munawaroh binti Sunan Drajat bin Sunan Ampel bin Sunan Asmoro Qondi bin Maulana Jumadil Kubro Troloyo”. Sekali lagi, di sisi lain dia [si penulis] mengatakan bahwa Kiai Ageng Witono berasal dari Klaten, Jawa Tengah. Di sisi lain dia [si penulis] mengatakan bahwa Kiai Ageng Witono adalah putra Mbah Madali yang tentu berasal dari Tawangsari, Tulungagung. Ini bukti bahwa penulis di Kompasiana tersebut menulis secara “asal comot informasi” dan “asal-asalan”, tidak bisa dipertanggungjawabkan, dan tidak bisa dipakai bahan rujukan oleh penulis atau peneliti lain. Tidak pula dia [si penulis tersebut] konsisten. Atau minimal mendekati “konsisten” lah.
Dalam menulis, si penulis di Kompasiana tersebut hanya asal menulis dan tidak melakukan penelitian melalui data-data yang valid atau mungkin mendekati valid. Apalagi si penulis di Kompasiana tersebut terkesan tidak memiliki kapasitas sebagai penulis sejarah Kiai Ageng Witono, yakni dengan mengutip pernyataan seorang mursyid yang menyatakan bahwa Kiai Ageng Witono tidak pernah menikah. Saya katakan, kalau ada seorang mursyid yang bilang bahwa Kiai Ageng Witono tidak menikah, itu menandakan mursyid tersebut juga tidak punya kapasitas tentang sejarah dan silsilah Kiai Ageng Witono. Si mursyid tidak tahu-menahu tentang data-data dan hanya meraba-raba belaka. Tulisan yang ditulis si penulis Kompasiana tersebut juga merupakan sebuah keragu-raguan, dengan dibumbui kata “wallahua’lam” (hanya Allah yang lebih tahu) atas benar dan salahnya yang dia tuliskan tentang sejarah Kiai Ageng Witono. Hal ini menunjukkan bahwa penulis tidak mengadakan penelitian-penelitian melalui data-data secara benar. Dia hanya menulis secara “asal-asalan” dengan data-data yang sangat minim, sehingga bisa dipastikan kebenaran tulisannya pun tidak bisa dipertanggungjawabkan. Perlu diketahui bahwa baik Kiai Ageng Witono dan Kiai Hasan Mimbar dalam hidupnya juga melakukan “pernikahan” dan keduanya mempunyai banyak keturunan di daerah Tulungagung, Blitar, Kediri, Malang, dan lain sebagainya.
Melebih-lebihkan Cerita Masjid Tiban Al-Istimrar
Si penulis di Kompasiana [yang tak perlu saya sebutkan namanya] tersebut juga terlihat melebih-lebihkan cerita tentang Masjid Tiban Al-Istimrar, untuk memberikan rasa kekaguman kepada masyarakat dengan mengatakan sebagai berikut: “Warga Desa Kauman, Kauman, Tulungagung, Jawa Timur pagi itu dihebohkan dengan sebuah bangunan berbentuk masjid yang muncul secara tiba-tiba. Padahal, sore harinya di lokasi tersebut sama sekali tidak terdapat bangunan. Tentu saja hal ini menyita perhatian masyarakat luas. Tanda tanya besar pun meliputi benak mereka. Siapakah yang mendirikannya?”. Tidak ada bangunan yang muncul tiba-tiba semacam ini walaupun keluar dari waliyullah sekalipun. Ini adalah ucapan yang “melebih-lebihkan cerita” dan tidak bisa dipertanggungjawabkan sama sekali secara ilmiah. Kisah atau cerita tersebut hanya layak dimasukkan dalam dongeng atau legenda. Ini merupakan ungkapan yang ingin membesar-besarkan nama waliyullah. Justru dengan ucapan seperti ini malah tidak membesarkan waliyullah tersebut. Kecuali dalam tataran dongeng atau legenda, silahkan saja bercerita begitu. Tetapi bisa jadi malah merendahkan waliyullah tersebut, sebab kisah nyata malah masuk dalam dongeng yang tidak ilmiah. Untuk itu, saya katakan, yang biasa saja kawan!. Yang kiranya sedikit masuk akal, malah lebih baik. Jangan membesar-besarkan sejarah atau kisah seorang tokoh dengan cerita tahayyul yang justru malah bisa membodohkan umat.
Perlu diketahui bahwa dahulu di areal makam “Kiai Ageng Witono” itu memang tidak ada masjid berupa bangunan indah seperti yang terlihat seperti sekarang. Bahkan di lokasi yang didirikan masjid tersebut dahulu hanya berupa pohon-pohon yang rindang yang Barat-nya terdapat banyak makam (kuburan-kuburan), termasuk “Makam Kiai Ageng Witono” yang belum dicungkup pada masa tersebut. Perlu diketahui pula bahwa terbengkalainya sebuah masjid tiban setelah Kiai Ageng Witono meninggal merupakan bukti bahwa Kiai Ageng Witono tidak mempunyai keturunan adalah pernyataan yang “tidak benar” dan menandakan minimnya informasi tentang sejarah Kiai Ageng Witono. Sekali lagi perlu saya katakan bahwa masjid tersebut dibangun oleh orang-orang setelah Kiai Ageng Witono meninggal dunia berpaut sangat jauh. Perlu diketahui pula, kakek-kakek buyut saya dulu sering ke makam Kiai Ageng Witono tersebut, dan memang disana tidak ada bangunan masjid. Yang ada di tempat tersebut adalah [di Timur makam] hanya ada pohon-pohon rindang, yang konon dahulu pada jaman Kiai Ageng Witono merupakan masjid tiban. Tetapi arti “masjid tiban” tersebut tidak dimaknai “sore hari tidak ada banguna masjid, lalu pada pagi hari ada bangunan masjid”. Sebab ini adalah pernyataan yang konyol yang hanya ingin membesar-besarkan sejarah melebih-lebihkan kisah seorang tokoh secara tidak masuk akal. Sekali lagi, istilah “masjid tiban” pada konteks Kiai Ageng Witono ini tidak bisa hanya dipahami secara tahayyul yang mungkin malah bisa membodohkan manusia lain atau umat Islam sendiri. Kisah Kiai Ageng Witono bukan “dongeng”, tapi kisah “nyata”, kawan.
Perlu saya jelaskan di sini bahwa “masjid tiban” yang dimaksud [dalam konteks ini] bisa dipahami seperti “pasar tiban”. Artinya, karena keterbatasan sarana dan prasarana pada jaman dahulu, lalu Kiai Ageng Witono membuat masjid tiban [tiba-tiba ada] secara sederhana, yang pokok bisa dipakai untuk shalat jama’ah bersama dan shalat Jumat bersama. Dalam Islam, tanah lapang bisa dipakai sebagai masjid dan bisa diniati sebagai masjid untuk mengadakan jama’ah bersama. Inilah yang dimaksud masjid tiban di era Kiai Ageng Witono. Bukan kisah “yang tidak masuk akal” dan “melebih-lebihkan cerita” bahwa “pagi hari tidak ada bangunan masjid, lalu sore hari ada bangunan masjid”. Apalagi dalam tulisan Kompasiana si penulis menyatakan: “Setelah tinggal di Kauman, beberapa waktu kemudian Mbah Ageng mendirikan sebuah masjid yang konon tidak diketahui saat pembangunannya. Warga Kauman hanya menyaksikan masjid tersebut sudah berdiri kokoh di pagi hari. Padahal, sore harinya di lokasi tersebut sama sekali tidak terdapat bangunan. Karena muncul tiba-tiba, masjid tersebut kemudian diberi nama Masjid Tiban Istimror.” Ini adalah pernyataan yang sangat lucu, apalagi bila diucapkan dalam era modern seperti sekarang ini. Tentu akan ditertawakan oleh anak-anak TK dan anak-anak SD yang cerdas-cerdas. Hal tersebut merupakan sesuatu hal yang malah bisa membodohkan umat masyarakat, dan bukan malah mencerdaskan. Apakah sulapan, kok tidak ada yang tahu pembangunannya?. Padahal Kiai Ageng Witono hidup pada abad 17 masehi, dimana kisah Kiai Ageng Witono masih terbuka lebar untuk dikaji secara ilmiah. Kemudian pernyataan “proses pembangunannya tidak ada yang tahu”, ini bisa membuat ketawa anak-anak yang masih duduk di SD atau MI, bahkan TK. Masak masjid sebesar itu proses pembangunannya tidak ada yang tahu. Pesan saya, tolong jangan melebih-lebihkan cerita!. Biasa sajalah, kawan!. [Tembok-tembok masjid tiban itu “dibangun tahun berapa” bisa kok dibuktikan dengan mendatangkan orang ahli. Bisa dibuktikan bahwa itu  buatan manusia banyak, bukan sekali jadi. Tidak sore hari tidak ada, lalu pagi hari ada bangunan masjid. Tolong bererpikirlah sewajarnya saja!. Jangan melebih-lebihkan cerita].
Masjid Tiban Sempat Terbengkelai
Bahkan dalam tulisannya di Kompasiana, dia [si penulis] mengatakan: “Berdasarkan penuturan seorang mursyid, Mbah Ageng Withono semasa hidupnya tidak pernah menikah, apalagi punya keturunan. Namun, di kemudian hari ada beberapa orang yang mengaku sebagai keturunan beliau. Mengenai kebenarannya wallahu a’lam, kita kembalikan saja pada Yang Maha Kuasa. Yang jelas, sepeninggal Mbah Ageng Withono, Masjid Tiban Istimror sempat terbengkelai.” Ini pernyataan yang lebih tidak bisa dipertanggungjawabkan pula. Sudah saya jelaskan di atas bahwa dahulu memang di tempat tersebut hanya berupa areal pekuburan (pemakaman) dan memang tidak ada masjid [di tempat tersebut]. Masjid yang sekarang dikatakan “masjid tiban” terlalu dibesar-besarkan untuk meng-keramat-kan Kiai Ageng Witono dengan dibumbui cerita yang tidak masuk akal. Bahkan walau yang mengatakan adalah “mursyid sebuah thariqah”, ini juga harus dipertanyakan bila si mursyid tersebut tidak memiliki data-data yang valid atau minim data. Seorang mursyid juga manusia biasa, yang bisa salah dan bisa diliputi ketidaktahuan pula. Seorang mursyid tak perlu didewa-dewakan sebagai wakil Tuhan atau khalifah Tuhan satu-satunya, lalu secara “pathok bangkrong” dijadikan sebagai satu-satunya rujukan. Kalau yang mengatakan seorang mursyid?. Mursyid thariqah apa?. Dari mana?. Apakah dia benar-benar tahu?. Saya katakan lagi, mursyid yang mengatakan tersebut tidak mempunyai kapasitas untuk menjelaskan akan sejarah Kiai Ageng Witono dengan tertib, dan dia hanya meraba-raba semata.
Saya katakan sekali lagi, Kiai Ageng Witono dulu adalah seorang “naib” (penghulu). Perlu ditegaskan bahwa sebagai seorang “naib” (penghulu) yang berprofesi menikahkan masyarakat pada waktu itu, Kiai Ageng Witono pun juga mempunyai istri dan keturunan. Makanya Kiai Ageng Witono juga biasa disebut “Kiai Naib Witono” dalam berbagai tulisan para ahli. Mengenai pernyataan si penulis Kompasiana yang menyatakan bahwa “dikemudian hari ada orang yang mengaku sebagai keturunannya” adalah karena dia [si penulis] diliputi “ketidaktauan sejarah” [minimnya data-data] dan tidak mengetahui tentang sejarah Kiai Ageng Witono disertai dengan data-data secara benar. Serta dia [si penulis] tidak benar-benar berusaha untuk mendapatkan data-data lain secara objektif. Perlu diketahui, bahwa mereka yang ziarah ke makam Kiai Ageng Witono [yang dikatakan si penulis Kompasiana “mengaku sebagai keturunannya”] sebenarnya memang benar-benar mempunyai silsilah yang dia terima dari kakek buyutnya dari berbagai generasi atau dari generasi ke generasi, dan bukan hanya mengaku sebagai keturunan Kiai Ageng Witono. Tetapi mereka memang benar-benar punya data bahwa mereka merupakan keturunan Kiai Ageng Witono. Penyataan si penulis Kompasiana yang mengatakan “mengaku sebagai keturunannya” bisa jadi akan menyakiti orang-orang yang benar-benar keturunan Kiai Ageng Witono, Kalangbret, Kauman, Tulungagung. Perlu diketahui bahwa dahulu keluarga besar Kiai Jauhari Mahmud, Notorejo, Gondang, Tulungagung juga punya silsilah ke atas sampai ke Kiai Ageng Witono. Begitu juga keluarga Kiai Ali Muntoho (Mbah Muntoho [cikal bakal desa Jarakan, Gondang, Tulungaung]), juga mempunyai silsilah yang sampai ke Kiai Ageng Witono. Mereka “tidak mengaku keturunannya di kemudian hari” sebagaimana yang diungkapkan si penulis Kompasiana yang tidak mengetahui sejarah secara detail dan hanya menulis secara serampangan tersebut.
Sekali lagi saya katakan kepada si penulis di Kompasiana yang “asal-asalan menulis” tersebut, tolong tulislah yang “objektif”, bukan “subjektif” hanya dari rabaan sang mursyid yang tak mempunyai kapasitas sejarah Kiai Ageng Witono tersebut. Perlu diketahui, mereka yang mempunyai silsilah menyambung sampai Kiai Ageng Witono tersebut kebanyakan semua juga  “para keluarga kiai” [dari keturunan Kiai Ageng Witono] yang berada di daerah Tulungagung, Blitar, Malang, Kediri dan lainnya [yang merupakan keturunan Kiai Ageng Witono] sendiri. Mereka bukan “Seorang Penipu” yang hanya menipu dan “mengaku-aku bahwa mereka keturunan Kiai Ageng Witono” saja. Saya katakan, bukan penipu dan hanya mengaku-aku keturunannya!. Mereka itu benar-benar punya kisah atau sejarah yang disertai data-data dari kakek buyutnya bahwa silsilah mereka menyambung dengan Kiai Ageng Witono, Kalangbret, Kauman, Tulungagung. Saya katakan, kalau ingin menjadi penulis yang baik harus “objektif”, bukan “subjektif” hanya sekedar asal comot cerita versi “guru mursyid thariqah” yang tidak mempunyai kapasitas untuk menjelaskan kisah Kiai Ageng Witono sama sekali. Sekali lagi saya katakan bahwa baik Kiai Ageng Witono maupun Kiai Hasan Mimbar dalam kehidupan mereka pun juga menikah dan mempunyai banyak keturunan yang tersebar di daerah Tulungagung, Blitar, Kediri, Malang, dan lain-lainnya. Sekali lagi saya katakan, mereka keturunan Kiai Ageng Witono, bukan “seorang penipu” dan “tidak mengaku-aku keturunan Kiai Ageng Witono” seperti pernyataan si penulis Kompasiana tersebut. Mereka memang punya data-data dari para leluhur mereka dari generasi ke generasi. Buat si penulis Kompasiana, lebih berhati-hatilah dalam menulis agar tulisanmu bermutu dan tidak asal comot serta acak-acakan dan bisa-bisa malah menyakitkan hati orang yang membaca tulisanmu. Atau setidaknya, kau bisa menulis secara “objektif”, bukan “subjektif”.
Apalagi dia [si penulis dalam Kompasiana] tersebut menyebutkan bahwa karena tidaka punya keturunan yang mengurus “masjid tiban” tersebut, maka masjid tiban tersebut diserahkan oleh Kiai Ageng Witono kepada jin bernama Mbah Ngadiman. Berikut pernyataan si penulis Kompasiana tersebut: “Hal ini disebabkan –menurut versi yang mengatakan tidak menikah– tidak adanya keturunan yang mewarisi, di samping juga tidak ada yang berani bertindak sebagai pengelola masjid. Sebab, masjid tersebut oleh Mbah Ageng Withono diberi pengaman atau penunggu berupa jin yang bernama Mbah Ngadiman. Konon, jika bukan orang alim tidak akan kuat untuk menempati dan mengelola masjid tersebut. Karenanya, sepeninggal Mbah Ageng Withono Masjid Tiban Istimror sempat terbengkelai selama puluhan tahun. Bahkan, di lokasi tempat berdirinya Masjid Tiban Istimror terdapat makam kerabat bupati pertama Tulungagung, Tumenggung Mangoendirono yang berwasiat agar dimakamkan di situ. Sebab, konon ia prihatin dengan kondisi masjid yang tidak terawat.” Saya katakan, perlu diketahui bahwa di areal makam Kiai Ageng Witono juga ada makam para “naib”(penghulu) yang merupakan keturunan beliau [Kiai Ageng Witono], sebab beliau sendiri dahulu berprofesi sebagai “naib” (penghulu), sehingga keturunan Kiai Ageng Witono banyak pula yang menjadi seorang “naib” (penghulu). Dan perlu diketahui, masjid tiban tersebut dibangun dalam bentuk bangunan tembok seperti yang bisa kita lihat sekarang adalah dibangun setelah Kiai Ageng Witono wafat dan dahulu para keturunan beliau ketika ziarah ke makam tersebut, memang tidak ada masjid berbentuk bangunan seperti yang terlihat sekarang.
Sekali lagi mohon dibaca ulang apa yang saya tulis di atas!. Bahwa saya katakan, dahulu memang di lokasi didirikan masjid tersebut tidak ada bangunan “masjid” seperti yang kita lihat saat ini. Yang ada di lokasi itu hanyalah pohon-pohon besar yang di sebelah Barat-nya banyak berupa pemakaman (kuburan-kuburan). Bahkan pada waktu itu, makam Kiai Ageng Witono di Barat Masjid Tiban Al-Istimrar tersebut juga belum dicungkup. Sebagaimana tradisi di Jawa, maka ketika ada makam orang keramat, lalu disitu biasanya dibangun sebuah musholla atau masjid oleh para pecinta makam. Lalu dengan berjalannya waktu, banyak orang yang mengatakan bahwa masjid tersebut dibangun oleh orang keramat tersebut. Atau mungkin untuk mempromosikan dan lebih meng-keramat-kan orang yang dianggap keramat tersebut, para pengelola makam menyatakan bahwa “musholla” atau “masjid” yang dibangun tersebut merupakan tempat dimana dia berdakwah. Padahal sebenarnya tempat tersebut dahulu memang tidak ada bangunan masjid atau musholla-nya. [Kalau kita banyak belajar tradisi-tradisi masjid di dekat makam keramat seperti ini, tentu kita akan banyak tahu, dan tidak “menginformasikan yang asal-asalan dan tidak masuk akal” seperti cerita dongeng yang tidak masuk akal dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah].
Tulisan lain yang ditulis si penulis di Kompasiana berikutnya adalah: Kisah lain lagi, setiap hari Jumat, tepatnya selepas menunaikan ibadah salat Jumat, Mbah Ageng selalu pergi ke Sembayat, Gresik untuk mengadakan pertemuan bersama para wali membahas permasalahan umat. Belaiu pergi ke sana dengan mengendarai seekor harimau.”. Tembayat kok Gresik?. Ini adalah hal yang konyol yang menandakan si penulis Kompasiana juga tidak benar-benar menguasai apa yang dia tulis.  Wali siapa pada saat itu?. Apalagi hanya dengan mengendarai harimau?. Harimau apa?. Harimau jadi-jadian?. Sangat konyol sekali dan sangat melebih-lebihkan cerita. Untuk itu sekali lagi saya berpesan: “Janganlah terlalu membesar-besarkan cerita tokoh seorang wali secara tidak masuk akal. Agar kau nanti tetap dihargai banyak orang. Di tulisan ini saya juga menyampaikan pada si penulis di Kompasiana bahwa Kiai Ageng Witono sebagai seorang “naib” (penghulu) yang berprofesi menikahkan masyarakat Kalangbret pada jaman dahulu juga menikah, melakukan “sunnah Rasulullah” dan mempunyai keturunan yang tersebar di Tulungagung, Kediri, Malang, Blitar dan lain sebagianya. Maka tak heran bila keturunan Kiai Ageng Witono banyak yang menjadi “naib” (penghulu) baik yang ada di Tulungagung, Kediri, Blitar dan lain-lainnya. Bahkan di Blitar, pertemuan keturunn “Kiai Ageng Witono” dengan keturunan adiknya “Kiai Raden Taklim” banyak bertemu dalam sebuah “pernikahan. Buat mereka yang keturunan para naib (penghulu) yang dimakamkan di areal makam Kiai Agen Witono, ketahuilah profesi seorang naib (penghulu) para kakek buyut kalian merupakan warisan dari Eyang Buyut Witono yang dahulu juga berprofesi sebagai naib (penghulu). Dan kalian adalah keturunan Kiai Ageng Witono tersebut, bukan keturunan yang lain. Namun, jangan kalian terlalu meng-keramat-kan dan terlalu membanggakan Eyang Buyutmu, yakni Kiai Ageng Witono. Ketahuilah Kiai Ageng Witono juga orang biasa seperti kita, yang juga mempunyai salah dan lupa (mahal al-khatta’ wa an-nisyan). Pelajarilah perjuangan hidup Kiai Ageng Witono dengan tanpa mengunggulkannya. Sekali lagi terimalah Kiai Ageng Witono secara wajar sebagaimana manusia lainnya, jangan terlalu mengkeramatkan beliau hingga keterlaluan. Sebab di dunia dan di akhirat ini hanya satu yang perlu dikeramatkan, yaitu Allah azza wa jalla. Doakan Kiai Ageng Witono [leluhurmu], sebab semua amal anak Adam terputus kecuali doa orang sholeh yang mendoakan leluhurnya [orang tuanya]. Jangan malah di Makam Kiai Ageng Witono, minta yang tidak-tidak dan tidak sesuai dengan tuntunan agama! ”. Terima kasih.
Alamat Penulis
Arif Muzayin Shofwan
Jl. Masjid Baitul Makmur Sekardangan RT. 03 RW. 09
Papungan Kanigoro Blitar. Kode Pos 66171
HP. 085649706399.

2 komentar:

  1. saya atas nama BPK. SAMSUL dari MADURA ingin mengucapkan banyak terimah kasih kepada MBAH KARYO,kalau bukan karna bantuannya munkin sekaran saya sudah terlantar dan tidak pernaah terpikirkan oleh saya kalau saya sdh bisa sesukses ini dan saya tdk menyanka klau MBAH KARYO bisa sehebat ini menembuskan semua no,,jika anda ingin seperti saya silahkan hubungi MBAH KARYO no ini 082301536999 saya yakin anda tdk akan pernah menyesal klau sudah berhubungan dgn MBAH KARYO dan jgn percaya klau ada yg menggunakan pesan ini klau bukan nama BPK. SAMSUL dan bukan nama MBAH KARYO krna itu cuma palsu.m

    BalasHapus