Senin, 16 Januari 2017

LANGGAR KUNO MBAH KYAI ABU BAKAR SEKARDANGAN, KANIGORO, BLITAR, JAWA TIMUR



Oleh: Arif Muzayin Shofwan

Kata Sang Kyai:
“Mbah Kyai Abu Bakar Sekardangan merupakan ulama generasi seangkatan Mbah Kyai Imam Nawawi Pondok Ringinagung Pare Kediri.”
(Mbah Kyai Muhammad Sholeh)

Mbah Kyai Abu Bakar merupakan seorang ulama yang hidup di Sekardangan, Kanigoro, Blitar seputar awal abad ke-18 masehi. Beliau merupakan menantu dari Mbah Kyai Kasan Muhtar salah satu tokoh yang mbabat dusun Sekardangan bagian Utara. Mbah Jembadi mengkisahkan bahwa bapaknya pernah bercerita bahwa mertua Mbah Kyai Abu Bakar yang bernama Mbah Kyai Kasan Muhtar merupakan ulama yang sakti mandraguna. Konon Mbah Kyai Kasan Muhtar dahulu selalu menaiki seekor macan ketika bepergian ke mana-mana. Inilah sekelumit cerita yang dikisahkan oleh Mbah Jembadi yang diperolehnya dari bapaknya dan kakeknya. (Catatan: Makam Mbah Kyai Kasan Muhtar berada di Pemakaman Gaprang bersama tokoh yang mbabat dusun Sekardangan lainnya, seperti: Mbah Kyai Raden Atmo Setro, Mbah Kyai Abu Yamin bin Abdurrahim, Mbah Kyai Suwiryo, dan lain-lainnya).

Kembali ke kisah Mbah Kyai Abu Bakar bahwa beliau dahulu pernah mbabat alas di daerah Judeg, Lodoyo. Setelah diambil menantu oleh Mbah Kyai Kasan Muhtar, beliau lalu menetap di dusun Sekardangan hingga akhir hayatnya. Beliau meninggalkan sebuah langgar (mushalla) kuno yang hingga sekarang masih tampak keberadaan ke-kuno-annya. Kata Mbah Kyai Zainuddin, konon mushalla kuno pertama dibangun oleh Mbah Kyai Kasan Muhtar. Namun hingga kini keberadaan langgar (mushalla) kuno Mbah Kyai Kasan Muhtar tersebut sudah tidak ada lagi bekasnya. Kemudian bangunan langgar kuno yang kedua adalah langgar Mbah Kyai Barnawi Sekardangan Kidul. Hingga kini keberadaan langgar kuno Mbah Kyai Barnawi juga sudah tidak ada lagi bekasnya. Dan langgar Mbah Kyai Abu Bakar (menantu Mbah Kyai Kasan Muhtar) tersebut merupakan langgar paling kuno di Sekardangan yang masih tampak hingga sekarang.

Mbah Kyai Muhammad Sholeh menceritakan bahwa Mbah Kyai Abu Bakar merupakan generasi ulama seangkatan Mbah Kyai Imam Nawawi Pondok Mahir Ar-Riyadh Ringinagung, Pare, Kediri. Mbah Kyai Imam Nawawi sendiri merupakan ulama keturunan dari Sunan Kalijaga yang konon sangat dekat Keraton Solo. Begitu pula, Mbah Kyai Abu Bakar juga demikian. Maka tak heran bila bangunan langgar-nya masih berbau Solo (Surakarta-an). Di atas pintu terdapat simbol-simbol yang dipakai oleh Keraton Solo. Bahkan di barat pengimaman langgar (mushalla) tersebut masih ada relief simbol dari Keraton Solo. Hal tersebut juga telah diceritakan oleh beberapa sesepuh dusun Sekardangan yang lainnya. Dan masjid Mbah Kyai Imam Nawawi Pare Ringinagung juga penuh simbol seperti itu. Ada relief bunga-bunga, bulan sabit, dan semacamnya yang saya sendiri kurang faham. 
 
Pada suatu hari, saya kedatangan tamu dari Kulonprogo, Jawa Tengah yang bernama Gus Irfan. Beliau meminta saya agar menghantarkannya ke makam Mbah Kyai Abu Bakar di barat mushalla-nya. Lalu saya menghantarkan Gus Irfan ke makam tersebut. Tak berhenti di situ, saya juga menunjukkan simbol-simbol atau tanda-tanda atau logo-logo yang ada di tembok pengimaman langgar Mbah Kyai Abu Bakar tersebut. Gus Irfan lalu memotret dan mengatakan bahwa logo atau simbol yang ada di tembok pengimaman Mbah Kyai Abu Bakar tersebut adalah simbol Keraton Solo. Begitu pula, Gus Irfan juga memotret simbol-simbol yang ada di atas setiap pintu dan jendela langgar Mbah Kyai Abu Bakar. Dia juga menyatakan bahwa semua simbol yang ada di atas pintu dan jendela merupakan simbol yang ada di Keraton Solo.

Mendengar kata Gus Irfan, saya berucap dalam hati “Alhamdulillahi Rabbil Alamin” semoga berkah. Amin. Tak hanya itu saya, Gus Irfan juga mengatakan kepada saya agar merawat makam “Mbah Kyai Abu Bakar” dan “Mbah Menthel” yang berada di Barat langgar-nya tersebut berjarak kurang lebih 150 meter. Mendengar hal tersebut, dalam hati saya cumak berkata “Aduh, merawat diri sendiri saja masih berlepotan nggak karuan kok dipeseni merawat makam. Ah tapi dalam hati saya juga berdoa, semoga saya diberi kelancaran oleh Tuhan dalam melaksanakan wasiat atau pesanan dari Gus Irfan tersebut. Semoga saya diberi kelancaran rejeki dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Amin, amin, amin. Ya Rabbal Alamin.” Doa hanyalah permohonan. Hanya Tuhan yang bisa mengabulkan, bukannya makam. Sebab makam tidak berkuasa apapun. Hehehe.

Setelah itu, saya mengantarkan Gus Irfan ke “Makam Kubur Dowo” Tlogo, Kanigoro, Blitar. Di makam tersebut Gus Irfan berziarah ke beberapa makam, di antaranya: Eyang Reso Wijoyo, Eyang Ponco Wijoyo, Eyang Rangga Rusik, Mbah Kyai Baghowi (ayah Kyai Sibaweh), Mbah Kyai Sibaweh (murid Syaikhuna Muhammad Kholil Bangkalan, Madura dan murid Mbah Kyai Muhammad Sholeh Kuningan pengarang “Kitab Nata’ijul Afkar” yang berisi tentang tauhid). Tak lupa, saya juga berziarah lagi ke makam Mbah Kyai Haji Abu Bakar (ulama pertama desa Tlogo yang hidup di masa Eyang Reso Wijoyo). Setelah itu, saya menghantarkan Gus Irfan ke makam Mbah Kyai Abu Hasan, Mbah Kyai Abu Mansur, dan Mbah Kyai Muhammad Sholeh (guru Mbah Kyai Sibaweh) yang berada di barat masjid desa Kuningan. Allahummaghfirlahum warhamhum wa afihim wa’fu anhum.

Setelah ziarah di Kuningan, saya kemudian melanjutkan acara saya sendiri. Sementara Gus Irfan izin ingin berziarah ke makam “Eyang Darso Wari Kusumo” Tingal, Garum, Blitar. Akhir kata, inilah catatan harian (cahar) saya kali ini. Ada kurang dan lebihnya, saya minta maaf yang sebesar-besarnya. Semoga dusun Sekardangan dijadikan sebuah tempat yang selalu nyaman, aman, dan damai digunakan untuk segala macam kebaikan. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa menjadikan dusun Sekardangan sebagai tempat yang sejuk untuk berzikir, bermeditasi, bersemedi, dan lain sebagainya. Bil-khusus, semoga langgar kuno Mbah Kyai Abu Bakar Sekardangan tetap nyaman digunakan untuk berzikir, meditasi, semedi, membakar dupa Arab, dupo Kawi dan aktifitas kebaikan lainnya. Amin, amin, amin. Ya Rabbal Alamin.

 “Wherever you are, be a useful man”
(Di manapun Anda berada, jadilah manusia berguna)

“Sluman, slumun, slamet. Selameto lek ngemongi jiwo rogo”
(Semoga dalam situasi dan kondisi apapun mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan. Yakni, selamat dalam mengasuh jiwa dan raga masing-masing)

Langgar Kuno Mbah Kyai Abu Bakar. Tampak di depan Gus Gundala sedang menyapu halaman langgar.
Tampak relief yang konon merupakan simbol Keraton Solo berada di tembok pengimaman langgar Mbah Kyai Abu Bakar bagian Barat yang sudah hampir keropos dimakan usia.
 
Hiasan atau simbol tertentu di atas setiap pintu langgar Mbah Kyai Abu Bakar Sekardangan. Tampak pula ada simbol bunga-bunga, bintang dan bulan tsabit yang belum saya potret.

Tentang Penulis

Arif Muzayin Shofwan, seorang pria yang memiliki hobi perpetualang dalam samudra dan benua ilmu pengetahuan ini beralamatkan di Jl. Masjid Baitul Makmur Sekardangan RT. 03 RW. 09 Papungan, Kanigoro, Blitar, Jawa Timur. Pria yang kesehariannya belajar, mengajar, diskusi, mengaji, meneliti, menulis, membaca, menyadari, mengamati, mewaspadai, berzikir, meditasi, semedi, dan berbagai pekerjaan lain yang tak bisa dijelaskan tersebut dapat dihubungi di nomor HP. 085649706399.

7 komentar:

  1. Assalamualaikum...pak arif
    Saya mohon impormasinya...
    Apkah pak arif pernah dengar
    Nama"haji syarif abdul mursodo
    Beliau adl leluhur saua.saya adl generasi yg ke 6.

    BalasHapus
  2. Salam kenal ya kang kyai barokalloh

    BalasHapus
  3. Assalamu alaikum Pak Arif.
    Saya jadi sangat tertarik dengan ulasan ulasan mengenai tarekat. Saget sowan teng Pak Arif

    BalasHapus
  4. Loh ini bukan nya langgarnya buyut saya yg didepan rumah pak adak

    BalasHapus
  5. الحمد لله منتاف سكالي ياهي عريف مزين صفوان
    لانجوتكان ياهي

    BalasHapus