Jumat, 10 Februari 2017

BERZIARAH KE MAKAM MBAH NYAI TUBINEM DAN MBAH KYAI RADEN SALIMAN DUSUN (+ DESA) PAPUNGAN, KANIGORO, BLITAR



Oleh: Arif Muzayin Shofwan

 “Menulislah, siapa tahu bermanfaat bagi yang membutuhkan.”
(Anonim)

Ziarah Ke Makam Mbah Nyai Tubinem 

          Hari Jumat, 10 Februari 2017, Mbah Jawoko Jatimalang datang ke rumah saya kira-kira pukul 13.30 WIB (siang hari usai shalat Jumat). Dia mengatakan baru saja menjenguk orang sakit di RS. Mardi Waluyo Blitar. Mbah Jawoko berkata kepada saya: “Gus, ayo melu dolan ning Mbah Kyai Hasyim Asyari Gandusari yuk!. Wis suwi ora mrono aku.” Jawab saya: “Waduh, yen dino iki aku ora iso Mbah, sebab iki mengko jam 16.00 WIB wayahe ngisi pendalaman kanggo bocah-bocah kelas 6 sing arep ujian.” Kata Mbah Jawoko: “Oalah, yoo wis, tak kira iso lan ora enek acara. Yo lek ngono metu dolan-dolan ziarah makame sesepuh sing cedhek-cedhek kene  wae.” Kata saya: “Yen makame sesepuh cedhek-cedhek kene, ayo ning makame Mbah Nyai Tubinem, cikal-bakal dusun Papungan, desa Papungan, Kanigoro, Blitar.” Jawab Mbah Jawoko: “Yo wis, ayoooo.”

          Setelah kesepakatan tersebut, akhirnya saya dan Mbah Jawoko berangkat menuju tempat yang akan dituju. Namun, sebelum ziarah ke makam Mbah Nyai Tubinem, saya dan Mbah Jawoko lebih dulu sowan kepada Mbah Suwarno (ketua RT. 03 RW. 06 dusun + desa Papungan). Sebab Mbah Suwarno inilah yang kira-kira paham tentang sejarah dusun Papungan. Sesampai di rumah Mbah Suwarno, beliau bercerita bahwa dusun Papungan itu dulu merupakan “kepungan”, yakni tempat kepungan di mana ada seekor Gajah yang lari ke arah Selatan, dan kemudian dikepung hingga bisa didapat (dicekel: Jw) ketika Gajah tersebut kembali ke Utara. Makanya, utaranya dusun Papungan itu dinamakan dusun Gajah. Dan ada Patung Gajah sebagai simbol dusun tersebut. Sementara, karena daerah Selatan tempat untuk mengepung (kepungan) Gajah, maka dinamakan dusun Papungan (artinya: papan kanggo kepungan/ngepung Gajah yang berlari-lari kesana-kemari). Patung Gajah itu bukan untuk disembah lho kang, tapi untuk simbol dusun seperti patung Ikan Suro dan patung Boyo di Surabaya. Gitu lho. Hehehe.

          Ah, banyak sekali yang kami perbincangkan di rumah Mbah Suwarno. Oya, Mbah Suwarno juga bercerita bahwa Mbah Kyai Raden Saliman merupakan cikal-bakal tempat ibadah pertama (dulu berupa mushalla/langgar) dan tertua di dusun Papungan. Hingga kini, mushalla yang didirikan Mbah Kyai Raden Saliman tersebut sudah tidak ada bekasnya. Dan Mbah Suwarna merupakan generasi keturunan ke-5 dari Mbah Kyai Raden Saliman tersebut. Saat itu juga, Mbah Suwarno menunjukkan “Silsilah Nasab Mbah Kyai Raden Saliman” ke bawah pada pigora ukuran kira-kira 60 CM x 40 CM-an yang terpampang di dalam tembok pojok rumah beliau. Konon, rata-rata warga dusun Papungan juga merupakan keturunan dari Mbah Kyai Raden Saliman tersebut. Yah, selain berbincang-bincang tentang Mbah Kyai Raden Saliman, kami bertiga berbincang-bincang pula tentang Mbah Mudjair (penemu ikan Mujair yang makamnya juga di dusun + desa Papungan yang sangat tersohor hingga mancanegara). Ganyeng lah pokoknya, disertai wedang teh manis. Hehehe. Ah dalam bathin saya, alangkah indahnya bila dusun+desa Papungan diberi atau dibanguni Patung Ikan Mudjair. Hehehehe.

          Perlu diketahui ya, bahwa nama Papungan itu merupakan sebuah dusun sekaligus desa yang berada di kecamatan Kanigoro, kabupaten Blitar, dan memiliki lima (5) dusun. Dan masing-masing dusun tersebut memiliki cikal-bakal (“dhanyang” dalam bahasa Jawa; kalau dalam bahasa Madura adalah “Bujuk”) sendiri-sendiri. Lha, inilah keunikan desa Papungan dibanding desa-desa yang lain. Desa yang lain itu kadang cumak memiliki satu (1) cikal-bakal/dhanyang/bujuk saja. Namun, desa Papungan memang beda. Makanya, setiap dusun di desa Papungan memiliki acara Bersih Dusun yang waktunya berbeda-beda. Kalau istilah di lain desa disebut “Bersih Desa”,  namun di daerah Papungan disebut “Bersih Dusun”. Ya karena memang cikal-bakalnya berbeda-beda dari dusun per dusun. Gitu lho kang. Ya, nggak masalah kan. Oya, bisa saya sebutkan di sini masing-masing cikal-bakal dari dusun di desa Papungan tersebut, yaitu:

1.    Dusun Papungan, cikal-bakal dusunnya bernama Mbah Nyai Tubinem. Makamnya berada di pinggir Sungai Berut paling Barat, dekat sumber mata air. Yah, biasanya orang jaman dulu membuat rumah di dekat sumber mata air. Sumber mata air adalah kunci melestarikan kehidupan dan bertahan hidup bagi orang-orang dulu. Sebab jaman dulu belum ada sumur. Adanya sumur (termasuk kakus/WC) itu kan menurut penelitian ahli itu adanya sejak Belanda menjajah negeri ini. Gituu. Adapun Mbah Kyai Raden Saliman termasuk tokoh yang membuka mushalla/langgar pertama setelah adanya dusun Papungan tersebut. Untuk tokoh-tokoh lainnya, saya belum mempelajari kang. Lahum Al-Fatikah...

2.    Dusun Sekardangan, cikal-bakalnya bernama Ki Kebo Kanigoro (Kyai Purwoto Siddiq Banyubiru), istrinya Nyai Gadhung Melati, dan anaknya Rara Tenggok (Rara Sekar Rinonce). Warga Sekardangan sering menyebut ketiga tokoh tersebut dengan sebutan “Mbah Sekardangan” atau “Eyang Sekardangan” saja. Makam ketiganya berada di dusun Sarehan, desa Jatingarang, kecamatan Weru, kabupaten Sukoharjo-Solo. Konon setelah berada di Kanigoro (yakni di Petilasan Jatikurung, utara Pom Bensin Kanigoro) dan sempat berada dan mendirikan dusun Sekardangan, ketiga tokoh ini pulang kembali ke Sukoharjo-Solo, dan dimakamkan di sana. Adapun petilasan ketiga tokoh tersebut berada di sebelah Barat Masjid Baitul Makmur Sekardangan -+ 150 Meter. Jauh setelah ketiga tokoh di atas, ada beberapa tokoh Sekardangan yang bisa disebutkan di sini, antara lain: Mbah Kyai Raden Atmo Setro, Mbah Kyai Raden Kasan Muhtar, Mbah Kyai Raden Suwiryo Diningrat, Nyai Raden Tirto Sentono, Mbah Kyai Abu Yamin Bin Abdurrohim (makamnya berada di pemakaman desa Gaprang, sebab Sekardangan dulu belum memiliki pemakaman umum tersendiri). Mbah Kyai Raden Tirto Sentono dan Mbah Kyai Raden Setro Kromo makamnya di Sekardangan, dan lain sebagainya. Lahum Al-Fatikah...

3.    Dusun Gajah, cikal-bakalnya bernama Mbah Kyai Raden Setrojati, makamnya berada di areal makam umum dusun Gajah. Konon, Mbah Kyai Raden Setrojati itu masih saudaranya Mbah Kyai Raden Setro Kromo (menantu Mbah Kyai Raden Atmo Setro Sekardangan). Makanya, warga dusun Gajah dan Sekardangan itu konon masih ada hubungan famili. Ini kata para sesepuh lho. Sekarang nama Mbah Kyai Raden Setrojati diabadikan menjadi “Nama Jalan”. Mantafff. Inilah contoh warga dusun yang mau ngeleluri, menghormati dan menghargai jerih payah para leluhurnya. Salut saya. Lahum Al-Fatikah...

4.    Dusun Duwet, wah mohon maaf, kalau cikal-bakal dusun Duwet saya belum mempelajarinya. Walau saya belum tahu nama cikal-bakalnya, saya tetap mau kirim Fatikah kepada beliau-beliau. Lahum Al-Fatikah...

5.    Dusun Salam, lha ini juga, saya juga belum mempelajari cikal-bakal dusun Salam. Walau saya belum tahu nama cikal-bakalnya, saya tetap mau kirim Fatikah kepada beliau-beliau. Lahum Al-Fatikah... 

(Catatan: Oya, saya dulu mendapat ijazah amalan Fatikah dari kakek saya, dan kakek saya mendapat ijazah dari Mbah Kyai Abdul Hamid Pasuruan, Jatim. Saya diajari agar sering kirim Fatikah kepada siapa saja. Ya itu. Makanya, saya selalu hadiah Fatikah kepada para leluhur dan siapa saja. Itu saja. Ini ijazah dari kyai agung lho. Kalau itu ijazah dari kyai agung ahli tirakat, yah kayak kata Gus Dur “Saya ya sendiko dawuh saja. Dan dilakoni wae”. Yah, semoga saja berkah. Amiin.)

Ziarah ke Makam Mbah Kyai Raden Saliman

          Setelah saya berziarah ke makam Mbah Nyai Tubinem, saya dan Mbah Jawoko kemudian menuju makam Mbah Kyai Raden Saliman, yang konon beliau dulu juga berasal dari Mataraman. Pada saat saya berada di kediaman Mbah Suwarno, beliau menunjukkan silsilah nasab Mbah Kyai Raden Saliman ke-bawah. Ah, sayang, tidak saya foto. Tapi saya masih ingat bahwa Mbah Kyai Raden Saliman memiliki tiga (3) anak yang akhirnya mbrenah di dusun Papungan. Maaf, saya mengatakan “dusun”, bukannya sebagai “desa”. Sebab dusun-dusun di desa Papungan memiliki cikal-bakal dan tokoh sendiri-sendiri yang saling menurunkan berbagai macam keturunan. Ada yang jadi kyai, polisi, tentara, ustadz, petani, pedagang, guru, dosen, dan macam-macam profesi lainnya. Yah, itulah manusia, semua punya jatah sendiri-sendiri dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

          Makamnya Mbah Kyai Raden Saliman berada di pemakaman dusun Papungan bagian Selatan (gandeng dengan pemakaman Gaprang). Saya dan Mbah Jawoko menelusuri makam-makam kuno tersebut. Ah, banyak makam-makam kuno yang sudah tidak terawat, morat-marit, dan lain sebagainya. Kalau sudah melihat hal yang demikian, Mbah Jawoko bilang: “Wah, mesakne yoo makame poro leluhure sing nggak ono sing ngrawat. Padahal wong-wong ngene iki ndisik yen berjuang ning deso lan ning agomo yo tenanan.” Kalau Mbah Jawoko sudah ngomong demikian, saya cumak bisa mendengarkan saja. Yah, kalau nggak diam, mau ngomong apa saya ini. Waduhhhh. Biasanya, setelah berkata demikian Mbah Jawoko kemudian kirim Fatikah kepada ahli kubur yang dimakamkan di tempat tersebut secara keseluruhan dan terkhususkan. Yah, dalam tulisan ini saya juga kirim Fatikah, mudah-mudahan para leluhur kita diberi kebahagiaan di sisi-Nya. 

          Ah, mungkin ini saja catatan harian (cahar) saya hari ini. Mohon maaf, kalau dalam cahar ini saya hanya bisa memotret makam Mbah Nyai Tubinem, Sumber Air di areal makam Mbah Nyai Tubinem, makam Mbah Kyai Raden Saliman, itu saja. Teriring doa, mudah-mudahan dusun + desa Papungan selalu diberkahi oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Mudah-mudahan dusun + desa Papungan menjadi tempat yang aman, damai sepanjang zaman. Mudah-mudahan warga di dusun + desa Papungan selalu mendapatkan kebahagiaan, ketentraman, kesantausaan dari Tuhan Yang Maha Penyayang. Semoga para arwah cikah bakal dusun + desa Papungan (yakni; Papungan, Sekardangan, Gajah, Duwet, dan Salam) selalu mendapat rahmat dan tempat yang membahagiakan dari Tuhan Yang Maha Luas lagi Maha Lembut. Amin, amin, amin, amin. Yaa Rabbal Alamin. Wallahu’alam.

“If you can dream it you can do it”
(Jika kamu dapat bermimpi, kamu dapat melakukannya)

“Sluman, slumun, slamet. Selameto lek ngemongi jiwo rogo”
(Semoga dalam situasi dan kondisi apapun mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan. Yakni, selamat dalam mengasuh jiwa dan raga masing-masing)

Makam Mbah Nyai Tubinem di dekat Sungai Berut Papungan
 
Mbah Jawoko sedang nyekar di makam Mbah Nyai Tubinem
 
Sumber mata air di dekat makam Mbah Nyai Tubinem
 
Makam Mbah Kyai Raden Saliman, cikal-bakal mushalla/tempat ibadah Islam pertama di dusun Papungan
 
Mbah Jawoko sedang nyekar di makam Mbah Kyai Raden Saliman Papungan


Tentang Penulis

Arif Muzayin Shofwan, seorang pria yang berbau kuburan, kijing, maesan, kembang boreh, kembang kanthil, kembang kenongo dan segala macam bau-bauan ini beralamatkan di Jl. Masjid Baitul Makmur Sekardangan RT. 03 RW. 09 Papungan, Kanigoro, Blitar, Jawa Timur. Pria yang yang sering dipanggil oleh Kyai Muhammad AP dengan sebutan “Ki Gadhung Melathi” atau “Mbah Pasarean” (karena seringnya berkunjung ke pesarean-pesarean untuk mengkaji sejarah tokoh yang dimakamkan) tersebut dapat dihubungi di nomor HP. 085649706399.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar